Original Network : Tencent
Video, iQiyi
“Masalah bisnis keluarga kami sudah
ditentukan. Tapi, aku berpikir…” kata Menantu Yao sambil memberikan kode tanda
kutip. “Masalah internal kedua suami istri seharusnya semakin hari semakin
baik,” jelasnya dengan pelan kepada teman- temannya.
Mendengar itu, teman- teman Yao
merasa bingung, masalah internal apa. Dan akhirnya, Menantu Yao pun berbicara
secara terus terang, yang dia maksud masalah internal adalah masalah melahirkan
anak untuk meneruskan garis keturunan keluarga Su.
“Tentu saja masalah anak adalah hal
penting. Tapi sekarang, Tuan Menantu masih tinggal di ruang samping, sangat
tidak cocok,” kata Pelayan Yao, menjelaskan kepada semuanya.
“Masih di ruang samping?” gumam
teman- teman Yao, terkejut.
“Aku juga tidak ingin,” jelas
Menantu Yao sambil tersenyum malu. “Tapi, sebagai seorang ibu… Aku juga tidak
bisa terus-menerus mendesak Tan’er, kan?” jelasnya. “Jadi, aku berpikir untuk
meminta bantuan kalian kakak beradik untuk memikirkan ide,” pintanya.
“Tak perlu dicemaskan. Aku mempunyai
sebuah resep. Resep ini direndam di dalam arak,” kata teman B dengan percaya
diri. “Kukatakan pada kalian, saat itu suamiku meminumnya. Benaran bertenaga,”
bisiknya sambil tertawa malu- malu.
“Kamu membawanya?” tanya Menantu
Yao, bersemangat.
Saat Ning Yi pulang, Menantu Yao dan
teman- temannya sedang berkumpul didalam kamarnya. Melihat mereka, Ning Yi
merasa agak bingung. Lalu saat Menantu Yao memperkenalkannya kepada teman-
temannya, dia menyapa mereka dengan sopan. Tapi setelah itu, dia langsung ditarik
untuk duduk, dan diberikan sebotol arak macan.
“Bibi dan Tantemu ini secara khusus
menyiapkanmu sesuatu untuk menambah darah dan tenaga,” jelas Menantu Yao,
bersemangat.
“Belakangan ini, darah dan tenagaku
cukup. Tidak perlu penambahan,” tolak Ning Yi dengan canggung.
“Kami juga memikirkanmu yang
kelelahan. Untuk menambah nutrisi,” kata Menantu Yao sambil menuangkan segelas
arak untuk Ning Yi.
“Benar!” kata teman- teman Yao,
setuju.
“Jangan menyia-nyiakan kebaikan
kami,” pinta Menantu Yao dengan halus sambil sedikit memaksa Ning Yi untuk
meminumnya.
Demi kesopanan, Ning Yi pun meminum
arak yang dituangkan untuknya. Tapi rasanya agak aneh dan dia menolak untuk
minum lagi. Namun Menantu Yao dan teman- temannya terus memaksanya untuk minum
lagi dan lagi. Dan karena tidak bisa melawan serta menolak, maka Ning Yi pun
terus meminumnya.
Setelah Ning Yi agak mabuk, Menantu
Yao dan teman- temannya membawa Ning Yi ke dalam kamar Su Tan’er dan
menyuruhnya untuk segera beristirahat.
“Ini adalah kamar Tan’er,” kata Ning
Yi, menolak untuk masuk ke dalam kamar Su Tan’er.
“Kenapa masih dibagi punyamu dan
dia? Ini adalah kamarmu,” kata Menantu Yao, mendorong Ning Yi untuk masuk saja.
“Benar. Cepat masuk,” kata teman-
teman Yao, ikut mendorong Ning Yi. “Masuklah. Masuklah,” seru mereka dengan
bersemangat.
“Cepatlah, biarkan Ibumu mendapat
cucu,” pinta Menantu Yao.
“Baik, baik, baik,” kata Ning Yi,
menyerah. Lalu dia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu nya.
Tepat ketika Ning Yi menutup pintu
kamar, dia langsung bertemu tatap dengan Su Tan’er yang menatapnya dengan
terpaku.
“Sudah kubilang aku tidak minum
arak, ibumu masih saja menuangkan. Aku minum sedikit,” kata Ning Yi, berusaha
menjelaskan.
“Menuangkan arak untukmu?” gumam Su
Tan’er, heran.
Setelah Ning Yi masuk ke dalam
kamar, Menantu Yao dan teman- temannya langsung bersembunyi dibelakang pohon
untuk memperhatikan.
Su Tan’er duduk dengan gugup di
tempat tidur.
Ning Yi mulai merasa sangat
kepanasan, jadi dia terus meminum teh yang ada dimeja dan mengipas- ngipas
dirinya.
Melihat Ning Yi yang tampak sangat
kepanasan, Su Tan’er bertambah gugup. “Kamu baik-baik saja, kan?” tanyanya,
perhatian.
Mendengar itu, Ning Yi langsung
meletakkan kipas yang dipegangnya ke meja. Lalu dia berdiri dan mulai membuka
pakaiannya. “Tan’er, panas sekali. Aku sudah tidak tahan lagi. Maafkan,”
jelasnya. Lalu dia berlari ke arah Su Tan’er.
“Apa yang ingin kamu lakukan?”
teriak Su Tan’er sambil menatap Ning yi dengan panik.
Di luar. Menantu Yao dan teman-
temannya mendengar suara Ning Yi dan Su Tan’er serta suara tempat tidur yang
bergoyang- goyang. Mendengar itu, Menantu Yao dan teman- temannya merasa sangat
senang.
Didalam kamar. Ning Yi menggoyang-
goyangkan tempat tidur sedikit untuk menipu Menantu Yao dan teman- temannya
yang berada diluar. Lalu dia mengambil palu dan menghancurkan dinding yang
memisahkan kamar mereka berdua.
Di luar. Menantu Yao memuji dengan
kagum betapa hebatnya arak macan itu.
“Palu dari mana itu?” tanya Su
Tan’er, penasaran.
“Aku seharusnya bertanya padamu. Ini
kamarmu,” balas Ning Yi sambil menghela nafas capek. Dan Su Tan’er langsung
terdiam.
Di luar. Mendengar suara tempat
tidur yang bergoyang semakin kuat dan suara keras di dinding, Menantu Yao jadi
merasa khawatir.
“Gerak-gerik ini sangat bertenaga.
Tidak baik terhadap tubuh putri kecilku,” kata Menantu Yao, cemas.
“Orang muda bertubuh sehat,” kata
teman B, menenangkan.
“Aku harus menyiapkan obat tonik
untuk putriku,” kata Menantu Yao, memutuskan.
“Baik. Aku akan membuatnya nanti,”
kata teman C, menenangkan.
Didalam kamar. Setelah berhasil
membuat lubang cukup besar, Ning Yi masuk ke dalam kamarnya melalui lubang
tersebut.
“Kali ini sudah boleh,” kata Ning
Yi, merasa puas. “Lain kali, jika ketemu
kondisi begini lagi, aku akan pulang dari sini. Nanti kamu tutupi dengan itu,”
jelasnya sambil menunjuk ke arah tirai besar yang ada dikamar.
“Begini sudah boleh?” tanya Su
Tan’er, ragu. “Lalu, kenapa kamu masih begitu?” tanyanya, heran, karena Ning Yi
masih menggoyang- goyangkan tempat tidur.
“Aku tidak begini, ibumu tidak akan
pergi,” jelas Ning Yi, menjelaskan sambil mengelap keringatnya.
Melihat Ning Yi tampak sangat capek,
maka Su Tan’er pun menggantikannya untuk mengoyangkan tempat tidur maju-
mundur. Tapi dia mengoyang terlalu kuat, sehingga membuat Ning Yi merasa cemas.
“Kamu, kamu, kamu. Kamu pelan
sedikit,” pinta Ning Yi, mengajarkan. “Aku tidak bisa membiarkan Ibu Mertua
salah paham padaku,” jelasnya.
“Oh,” gumam Su Tan’er, mengerti.
Lalu dia memelan sedikit. “Bagaimana dengan kekuatan ini?” tanyanya,
memastikan.
“Kekuatan ini pas,” jawab Ning Yi.
Di luar. Menantu Yao dan teman-
temannya merasa puas, karena usaha mereka berhasil. Jadi akhirnya, mereka pun
memutuskan untuk pergi.
Setelah agak lama, Su Tan’er dan
Ning Yi tidur di tempat tidur mereka masing- masing. Namun ntah kenapa, Su
Tan’er agak kesulitan untuk tidur, dan melihat Ning Yi juga masih belum tidur,
diapun mengajaknya mengobrol.
“Kamu… Sekarang masih mabuk?” tanya
Su Tan’er, pelan.
“Lumayan. Setelah berkeringat sudah
tidak apa-apa,” jawab Ning Yi, berhenti mengipas- ngipas dirinya.
Dengan tulus, Su Tan’er mengucapkan
terima kasih kepada Ning Yi, karena Ning Yi telah banyak membantunya. Lalu dia
mengakui bahwa awalnya, dia berpikir kalau Ning Yi adalah cendekiawan bodoh.
Dan sekarang dia bertanya- tanya, mengapa Ning Yi yang berkemampuan hebat
begini, malah berada di kota miskin dan terpencil, bukannya berbisnis ataupun
mengikuti ujian masuk pejabat saja.
“Bagaimana kujelaskan padamu?” gumam
Ning Yi, agak bingung harus menjelaskan bagaimana. “Lihatlah lubang ini,”
jelasnya. “Sebenarnya, aku datang dari sebuah lubang misterius di sebelah. Aku
melewati lubang misterius. Secara tak sengaja jadilah Ning Yi yang sekarang
ini,” katanya, bercerita dengan jujur. “Kamu bisa mengerti perkataanku ini?”
“Tidak bisa,” jawab Su Tan’er,
jujur. “Walau tidak terlalu mengerti, tapi aku merasa, kamu jauh lebih baik
dari yang dulu,” pujinya.
“Itu pasti,” balas Ning Yi dengan
bangga.
Su Tan’er kemudian menceritakan
tentang alasannya menginginkan stempel pemimpin keluarga Su. Karena Watak paman
dan kakak nya, tidak terlalu baik, jadi jika stempel pemimpin sampai jatuh ke
tangan mereka, maka masa depan toko kain akan buruk. Oleh karena itu, dari
kecil dia bertekad untuk mendapatkan stempel pemimpin. Namun sayangnya, …
“Apa yang disayangkan?” tanya Ning
Yi, penasaran.
Flash
back
Su Boyong memarahi Su Tan’er dan
menyuruhnya untuk mengakui kesalahan. Sebab Su Tan’er tidak belajar dengan
serius di akademi, dan malah diam- diam pergi ke toko kain. Namun Su Tan’er
sama sekali tidak mau mengakui kalau dirinya bersalah, karena dia berhasil
menjual kain yang tidak mampu dijual oleh Su Wenxing.
“Kamu masih berani menjawab balik?”
bentak Su Boyong, marah.
Flash
back end
“Ayah berharap aku melakukan tugasku
yang seharusnya. Membantu suami dan mendidik anak. Namun, itu bukanlah yang
kuinginkan,” kata Su Tan’er, bercerita dengan sedih. “Perselisihan beberapa
kali di antara kami, lama-kelamaan menjadi tak ada perkataan yang perlu
diucapkan. Ayah juga tak ingin menemuiku.”
Flash
back
Saat Su Tan’er ketahuan sedang
memotong kain, Su Boyong menasehatinya agar tidak perlu memikirkan bisnis
keluarga dan jangan berpikir untuk mengerjakan kain. Dia ingin Su Tan’er
belajar dengan tekun saja. Dan Su Tan’er tidak mengerti, kenapa dia tidak boleh
melakukan itu, kepadahal dia sangat menyukai membuat kain dan dia juga tidak
kalah dari Su Wenxing dalam hal berbisnis. Su Tan’er bercita- cita untuk
meneruskan usaha Toko Kain Su di masa depan dan menjadi wanita pebisnis yang
berbakat di Jiang Ning.
“Omong kosong, wanita sepertimu
mengurus toko kain apaan?” bentak Su Boyong dengan sikap keras. “Kamu tahu,
jika memilih jalan ini, kamu akan menderita di kemudian hari,” jelasnya.
“Kenapa jika wanita? Kenapa pula
jika pria? Asalkan itu jalan yang kupilih, bukanlah masalah,” balas Su Tan’er,
bersikap keras kepala.
Mendengar itu, Su Boyong merasa
sangat emosi. “Nanti jika kamu masih ingin berbisnis, jangan akui Ayahmu ini
lagi. Jika susah kelak, tak boleh pulang ke rumah dan menangis,” tegasnya. Lalu
dia mengambil semua kain yang Su Tan’er pegang. “Kenapa aku bisa mempunyai
putri sepertimu,” gumamnya sambil menghela nafas.
Dengan sedih, Su Tan’er diam sambil
menahan air matanya agar tidak jatuh.
Flash
back end
Ning Yi menyarankan agar Su Tan’er
mencari kesempatan dan berbicara dengan Su Boyong. Tapi Su Tan’er tidak berani,
sebab dia merasa kalau Su Boyong tidak akan mau memahaminya.
“Beberapa waktu lalu di dapur, aku
pernah membuat janji dengan Ayahmu. Mengatakan pasti akan membantumu merebut
stempel pemimpin Keluarga Su,” kata Ning Yi, memberitahu. “Setelah direbut,
tidak peduli kamu ingin bercerai, atau menikah lagi, ataupun berpacaran tanpa perjodohan,
semua tergantung padamu. Tapi, Ayahmu berkata padaku merebut stempel pemimpin
adalah keinginan terbesarmu. Membiarkanku membantu sekuat tenagaku,” jelasnya.
Mendengar itu, Su Tan’er hanya diam
saja.
“Sejujurnya, Ayahmu sangat
menyayangimu,” hibur Ning Yi. “Kalian ayah dan putri sangat mirip. Dan juga
sangat keras kepala. Ingin menunggu pihak lain membuka mulut terlebih dahulu.
Tidak ada yang mau mengalah terlebih dulu,” komentarnya, heran.
Mendengar itu, air mata Su Tan’er
menetes.
Keesokan harinya. Ning Yi berkunjung
ke sekolah kebajikan pria dan makan semangka bersama keempat temannya. Sambil
makan, Ning Yi membagikan kartu nama toko kain Su kepada mereka dan meminta
mereka untuk membagikan itu kepada orang lain juga. Dan mereka menerima itu serta
mengiyakan.
Lalu tidak lama kemudian, Istri-
istri mereka datang menjemput. Jadi mereka berempat pun pamit kepada Ning Yi
dan pulang.
“Semuanya, hari ini adalah pertemuan
klan Keluarga Su setahun sekali,” kata Su Yu sambil tertawa senang. “Melalui
kesempatan ini, kami akan umumkan masalah penting. Lihatlah semuanya. Ini
adalah stempel pemimpin Keluarga Su,” jelasnya sambil menunjukkan stempel
pemimpin yang sangat berharga kepada semuanya.
“Hari ini, akan aku berikan pada
cucu wanitaku. Su Tan’er,” kata Su Yu sambil menyerahkan stempel pemimpin
kepada Su Tan’er.
Dengan sikap hormat, Su Tan’er
membungkukkan tubuhnya sebagai rasa terima kasih. Lalu dia berniat mengambil
stempel pemimpin yang Su Yu berikan. Tapi sebelum dia sempat menyentuh stempel
pemimpin, Su Zhongkan menghentikannya. Dan Su Wenxing yang berdiri disebelah Su
Zhongkan, dia tersenyum penuh arti.
“Mohon semuanya memeriksa pembukuan
dulu. Di kemudian hari, bos kami akan menjadi pemilik stempel pemimpin. Pasti,
tidak akan merugikan kalian,” kata Manajer Toko Xi dengan sikap hormat kepada
para akuntan yang dikirim oleh Keluarga Su ke toko kain untuk memeriksa
pembukuan mereka.
Kemudian setelah itu, para akuntan
langsung melakukan pekerjaan mereka.
“Bos Manajer Toko adalah wanita
pertama pemilik stempel pemimpin di Kota Jiang Ning. Dia juga menghormati Anda.
Anda lambat laun harus terbang tinggi,” kata Pelayan Xi, memuji- muji Manajer
Toko Xi. “Masa depanku mengandalkan Anda,” katanya sambil tersenyum puas.
“Jangan beromong kosong,” tegur Manajer Toko Xi, pelan. Lalu dia tersenyum sedikit.