Images by : TvN
Part
1 : The Children of Prophecy
Di tengah sebuah hutan, di sebuah
gubuk, terlihat seorang wanita yang sedang tidur bersama seorang bayi. Dalam tidurnya,
wanita itu terlihat sangat gelisah. Tanpa ada yang menyadari, seekor ular putih
merayap mendekati wanita dan bayi tersebut.
Wanita itu, Asa Hon, bermimpi. Mimpi seorang
anak pria kecil memegang sebuah golok berwarna putih di tangannya dan tertawa. Anak
itu berkata : Pria itu terkutuk. Berikan
padaku!
“Tidak! Tidak, kumohon…,” gumam Asa
Hon.
Ular itu membuka mulutnya dengan
sangat lebar di depan bayi berbibir keunguan. Dan mata bayi itu bersinar.
“TIDAK!” teriak Asa Hon.
Arthdal Chronicles
Di zaman
manusia turun dari pohon, mereka belajar memakai api dan membuat pisau tajam, menciptakan
roda dan mulai meratakan jalan, dan akhirnya belajar menanam benih dan tinggal
di satu tempat, tapi mereka tak punya bangsa atau raja. Homo sapiens tak punya
impian dan belum mencapai puncak piramida alam yang agung. Negeri nenek moyang
kita yang jaya. Tempat ini, Arth.
Di tengah hutan, sekelompok orang dengan
membawa senjata pedang dan panah berlarian. Dan seolah ada binatang buas yang
bergerak dengan sangat sangat cepat, satu persatu mereka mati terbunuh
tercabik. Tapi, bukannya lari ketakutan, mereka malah berusaha mengejar ‘sang
pembunuh’.
Dalam pengejaran itu, satu persatu
mati terbunuh, hingga hanya tersisa satu orang. Orang yang tersisa tampak panik
dan ketakutan. Dia mulai bergegas membuat sinyal api dengan membakar gulungan
kayu, tapi gulungan kayu itu tidak mau terbakar juga. Dia semakin ketakutan.
Dan saat itulah, muncul sangat pembunuh.
Pembunuh itu bahkan tanpa ragu berjalan di atas api, seolah tidak merasakan
rasa terbakar. Kuku jarinya sangat runcing layaknya binatang buas.
“Negeri ini milik semua orang,” ujar
sang pembunuh, dengan bahasa Neanthal.
Nafas sang korban memburu kekakutan. Dan
saat itulah, sekumpulan panah di luncurkan. Sang pembunuh langsung berlari
tanpa sempat membunuh ke dalam hutan. Panah yang di tembakan, malah mengenai sang
korban, yang adalah rekan mereka.
Pria itu berteriak kalau tidak ada
siapapun di sini. Saat itu, sekelompok rekannya yang lain tiba dan segera memberi
tanda dengan terompet agar panah berhenti di tembakkan. Mereka segera menolong
rekan mereka tersebut dan mencabut panah yang tertancap di bukunya.
“Sial! Hanya satu Neanthal melakukan
ini pada kita!” umpat salah seorang. “Hanya satu hewan hina!”
Orang yang terluka itu memberitahu Mubaek
yang adalah ketua kalau sang Neanthal (orang yang menyerangnya tadi) berlari ke
arah sana. Pengejaran kembali di lakukan. Sekelompok orang mengejar seorang pria,
suku Neanthal!
“Saat kapan semua mulai kacau? Ya, saat itulah awalnya,” pikir
Mubaek.
--
Beberapa tahun sebelumnya,
Di tepi sebuah tebing, di adakan
sebuah pertemuan di antara 2 jenis spesies manusia. Saram dan Neanthal.
“Di hari itu kulihat makhluk berdarah biru dengan bibir biru, para
Neanthal, untuk kali pertama dalam hidupku.”
Pemimpin Neanthal bernama Raknruv. Di
sisinya adalah seorang wanta yang bertugas sebagai penerjemah, dan penjaganya,
Ragaz. Mereka menggunakan bahasa yang berbeda dari Saram, karena itu memerlukan
penerjemah. Saram menggunakan bahasa Korea seperti yang kita kenal.
“Katakan Saram, apa yang kau inginkan?”
ujar Raknruv.
Pemimpin Saram yang mewakili pertemuan
Sanung, dengan penerjemahnya adalah Asa Hon, memberitahu apa yang di ingikannya.
Sebuah kerja sama dengan Neanthal. Raknruv menolak kerjasama, karena mereka
berbeda dalam segala aspek. Jadi untuk apa dia bekerjsa sama dengan Saram?
“Untuk kemakmuran yang berlimpah,”
jawab Sanung.
“Berlimpah?
Alam menyediakan semua kebutuhan kami. Apa lagi yang kami butuhkan?”
Mubaek segera membuka dan menunjukkan
apa saja yang telah bawa untuk Neanthal. Ada kacang, jelai, gandum dan hia
serta bawang putih.
“Kultivasi dan agrikultura. Kekuatan
hebat kalian dan keahlian kami. Lahan subur kalian, Dataran Bulan, dan
kebijaksanaan peradaban Arthdal. Gabungkan kekuatan, kita akan mencapai
kemakmuran yang berlimpah.”
“Berlimpah?
Untuk apa?”
“Untuk bangsa. Ayo membangun bangsa
bersama. Lewat bangsa kita, kita akan menguasai semua makhluk hidup dan berdiri
di puncak piramida. Untuk membangun bangsa, butuh pertanian berskala besar. Di negeri
kalian, Dataran Bulan.”
Sayangnya, Neanthal tidak menginginkan
apa yang Saram miliki. Terutama hia dan bawang putih, kami tidak memakan semua
itu. Negosiasi kerja sama gagal dengan penolakan dari Neanthal.
Sanung terlihat marah dengan gagalnya
negosiasi tersebut.
“Begitu saja, pimpinan Harimau pun pergi. Mereka tak butuh apapun
yang kami, Saram, miliki.”
Saram kembali ke daerah mereka dan
wajah bermuram durja. Dan hal itu tentu bisa di pahami oleh semua masyarakat
Saram. Seorang bahkan berkata kalau itu artinya adalah perang. Tanpa Dataran
Bulan, separuh warga Arthdal akan mati kelaparan. Karena Dataran Bulan adalah
tempat yang subur.
“Sanung Niruha berkata dia mau mengirim
hadiah untuk mencoba membujuk mereka sekali lagi,” beritahu Asa Hon. “Aku akan pergi
ke Atturad untuk mengantar hadiahnya.”
Kabar itu juga sampai kepada Tagon. Tagon
sendiri sedang asyik memberi makan burung yang berada di dalam kandang. Burung itu
adalah burung penangkap serangga. Burung itu datang dari Gunung Puncak Putih
saat fajar, dan saat senja kembali ke asalnya.
“Negosiasinya gagal,” beritahu Mubaek.
“Itu artinya, perang,” senyum Tagon.
“Benar, perang di mulai. Namun, perang berakhir sangat cepat.”
Semua petinggi Arthdal berkumpul di atas
bukit.
“Hari itu, matahari terbit di utara. Setahun sekali, Neanthal berkumpul
untuk merayakan bulan sabit. Festival ini biasanya berlangsung tujuh hari. Itu kesempatan
emas. Kami temukan penyakit menular yang hanya menjangkiti Neanthal dan hewan. Hadiah
yang ingin Sanung kirim kepada mereka adalah koleksi kain yang di taruh di
kuda-kuda yang tertular penyakit. Dan Asa Hon adalah … tumbal.”
Asa Hon pergi mengantarkan hadiah kain-kain
kepada Neanthal, sesuai perintah Sanung. Dan yang tidak di sadarinya, semua
kain itu adalah kain yang telah tertular penyakit yang hanya menyerang Neanthal.
Dan karena kain yang di bawanya, banyak Neanthal yang akhirnya meninggal karena
penyakit.
Asa Hon begitu terkejut saat menyadari
hal itu. Hati lembutnya tidak tega, dan dia menyelematkan bayi Neanthal yang
masih bertahan. Pengawal yang mengiringinya memberitahu kalau Atturad akan
segera di bakar, jadi Asa Hon harus ikut pergi bersamanya.
Dari atas bukit, Saram melemparkan
panah api ke arah Atturad, dimana Festival Musim Semi Neanthal di lakukan. Api itu
melahap habis Atturad dan membunuh banyak Neanthal.
“Kami buat kebakaran besar di Atturad.”
Panah-panah yang di lemparkan itu di
ikat pada kaki burung pemakan serangga, dimana seperti yang di katakan Tagon,
saat senja burung itu akan kembali ke puncak Gunung Putih. Dimana Neanthal
berada. Kedukaan meliputi Neanthal.
Ragaz sangat marah melihat apa yang
terjadi pada bangsanya. Asa Hon tidak mau ikut pergi dengan pengawalnya. Dia marah
karena mereka menyerang Neanthal dengan tipuan mengerikan seperti ini. Jika
Sanung tahu…
“Asa Ron Niruha (Niruha adalah gelar
kehormatan) dan Sanung Niruha yang memberi perintah. Ayo, kita harus pergi
sekarang!”
“Aku tidak akan pergi. Beritahu
mereka, Aramun Haesulla, pendiri Serikat Arthdal, sudah tewas! Hanya tersisa
orang licik yang memakai namanya,” ujar Asa Hon penuh kemarahan.
Dan saat itu Ragaz muncul dan membunuh
pengawal Asa Hon.
“Kaum kalian sangat jahat!” marah Ragav.
Tapi, dia juga dalam kondisi terluka parah hingga tidak sanggung berdiri. Dia pun
menyelematkan seorang bayi.
“Kuatkan dirimu. Kita harus pergi dari
sini!”
“Kau kalian…”
“Maafkan aku,” tangis Asa Hon. “Namun,
kita harus selamatkan anak-anak. Bersama-sama!”
ajak Asa Hon.
Ragaz terkejut mendengar ucapan Asa
Hon, yang memilih menyelamatkan Neanthal dan mengkhianati Saram.
Para prajurit Saram, tiba di Atturda
dan menghabisi semua Neanthal yang telah tidak berdaya. Dan mereka tertawa puas, menyebut Neanthal sebagai hewan buas.
“Neanthal jauh lebih kuat dan gesit daripada kami. Punya mata yang
bisa melihat dalam gelap, martabat spesies terkuat, kekuatan spiritual untuk bermimpi,
tapi kami, Saram, punya api, pisau, dan seni bela diri. Kami bisa berencana dan
berkomplot, punya keinginan memuaskan keserakahan. Yang terutama, kami punya Tagon. Festival bulan sabit, burung
penangkap serangga, api, dan penyakit menular… seluruh rencana di buat oleh
bocah itu, yang bahkan belum cukup dewasa untuk di sebut pemuda.”
Walau Saram telah menang dalam perang,
namun hal itu membuat mereka bertambah khawatir karena beberapa Neanthal masih
selamat. Mereka yang dapat bertahan dalam perang, adalah yang paling berbahaya.
Dan pemburuan Neanthal di mulai! Mereka akan menghabisi semua Neanthal.
“Walau menang, kami masih takut. Karena itu kami jadi kejam. Perangnya
singkat, tapi perburuannya lama. Neanthal yang tak sakit… luar biasa kuat.”
Dan berlalulah beberapa tahun dengan pemburuan
Saram terhadap Neanthal. Dan selama beberapa tahun yang berlalu itu, terlihat
sebuah komet biru. Dan seorang bayi lahir saat komet biru terlihat.
Tags:
Arthdal Chronicles