Sinopsis C- Drama : Go Ahead Episode 40 END

 

Original Network : Hunan Tv, iQiyi, Mango TV

Selesai makan malam, Xixi dan Chen Ting mengobrol berdua di ruang tamu. Dengan agak gugup, Xixi meminta Chen Ting untuk jangan marah jika nanti dia ada salah berbicara. Dia hanya menganggap Ling Xiao sebagai adiknya, juga dia menghargai hubungan antara Jian Jian serta Ling Xiao, karena dia tahu kalau mereka berdua tumbuh besar bersama, walaupun mereka sempat berpisah sebentar, tapi hubungan mereka masih koko, itu berarti mereka berdua memang bertakdir untuk bersama.

“Minum tehnya, nanti dingin,” kata Chen Ting, tidak berniat untuk mendengarkan tentang Jian Jian.


“Bibi. Kau di Singapura, mungkin tak tahu jelas hubungan mereka saat kecil. Mereka sungguh sangat baik, saling menemani sampai besar, yang melihatnya pasti iri,” kata Xixi, membela Jian Jian.

“Masa kecil mereka, bagaimana kau tahu?” tanya Chen Ting, agak panik.

Xixi menjelaskan bahwa dia tahu, karena Jian Jian ada menulis tentang masa kecil mereka bertiga di Internet. Lalu dia menunjukkan artikel tersebut kepada Chen Ting. Namun Chen Ting tidak mau membaca nya langsung.

Ketika Xixi sudah pergi, Chen Ting pun mengambil hape nya, dan membaca artikel yang barusan Xixi sebutkan dengan perasaan gugup dan panik.

Tang Can menceritakan kepada Mingyue bahwa walaupun Ibu Tang tidak setuju keputusannya, tapi dia akan terus melawan. Dia akan menunjukkan hasil kerja nya secara nyata dan memakai itu untuk membujuk Ibu Tang nanti nya.

Mingyue kemudian gantian menceritakan tentang kedua orang tuanya. Ibu Ming dan Ayah Ming sudah setuju untuk saling bercerai. Dia sebenarnya merasa sedih, tapi dia memaksakan dirinya untuk jangan memikirkan itu.


Kemudian disaat itu, Jian Jian pulang. Dan Mingyue menanyai, kenapa keluarga Ling Xiao mengundang Xixi untuk makan malam pindahan rumah. Dan mendengar itu, Jian Jian merasa bingung, karena dia sama sekali tidak tahu, dan barusan dia pergi makan bersama dengan Du Juan serta Ran.


“Jadi mertuamu pindah rumah, mengundang rekan wanita suamimu, tak mengundangmu? Kau begitu tak diinginkan?” tanya Tang Can, merasa bersemangat untuk mendengarkan gosip.

“Suamiku menginginkanku sudah cukup,” balas Jian Jian sambil mendorong kepala Tang Can supaya menjauhi nya.

Tang Can menebak- nebak, apakah saat kecil dulu Jian Jian begitu menyebalkan. Dan Jian Jian menjawab bahwa itu mungkin saja, karena dulu saat keluarga Ling Xiao baru pindahan di rumah nya, dia memberikan mereka sekotak kacang kenari. Mendengar itu, Mingyue teringat akan kisah Ling Xiao dan menceritakan nya kepada Tang Can yang belum mengetahui apa- apa.

“Dulu Ling Xiao punya seorang adik, lebih kecil darinya, setiap kali Ibunya main mahjong, akan mengunci anak di rumah. Adiknya itu tersedak makan kenari, pintu dikunci dari luar, Ling Xiao tak bisa keluar. Akhirnya anak ini... meninggal,” kata Mingyue, bercerita.

“Aku pertama kali dengar,” kata Tang Can, tidak menyangka. “Tetapi, karena sekotak kenari, membenci Li Jian Jian sampai sekarang?”


“Aku pikir, bukan karena kenari ini. Karena Li Jian Jian tahu semua catatan gelapnya, termasuk Ayah Li, termasuk semua tetangga tahu karena dia pergi bermain baru membuat anaknya meninggal. Setelah bercerai, tak mau anaknya. Terpisah lama dan setelah kecelakaan, baru minta anak menjaganya. Dia melihat Li Jian Jian, mungkin terasa membongkar masa lalu,” kata Mingyue, menebak.

“Dari perkataanmu, dari sudut pandangnya, Ling Xiao lebih baik dengan siapa pun asal bukan Li Jian Jian,” kata Tang Can, menyimpulkan.

Jian Jian sama sekali tidak mau memperdulikan hal tersebut, karena dia yakin semuanya akan membaik seiring berjalan nya waktu. Dan Mingyue setuju dengan nya.

“Kau pengaruhi dia. Jika gagal, terus pengaruhi dia,” kata Tang Can, menyemangati.

Ling Xiao pergi makan bersama dengan Ling Heping. Sambil makan, Ling Xiao menceritakan perasaan nya. Saat dia di Singapura, setiap kali dia ingin sekali menelpon Ling Heping dan meminta Ling Heping untuk membawa nya pulang. Mendengar itu, Ling Heping merasa agak bersalah, karena pada saat itu, dia tidak datang menemui Ling Xiao dan membuat Ling Xiao menderita sendirian. Dan Ling Xiao membalas bahwa dia mengerti, dia tahu Ling Heping tidak datang karena pekerjaan, dan dia tidak menyalahkan Ling Heping.



Tiba- tiba langit bergumuruh dan hujan mulai turun dengan deras. Melihat itu, Ling Xiao mengajukan pertanyaan kepada Ling Heping. “Ayah, sudah lama aku tak memimpikan Yunyun. Apa Yunyun sudah memaafkanku? Hutangku pada Ibu, apa sudah dilunasi?” tanyanya, menantikan jawaban dari Ling Heping.




He Mei datang menjemput Ziqiu yang baru pulang bekerja. Dia memayungi Ziqiu supaya Ziqiu tidak kehujanan. Dan Ziqiu merasa sangat senang.


Li Haichao sibuk membaca buku kesukaan He Mei supaya dia bisa lebih mengerti tentang dirinya dan kesukaan nya.


Jian Jian duduk merenung sambil memandangi hujan yang turun sangat deras diluar jendela kamar nya.


“Chengzi. Kakakmu sudah mengabarimu?” tanya Chen Ting, khawatir.

“Jika Ibu begitu peduli, perlakukan dia dengan lebih baik,” balas Meiyang. Lalu dia masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat.


Chen Ting membaca cerita yang Jian Jian tulis di media sosial. Lalu dia mulai merenungkan semua sikap nya dulu terhadap Ling Xiao.








Jian Jian : Saat musim panas, ada tetangga baru di bawah, orang tuanya sering bertengkar. Kakak tetangga ini selalu duduk di tangga membaca komik. Aku dan Ayahku, mengajaknya makan di rumah. Tak lama, orang tua kakak ini bercerai, Ibunya tak mau dia, dia hidup dengan Ayahnya.

Merenungkan semua sikap jahatnya, Chen Ting merasa sangat menyesal. Dia lalu mencoba untuk menghubungi Ling Xiao.


Ling Xiao tertidur di bahu Ling Heping. Dan ketika ponselnya berbunyi, Ling Heping yang menjawab telponnya.

“Chen Ting. Anak tak bisa jawab teleponmu,” kata Ling Heping, memberitahu.

“Dia... Baik-baik saja?” tanya Chen Ting, dengan pelan. “Aku hanya ingin berbicara dengannya.”


“Kau bisa jangan paksa dia lagi?” keluh Ling Heping, kesal. “Lihat kau sudah paksa dia jadi seperti apa sekarang? Dia menjagamu bertahun-tahun, kau begitu tega menyiksanya? Aku mohon padamu. Baik-baik padanya. Anggap kau berbuat baik, bisa?” pintanya, memohon. Lalu dia langsung mematikan telpon nya.


Chen Ting menangis dengan perasaan menyesal dan memukul- mukul kepalanya sendiri dengan frustasi.


Pagi hari. Ziqiu membanggakan kepada Jian Jian dan Ling Xiao bahwa semalam dia sama sekali tidak kehujanan, karena ada yang menjemput nya. Tapi Jian Jian dan Ling Xiao sama sekali tidak mendengarkan cerita nya.

“Kalian tak penasaran siapa yang jemput?” tanya Ziqiu, meminta perhatian.

“Aku tahu! Ibumu yang jemput. Kemarin hujan, ibumu takut kau kehujanan, dan menjemputmu, antar kau sampai rumah baru pergi. Setetes hujan pun tak kena,” balas Jian Jian dengan kesal. Karena Ziqiu sangat cerewet. Dan Ziqiu tertawa senang.

“Pagi-pagi sudah menyiksaku,” keluh Ling Xiao.


Kemudian tiba- tiba disaat itu, Meiyang datang dan mengetuk- ngetuk pintu mereka. Dan saat Jian Jian membukakan pintu baginya, dia terkejut melihat Meiyang menangis.

“Kak. Ibu hilang. Ini surat yang dia tinggalkan,” kata Meiyang sambil menunjukkan surat yang Chen Ting tinggalkan.

“Kau tahu kapan Ibumu pergi?” tanya Jian Jian, khawatir.

“Kemarin malam sebelum tidur, dia masih menonton TV di ruang tamu. Saat aku bangun, dia sudah hilang,” jawab Meiyang sambil menangis semakin keras.

Selesai membaca surat dari Chen Ting, Ling Xiao langsung pergi untuk mencari Chen Ting. Dan Jian Jian pun langsung menyusulnya. Sedangkan Ziqiu tinggal untuk melapor ke polisi dan menemani Meiyang.


Chen Ting : “Ling Xiao, anakku. Maaf. Aku Ibu yang tak bertanggung jawab, mungkin kehadiranku memberimu luka yang parah. Aku gunakan keegoisanku, dan cintaku yang lemah untuk mengikatmu, dan tak pedulikan perasaanmu.


Sebenarnya selama ini, kau berkorban banyak demi aku. Kau begitu menderita, aku malah tidak tahu. Tetapi aku sungguh tak berdaya。 Aku pernah kehilangan anak perempuanku. Dan satu kecelakaan membuatku kehilangan lebih banyak. Ibuku, pasanganku, kesehatanku. Aku takut kehilangan lagi, terutama kehilangan kamu.


Aku sungguh menyesal, dulu tak membawamu bersamaku. Meski aku begitu menderita dan sangat susah, aku seharusnya menggenggam tanganmu, menghadapinya bersama. Aku benci diriku begitu lemah, dan tak tahu harus bagaimana baru benar.

Aku pikir, menebusnya dengan sisa hidupku, tetapi malah semakin salah. Sekarang aku baru tahu, tak seharusnya menggunakan cintaku ini, untuk mengikat keinginanmu. Saat takdir mengikatku di kursi roda, aku malah mengikatmu di sisiku.

Aku tahu kau sangat menderita, sering susah tidur, tetapi aku menipu diriku sendiri. Aku salah, aku terlalu egois. Aku tak setuju kau bersama Li Jian Jian karena aku takut kembali seperti dulu. Aku ingin menyambut hidup baru, tetapi melihat kau bersamanya seperti mengingatkanku aku pernah membuangmu, pernah melukaimu.




Aku tak pantas mendapat cintamu. Benar, aku tak pantas menjadi ibumu, cintaku terlalu egois. Sekarang aku mengerti, kau tak pernah menjadi milikku. Kau seharusnya hidup sesuai keinginanmu. Kali ini Ibu dengan tulus berharap, kau bisa bahagia. Dan aku sudah harus melepaskan diriku.

Aku mau pergi, jaga Chengzi dengan baik. Aku mencintai kalian. Mohon kalian maafkan aku. Kemudian, lupakan aku.

Ibu, Chen Ting


Ketika Chen Ting terbangun dirumah sakit, orang yang pertama yang dilihatnya adalah Ling Xiao. Dan dia merasa agak terkejut serta tidak berani untuk menatap Ling Xiao.

“Ibu tenggelam, infeksi paru-paru, harus dirawat di rumah sakit. Untung ada dua kakak memancing di pantai, baru bisa menolongmu,” kata Ling Xiao, menjelaskan. “Xiao Chengzi ketakutan, menjagamu seharian. Aku minta dia pulang istirahat. Dia membaca surat Ibu, merasa bersalah, katanya biasanya tidak baik pada Ibu, jadi... surat yang Ibu tulis, tidak membahas dia. Jika merasa salah, hanya hidup baru bisa menebusnya. Jika sudah mati, semua akan berhenti. Kesalahan itu, kejahatan, ingatan menyiksa, akan terus ada di sana. Tak akan berubah jadi baik,” katanya, menasehati sikap Chen Ting.


“Masih bisa jadi baik?” tanya Chen Ting, ragu.

“Aku ingat saat aku kecil, ada bisul di punggung, sangat sakit. Ibu bilang, setelah nanah keluar, luka akan sembuh. Kita bisa jadi baik,” kata Ling Xiao, memberikan perumpamaan. “Lihat, cuaca hari ini sangat bagus,” katanya sambil memegang tangan Chen Ting menggunakan kedua tangannya.



Mendengar itu, Chen Ting menatap ke arah Ling Xiao dan tersenyum kepadanya.

Beberapa hari kemudian, Ling Heping membantu mengantarkan Chen Ting dan Meiyang yang sudah mau pulang ke Singapura.


“Aku terus mencari kesempatan untuk minta maaf padamu,” kata Ling Heping kepada Chen Ting, ketika Meiyang menjauh.

“Kenapa?” tanya Chen Ting dengan lembut.

“Hari itu kau menelepon Ling Xiao, aku yang jawab, 'kan? Perkataanku... terlalu kasar, jadi... malah memojokkanmu,” kata Ling Heping, merasa bersalah. “Dan juga, setelah Yunyun lahir, kau seorang diri menjaga dua anak. Aku terus bekerja, tak di rumah. Saat itu, aku mana tahu gangguan stres pascatrauma. Aku kira setelah beberapa saat akan sembuh. Sebenarnya banyak hal semua salahku,” katanya, mengintropeksi dirinya sendiri. “Maaf.”

“Hal yang sedih ini jangan bahas lagi. Aku sudah melupakannya,” kata Chen Ting sambil tersenyum tenang. “Kelak aku tinggal di Singapura, Xiao Chengzi suka di sana, aku juga terbiasa. Jadi Ling Xiao harus kau yang jaga,” pintanya.

“Memang harus menjaganya. Aku ayahnya,” balas Ling Heping sambil tertawa.


Sebelum pergi, Chen Ting mengucapkan terima kasih kepada Jian Jian dan Ziqiu. Lalu dengan tulus dia mengatakan kepada Jian Jian bahwa kali ini dia akan sungguh menyerahkan Ling Xiao kepada Jian Jian. Jadi mereka berdua harus saling menjaga.

“Tenang saja. Aku jamin dia bahagia,” kata Jian Jian, berjanji. “Bibi, hati-hati di jalan,” katanya. Dan Chen Ting tersenyum mengiyakan.


Setelah Ling Heping pergi untuk mengantarkan Chen Ting dan Meiyang ke bandara. Ziqiu, Jian Jian, dan Ling Xiao langsung berlari untuk bersiap- siap.

Tang Can membantu Jian Jian untuk berdandan. Dan disaat itu, Ibu Ming datang untuk mengantarkan makanan- makanan buatannya. Dan seperti biasa, dia bersikap agak cerewet.


“Aku buatkan kalian banyak makanan enak. Kali ini tak ada saus Sacha,  aku sudah ingat. Tang Can alergi itu, 'kan? Kali ini aku buatkan, pasta kacang. Ini kalian suka, 'kan?” kata Ibu Ming dengan bersemangat.

“Terima kasih, Bibi,” balas Tang Can.

“Lihat rumah kalian berantakan, nanti aku bantu bereskan. Tak tahu bagaimana kalian bisa menikah,” keluh Ibu Ming.

“Bibi, aku bantu,” kata Jian Jian, menawarkan bantuan. Tapi Ibu Ming menolak.

“Bibi Jin tetap sama. Bibi Jin yang selalu mengomentari kita,” bisik Tang Can kepada Jian Jian. Dan Jian Jian setuju dengannya.


Mingyue pergi ke sungai dan melepaskan ikan- ikan peliharaannya.

Jian Jian dan Ling Xiao selesai berdandan. Lalu mereka ingin berciuman. Tapi tiba- tiba Li Haichao yang sudah selesai berdandan keluar dari kamar dan mengejutkan mereka berdua.



Didalam mobil. Ziqiu merasa agak gugup. Sedangkan He Mei bersikap sangat tenang. “Kafemu mau dipindah tangan, 'kan?” tanya He Mei.

“Benar. Meskipun... sekarang mulai dapat untung, tetapi aku... pembuat kue, aku ingin buat kue. Setelah kafe ini terjual, aku ingin... buka toko kue di lokasi wisata,” jawab Ziqiu dengan agak gugup. “Nanti aku minta Bibi Luo Hong bantu pilih tempat, boleh?”

“Tentu saja boleh,” jawab He Mei.



Mendengar itu, rasa gugup Ziqiu agak menghilang. “Aku tak pernah menyangka, ada suatu hari aku mengantar Ibuku untuk menikah,” katanya dengan agak geli. “Ayahku akan baik padamu, Ibu juga harus baik padanya. Kelak adalah hari baik. Semoga kalian bahagia,” katanya, memberikan selamat.

Dengan erat, He Mei memegang tangan Ziqiu dan tersenyum kepadanya.


Akhirnya, Li Haichao dan He Mei resmi menikah. Dan tanpa ragu, Jian Jian langsung memanggil He Mei dengan sebutan ‘Ibu’.


Setelah mengantarkan Chen Ting dan Meiyang ke bandara, Ling Heping langsung datang ke tempat pemotretan. Dan ikut berfoto bersama dengan semuanya sebagai satu keluarga utuh.

“Satu … dua … tiga …” :D Cheese. Klik.


Post a Comment

Previous Post Next Post