Sinopsis Movie Thai : The Whole Truth (2021) Part 1


Netflix

Di dunia ini, ada 3 hal yang tidak bisa di sembunyikan. Matahari, Bulan, dan… kebenaran.

Terkadang, kebenaran seperti lubang kecil yang tersamarkan oleh kegelapan. Selalu ada disana. Kita hanya tidak bisa melihatnya. Tapi begitu cahaya menyinarinya, semua orang bisa melihatnya, membuat kita bertanya- tanya berapa lama itu tersembunyi disana.

Pagi hari. Sarapan penuh senyuman, siap dihidangkan oleh Ibu Mai untuk kedua anak tercintanya, Pim dan Putt.


Dengan rajin, Pim sudah siap dan duduk dimeja makan. Sedangkan Putt yang kaki nya sedikit cacat, dia baru turun dari lantai atas. Ketika Ibu Mai melihat Putt turun, dia langsung menghampirinya dan membantu merapikan pakaiannya yang sedikit tidak terkancing dibagian atas. Lalu dengan perhatian, Ibu Mai mengocehi Putt.

“Kau menyebabkan masalah di sekolah? Gurumu menelpon dan menyuruh Ibu menemuinya besok,” tanya Ibu Mai.

“Aku tidak berulah,” jawab Putt, dengan singkat. Lalu dia duduk dan sibuk menggambar di buku gambar nya.


“Tugasmu terlalu banyak? Jika kau kewalahan, Ibu akan carikan guru privat,” kata Ibu Mai, perhatian. Tapi Putt diam, tidak merespon.

Karena Putt tidak merespon, maka Ibu Mai pun berhenti mengocehinya. Lalu dia mengingatkan Pim untuk nanti sore, jangan lupa untuk memberi makan Latte, kucing pemeliharaan mereka. Tapi Pim menolak, karena nanti sore dia ada latihan pemandu sorak. Jadi akhirnya, mau tidak mau, Ibu Mai pun menyuruh Putt untuk melakukannya.

Dengan patuh, Putt menganggukkan kepalanya.

Dalam perjalanan ke sekolah, didalam mobil, Ibu Mai memberitahu Pim dan Putt bahwa dirinya dipromosikan menjadi kepala penjualan Internasional.  Mendengar ini, Pim dan Putt menyelamati Ibu Mai serta mereka ikut merasa bahagia. Lalu Ibu Mai mengatakan kalau ini adalah hal yang harus dirayakan, jadi Pim dan Putt boleh memilih, tempat makan yang Pim dan Putt ingin kunjungi, dan mereka akan ke sana.

Mendengar hal itu, Pim dan Putt semakin merasa senang.

Dikantor. Rekan- rekan kerja memberikan selamat kepada Ibu Mai. Bahkan Bos juga memberikan selamat kepada Mai. Dan dengan rendah hati, Ibu Mai berterima kasih atas kepercayaan semua nya padanya.


“Oh ya, bisakah kamu membantuku memeriksa kontrak ini? Selain itu, bergabunglah dalam konferensi video dengan mitra Tiongkok kita jam 19.00. Pak Lee ingin membahas detail proyek baru kita,” kata Bos, menginfokan. “Tenang. Tidak akan lebih dari satu jam,” jelasnya.

Mendengar perintah ini, Ibu Mai mengangguk sambil tersenyum, sebagai tanda iya. Tapi setelah Bos pergi, dia berhenti tersenyum dan menghela nafas.

Pim bergabung dalam tim pemandu sorak. Ketika latihan selesai, Pelatih mengumumkan bahwa untuk kompetisi beberapa minggu lagi, mereka akan menunjuk tim kapten baru. Kapten saat ini adalah Pim. Namun seperti tradisi mereka setiap tahunnya, maka akan ada pemilihan kapten baru, jadi jika ada calon yang cocok, maka bisa beritahu dia.


Setelah mengumumkan hal itu dan bubar, Pelatih datang menghampiri Pim. “Apa kau bisa menjadi kaptem tim selama setahun lagi?” tanyanya

“Aku bisa,” jawab Pim, senang. “Tapi apa yang lain akan merekomendasikan ku?” tanyanya, merasa agak ragu- ragu.

“Jangan khawatir, akan kulibas mereka semua,” kata Paew, menenangkan Pim.

“Terima kasih Pim, semua ingin kamu menjadi kapten,” puji Pelatih, menyemangati.


Setelah selesai berbicara, Pelatih pergi. Dan Pim menyuarakan kekhawatirannya pada Paew. Sebenarnya dia senang, bisa menjadi kapten lagi, tapi dia dengar Mint akan mencalonkan diri untuk bersaing dengannya.

“Mint? Dia tidak akan berhasil. Dia menyebalkan, tidak ada yang menyukainya,” kata Paew sambil melirik ke arah Mint. “Hey! Tenang, aku mendukungmu. Aku akan menangani semuanya,” jelasnya, menenangkan.

Ketika Pim pulang, dia melihat Putt serta bermain dengan satu temannya, Fame, di ruang tamu. Dan melihat itu, Pim mengabaikan mereka dan naik ke atas.


Melihat Pim naik ke atas, Fame berdiri didekat tangga dan mengedus wangi Pim. Lalu dia mengancam Putt dan naik ke atas. Dia naik ke atas untuk mengintip Pim yang sedang berganti baju. Saat Pim menyadari itu, dia memarahi Fame dan mencoba untuk menutup pintu kamarnya, tapi Fame menahan pintu tersebut. Dengan panik, Pim pun berteriak memanggil Putt untuk datang menolong.

Mendengar panggilan Pim, Putt ingin naik ke atas. Tapi karena masalah di kakinya, maka ketika dia berjalan cepat menaiki tangga, dia terkelincir dan terjatuh.


“Aku tahu sebuah rahasia. Ini menyangkut dirimu. Kau tidak penasaran?” kata Fame, dengan sikap misterius. Dan Pim pun berhenti memberontak.

Dengan baik hati, Pim membuka pintu kamar yang sebelumnya, dia coba tutup. “Rahasia apa?” tanyanya sambil tersenyum.

Melihat reaski Pim, Fame tersenyum puas. Lalu saat dia lengah, Pim langsung mendorongnya dan menutup pintu dengan kuat, tidak peduli walaupun kaki Fame tersangkut dan sakit karena itu.


Dengan agak terpicang, Fame turun dari atas dan memarahi Putt. Akibat perbuatan Pim, kakinya jadi terluka, padahal  besok dia ada pertandingan sepak bola. Lalu dengan kasar, dia menanyai, apakah Putt sudah lupa dengan janji Putt sebelumnya. Dan Putt diam. Kemudian dia mengancam Putt, jika Putt tidak menepati janji itu, maka dia akan menyebarkan video Putt. Dan Putt diam.

“Jangan pernah lupakan kesepakatanmu, Cacat,” tekan Fame. Lalu dia pergi.


Dirumah, Pim dan Putt sudah menunggu Ibu Mai sampai malam, tapi Ibu Mai belum juga pulang. Jadi Pim pun menelpon, dan ternyata Ibu Mai sedang sibuk, jadi terpaksa janji makan hari ini harus dibatalkan.

Sebelum Ibu Mai menutup telpon, Pim buru- buru berbicara, “Bisakah Ibu menyuruh Fame berhenti menemui Putt disini?” tanyanya.


“Apa yang terjadi? Kau tahu teman Putt sedikit. Fame menerima Putt dan tidak merisak nya seperti anak lain. Ini demi kebaikan adikmu. Kasihanilah dia,” balas Ibu Mai.

Dengan cemas, Pim menceritakan kepada Ibu Mai bahwa hari ini Fame mencoba untuk mengintipnya, saat dia akan berganti pakaian. Karena itu dia tidak mau Fame datang ke rumah mereka lagi. Mendengar ini, Ibu Mai agak terkejut dan tidak menyangka, lalu diapun menyuruh Pim untuk tunggu dia pulang, nanti dia baru akan bicara kepada Putt. Dan Pim mengiyakan.

“Ibu menyanyangimu, Pim,” kata Ibu Mai. Lalu telpon mati.


Selagi Pim lagi bertelponan dengan Ibu Mai. Putt memberi makan pada Latte. Lalu setelah itu, Pim datang dengan membawakan satu mie cup untuknya. Dan mereka berdua memakan mie cup bersama- sama.

Ketika pekerjaan telah selesai, Ibu Mai dan rekannya pun pulang. Tapi ternyata diluar sedang hujan deras, namun walaupun hujan, karena mereka masing- masing membawa mobil, maka mereka pun tetap pulang.


Ditengah perjalanan, Ibu Mai menerima panggilan tidak terjawab dari Pim. Saat Ibu Mai sedang melihat ponselnya, sebuah mobil datang dan menabrak mobil Ibu Mai.


Tabrakan mobil yang terjadi cukup berat. Karena bagian depan mobil Ibu Mai sampai hancur. Dan Ibu Mai terluka.


Tengah malam. Pim terbangun akibat suara ketukan dipintu. Awalnya Pim merasa agak ngeri- ngeri, karena sedang hujan deras dan tiba- tiba saja ada suara ketukan pintu. Lalu ketika Pim mendekat ke dekat pintu, dia bisa melihat kalau yang mengetuk adalah beneran orang, dan dia agak lega, tapi masih berhati- hati.

“Siapa itu?” teriak Pim, bertanya.

“Ini kakekmu. Buka pintunya.”


Walaupun Pim merasa agak ragu dengan tamu yang datang ke rumah nya ini, tapi dia tetap membukakan pintu. Dan ketika Pim membuka pintu, Kakek menjelaskan bahwa Pim mungkin tidak mengenalnya, tapi dia adalah Kakek Pim, Ayah Mai. Namanya Kakek Pong. Lalu Kakek Pong meminta izin untuk masuk, dan Pim mengizinkan.

Tepat disaat itu, Putt terbangun. Dan dia menyalakan lampu. “Siapa itu?” tanyanya.

“Kau pasti Putt. Aku kakek mu,” kata Kakek Pong, memperkenalkan dirinya.

“Kakek. Ibu tidak ada dirumah,” kata Pim dengan hati- hati.

“Tunggu. Tidak ada yang memberitahumu?” tanya Kakek Pong, terkejut.

Mendengar itu, Pim dan Putt sama- sama merasa bingung, ada apa.


Kakek Pong membawa Pim dan Putt ke rumah sakit untuk menemui Ibu Mai yang terluka dan tidak sadarkan diri. Melihat kondisi Ibu Mai, Pim serta Putt merasa cemas. Dan Kakek Pong menjelaskan kepada mereka kalau Ibu Mai sudah melewati masa kritis, tapi Ibu Mai tetap harus dirawat dirumah sakit, karena Ibu Mai mengalami gegar otak parah dan dalam kondisi koma. Mendengar itu, Pim menangis. Dan Putt memeluknya.


Lalu Nenek Wan datang. Sama seperti sebelumnya, Pim dan Putt juga tidak mengenali siapa Nenek Wan. Tapi sikap Nenek Wan sangat hangat pada mereka. Anehnya, Nenek Wan bisa mengenali siapa Pim, tapi giliran Putt, dia mengira kalau Putt adalah Krit.

“Dia Putt, cucumu,” kata Kakek Pong, mengingatkan. “Kamu sudah minum obat hari ini?” tanyanya.

“Putt…” panggil Nenek Wan. “Cucuku, kemarilah,” katanya. Lalu dia mengelus wajah Putt dengan penuh rasa rindu.


Kakek Pong kemudian mengajak Pim dan Putt untuk tinggal dirumah mereka selama sementara ini. Dan Nenek Wan setuju, lagian Pim serta Putt kan pernah tinggal disana juga sewaktu kecil. Tapi Pim serta Putt tidak ingat, juga Ibu Mai tidak pernah memberitahu mereka, jadi mereka agak ragu.

“Malam ini melelahkan. Sebaiknya kita pulang. Kalian bisa kembali berkunjung nanti. Ayo,” ajak Kakek Pong. Dan dengan patuh, Pim serta Putt pun mengikutinya.

Sedangkan Nenek Wan tetap berada didalam kamar rawat. Dengan sedih, dia memegang tangan Mai dan berbicara padanya. “Anakku. Takdir sangat kejam padaku.”

“Wan,” panggil Kakek Pong. “Ayo,” ajaknya.


Jadi akhirnya, Pim dan Putt pindah ke rumah Kakek Nenek. Mereka tinggal didalam satu kamar yang sama. Tapi didalam kamar itu, ada dua tempat tidur. Juga disana banyak terdapat foto Ibu Mai sedari kecil sampai besar.


Selagi Pim sibuk- sibuk melihat foto yang ada di lemari. Putt sibuk mencari buku sketsa nya yang sepertinya ketinggalan. Lalu tiba- tiba Pim teringat, kalau mereka tidak ada membawa Latte. Tapi Putt tidak menanggapinya, karena dia agak stress, buku sketsanya ternyata beneran ketinggalan.

Ketika semua orang telah tertidur, rumah pun menjadi sangat sunyi. Kemudian tiba- tiba seperti ada sesuatu yang misterius berkeliaran disekitar rumah. Tapi tidak ada satupun orang yang sadar, karena mereka tertidur sangat nyenyak.


Pagi hari. Nenek Wan sudah menyiapkan sarapan penuh senyuman, sama persis seperti sarapan yang disediakan oleh Ibu Mai. Namun di meja makan hanya ada Kakek Pong saja, sedangkan Nenek Wan tidak ada, karena dia tidak biasa sarapan dan sekarang dia sedang mengobrol dengan tetangga sebelah. Jadi yang ada di meja makan hanya mereka bertiga saja.

“Putt, Nenek memintamu menghabiskan susumu,” kata Kakek Pong. Lalu Putt dan Pim pun tersadar kalau ada satu gelas susu diatas meja.


Sebelum sarapan dimulai, Kakek Pong berbicara pada Pim dan Putt. Nenek Wan terkadang pikun, hari ini ingat, mungkin besok sudah lupa. Contohnya saja, semalam Nenek Wan tidak ingat siapa Putt. Jadi dia meminta, bila nanti ada ucapan Nenek Wan atau sikapnya yang membuat mereka berdua kesal, tolong jangan diambil hati.

“Sebenarnya, ada apa dengannya?” tanya Pim, ingin tahu.

“Dia mengidap demensia,” jawab Kakek Pong. “Kalian berdua bisa membantuku merawatnya. Pastikan dia minum obat tepat waktu,” jelasnya. Dan Pim serta Putt mengerti.


Sebenarnya sih, Pim serta Putt masih agak ragu untuk tinggal dirumah Kakek. Tapi menurut Kakek bahwa sekarang lebih baik, Pim serta Putt tinggal bersamanya, sampai Ibu Mai pulang dari rumah sakit. Dan dengan ragu, Pim bertanya, apakah nanti dia boleh pulang, karena ada beberapa barangnya yang ketinggalan. Putt juga sam seperti Pim. Mereka ingin menjemput Latte.

“Latte?” tanya Kakek Pong, bingung. Dan Putt menjawab kalau itu kucing Ibu Mai. “Oh, tentu saja,” katanya, mengizinkan.

Dirumah sakit. Setelah Dokter memeriksa Ibu Mai, dia mengajak Kakek Pong untuk berbicara. Namun Kakek Pong meminta Dokter untuk berbicara langsung saja, karena Pim serta Putt juga sudah mengerti. Dan Dokter setuju.

“Organ dalam pasien tidak mengalami cedera. Itu kabar baik. Tapi otaknya… peluangnya untuk siuman hanya 50%. Aku juga tidak bisa menentukan sampai kapan kondisinya seperti ini. Kita hanya bisa memantau kondisinya dengan saksama untuk mencegah komplikasi dan infeksi,” kata Dokter, menjelaskan kondisi Ibu Mai.


Pim dan Putt pulang ke rumah Kakek dengan membawa barang- barang mereka serta Latte. Dan saat memasuki rumah, Putt menyadari bahwa ada satu lubang kecil di dinding. Dengan agak penasaran, Putt mengintip ke dalam lubang tersebut.


Didalam lubang di dinding, terdapat sebuah ruangan. Didalam ruangan itu, ada satu sofa, lampu yang redup, dan satu pintu. Yang paling penting, ruangan tersebut, tampak persis dengan ruang tamu mereka. Awalnya tidak ada yang aneh sama sekali, tapi tiba- tiba pintu yang berada didalam ruangan tersebut, terbuka. Dan ada seseorang di dalam sana, seorang gadis berpakaian putih dengan wajah tertutupi oleh rambut panjang nya.

Melihat gadis tersebut di dalam sana, Putt sangat terkejut, dan dia menjatuhkan buku sketsa yang di pegangnya. Tepat disaat itu, Pim datang. Pim meminta Putt untuk membantunya membawakan koper mereka ke dalam. Tapi Putt mengabaikan itu dan menyuruh Pim untuk melihat lubang kecil di dinding. Awalnya Pim mengira, kalau lubang itu kerjaan Putt. Dan Putt pun langsung menjelaskan bahwa bukan dia yang membuat lubang ini, tapi sejak awal lubang ini sudah ada.

“Mungkin rumah sebelah sedang melakukan perbaikan. Tunjukkan kepada Kakek saat dia pulang,” kata Pim, menebak. “Ayo,” ajaknya untuk membantu membawakan koper.


Malam. Putt tidak suka sayuran, jadi dia tidak menghabiskan sayuran dipiring nya. Dan Nenek Wan menegurnya untuk menghabiskan semua itu, karena dirumah ini, kita tidak boleh menyisakan makanan. Jadi terpaksa Putt pun memakan sayuran di piringnya. Sedangkan Pim yang sudah selesai makan, dia membantu Nenek Wan untuk membersihkan meja makan. Lalu tiba- tiba dia teringat dimana Latte.

“Aku melihatnya disini tadi,” kata Nenek Wan. “Ia mengacak- acak tempat sampah dan membuat berantakan, jadi kubiarkan dia keluar.”

“Keluar?” tanya Putt, khawatir.

“Ia akan kembali saat lapar,” kata Kakek Pong, tidak menganggap ini hal besar.

“Tapi ia belum sehari berada disini,” keluh Putt. “Mungkin ia tersesat, atau kembali ke rumah kami,” katanya, cemas.

“Omong kosong. Rumah Ibumu jauh di seberang kota,” kata Kakek Pong.

“Biarkan ia tetap diluar. Bukan masalah besar,” tambah Nenek Wan.

“Latte kucing rumahan. Ia tidak bisa bertahan di luar,” keluh Putt.


Melihat suasana agak tidak nyaman, Pim pun mengalihkan pembicaraan. Dia memberitahu Kakek Pong dan Nenek Wan bahwa ada lubang di dinding sebelah sana. Dan Kakek Pong agak bingung, lubang apa. Lalu Pim pun mengajak Kakek Pong untuk melihat, dan dengan buru- buru, Putt menghabiskan sayuran di piringnya, lalu dia mengikuti mereka.

“Putt, kembali dan habiskan susumu,” panggil Nenek Wan.


Pim membawa Kakek Pong ke dinding yang dimaksudkan nya. Dia menebak, apakah mungkin rumah sebelah sedang mengebor sesuatu. Tapi anehnya, Kakek Pong sama sekali tidak bisa melihat lubang tersebut. Lalu dia memanggil Nenek Wan untuk datang dan melihat juga. Sama seperti Kakek Pong, Nenek Wan juga tidak melihat ada lubang di dinding. Mendengar itu, Pim serta Putt merasa aneh, karena lubang itu benar- benar ada di dinding.

“Aku tidak melihatnya,” kata Nenek Wan sambil melihat dinding secara dekat. “Lubangnya pasti sangat kecil,” komentarnya.

“Apa yang kalian berdua mainkan?” tanya Kakek Pong, marah. “Pertama kucing, dan kini lubang yang tidak terlihat,” keluhnya.

“Tenanglah,” kata Nenek Wan, menenangkan Kakek Pong yaang emosi. “Kalian berdua tidak mengada- ada, kan?” tanyanya dengan curiga pada Pim serta Putt.


Saat Pim serta Putt terus saja mengatakan kalau ada lubang di dinding tersebut. Kakek Pong pun tidak sabaran lagi, jadi dia pergi dan naik ke atas untuk tidur saja.

“Sudah jam 20.00, kalian berdua harus tidur,” kata Nenek Wan, sambil menatap ke arah dinding yang kosong.


Didalam kamar. Pim masih memikirkan, apakah benar Kakek Pong dan Nenek Wan tidak bisa melihat lubang di dinding, atau mereka berdua hanya berbohong saja. Tapi jika bohong, kenapa mereka berdua harus berbohong. Lalu Pim mulai berpikir, apa mungkin mereka saja yang sedang berhalusinasi. Dan dengan yakin, Putt menjawab tidak, mereka tidak salah lihat. Tapi dia merasa, semua karena rumah ini, pantas saja Ibu Mai tidak pernah mengajak mereka ke sini.

“Ada apa dengan rumah ini?” tanya Pim, heran. “Kurasa tidak. Kau berkhayal,” komentarnya. Dan Putt diam serta berbalik memunggungi Pim. “Putt, ada apa?” tanyanya.



“Pim… menurutmu mereka benar- benar kakek dan nenek kita?” tanya Putt, agak ragu.

“Hey, tentu saja. Mereka tahu nama kita, mereka tahu Ibu, dan memajang foto keluarga dimana- mana,” jawab Pim dengan sangat yakin. “Kau terlalu paranoid,” komentarnya sambil tertawa.

“Aku merasa janggal. Kenapa Ibu tidak pernah mengatakan apapun tentang mereka?” kata Putt, bertanya.

“Karena …” kata Pim, tidak bisa menjawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post