Sinopsis C- Drama : My Heroic Husband Episode 6 part 2

 


Original Network : Tencent Video, iQiyi

Kang Xian dan Qin Siyuan bermain catur bersama, seperti biasanya. Namun dalam bermain catur kali ini, cara bermain Qin Siyuan sedikit berubah, ketika dia meletakkan pionnya, dia berpikir keras dan agak ragu. Melihat itu, Kang Xian menertawainya, karena Qin Siyuan tampak terpengaruh oleh Ning Yi.

“Dia bukanlah orang yang sederhana. Bisnis Toko Kain Su bagus, telah menduduki posisi pertama di Jiang Ning. Di balik semua itu adalah menantu kecil ini,” kata Qin Siyuan, memuji Ning Yi dan mengajari Kang Xian.


Tepat disaat itu, Ning Yi datang berkunjung. Dia datang untuk membagikan kartu nama dan mempromosikan toko kain Su.

Kartu nama merupakan hal baru, karena biasanya tidak pernah ada yang namanya kartu nama seperti yang Ning Yi bagikan ini. Oleh karena itu, Qin Siyuan memuji Ning Yi, sebab menurutnya, ide Ning Yi ini sangat tidak biasa dan menarik. Dengan kartu nama, setiap orang akan lebih mengenal toko kain Su dan mengetahui dimana letak nya. Bahkan di kartu nama yang Ning Yi berikan ada tertulis harga kain.


Ditoko. Akuntan A menemukan ada yang salah dalam pembukuan toko kain, dan dia melaporkan hal tersebut kepada Manajer Toko Xi.

“Ini bukan pembukuan toko kita. Seseorang diam-diam mengganti buku besar,” gumam Manajer Toko Xi, melihat data yang ada.


Su Zhongkan mengomentari bahwa Su Yu begitu gegabah dalam memberikan stempel pemimpin kepada Su Tan’er. Lalu seseorang datang dan melapor kepada Su Yu bahwa ada yang salah di dalam pembukuan toko kain. Mendengar itu, Su Yu menerima semua data yang dibawa dan mencoba untuk memeriksa nya.

Melihat itu, Menantu Yao dan Su Tan’er merasa heran ada apa. Sementara Su Zhongkan dan Su Wenxing tersenyum penuh arti.



Ning Yi menemani Qin Siyuan bermain catur. Dan Qin Siyuan berjalan pertama, dia meletakkan pion pertama nya ditempat yang sama seperti Ning Yi meletakkan pionnya dulu, yaitu pojok atas. Sebab dia sudah merenungkan berhari- hari, tapi dia masih belum bisa memecahkan, kenapa Ning Yi meletakkan pion pertama di pojok atas, dan bagaimana Ning Yi bisa menang pada akhirnya. Jadi kali ini, dia mau mencoba. Mendengar itu, Ning Yi tertawa dan bersikap rendah hati.


“Kudengar, hari ini Nyonya Ning sudah mau mendapatkan stempel pemimpin,” kata Kang Xian, tertarik. Dan Ning Yi membenarkan. “Pekan Puisi Puyuan beberapa hari nanti, akan kamu hadiri juga?” tanyanya.

“Kenapa Anda juga mengungkit Pekan Puisi Puyuan ini?” gumam Ning Yi, heran. “Akhir-akhir ini, banyak sekali orang di kota ini yang mengungkit pekan puisi padaku. Sebenarnya untuk apa itu?” tanyanya, ingin tahu.



“Nantinya setiap toko kain akan mengundang gadis panggung untuk tampil. Berpuisi dan bernyanyi, layaknya seniman. Saat itu, aku dan Qin juga akan pergi mendengar,” jawab Kang Xian, menjelaskan. Dan Qin Siyuan menggangukkan kepakanya. “Kami akan melihat penampilanmu nanti,” katanya, menantikan.

“Eh… anda jangan melihatku, aku juga tidak tahu cara bernyanyi. Aku hanya bisa bermain catur,” balas Ning Yi sambil tertawa, merasa malu. Lalu dia melanjutkan permainan caturnya bersama Qin Siyuan.


Setelah semua data diperiksa, ditemukan memang ada yang salah didalam pembukuan kain toko. Dari 138.320 yang dibukukan, ada setengah yang angkanya tidak sesuai. Dan Su Wenxing serta Su Zhongkan langsung mengkritik Su Tan’er. Mereka mengatakan kalau Su Tan’er baru memulai usaha beberapa bulan saja, jadi tidak mungkin bisa mengungguli keluarga anak kedua yang sudah bertahun- tahun berbisnis. Juga mereka mengatai kalau perbuatan Su Tan’er ini sangat tercela, karena Su Tan’er menipu Su Yu hanya demi mendapatkan stempel pemimpin.

Mendengar itu, Su Tan’er diam dan memeriksa semua data yang ada. Dan Menantu Yao merasa khawatir untuknya.


“Kakek, pembukuan ini memang dipalsukan,” kata Su Tan’er, setelah melihat semua buku- buku data yang ada dimeja.

“Benar. Bukankah ini dipalsukan olehmu?” balas Su Wenxing.


Mendengar itu, setiap anggota keluarga Su berpihak kepada Su Wenxing dan Su Zhongkan. Menurut mereka, seorang wanita, wajar bila melakukan kesalahan. Jadi Su Tan’er tidak cocok untuk menerima stempel pemimpin. Lebih baik stempel pemimpin diberikan kepada Su Zhongkan saja.


“Aku paling mengerti anakku. Dia tidak mungkin membuat pembukuan palsu,” kata Menantu Yao, membela Su Tan’er. “Tan’er pintar sejak kecil. Jika membuat pembukuan palsu, pastinya tidak akan ada celah,” jelasnya.

Mendengar itu, Su Zhongkan tertawa keras. “Bagaimana mungkin bisa ketahuan? Tan’er buru-buru ingin mendapatkan stempel pemimpin. Pembukuan ini dibuat tak bagus juga tidak heran,” balasnya.


Su Tan’er mengabaikan tertawaan Su Zhongkan. Dan dengan sikap hormat, dia meminta agar Su Yu memberikannya waktu empat jam untuk mensortir semua data pembukuan. Dan Su Yu mengizinkannya.


Buku baru disiapkan, tinta disiapkan, kuas disiapakan. Setelah semua siap, Su Tan’er menarik nafas dalam. Kemudian dia mulai menulis kembali semua data asli yang pernah dilihatnya didalam buku pembukuan yang asli. Dimulai dari tanggal pengambilan barang, jumlah barang yang diambil, dan nilainya.




Para akuntan berdiri dibelakang Su Tan’er dan bersiap untuk mengecek setiap data dibuku yang selesai Su Tan’er tulis. Sementara Menantu Yao, dia sibuk mengelap keringatnya yang sangat banyak karena rasa khawatir.


Penjaga Geng memanggil Ning Yi dengan panik. “Tuan Menantu. Sesuatu yang buruk telah terjadi. Di rumah ada masalah,” katanya, memberitahu.

Mendengar itu, Ning Yi pun berhenti bermain catur dan pamit.


Setelah para akuntan selesai menghitung semua yang telah Su Tan’er tulis, hasilnya angka yang Su Tan’er tulis, sesuai dengan angka yang Su Tan’er laporkan sebelumnya. Mengetahui itu, Menantu Yao tersenyum bangga. Sementara Su Zhongkan dan Su Wenxing sama sekali tidak menyangka.

“Tidak mungkin,” protes Su Wenxing. “Bagaimana Su Tan’er mengingat pembukuan yang begitu banyak?” tanyanya, curiga.

“Kakak Besar tidak mampu, bukan berarti aku tidak mampu,” balas Su Tan’er dengan sikap tenang dan bangga.


“Sejak Tan’er memulai usaha, setiap malam beristirahat dengan buku besar. Setiap bangun pagi pasti memeriksa perhitungannya. Dia tangani sendiri semua masalah yang ada di toko kain. Tentu dia mengingat lekat setiap tulisan dan barisnya dalam pembukuan,” kata Menantu Yao dengan bangga.

“Benar. Hanya saja kata Kakak Ipar tadi, jika Tan’er membuat pembukuan palsu, pasti tidak akan ditemui kesalahannya. Sekarang pembukuan ini sudah rapi, juga bisa dianggap berkemampuan untuk memalsukannya,” balas Su Zhongkan dengan sinis.

Mendengar itu, Menantu Yao merasa sangat frustasi. “Aku... Aku tadi... Itu tadi tidak berpikir matang hingga mengatakannya langsung,” jelasnya.


Tepat disaat itu, Ning Yi datang. Dengan tidak senang, Su Wenxing mengusir Ning Yi untuk pergi, karena Ning Yi hanyalah seorang menantu, jadi tidak seharusnya datang dan ikut dalam pertemuan sekarang.

“Bukankah kamu ingin bukti?” tanya Ning Yi sambil menunjukkan bon- bon penjualan selama ini. “Ini buktinya. Sejak toko kain istriku dibuka, semua tagihan pembelian dan penjualan, sudah kusimpan seluruhnya. Jika kamu tidak percaya, boleh melihatnya per lembar. Tanyakan dari rumah ke rumah. Setiap barisnya pasti sesuai,” jelasnya denga percaya diri.

Melihat semua bon- bon tersebut, Su Wenxing dan Su Zhongkan jadi tidak bisa berkata apa- apa lagi. Lalu Ning Yi pun pamit kepada semuanya dan pergi.


Masalah selesai, dan Su Yu semakin memuji Su Tan’er, lalu dia berniat untuk memberikan stempel pemimpin kepadanya. Tapi Su Zhongkan langsung protes, tidak peduli betapa hebatnya Su Tan’er, menurutnya Su Tan’er masihlah seorang wanita, dan membiarkan wanita memegang stempel pemimpin, itu bukan hal yang cocok dan mereka akan dikritik oleh orang luar. Tepat disaat itu, Su Boyong datang untuk mendukung Su Tan’er.


“Ada apa dengan pria? Ada apa juga dengan wanita?” tanya Su Boyong dengan keras. Lalu dia memberikan hormat kepada Su Yu. “Ayah memilih pengurus terbaik demi keluarga Su. Bukan menilai dari pria atau wanita,” katanya, menegur Su Zhongkan. “Tan’er gemar menenun dari kecil. Sering kali keluar dari akademi melihat orang menenun, mewarnai kain di toko kain. Bakatnya dalam seni kain dan berbisnis diketahui semua orang di Jiang Ning. Sejak Tan’er mengurus toko kain, usahanya berkembang pesat. Ini fakta yang tidak dapat disangkal siapapun,” jelasnya, berbicara panjang, untuk mendukung Su Tan’er.

Mendengar Su Boyong yang mendukungnya, Su Tan’er merasa sangat tersentuh.


“Tan’er. Pemegang stempel pemimpin tidak hanya bertanggung jawab atas bisnis keluarga Su, tapi juga memikul beban naik turunnya bisnis toko kain. Kamu sebagai seorang wanita, malah berharap menjalani jalur sulit ini. Harus mengeluarkan usaha 10 kali lebih banyak dari pria. Bisakah kamu melakukannya?” tanya Su Boyong dengan serius.

“Tan’er bisa melakukannya,” jawab Su Tan’er dengan tegas dan tanpa keraguan.

“Aturan keluarga Su, menghormati orang tua, membantu sesama, melindungi yang lemah. Bisakah kamu melakukannya?” tanya Su Boyong, lagi.

“Tan’er bisa melakukannya,” jawab Su Tan’er dengan keras.

“Menjalani usaha ke seluruh dunia. Tidak hanya berfokus pada usaha keluarga, tapi juga membantu ekonomi dunia. Bisakah kamu melakukannya juga?” tanya Su Boyong, lagi.

“Tan’er bisa melakukannya!” tegas Su Tan’er.


Dengan panik, Su Wenxing mengajukan protes. Tapi percuma, karena Su Yu sudah membuat keputusan.

Su Yu mengambil stempel pemimpin dan memanggil Su Tan’er untuk mendekat. “Hari ini, aku secara resmi memberikan stempel pemimpin ini padamu,” katanya, dan Su Tan’er menerima stempel pemimpin yang diberikan kepadanya. “Mulai sekarang, hak pengaturan ada di tanganmu. Juga seluruh tanggung jawabnya. Kamu sudah mengerti?” tanyanya dengan sikap serius.

Dengan hormat, Su Tan’er berlutut. “Kakek, Tan’er mengerti,” jawabnya dengan tegas dan tanpa keraguan.

Mendengar jawabannya, Su Yu tertawa puas. Su Boyong dan Menantu Yao sama- sama merasa senang untuk Su Tan’er. Sedangkan Su Wenxing mengepalkan tangannya, sebab dia merasa tidak terima dan iri.


Setelah pertemuan selesai, Su Tan’er menemani Su Boyong berjalan pulang. Dan dengan tulus, dia mengucapkan terima kasih kepada Su Boyong.

Melihat senyum bahagia Su Tan’er, Su Boyong ikut merasa bahagia dan tersenyum. Lalu dia mengulurkan tangannya untuk mengelus kepala Su Tan’er.


Tapi sebelum Su Boyong sempat melakukan itu, Ning Yi lewat. Dan dengan canggung, dia menarik tangannya, lalu dia berdehem keras dan pergi.

“Ayah Mertua. Ayah Mertua,” panggil Ning Yi, merasa bersalah, karena telah mengganggu suasana baik. Dan Su Boyong mengabaikanya.


Untuk merayakan keberhasilan Su Tan’er mendapatkan stempel pemimpin, Ning Yi mengajak Su Tan’er untuk minum arak yang telah di persiapkan untuk mereka. Dan dengan senang hati, Su Tan’er menerima ajakan Ning Yi.

Di luar ruangan. Menantu Yao menguping sambil tersenyum senang.


Setelah minum cukup banyak, Su Tan’er dan Ning Yi sama- sama mulai mabuk. Lalu Ning Yi memberikan telur pitan atau telur Songhua sebagai hadiah untuk Su Tan’er. Dan dengan perhatian, dia menyuapi Su Tan’er.



Saat telur pitan masuk ke dalam mulut, Su Tan’er merasa geli dan langsung ingin memuntahkannya. Tapi Ning Yi segera menutup mulutnya.

“Jangan dimuntahkan. Ini enak,” bujuk Ning Yi. Dan dengan susah payah, Su Tan’er mengunyah dan menelan itu. “Sudah habis dimakan? Rasanya masih lumayan?” tanya Ning Yi, perhatian.

Dengan serius, Su Tan’er mengecap dan berpikir. “Gigitan pertama, memang terasa jijik. Pelan-pelan dirasa, malah ada sedikit aroma,” gumamnya, merasa jatuh cinta dengan telur pitan.

“Telur pitan ini begitu menakjubkan,” kata Ning Yi dengan bangga. “Jangan makan terlalu banyak bisa memabukkan,” jelasnya, memperingatkan. “Kamu sudah mabuk?” tanyanya sambil tertawa.


“Sudah mabuk,” jawab Su Tan’er sambil menggangukkan kepalanya.

“Kamu itu gara-gara minum arak,” ejek Ning Yi, tertawa. Dan dengan kesal, Su Tan’er memukulnya pelan. “Kamu jangan memukulku,” pinta Ning Yi, berhenti tertawa. “Telur pitan ini cocok dengan apapun. Selain dicelupkan dengan bumbu ini, masih bisa dimakan dengan gula. Enak. Masih bisa dimakan dengan madu,” jelasnya.

“Madu enak,” kata Su Tan’er, mengikuti.

“Masih bisa dimakan dengan bubuk saponin,” kata Ning Yi, mulai berbicara agak asal- asalan.

“Bubuk saponin enak,” kata Su Tan’er, mengikuti.

“Dimakan dengan semen.”

“Semen enak.”

“Dimakan dengan aspal.”

“Aspal enak.”

“Dimakan dengan air raksa.”

“Air raksa...” gumam Su Tan’er, merasa bingung apa itu.

Setelah berpikir sesaat, Su Tan’er memukul Ning Yi dengan pelan, karena Ning Yi mempermain kan nya. Lalu dia mengatakan bahwa dia ingin menghukum Ning Yi. Dan Ning Yi tertawa.

“Hukuman apa yang akan kamu berikan?” tanya Ning Yi, mengira Su Tan’er ingin bercanda.


“Aku mau menghukummu untuk menemaniku ke Pekan Puisi Puyuan dua hari nanti,” kata Su Tan’er sambil tersenyum. Dan Ning Yi menolak untuk pergi. “Pergi, pergi, pergi,” paksa Su Tan’er dengan sikap sedikit ngambek. “Semua orang sudah tahu kita menikah. Akan seperti apa jika aku pergi sendiri,” gumamnya, manja.

“Baik. Boleh pergi,” kata Ning Yi, akhirnya setuju.



Lalu Ning Yi berdiri dan meminta bayaran 500 tael. Mendengar itu, Su Tan’er menariknya mendekat dan menatapnya dengan tajam, dia menawar 20 tael. Tanpa terasa wajah dan bibir mereka semakin mendekat dan suasana menjadi agak panas.

“100 Tael saja,” kata Ning Yi.

“55 Tael,” kata Su Tan’er, mulai merasa gugup, melihat betapa dekatnya wajahnya dan Ning Yi sekarang ini.

“20 Tael,” kata Ning Yi.

“Baiklah,” kata Su Tan’er, setuju.

Setelah negosiasi selesai, Ning Yi dan Su Tan’er langsung saling menjauh dengan gugup. Dan Su Tan’er mengipas- ngipas wajahnya yang terasa agak panas.

“Ini adalah arak macan dari Ibu Mertua,” gumam Ning Yi, memperhatikan arak yang diberikan kepada mereka.


“Apa itu arak macan?” gumam Su Tan’er, berpikir. “Arak macan?” gumamnya, tiba- tiba dia teringat adegan saat Ning Yi melepaskan baju dan berlari ke arahnya. “Arak macan! Kamu memberiku makan ini. Kamu tercela!” teriaknya dengan keras, memarahi Ning Yi.

“Bukan, bukan aku yang mengambilnya…” balas Ning Yi, membela diri dengan bingung.

“Kamu penipu!” teriak Su Tan’er, tidak percaya.

Di luar. Mendengar Ning Yi dan Su Tan’er bertengkar kecil, Menantu Yao tertawa pelan. Lalu secara diam- diam dia pergi.


Post a Comment

Previous Post Next Post