Original
Network : Hunan Tv, iQiyi, Mango TV
Ziqiu memberitahukan Li Haichao dan Ling
Heping bahwa dia ingin berkuliah diluar negri. Dan mendengar itu, mereka berdua
tertegun. Mereka mengira Huaguang pasti datang mencari Ziqiu lagi. Dan Ziqiu
membenarkan, tapi dia juga berpikir bahwa bisa berkuliah diluar negri adalah
hal yang bagus.
“Bukankah kamu selalu ingin bersama Ling Xiao, kuliah di Beijing?” tanya Ling Heping, heran.
“Tapi
kuliah diluar negri bisa lebih baik,” jawab
Ziqiu dengan agak tidak enak. “Dulu
keluarga kita tidak mampu, jadi aku tidak memikirkan itu. Lagian ini adalah hal
yang bagus. Pertama, Ayah tidak perlu membiayai kuliah ku lagi dan itu bisa
mengurangi bebanmu,”
jelasnya.
“Beban
apa?” balas Li Haichao. “Keluarga kita juga tidak terlalu sulit.”
“Tapi Ayah
terlalu susah. Dua hari lalu Ayah sakit. Juga pinggang dan bahu Ayah, setiap
hari bua mie, pinggang tidak pernah tegak, dan selalu pakai salep,” jelas Ziqiu, perhatian.
“Semua
orang dewasa begitu, semuanya susah…” balas Li
Haichao.
“Aku tidak
mau Ayah lelah. Dan aku sungguh ingin pergi. Biarkan aku pergi,” tegas Ziqiu. “Setelah
lulus, aku akan pulang,”
janjinya.
Mendengar itu, suasana menjadi agak canggung
dan tidak nyaman. Ziqiu merasa sedih, tapi dia tidak berani untuk menampakkannya
dan tidak bisa mengatakannya. Li Haichao menangis dan berjalan menjauh. Ling
Heping berusaha untuk meringakan suasana, tapi tidak bisa.
“Baiklah.
Pergilah,” gumam Li Haichao dengan pelan. Lalu dia
masuk ke dalam kamarnya. Dan dengan sedih, Ziqiu menangis serta melanjutkan
makannya lagi.
“Makanlah,
jangan menangis, nanti tersedak,” kata
Ling Heping, berusaha menghibur Ziqiu. “Ayahmu
hanya tidak merelakanmu,”
jelasnya. “Setelah keluar negri, kamu tidak bisa makan
ini lagi,” gumamnya.
Mendengar itu, Ziqiu semakin menangis sedih.
Jian Jian ingin membelikan hadiah sepatu
untuk kedua kakaknya, tapi uangnya masih kurang 200. Dan dia ingin meminjam
uang Mingyue. Mendengar itu, Mingyue menyarankan bahwa dia yang akan membelikan
hadiah ulang tahun untuk Ling Xiao nantinya, sementara Jian Jian belikan saja
untuk He Ziqiu sebagai hadiah masuk kuliah.
“Tidak
bisa. Aku harus berikan sendiri. Jika kakak ku tahu, aku akan disiksa sampai
mati,” kata Jian Jian, tidak setuju.
“Baiklah,” kata Mingyue, mengalah. Dan Jian Jian merasa
sangat senang.
Jian Jian masuk secara diam- diam ke dalam
rumah sambil membawa hadiah yang sudah dibelinya. Dan dia menyembunyikan hadiah
itu didalam kamarnya. Lalu dia pergi ke kamar Ziqiu dan memanggil Ziqiu, tapi
Ziqiu sama sekali tidak menjawab dan pintu kamarnya juga dikunci.
“Kenapa
masih tidur? Bangun!” teriak
Jian Jian, mengeluh.
Disaat itu, Li Haichao keluar dari kamar. Dan
dia pamit kepada Jian Jian, karena dia mau ke toko. Mendengar itu, Ziqiu pun
keluar dari kamar.
“Ayah,” panggil Ziqiu.
“Kalian
nanti beli sayur, dirumah tidak ada sayur lagi,” kata Li
Haichao dengan lemas. Dia tampak jelas sedang menghindari Ziqiu.
Menyadari hal itu, Jian Jian menanyai, apakah
mereka berdua sedang bertengkar. Dan Li Haichao menyuruh Jian Jian untuk
meminta Ziqiu saja yang menjelaskan, atau tunggu Ling Xiao pulang saja, baru
dia jelaskan sekalian. Mendengar itu, Ziqiu merasa gugup.
“Apa
kalian membahas ulang tahun Kakak? Nanti dia pulang, kita rayakan,” kata Jian Jian, berpikiran polos.
“Nanti
lihat lagi,” balas Li Haichao. Lalu diapun pergi.
Dengan gugup, Jian Jian kemudian pura- pura
menanyai Ziqiu, apakah hadiah sepatu cukup bagus. Dan Ziqiu mengiyakan dengan
lemas. Lalu dia masuk kembali ke dalam kamarnya.
Ling Xiao membaca satu persatu pesan ‘selamat ulang tahun’ yang keluarganya kirimkan kepadanya. Dan dia
tersenyum membaca semua itu.
Lalu ketika Paman Chen muncul, Ling Xiao
berhenti membaca pesan diponselnya dan memakan makanan nya.
“Ibumu
sudah begini, kamu masih bisa tertawa?” tanya Paman Chen, agak ketus. “Dua hari
lagi aku pulang, aku sudah diskusi dengan Paman Xiaojin, untuk minta perawat.
Setelah dia bekerja, dia akan kemari. Lagipula kamu mulai kuliah di September.
Dalam waktu ini, kamu temani Ibumu, jaga Ibumu. Karena harus ada yang menjaga
dia,” katanya,
memutuskan.
“Dua hari lagi aku harus pulang,” balas Ling
Xiao, menolak. “Aku rindu
adikku,” jelasnya.
Mendengar
alasan itu, Paman Chen memarahi Ling Xiao. Dan Ling Xiao tidak peduli serta
mengabaikannya. Paman Chen kemudian mengungkit masa lalu, dia menjelaskan bahwa
Chen Ting benar, kematian Yunyun (Adik Ling Xiao) dulu adalah karena Ling Xiao.
Dan bahkan setelah Yunyun meninggal, Ling Xiao sama sekali tidak ada menangis.
Jadi pantas saja Chen Ting bercerai dan meninggalkan Ling Xiao.
Mendengar
itu, Ling Xiao tetap diam saja. Dan ketika Paman Chen pergi, dia berhenti
menguyah makanan nya.
Malam hari.
Ling Xiao memperhatikan formulir pendaftaran universitas nya cukup lama. Lalu
Meiying tiba- tiba mematikan lampu ruangan. Dan Ling Xiao merasa heran, kenapa
Meiying belum tidur juga.
“Happy Birthday…Happy Birthday…Happy Birthday…Happy Birthday, Ling Xiao gege,” nyanyi
Meiying sambil membawakan kue ke hadapan Ling Xiao. “Kakak, buat
harapan,” katanya.
“Aku ulang tahun tidak pernah buat harapan,” gumam Ling
Xiao, pelan. “Karena… aku tidak
pernah melihat adanya mukjizat. Jadi tidak percaya adanya dewa,” jelasnya.
“Ada. Tapi dewa tinggal disurga sangat jauh,
harus buat harapan dihati dengan keras baru terdengar,” balas
Meiying.
“Sungguh?” tanya Ling Xiao, masih tidak percaya. Tapi
dia tetap mencoba. Dia menutup matanya dan berdoa.
Setelah Ling
Xiao selesai membuat harapan, dia meniup lilin dikuenya. Dan Meiying bertepuk
tangan. Lalu dia menyalakan lampu ruangan lagi.
“Maaf, kakak. Aku telah ke toko kue, hanya
tersisa sepotong kecil ini,” kata Meiying. Dan Ling Xiao sama sekali
tidak masalah. “Kita
makanlah. Aku ambil garpu,” ajaknya dengan bersemangat.
Melihat
sikap baik Meiying kepadanya, Ling Xiao menjadi merasa dilema dan dia memandang
kembali formulir pendaftaran universitas nya. Lalu dengan sedih dan berat hati,
dia menutup laptopnya.
Ketika Ling
Xiao pulang, Jian Jian langsung berlari ke arahnya dan melakukan pelukan
beruang. “Akhirnya
kamu pulang. Aku sangat merindukanmu,” katanya dengan manja.
“Cepat turun, panas,” pinta Ling
Xiao. Tapi Jian Jian menolak. Dan karena itu, Ling Xiao pun berjalan sambil
mengendong Jian Jian.
Melihat itu,
Li Haichao menghela nafas pasrah. “Xiao Jian ini. Tidak seperti perempuan,” keluhnya.
Saat makan,
Li Haichao menegur sikap Jian Jian yang seperti monyet. Dan Jian Jian tidak
merasa bersalah, karena dia hanya memeluk saja, sedangkan diluar sana banyak
orang yang berciuman dijalanan.
“Aku tidak peduli orang lain. Kamu adalah putriku,
aku harus peduli,” jelas Li
Haichao. Dan mendengar itu, Ling Xiao tertawa. “Lihat, kakakmu menertawakanmu.”
“Bukan menertawakan ku, dia senang melihatku,” balas Jian
Jian, tidak setuju. “Benarkan?” tanyanya sambil tersenyum manis kepada Ling
Xiao.
“Makan pun ribut,” tegur Ling Xiao. Dan lalu dia serta Li
Haichao menertawai sikap Jian Jian.
“Hm. Lebih banyak dengar aku bicara. Setelah
kamu kuliah di Beijing, ingin dengan ocehanku saat makan tidak akan bisa lagi,” omel Jian
Jian. Dan mendengar itu, Ling Xiao berhenti tersenyum. Tapi tidak ada yang
menyadari itu.
Saat Ling
Xiao sedang sibuk membereskan buku- buku lamanya. Jian Jian datang dengan
membawakan semangka besar. Dan ingin menyuapinya. Tapi Ling Xiao menolak. Lalu
tanpa sengaja, ketika Ling Xiao menepis tangan Jian Jian, semangka itu terjatuh
dan hancur terkena tangan Ling Xiao.
“Tisu, tisu,” kata Jian Jian dengan panik. Lalu diapun
pergi untuk mencarinya. Sementara Ling Xiao terdiam dan merenung.
Malam hari.
Diatas atap, Ling Xiao dan Ziqiu minum- minum bersama sambil mengobrol. Mereka
saling membuat pengakuan.
Li Haichao
menyuruh Jian Jian untuk memanggil Ling Xiao dan Ziqiu makan malam. Dan Jian
Jian mengerti. Lalu dia membuka pintu kulkas untuk mengambil minuman, dan
disaat itu, dia tersadar bahwa bir Ayahnya menghilang.
“Berani menculik bir Ayah,” gumam Jian Jian, memuji.
Ling Xiao
mengaku duluan. Dia akan berkuliah ke Singapura. Karena jika Ibunya keluar dari
rumah sakit, maka Ibunya membutuhkan orang untuk merawatnya. Juga Meiying tidak
mau mengikuti pamannya. Lalu dia sudah diterima di Universitas Singapura,
jurusan medis. Jadi minggu depan dia akan pergi.
“Ibumu sudah
berikan kamu pada Jian Jian, kan? Dia tidak menginginkan mu lagi, jadi untuk
apa menjaga nya? Xiao Chengzi adalah adikmu, apakah Li Jian Jian bukan adikmu?
Apa kamu gila?” tanya Ziqiu, emosi.
“Ziqiu,
setelah aku pergi, tolong jaga Li Jian Jian,” balas Ling Xiao dengan sikap
tenang.
Ziqiu
langsung menghabiskan bir didalam kaleng nya. Lalu dia memukul Ling Xiao dan
mengaku. Dia sama brengsek nya dengan Ling Xiao. Karena dia akan segera pergi
ke Inggris. Dua hari ini dia sudah siapkan semua berkasnya, dan dia akan
mengikuti Ayah kandung nya. Mengetahui itu, Ling Xiao merasa terkejut.
Kemudian
mereka berdua mulai bertengkar dan saling memukul satu sama lain.
Tepat disaat
itu, Jian Jian datang. Dan melihat itu, dia langsung menghentikan mereka
berdua. Dan menanyai, ada apa sampai mereka berdua berkelahi. Tapi tidak ada
satupun dari mereka berdua yang bisa menjelaskan.
“Katakan!” tuntut
Jian Jian.
Li Haichao
menghubungi Ling Heping. Lalu setelah itu, dia memberitahu Ling Xiao bahwa
mereka akan membahas masalah ini, ketika Ling Heping pulang besok.
“Tidak perlu
dibahas, tidak boleh pergi,” tegas Jian Jian, memutuskan. “Kamu juga tidak
boleh pergi,” katanya kepada Ziqiu.
“Waktu
pendaftaran sudah lewat. Kamu… kamu mau mereka mengulang?” tanya Li Haichao,
membujuk Jian Jian.
“Mengulang
saja,” tegas Jian Jian.
Dengan
paksa, Li Haichao menarik tangan Jian Jian untuk membawanya masuk ke dalam kamar
saja. Tapi Jian Jian tidak mau dan menepis tangan Li Haichao. Dia tetap tidak
mengizinkan siapapun untuk pergi. Baik Ling Xiao maupun Ziqiu. Mendengar itu,
Li Haichao berusaha untuk membujuk Jian Jian agar mengerti. Sementara Ling Xiao
dan Ziqiu hanya bisa diam saja.
“Aku
bingung. Sebenarnya, ada apa dengan keluarga kita? Orang yang tidak bertanggung
jawab itu orang luar, kan?” tanya Jian Jian dengan suara keras, karena kesal.
Dan Ling Xiao serta Ziqiu sama sekali tidak bisa menjawab. “Dari kecil Ayah
bilang padaku, asalkan kita saling menjaga, saling membantu, itulah keluarga.
Tidak peduli pendapat orang, asalkan kita tahu, sikap orang yang baik, dengan siapa sudah cukup,” protes nya.
“Itu benar.
Tapi masalah tidak sederhana itu. Kamu marah- marah begini, perasaan kakak-
kakakmu apa bisa baik?” balas Li Haichao, berusaha menenangkan emosi Jian Jian.
“Mereka
sedih, apa aku senang?” balas Jian Jian, terluka. “Semua hal yang mereka
putuskan, tidak perlu beritahu aku, juga tidak perlu persetujuanku. Hal yang
mereka janjikan juga tidak perlu ditepati.”
“Maaf,” kata
Ziqiu, pelan.
“Aku bilang
padamu, kamu juga tidak setuju,” kata Ling Xiao, pelan.
Jian Jian
sangat sedih, dia sama sekali tidak bisa mengerti. Dan Ling Xiao menjawab bahwa
itu adalah Ibunya juga. Sedangkan Ziqiu hanya diam saja. Dengan marah, Jian
Jian menendang kursi dan masuk ke dalam kamar. Sementara Li Haichao sama sekali
tidak tahu harus bagaimana.
Jian Jian
merengkuk didalam selimut dan menangis. Lalu Ling Xiao datang dan ingin membuka
selimutnya. Dengan marah, Jian Jian mengusirnya untuk keluar.
Kemudian
Ziqiu datang. “Aku tahu kamu marah, tapi harus tetap makan. Jangan kelaparan,”
bujuknya. Tapi Jian Jian tidak mau menjawab. Lalu tanpa mengatakan apapun lagi,
Ziqiu pun pergi.
Karena Jian
Jian hanya diam saja, Ling Xiao pun berniat untuk pergi saja. Disaat itu, Jian
Jian berhenti meringkuk. “Awalnya kita memang tidak ada hubungan, benar kan?”
tanyanya. “Kamu adalah tetangga, kakak Ziqiu dititipkan disini. Kita memang
bukan keluarga, benarkan?”
“Tidak,”
jawab Ling Xiao sambil mengatur perasaan nya. Lalu dia berbalik dan menatap
Jian Jian. “Setelah kamu dewasa, kita bersama selamanya, bagaimana?” tanyanya.
“Aku tidak
percaya. Jika kalian berdua pergi, kelak kalian bukan kakakku lagi,” balas Jian
Jian. Lalu dia kembali meringkuk dan menangis.
Mendengar
itu, Ling Xiao merasa sedih dan menangis pelan. Lalu dia keluar dari kamar Jian
Jian.
Tengah
malam. Ketika Li Haichao keluar dari kamar, dia melihat Ziqiu sedang duduk
meringkuk di depan pintu kamar Jian Jian.
Li Haichao
memberikan segelas susu kepada Ziqiu. Lalu dia menjelaskan bahwa saat ini Jian
Jian masih tidak bisa menerima semuanya, jadi Ziqiu harus menunggu dua hari
lagi. Dan ini bukanlah salah Ziqiu, jadi tidak apa- apa. Sebab mereka sudah
dewasa, dan suatu saat memang akan berpisah. Seperti menikah, berkerluarga, dan
memiliki kehidupan sendiri.
“Aku tidak
akan menikah. Aku jaga kalian seumur hidup,” tegas Ziqiu dengan yakin. Dan Li
Haichao tidak tertawa, karena itu tidak mungkin. “Aku akan jaga Li Jian Jian.”
“Dia akan
menikah juga,” balas Li Haichao.
“Dia tidak
boleh menikah. Bagaimana jika ditindas?” protes Ziqiu. Dan Li Haichao tertawa,
serta tidak mau membahas ini lagi.
Ziqiu merasa
sangat khawatir, jika dia pergi, siapa yang akan melindungi Jian Jian. Dan Li
Haichao juga merasakan hal yang sama untuk Ziqiu, namun inilah dunia, semakin
kita besar semakin banyak beban kita. Lalu suatu hari kita akan sadar, kenapa
semua beban dunia ditaruh di pundakku. Seperti orang tua, Istri, Anak. Untuk
saudara, mereka memilik dunia mereka sendiri.
“Tapi dalam
duniaku, sudah cukup ada kalian,” tegas Ziqiu.
“Ziqiu,
jangan pikir begitu banyak. Kehidupan ini seperti lari jarak jauh, kamu harus
simpan tenagamu. Simpan energimu agar kamu bisa lari lebih jauh,” balas Li
Haichao, menasehati.
Dengan
sedih, Ziqiu mulai menangis. Dia menanyai, apakah dirinya pergi ke Inggris, Li
Haichao marah. Dan Li Haichao menjawab tidak, karena dia berharap Ziqiu
memiliki masa depan yang baik. Dan dia berharap, Ziqiu bisa mempelajari apa
yang Ziqiu inginkan dan melakukan apa yang Ziqiu inginkan. Lagipula Ziqiu hanya
akan pergi selama beberapa tahun saja, setelah Ziqiu lulus, Ziqiu akan segera
kembali. Dan Ziqiu menggangguk serta semakin menangis.
Dengan
perhatian, Li Haichao memeluk Ziqiu. Dan Ziqiu juga memeluknya dengan erat.
“Terima kasih.”
Keesokan
harinya. Jian Jian tiba- tiba pergi ke rumah Neneknya. Dan Li Haichao terkejut,
karena dia tidak tahu itu.
Saat Ling
Heping pulang dan melihat wajah Ling Xiao serta Ziqiu yang memar, dia merasa
heran ada apa. Ditambah Jian Jian juga tiba- tiba saja pergi ke rumah Neneknya,
kepadahal Ling Xiao baru pulang semalam. Dan diapun bertanya ada apa, tapi Ling
Xiao diam.
“Kamu
interogasi penjahat? Cepat cuci tangan,” kata Li Haichao dengan tegas. Dan
dengan patuh, Ling Heping pun masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah
selesai sarapan dan mengetahui apa yang terjadi. Ling Heping langsung
menghubungi Paman Chen dan marah- marah. Setelah itu, Li Haichao menenangkan
nya dan memberikan nya segelas air.
“Ling Xiao,
formulir mu itu masih bisa diubah?” tanya Ling Heping.
“Sekolah
medis di Singapura sudah menerimaku,” jawab Ling Xiao, pelan.
Mengetahui
itu, Ling Heping kembali emosi, sebab terjadi masalah sebesar ini, tapi Ling
Xiao tidak memberitahunya. Lalu dia ingin tahu, kenapa Ling Xiao ingin
bersekolah medis, apakah itu karena kecelakaan Chen Ting. Dan Ling Xiao
menjawab tidak.
“Kenapa
sampai pukul meja?” kata Li Haichao, menenangkan Ling Heping.
“Ini karena
kamu manjakan dia. Masalah sebesar ini tidak didiskusikan dengan ku,” teriak
Ling Heping, marah.
Saat Ling
Xiao membereskan lemari pakaiannya. Dia menemukan kotak sepatu, hadiah dari
Jian Jian.
Saat Ziqiu
membereskan lemari pakaiannya. Dia juga menemukan kotak sepatu yang sama,
hadiah dari Jian Jian.
Untuk Ling
Xiao : Kejutan. Kak, selamat ulang tahun. Selamat kamu sudah 18 tahun. Setelah
badai, pasti ada pelangi. Sangat mencintaimu.
Untuk Ziqiu
: Kak Ziqiu, jangan terlalu terharu! Heheh… terima cinta tulusku ini! Tahun
berikutnya sudah tidak bersama lagi. Kamu tidak bisa membantuku mencuci kaos
kaki lagi. Aku akan merindukanmu. Sayang kamu. Cium. Cium.
Membaca pesan tersebut, Ling Xiao dan Ziqiu sama- sama merasa sedih. Ziqiu memeluk hadiah dari Jian Jian dan menangis. Sementara Ling Xiao memakai sepatu dari Jian Jian dan berjalan berputar- putar didalam kamar.
“Aku bingung. Sebenarnya, ada apa
dengan keluarga kita? Orang yang tidak bertanggung jawab itu orang luar, kan?”
“Dari kecil Ayah bilang padaku,
asalkan kita saling menjaga, saling membantu, itulah keluarga. Tidak peduli
pendapat orang, asalkan kita tahu, sikap orang yang baik, dengan siapa
sudah cukup,”
“Mereka sedih, apa aku senang?”
“Semua hal yang mereka putuskan,
tidak perlu beritahu aku, juga tidak perlu persetujuanku. Hal yang mereka
janjikan juga tidak perlu ditepati.”
Min ini masih lanjut nulisnya atau gak sih,udah beberapa kali liat link ini tapi masih gak ada lanjutannya
ReplyDelete