Malam hari, saat Caijin sudah tidur, Chuntao
bertanya- tanya kepada Xiaocheng bagaimana masa depan mereka nantinya. Dan
Xiaocheng juga tidak tahu bagaimana, lalu dia menyesali bahwa seharusnya dia
berhati- hati hari itu. Jika seandainya, dia tidak terjatuh, maka dia tidak
akan menjadi begini.
“Ini sudah terjadi, mau bagaimana lagi. Namun
dia akan menderita,” gumam Chuntao sambil menatap Caijin
disampingnya, merasa stress.
“Tidurlah dulu,” balas
Xiaocheng.
Keesokan paginya, Caijin sudah mulai mencuci
baju disungai. Lalu sebelum itu, dia sudah membersihkan rumah juga.
Sehingga ketika Xiaocheng dan Chuntao bangun,
rumah sudah bersih semua. Dan ketika Chuntao mengetahui itu, dia merasa sangat
tersentuh.
Lalu sebelum Caijin berangkat ke sekolah, dia
pergi ke kebun dan memetik sayuran. Jari tangannya sampai terluka, tapi karena
terburu- buru, dia hanya menutupi luka dijarinya menggunakan kertas saja.
Kemudian setelah itu, dia pulang dan menaruh sayuran yang barusan dipetiknya
dirumah. Barulah dia berlari pergi ke sekolah.
Dikarenakan, Guru Qiuxiang sedang menerima
pelatihan diluar kota, maka Guru Liang yang akan menggantikannya selama
sementara. Dan saat Caijin datang telat, dia menanyai Caijin, kenapa Caijin
telat. Tapi Caijin tidak menjawab, sehingga Guru Liang merasa agak tidak senang
dengan Caijin, namun dia tidak terlalu memarahi Caijin dan mentoleransi
ketelatannya.
Sebenarnya, ketika Guru Liang bertanya,
Caijin hanya diam saja dan menundukkan kepalanya, sebab dia merasa malu untuk
bercerita. Dan saat Guru Liang menyuruhnya untuk duduk, dia merasa lega dan
duduk ditempatnya dengan patuh.
Jam istirahat pertama. Lingli menanyai
Caijin, kenapa barusan Caijin telat, karena biasanya Caijin tidak pernah telat
sama sekali. Dan Caijin malu untuk bercerita, karena dia tidak ingin yang lain
tahu.
“Kita ini teman baik, setidaknya kamu bisa
memberitahu ku,” kata Lingli, perhatian. Tapi Caijin tetap
tidak mau bercerita. “Caijin, jika kamu memberitahu ku, aku bisa
membantu mu,” bujuk Lingli.
“Kamu janji
tidak akan memberitahu yang lain?” tanya Caijin dengan ragu- ragu.
“Aku janji,” jawab
Lingli.
Caijin kemudian menceritakan tentang
masalahnya. Setelah itu, dengan panik, dia meminta Lingli untuk jangan beritahu
orang lain. Dan Lingli merasa khawatir serta heran, menurutnya Caijin lebih
baik memberitahu yang lain, sehingga mereka bisa membantu Caijin. Namun Caijin
tidak mau, karena dia tidak mau dipandang rendah nantinya. Dan Lingli merasa
stress untuk Caijin.
“Ayo,
berjanji!” ajak Caijin
sambil mengangkat jari kelingkingnya.
“Baiklah.
Jika kamu membutuhkan bantuan, beritahu aku,” balas Lingli sambil memegang jari kelingking
Caijin menggunakan jari kelingkingnya.
“Janji adalah
janji. Jika kamu ingkar janji, maka kamu babi,” nyanyi Caijin.
Setelah itu, Lingli memberikan MP3 nya kepada
Caijin.
Jam istirahat kedua. Caijin berlari pulang ke
rumah hanya untuk membuang air kencing Xiaocheng yang sudah penuh didalam tempat
tampung kencing. Setelah itu, dia langsung berlari pergi ke sekolah lagi.
“Aku akan
pulang cepat setelah pulang sekolah,” teriak Caijin, memberitahu.
Pulang sekolah. Caijin langsung berlari
pulang ke rumah. Melihat itu, Xiaohu dan murid- murid yang lain merasa
penasaran ada apa dengan Caijin.
Saat pulang sekolah, Caijin langsung sibuk.
Mencuci sayur, memberikan makan ternak (babi), memasak, dan merebus obat untuk
Xiaocheng.
Melihat itu, para tetangga memuji betapa
berbaktinya Caijin dan betapa beruntungnya Xiaocheng serta Chuntao.
Lalu saat sudah malam, karena saking
lelahnya, Caijin tertidur diatas meja saat sedang mengerjakan PR sekolahnya.
Disekolah. Guru Liang memarahi Caijin, sebab
Caijin tidak ada mengumpulkan Lingli. Disaat itu, Lingli mengangkat tangannya
dan memanggil Guru Liang, dia ingin memberitahukan tentang masalah Caijin. Tapi
Caijin langsung memberikan kode agar Lingli jangan bercerita. Sehingga Lingli
pun tidak jadi bercerita, dan beralasan bahwa dia mau ke kamar mandi. Mendengar
itu, para murid tertawa.
“Peng Caijin,
pikirkan sikapmu. Duduk!” kata Guru
Liang, memperingatkan Caijin dengan sikap tegas. Melihat itu, Xiaohu dan teman sebangkunya menertawai Caijin.
Paman kedua membantu Chuntao menjual hasil-
hasil anyaman nya, dan dia bahkan membantu Xiaocheng menemukan pembeli tahu,
sehingga Xiaocheng tidak perlu pergi ke pusat kota lagi untuk berjualan. Dan
untuk berterima kasih, Chuntao memberikannya uang rokok, tapi Paman kedua
menolak.
“Kita
tetangga, tidak apa- apa,” kata Paman
kedua, sangat baik hati. Lalu dia pamit dan pergi. Dan Xiaocheng serta Chuntao
sangat berterima kasih padanya.
Sepulang sekolah, Caijin langsung pergi
mengambil kayu bakar. Lalu dia memikul kayu bakar seberat itu sendirian.
Malam harinya, Caijin mengerjakan PR. Kali
ini, walaupun dia merasa ngantuk, dia bertahan untuk tetap terjaga dan
menyelesaikan PR nya.
Disekolah. Saat jam istirahat pertama, Xiaohu
menghampiri Caijin. Dia salah paham dan mengira kalau selama ini Caijin selalu
berlari sebelum dan setelah pulang sekolah, itu karena Caijin sedang berlatih
untuk mengalahkannya. Jadi dia menantang Caijin untuk bertanding lari
melawannya sekali lagi.
Tanpa menjelaskan apapun, Caijin menerima
tantangan Xiaohu. Dan para murid- murid tertawa dengan bersemangat.
Seperti sebelumnya, beberapa murid menyoraki
Caijin dan beberapa murid lagi menyoraki Xiaohu. Dan dalam perlombaan kali ini,
Caijin berhasil menang melawan Xiaohu. Lalu dengan senang, dia berlari
berkeliling sambil tertawa bebas. Dan para murid- murid yang mendukungnya
merayakan kemenangannya.
Jam istirahat kedua. Caijin berlari pulang ke
rumah untuk memanaskan obat untuk Xiaocheng. Setelah siap, dia langsung berlari
pergi ke sekolah lagi.
Hari- hari berlalu. Setiap harinya, Caijin
selalu berlari. Berlari pergi ke sekolah, berlari pulang ke rumah, berlari dan
berlari secepat mungkin, sehingga dia tidak telat ke sekolah dan bisa membantu
kedua orang tua nya.
Suatu hari, dokter yang selalu datang untuk
mengecek Xiaocheng memberitahu bahwa dia tidak bisa datang lagi besok. Jadi dia
akan meninggalkan beberapa suntikan untuk Xiaocheng, sehingga Xiaocheng bisa
menyuntik obat sendiri. Dan ini hanya untuk seminggu saja, kemudian dia akan
datang lagi.
Ketika Caijin pulang dari sekolah dengan
membawa kayu bakar, dia terkejut melihat Xiaocheng sedang menyuntik lengannya
sendiri. Dan dia merasa sangat khawatir.
“Mengapa kamu
tidak membiarkan dokter yang melakukannya?” tanya Caijin sambil menghentikan Xiaocheng
agar jangan menyuntik.
“Dokter bilang dia tidak bisa datang,” kata
Xiaocheng, menjawab.
“Mengapa? Ma,
apa yang Dokter katakan?” tanya Caijin, panik dan khawatir.
“Diklinik
hanya ada sedikit Dokter, jadi dia tidak bisa datang,” jawab
Chuntao, menjelaskan.
“Tidak apa.
Dokter bilang aku hanya perlu praktek,” kata Xiaocheng, menenangkan Caijin.
“Pa, hentikan
itu!” kata
Caijin, merasa stress sambil menangis.
Tengah malam, ketika Xiaocheng dan Chuntao
sudah tidur. Caijin membaca buku tentang caranya menyuntik. Sesudah itu, dia
mempraktekkan nya dengan menyuntik dirinya sendiri. Dan saat berlatih, dia
meringis kesakitan dan air matanya sambil keluar.
Ketika Xiaocheng tidak sengaja terbangun, dia
melihat suntikan yang diletakkannya didalam laci meja menghilang, jadi dia
keluar dari kamar untuk memeriksa.
“Caijin,” panggil
Xiaocheng.
Mendengar panggilan itu, Caijin langsung
memandamkan lampu minyak yang dinyalakan nya. Tapi dia tetap saja ketahuan,
saat Xiaocheng menyalakan lampu ruangan.
Ketika Xiaocheng melihat apa yang sedang
Caijin lakukan, dia merasa panik dan terjatuh. Dan Caijin langsung mendekat
untuk membantu Xiaocheng.
“Caijin,” kata Xiaocheng sambil menarik lengan baju
Caijin untuk memeriksa lengannya, dan saat dia melihat banyaknya bekas suntikan
dia lengan Caijin, dia merasa sangat bersalah dan stress.
“Pa, aku
tidak apa. Ini tidak sakit, hanya seperti gigitan nyamuk saja,” kata Caijin, menenangkan Xiaocheng. “Oh ya pa,
aku sudah menemukan cara suntik yang benar. Lain kali, aku yang akan
menyuntikmu. Dan kamu tidak akan merasa sakit,” jelasnya, penuh perhatian.
“Papa percaya
padamu. Papa percaya padamu,” kata
Xiaocheng, merasa tersentuh. “Maaf,” gumamnya,
sedih.
“Apa yang
kamu katakan, pa?” keluh
Caijin. “Sekarang aku
mengerti capeknya pekerjaan rumah. Tapi tidak apa, aku sudah bisa melakukan
semuanya,” jelasnya
dengan bersemangat. “Pa, jangan
nangis,” bujuknya.
“Papa tidak
nangis,” kata Xiaocheng sambil tersenyum.
Keesokan harinya. Caijin yang menyuntikan
obat ke lengan Xiaocheng. Melihat itu, para tetangga memuji- muji Caijin, dan
mereka berpendapat kalau sudah besar nanti Caijin menjadi dokter, banyak orang
yang akan tertolong. Mendengar semua pujian tersebut, Xiaocheng merasa senang
dan bangga.
Disekolah. Guru Liang mengingatkan Caijin untuk membayar uang sekolah, sekitar 200 yuan. Karena hanya tinggal Caijin yang belum membayar. Dan Caijin mengangukkan kepalanya sebagai tanda dia mengerti.