Netflix
Di dunia ini, ada 3 hal yang tidak bisa di sembunyikan. Matahari,
Bulan, dan… kebenaran.
Terkadang, kebenaran seperti lubang kecil yang tersamarkan oleh
kegelapan. Selalu ada disana. Kita hanya tidak bisa melihatnya. Tapi begitu
cahaya menyinarinya, semua orang bisa melihatnya, membuat kita bertanya- tanya
berapa lama itu tersembunyi disana.
Pagi hari. Sarapan penuh senyuman, siap
dihidangkan oleh Ibu Mai untuk kedua anak tercintanya, Pim dan Putt.
Dengan rajin, Pim sudah siap dan duduk dimeja
makan. Sedangkan Putt yang kaki nya sedikit cacat, dia baru turun dari lantai
atas. Ketika Ibu Mai melihat Putt turun, dia langsung menghampirinya dan
membantu merapikan pakaiannya yang sedikit tidak terkancing dibagian atas. Lalu
dengan perhatian, Ibu Mai mengocehi Putt.
“Kau menyebabkan masalah di sekolah? Gurumu
menelpon dan menyuruh Ibu menemuinya besok,” tanya Ibu Mai.
“Aku tidak berulah,” jawab Putt, dengan
singkat. Lalu dia duduk dan sibuk menggambar di buku gambar nya.
“Tugasmu terlalu banyak? Jika kau kewalahan,
Ibu akan carikan guru privat,” kata Ibu Mai, perhatian. Tapi Putt diam, tidak
merespon.
Karena Putt tidak merespon, maka Ibu Mai pun
berhenti mengocehinya. Lalu dia mengingatkan Pim untuk nanti sore, jangan lupa
untuk memberi makan Latte, kucing pemeliharaan mereka. Tapi Pim menolak, karena
nanti sore dia ada latihan pemandu sorak. Jadi akhirnya, mau tidak mau, Ibu Mai
pun menyuruh Putt untuk melakukannya.
Dengan patuh, Putt menganggukkan kepalanya.
Dalam perjalanan ke sekolah, didalam mobil,
Ibu Mai memberitahu Pim dan Putt bahwa dirinya dipromosikan menjadi kepala
penjualan Internasional. Mendengar ini,
Pim dan Putt menyelamati Ibu Mai serta mereka ikut merasa bahagia. Lalu Ibu Mai
mengatakan kalau ini adalah hal yang harus dirayakan, jadi Pim dan Putt boleh
memilih, tempat makan yang Pim dan Putt ingin kunjungi, dan mereka akan ke
sana.
Mendengar hal itu, Pim dan Putt semakin merasa
senang.
Dikantor. Rekan- rekan kerja memberikan
selamat kepada Ibu Mai. Bahkan Bos juga memberikan selamat kepada Mai. Dan
dengan rendah hati, Ibu Mai berterima kasih atas kepercayaan semua nya padanya.
“Oh ya, bisakah kamu membantuku memeriksa
kontrak ini? Selain itu, bergabunglah dalam konferensi video dengan mitra
Tiongkok kita jam 19.00. Pak Lee ingin membahas detail proyek baru kita,” kata
Bos, menginfokan. “Tenang. Tidak akan lebih dari satu jam,” jelasnya.
Mendengar perintah ini, Ibu Mai mengangguk
sambil tersenyum, sebagai tanda iya. Tapi setelah Bos pergi, dia berhenti
tersenyum dan menghela nafas.
Pim bergabung dalam tim pemandu sorak. Ketika
latihan selesai, Pelatih mengumumkan bahwa untuk kompetisi beberapa minggu
lagi, mereka akan menunjuk tim kapten baru. Kapten saat ini adalah Pim. Namun
seperti tradisi mereka setiap tahunnya, maka akan ada pemilihan kapten baru,
jadi jika ada calon yang cocok, maka bisa beritahu dia.
Setelah mengumumkan hal itu dan bubar, Pelatih
datang menghampiri Pim. “Apa kau bisa menjadi kaptem tim selama setahun lagi?”
tanyanya
“Aku bisa,” jawab Pim, senang. “Tapi apa yang
lain akan merekomendasikan ku?” tanyanya, merasa agak ragu- ragu.
“Jangan khawatir, akan kulibas mereka semua,”
kata Paew, menenangkan Pim.
“Terima kasih Pim, semua ingin kamu menjadi
kapten,” puji Pelatih, menyemangati.
Setelah selesai berbicara, Pelatih pergi. Dan
Pim menyuarakan kekhawatirannya pada Paew. Sebenarnya dia senang, bisa menjadi
kapten lagi, tapi dia dengar Mint akan mencalonkan diri untuk bersaing
dengannya.
“Mint? Dia tidak akan berhasil. Dia
menyebalkan, tidak ada yang menyukainya,” kata Paew sambil melirik ke arah
Mint. “Hey! Tenang, aku mendukungmu. Aku akan menangani semuanya,” jelasnya,
menenangkan.
Ketika Pim pulang, dia melihat Putt serta bermain
dengan satu temannya, Fame, di ruang tamu. Dan melihat itu, Pim mengabaikan
mereka dan naik ke atas.
Melihat Pim naik ke atas, Fame berdiri didekat
tangga dan mengedus wangi Pim. Lalu dia mengancam Putt dan naik ke atas. Dia
naik ke atas untuk mengintip Pim yang sedang berganti baju. Saat Pim menyadari
itu, dia memarahi Fame dan mencoba untuk menutup pintu kamarnya, tapi Fame
menahan pintu tersebut. Dengan panik, Pim pun berteriak memanggil Putt untuk
datang menolong.
Mendengar panggilan Pim, Putt ingin naik ke
atas. Tapi karena masalah di kakinya, maka ketika dia berjalan cepat menaiki
tangga, dia terkelincir dan terjatuh.
“Aku tahu sebuah rahasia. Ini menyangkut
dirimu. Kau tidak penasaran?” kata Fame, dengan sikap misterius. Dan Pim pun
berhenti memberontak.
Dengan baik hati, Pim membuka pintu kamar yang
sebelumnya, dia coba tutup. “Rahasia apa?” tanyanya sambil tersenyum.
Melihat reaski Pim, Fame tersenyum puas. Lalu
saat dia lengah, Pim langsung mendorongnya dan menutup pintu dengan kuat, tidak
peduli walaupun kaki Fame tersangkut dan sakit karena itu.
Dengan agak terpicang, Fame turun dari atas
dan memarahi Putt. Akibat perbuatan Pim, kakinya jadi terluka, padahal besok dia ada pertandingan sepak bola. Lalu
dengan kasar, dia menanyai, apakah Putt sudah lupa dengan janji Putt
sebelumnya. Dan Putt diam. Kemudian dia mengancam Putt, jika Putt tidak
menepati janji itu, maka dia akan menyebarkan video Putt. Dan Putt diam.
“Jangan pernah lupakan kesepakatanmu, Cacat,”
tekan Fame. Lalu dia pergi.
Dirumah, Pim dan Putt sudah menunggu Ibu Mai
sampai malam, tapi Ibu Mai belum juga pulang. Jadi Pim pun menelpon, dan
ternyata Ibu Mai sedang sibuk, jadi terpaksa janji makan hari ini harus
dibatalkan.
Sebelum Ibu Mai menutup telpon, Pim buru- buru
berbicara, “Bisakah Ibu menyuruh Fame berhenti menemui Putt disini?” tanyanya.
“Apa yang terjadi? Kau tahu teman Putt
sedikit. Fame menerima Putt dan tidak merisak nya seperti anak lain. Ini demi
kebaikan adikmu. Kasihanilah dia,” balas Ibu Mai.
Dengan cemas, Pim menceritakan kepada Ibu Mai
bahwa hari ini Fame mencoba untuk mengintipnya, saat dia akan berganti pakaian.
Karena itu dia tidak mau Fame datang ke rumah mereka lagi. Mendengar ini, Ibu
Mai agak terkejut dan tidak menyangka, lalu diapun menyuruh Pim untuk tunggu
dia pulang, nanti dia baru akan bicara kepada Putt. Dan Pim mengiyakan.
“Ibu menyanyangimu, Pim,” kata Ibu Mai. Lalu
telpon mati.
Selagi Pim lagi bertelponan dengan Ibu Mai.
Putt memberi makan pada Latte. Lalu setelah itu, Pim datang dengan membawakan satu
mie cup untuknya. Dan mereka berdua memakan mie cup bersama- sama.
Ketika pekerjaan telah selesai, Ibu Mai dan
rekannya pun pulang. Tapi ternyata diluar sedang hujan deras, namun walaupun
hujan, karena mereka masing- masing membawa mobil, maka mereka pun tetap
pulang.
Ditengah perjalanan, Ibu Mai menerima
panggilan tidak terjawab dari Pim. Saat Ibu Mai sedang melihat ponselnya,
sebuah mobil datang dan menabrak mobil Ibu Mai.
Tabrakan mobil yang terjadi cukup berat.
Karena bagian depan mobil Ibu Mai sampai hancur. Dan Ibu Mai terluka.
Tengah malam. Pim terbangun akibat suara
ketukan dipintu. Awalnya Pim merasa agak ngeri- ngeri, karena sedang hujan
deras dan tiba- tiba saja ada suara ketukan pintu. Lalu ketika Pim mendekat ke
dekat pintu, dia bisa melihat kalau yang mengetuk adalah beneran orang, dan dia
agak lega, tapi masih berhati- hati.
“Siapa itu?” teriak Pim, bertanya.
“Ini kakekmu. Buka pintunya.”
Walaupun Pim merasa agak ragu dengan tamu yang
datang ke rumah nya ini, tapi dia tetap membukakan pintu. Dan ketika Pim
membuka pintu, Kakek menjelaskan bahwa Pim mungkin tidak mengenalnya, tapi dia
adalah Kakek Pim, Ayah Mai. Namanya Kakek Pong. Lalu Kakek Pong meminta izin
untuk masuk, dan Pim mengizinkan.
Tepat disaat itu, Putt terbangun. Dan dia
menyalakan lampu. “Siapa itu?” tanyanya.
“Kau pasti Putt. Aku kakek mu,” kata Kakek
Pong, memperkenalkan dirinya.
“Kakek. Ibu tidak ada dirumah,” kata Pim
dengan hati- hati.
“Tunggu. Tidak ada yang memberitahumu?” tanya
Kakek Pong, terkejut.
Mendengar itu, Pim dan Putt sama- sama merasa
bingung, ada apa.
Kakek Pong membawa Pim dan Putt ke rumah sakit
untuk menemui Ibu Mai yang terluka dan tidak sadarkan diri. Melihat kondisi Ibu
Mai, Pim serta Putt merasa cemas. Dan Kakek Pong menjelaskan kepada mereka
kalau Ibu Mai sudah melewati masa kritis, tapi Ibu Mai tetap harus dirawat
dirumah sakit, karena Ibu Mai mengalami gegar otak parah dan dalam kondisi
koma. Mendengar itu, Pim menangis. Dan Putt memeluknya.
Lalu Nenek Wan datang. Sama seperti
sebelumnya, Pim dan Putt juga tidak mengenali siapa Nenek Wan. Tapi sikap Nenek
Wan sangat hangat pada mereka. Anehnya, Nenek Wan bisa mengenali siapa Pim,
tapi giliran Putt, dia mengira kalau Putt adalah Krit.
“Dia Putt, cucumu,” kata Kakek Pong,
mengingatkan. “Kamu sudah minum obat hari ini?” tanyanya.
“Putt…” panggil Nenek Wan. “Cucuku,
kemarilah,” katanya. Lalu dia mengelus wajah Putt dengan penuh rasa rindu.
Kakek Pong kemudian mengajak Pim dan Putt
untuk tinggal dirumah mereka selama sementara ini. Dan Nenek Wan setuju, lagian
Pim serta Putt kan pernah tinggal disana juga sewaktu kecil. Tapi Pim serta
Putt tidak ingat, juga Ibu Mai tidak pernah memberitahu mereka, jadi mereka
agak ragu.
“Malam ini melelahkan. Sebaiknya kita pulang.
Kalian bisa kembali berkunjung nanti. Ayo,” ajak Kakek Pong. Dan dengan patuh,
Pim serta Putt pun mengikutinya.
Sedangkan Nenek Wan tetap berada didalam kamar
rawat. Dengan sedih, dia memegang tangan Mai dan berbicara padanya. “Anakku.
Takdir sangat kejam padaku.”
“Wan,” panggil Kakek Pong. “Ayo,” ajaknya.
Jadi akhirnya, Pim dan Putt pindah ke rumah
Kakek Nenek. Mereka tinggal didalam satu kamar yang sama. Tapi didalam kamar
itu, ada dua tempat tidur. Juga disana banyak terdapat foto Ibu Mai sedari
kecil sampai besar.
Selagi Pim sibuk- sibuk melihat foto yang ada
di lemari. Putt sibuk mencari buku sketsa nya yang sepertinya ketinggalan. Lalu
tiba- tiba Pim teringat, kalau mereka tidak ada membawa Latte. Tapi Putt tidak
menanggapinya, karena dia agak stress, buku sketsanya ternyata beneran
ketinggalan.
Ketika semua orang telah tertidur, rumah pun
menjadi sangat sunyi. Kemudian tiba- tiba seperti ada sesuatu yang misterius
berkeliaran disekitar rumah. Tapi tidak ada satupun orang yang sadar, karena
mereka tertidur sangat nyenyak.
Pagi hari. Nenek Wan sudah menyiapkan sarapan
penuh senyuman, sama persis seperti sarapan yang disediakan oleh Ibu Mai. Namun
di meja makan hanya ada Kakek Pong saja, sedangkan Nenek Wan tidak ada, karena
dia tidak biasa sarapan dan sekarang dia sedang mengobrol dengan tetangga sebelah.
Jadi yang ada di meja makan hanya mereka bertiga saja.
“Putt, Nenek memintamu menghabiskan susumu,”
kata Kakek Pong. Lalu Putt dan Pim pun tersadar kalau ada satu gelas susu
diatas meja.
Sebelum sarapan dimulai, Kakek Pong berbicara
pada Pim dan Putt. Nenek Wan terkadang pikun, hari ini ingat, mungkin besok
sudah lupa. Contohnya saja, semalam Nenek Wan tidak ingat siapa Putt. Jadi dia
meminta, bila nanti ada ucapan Nenek Wan atau sikapnya yang membuat mereka
berdua kesal, tolong jangan diambil hati.
“Sebenarnya, ada apa dengannya?” tanya Pim,
ingin tahu.
“Dia mengidap demensia,” jawab Kakek Pong.
“Kalian berdua bisa membantuku merawatnya. Pastikan dia minum obat tepat
waktu,” jelasnya. Dan Pim serta Putt mengerti.
Sebenarnya sih, Pim serta Putt masih agak ragu
untuk tinggal dirumah Kakek. Tapi menurut Kakek bahwa sekarang lebih baik, Pim
serta Putt tinggal bersamanya, sampai Ibu Mai pulang dari rumah sakit. Dan
dengan ragu, Pim bertanya, apakah nanti dia boleh pulang, karena ada beberapa
barangnya yang ketinggalan. Putt juga sam seperti Pim. Mereka ingin menjemput
Latte.
“Latte?” tanya Kakek Pong, bingung. Dan Putt
menjawab kalau itu kucing Ibu Mai. “Oh, tentu saja,” katanya, mengizinkan.
Dirumah sakit. Setelah Dokter memeriksa Ibu
Mai, dia mengajak Kakek Pong untuk berbicara. Namun Kakek Pong meminta Dokter
untuk berbicara langsung saja, karena Pim serta Putt juga sudah mengerti. Dan
Dokter setuju.
“Organ dalam pasien tidak mengalami cedera.
Itu kabar baik. Tapi otaknya… peluangnya untuk siuman hanya 50%. Aku juga tidak
bisa menentukan sampai kapan kondisinya seperti ini. Kita hanya bisa memantau
kondisinya dengan saksama untuk mencegah komplikasi dan infeksi,” kata Dokter,
menjelaskan kondisi Ibu Mai.
Pim dan Putt pulang ke rumah Kakek dengan
membawa barang- barang mereka serta Latte. Dan saat memasuki rumah, Putt
menyadari bahwa ada satu lubang kecil di dinding. Dengan agak penasaran, Putt
mengintip ke dalam lubang tersebut.
Didalam lubang di dinding, terdapat sebuah
ruangan. Didalam ruangan itu, ada satu sofa, lampu yang redup, dan satu pintu.
Yang paling penting, ruangan tersebut, tampak persis dengan ruang tamu mereka.
Awalnya tidak ada yang aneh sama sekali, tapi tiba- tiba pintu yang berada
didalam ruangan tersebut, terbuka. Dan ada seseorang di dalam sana, seorang gadis
berpakaian putih dengan wajah tertutupi oleh rambut panjang nya.
Melihat gadis tersebut di dalam sana, Putt
sangat terkejut, dan dia menjatuhkan buku sketsa yang di pegangnya. Tepat
disaat itu, Pim datang. Pim meminta Putt untuk membantunya membawakan koper
mereka ke dalam. Tapi Putt mengabaikan itu dan menyuruh Pim untuk melihat
lubang kecil di dinding. Awalnya Pim mengira, kalau lubang itu kerjaan Putt.
Dan Putt pun langsung menjelaskan bahwa bukan dia yang membuat lubang ini, tapi
sejak awal lubang ini sudah ada.
“Mungkin rumah sebelah sedang melakukan
perbaikan. Tunjukkan kepada Kakek saat dia pulang,” kata Pim, menebak. “Ayo,”
ajaknya untuk membantu membawakan koper.
Malam. Putt tidak suka sayuran, jadi dia tidak
menghabiskan sayuran dipiring nya. Dan Nenek Wan menegurnya untuk menghabiskan
semua itu, karena dirumah ini, kita tidak boleh menyisakan makanan. Jadi
terpaksa Putt pun memakan sayuran di piringnya. Sedangkan Pim yang sudah
selesai makan, dia membantu Nenek Wan untuk membersihkan meja makan. Lalu tiba-
tiba dia teringat dimana Latte.
“Aku melihatnya disini tadi,” kata Nenek Wan.
“Ia mengacak- acak tempat sampah dan membuat berantakan, jadi kubiarkan dia
keluar.”
“Keluar?” tanya Putt, khawatir.
“Ia akan kembali saat lapar,” kata Kakek Pong,
tidak menganggap ini hal besar.
“Tapi ia belum sehari berada disini,” keluh
Putt. “Mungkin ia tersesat, atau kembali ke rumah kami,” katanya, cemas.
“Omong kosong. Rumah Ibumu jauh di seberang
kota,” kata Kakek Pong.
“Biarkan ia tetap diluar. Bukan masalah
besar,” tambah Nenek Wan.
“Latte kucing rumahan. Ia tidak bisa bertahan
di luar,” keluh Putt.
Melihat suasana agak tidak nyaman, Pim pun
mengalihkan pembicaraan. Dia memberitahu Kakek Pong dan Nenek Wan bahwa ada
lubang di dinding sebelah sana. Dan Kakek Pong agak bingung, lubang apa. Lalu
Pim pun mengajak Kakek Pong untuk melihat, dan dengan buru- buru, Putt
menghabiskan sayuran di piringnya, lalu dia mengikuti mereka.
“Putt, kembali dan habiskan susumu,” panggil
Nenek Wan.
Pim membawa Kakek Pong ke dinding yang
dimaksudkan nya. Dia menebak, apakah mungkin rumah sebelah sedang mengebor
sesuatu. Tapi anehnya, Kakek Pong sama sekali tidak bisa melihat lubang
tersebut. Lalu dia memanggil Nenek Wan untuk datang dan melihat juga. Sama
seperti Kakek Pong, Nenek Wan juga tidak melihat ada lubang di dinding.
Mendengar itu, Pim serta Putt merasa aneh, karena lubang itu benar- benar ada
di dinding.
“Aku tidak melihatnya,” kata Nenek Wan sambil
melihat dinding secara dekat. “Lubangnya pasti sangat kecil,” komentarnya.
“Apa yang kalian berdua mainkan?” tanya Kakek
Pong, marah. “Pertama kucing, dan kini lubang yang tidak terlihat,” keluhnya.
“Tenanglah,” kata Nenek Wan, menenangkan Kakek
Pong yaang emosi. “Kalian berdua tidak mengada- ada, kan?” tanyanya dengan
curiga pada Pim serta Putt.
Saat Pim serta Putt terus saja mengatakan
kalau ada lubang di dinding tersebut. Kakek Pong pun tidak sabaran lagi, jadi
dia pergi dan naik ke atas untuk tidur saja.
“Sudah jam 20.00, kalian berdua harus tidur,”
kata Nenek Wan, sambil menatap ke arah dinding yang kosong.
Didalam kamar. Pim masih memikirkan, apakah
benar Kakek Pong dan Nenek Wan tidak bisa melihat lubang di dinding, atau
mereka berdua hanya berbohong saja. Tapi jika bohong, kenapa mereka berdua
harus berbohong. Lalu Pim mulai berpikir, apa mungkin mereka saja yang sedang
berhalusinasi. Dan dengan yakin, Putt menjawab tidak, mereka tidak salah lihat.
Tapi dia merasa, semua karena rumah ini, pantas saja Ibu Mai tidak pernah
mengajak mereka ke sini.
“Ada apa dengan rumah ini?” tanya Pim, heran.
“Kurasa tidak. Kau berkhayal,” komentarnya. Dan Putt diam serta berbalik
memunggungi Pim. “Putt, ada apa?” tanyanya.
“Pim… menurutmu mereka benar- benar kakek dan
nenek kita?” tanya Putt, agak ragu.
“Hey, tentu saja. Mereka tahu nama kita,
mereka tahu Ibu, dan memajang foto keluarga dimana- mana,” jawab Pim dengan
sangat yakin. “Kau terlalu paranoid,” komentarnya sambil tertawa.
“Aku merasa janggal. Kenapa Ibu tidak pernah
mengatakan apapun tentang mereka?” kata Putt, bertanya.
“Karena …” kata Pim, tidak bisa menjawab.