Netflix
Lampu didalam ruangan dinyalakan. Sehingga
ruangan yang awalnya gelap, menjadi terang. Lalu terlihat Ibu Mai masuk ke
dalam ruang tamu sambil mengendong seorang bayi kecil. Dia berjalan disekitar
seperti sedang mencari seseorang, “Pinya!” panggilnya. Tapi tidak ada respon.
Lalu Ibu Mai mendekati Pria yang tidur di
sofa. “Krit, bangun. Dimana Pinya?” tanyanya. Tapi Krit tidak merespon, mungkin
karena tiba- tiba di bangunkan, jadi nyawa nya belum terkumpul. Heheh…
Kemudian disaat itu, Nenek Wan dan Kakek Pong
pulang. Mereka mendekati Ibu Mai yang tampak panik. “Mai, apa yang terjadi?”
tanya Nenek Wan.
“Ibu, putriku menghilang,” jawab Ibu Mai.
Pim berhenti melihat kejadian didalam lubang.
Lalu dia memberitahu Putt, apa yang barusan dilihatnya. Dia melihat Ibu Mai
yang masih muda dan sedang hamil, juga Nenek Wan serta Kakek Pong yang masih
muda juga didalam sana. Mendengar ini, Putt merasa kalau analisis nya yang
sebelumnya benar, ini adalah lubang cacing.
“Omong kosong. Sudah kubilang jangan melihat,”
tegur Nenek Wan. Lalu dia memerintahkan Pim dan Putt untuk kembali ke dalam
kamar sekarang juga.
Pim mengabaikan perintah Nenek Wan, dan
menanyai, siapa Pinya. Tapi tentu saja, Nenek Wan tidak menjawab. Lalu untuk
mencari tahu, Putt pun maju untuk melihat ke dalam lubang juga. Dan Nenek Wan
meneriakinya untuk jangan melihat ke dalam lubang, tapi Putt mengabaikannya dan
tetap maju untuk melihat ke dalam lubang.
“Pinya, anak Ibu! Jangan tinggalkan Ibu!” kata
Ibu Mai sambil menangis.
Kakek Pong menemukan Pinya. Tapi kondisi Pinya
sangat buruk. Baju putih Pinya, berlumurkan darah yang sangat banyak, dan
dimulutnya juga ada bekas darah.
Ibu Mai menangis sangat sedih sekali. Tapi
Krit, suaminya, malah masih tertidur dengan nyenyak.
Nenek Wan menarik Putt untuk berhenti melihat
ke dalam lubang. Dan Putt pun berhenti melihat, lalu dia menanyai, apakah Krit
adalah Ayahnya. Tapi Nenek Wan tidak menjawab, dan terus menarik Putt untuk
menjauh dari lubang. Dan Pim mencoba menenangkan Nenek Wan agar jangan
bertindak histeris.
“Ayahku kenapa? Aku ingin tahu,” kata Putt,
menuntut jawaban.
“Kau tidak perlu tahu!” bentak Nenek Wan. Lalu
tiba- tiba terdengar suara tembakan di dalam lubang.
Kakek Pong datang ke rumah sakit untuk
menjenguk Ibu Mai seperti biasa. Tapi sesampainya disana, dia menemukan kamar
rawat Ibu Mai kosong. Dan saat Dokter datang, barulah dia tahu, kalau Ibu Mai
kabur.
Diruang makan. Nenek Wan akhirnya mau
menceritakan kejadian 15 tahun lalu. Kejadian yang Pim dan Putt lihat dari
dalam lubang. Hari itu, dia, Kakek Pong, dan Ibu Mai, mereka bertiga pergi
keluar, meninggalkan Pinya dan Krit berdua di rumah. Tidak disangka, pada saat
mereka pulang, mereka menemukan Pinya telah meninggal. Hal ini membuat Nenek
Wan sangat menyesal, seandainya dia tidak meninggalkan Pinya dengan Krit, pria
tidak berguna itu, dirumah.
Flash back
Tampaknya fisik Pinya kurang bagus, karena
matanya bengkak sebelah. Dan kesehatan Pinya juga kurang bagus, karena dia ada
terbatuk- batuk kecil.
Pinya mendekati Ayahnya, Krit, yang sedang
melukis. Dia mengajak Krit untuk bermain dengannya, dan sambil tersenyum, Krit
mengiyakan serta menanyai, Pinya mau bermain apa. Dan Pinya menjawab petak
umpet. Dan Krit setuju, lalu dia menyuruh Pinya untuk bersembunyi, kemudian
nanti dia yang akan mencari Pinya. Dan Pinya sangat senang sekali.
Lalu Pinya pun bersembunyi di dalam gudang,
yang berada dibawah tangga. Sedangkan Krit, yang berjanji untuk bermain, dia
malah sibuk melanjutkan lukisannya.
Ntah berapa lama Pinya terjebak disana, ketika
Pinya ditemukan, semuanya sudah terlambat. Pinya mati karena meminum racun
tikus yang berada di dalam gudang. Mungkin Pinya mengira kalau itu adalah
sirup, jadi Pinya meminum itu.
Krit, yang merupakan pelaku secara tidak
langsung, dia bunuh diri. Sebenarnya sih, ntah benar ntah tidak kalau Krit itu
bunuh diri. Tapi ketika Nenek Wan mendengar suara tembakan, dan turun ke lantai
bawah untuk melihat, dia melihat Krit sudah meninggal dengan kepala berlubang.
Dan Kakek Pong yang ada didekat Krit, dia menjelaskan kalau Krit merebut
pistolnya dan menembak diri sendiri. Dengan sedih, Ibu Mai menangis sambil
memeluk tubuh Krit.
“Dia pasti merasa bersalah atas kematian
Pinya,” kata Kakek Pong.
Flash back end
Putt tiba- tiba memuntahkan banyak darah. Pim
sangat terkejut melihat itu. Lalu dia ingin membawa Putt ke rumah sakit, karena
bisa dilihat, keadaan Putt tampak memburuk. Namun Nenek Wan tidak setuju, dia menyuruh
agar Putt berbaring saja, dan nanti Putt pasti akan pulih sendiri.
“Kumohon, Nenek, kita harus membawa nya ke
rumah sakit,” bujuk Pim, memohon.
Ibu Mai datang ke rumah Kakek Pong. Dengan
kaki telanjang (maksudnya tidak memakai sandal/ sepatu), dia berjalan masuk ke
dalam halaman rumah. Didekat pintu, dia menemukan mayat Latte, yang meninggal
dengan mulut berlumuran darah. Melihat itu, Ibu Mai sangat terkejut dan ingin
menjerit, tapi dia menutup mulutnya sendiri supaya jangan sampai menjerit dan
ketahuan oleh orang didalam rumah bahwa dia datang.
Seperti biasa, Nenek Wan membuatkan segelas
susu untuk Putt, supaya Putt bisa segera sembuh. Pim tahu kalau Putt tidak suka
susu, tapi kondisi Putt sedang sangat lemah sekali untuk menolak sendiri. Jadi
Pim membantu Putt untuk menolak, dia mengatakan kepada Nenek untuk melupakan
tentang susu ini, karena Putt sedang sangat sakit. Namun Nenek Wan malah mulai
bersikap aneh.
“Pinya, minumlah. Ayo,” kata Nenek Wan dengan
pelan, seperti membujuk anak kecil.
“Nenek, jangan!” tolak Pim, menghentikan.
Nenek Wan mengabaikan Pim dan menggunakan cara
kasar untuk memaksa Putt meminum susu ini sekarang juga. Dan Putt menolak
dengan menekan bibirnya. Pim juga berusaha untuk menghentikan Nenek Wan.
“Hentikan! Jangan ganggu anak- anakku!” teriak
Ibu Mai.
Mendengar teriakan itu, semuanya berhenti dan
melihat ke belakang, saat melihat kedatangan Ibu Mai, Pim serta Putt terkejut.
Sedangkan Nenek Mai tersenyum senang. “Mai, putri Ibu tersayang,” panggilnya.
Kakek Pong pulang. Melihat pintu rumah
terbuka, dia mengeluarkan pistolnya dan bersiap.
Cara Nenek Wan dan Ibu Mai berhubungan tampak
aneh, maksudnya mereka berdua tidak tampak akrab seperti yang di bayangkan.
Nenek Wan menunjukkan rasa senang, ketika
melihat Ibu Mai, dan lalu dia membujuk Ibu Mai untuk kembali tinggal
bersamanya. Ibu Mai bersikap sebaliknya, dia tidak tampak senang sama sekali,
malahan dia tampak seperti ingin menjauh dari Nenek Wan, karena pada saat Nenek
Wan ingin menyentuhnya, dia menghindar. Lalu mengabaikan Nenek Wan, dia
mengajak Pim untuk pulang dan menopang Putt yang lemah untuk ikut pulang
bersamanya juga.
Sayangnya, ide Ibu Mai untuk membawa kedua anak
nya pulang, gagal. Karena tepat ketika mereka membuka pintu, Kakek Pong muncul
sambil menodongkan pistol kepada mereka. Jadi dengan terpaksa, mereka bertiga
pun harus kembali masuk ke dalam rumah.
Setelah mereka bertiga masuk ke dalam rumah,
Kakek Pong bersikap sangat perhatian pada Ibu Mai. Dia menanyai, kenapa Ibu Mai
kabur dari rumah sakit, kepadahal Dokter sudah menyarankan agar Ibu Mai
menginap disana terlebih dahulu untuk diamati kondisinya. Namun Ibu Mai tidak
menjawab pertanyaan Kakek Pong ini, dan dia menunjukkan sikap takut serta
waspada, menjauhi Kakek Pong.
Melihat sikap Ibu Mai, Kakek Pong menyuruh Pim
serta Putt untuk pergi ke atas, karena dia mau berbicara dengan Ibu Mai. Tapi
Ibu Mai menolak keras, dia menyuruh Pim serta Putt untuk tetap berada
disisinya. Sebab Ibu Mai ingin kedua anak nya tahu yang sebenarnya.
“Ayah tidak pernah menyembunyikan apapun
darimu,” kata Kakek Pong, bingung dengan sikap Ibu Mai.
“Benarkah? Lihat tangan Ayah. Ayah masih
memegang pistol yang sama,” kata Ibu Mai dengan agak sinis sambil menatap
pistol ditangan Kakek Pong.
Mendengar itu, Kakek Pong menyimpan pistol
yang di pegang nya di saku belakang dengan gugup. Melihat sikap gugupnya ini,
Ibu Mai merasa curiga, dia yakin pasti ada sesuatu yang Kakek Pong sembunyikan
darinya. Tapi Kakek Pong terus menyangkal bahwa tidak ada apa- apa. Namun Ibu
Mai tidak percaya.
Nenek Wan mendekati Kakek Pong dan berdiri di
sisinya. Dia meminta Kakek Pong untuk menghentikan Ibu Mai agar jangan kabur
lagi. Tapi semua orang diam, karena suasana sedang tegang.
Karena Kakek Pong terus menyangkal dan tidak
mau mengatakan apapun, maka Ibu Mai pun mengajukan pertanyaan, “Pada hari itu,
benarkah Krit merebut pistol Ayah?” tanyanya.
“Ibu, aku dan Pim sudah tahu tentang Ayah,”
kata Putt, berbicara. Dan Ibu Mai tertegun.
“Jangan dengarkan anak- anakmu. Mereka bicara
omong kosong,” kata Kakek Pong dengan keras.
“Kami juga tahu tentang Pinya,” kata Pim, ikut
berbicara. Dan Ibu Mai semakin tertegun.
Ibu Mai heran, bagaimana Pim serta Putt bisa
tahu tentang Krit dan Pinya. Lalu tiba- tiba saja, Putt mulai batuk- batuk
berdarah lagi. Ibu Mai dan Pim pun langsung panik.
“Aku sudah memberitahu Nenek, tapi dia terus
mendesaknya untuk minum susu,” kata Pim, menjelaskan kepada Ibu Mai.
“Susu?” gumam Ibu Mai.
“Ya. Sebelum Ibu datang, dia memaksa Putt
minum susu itu,” jawab Pim sambil menunjuk susu di atas meja. Lalu tiba- tiba,
dia menyadari sesuatu yang aneh. Dan dia terdiam.
Pim teringat akan sesuatu. Pertama, Gadis
hantu yang dilihatnya didalam lubang, Pinya. Dia melihat Pinya mengendong
seorang bayi, lalu tiba- tiba Pinya memuntahkan banyak darah. Kondisinya sama
persis seperti Putt. Karena Putt juga sebelumnya memuntahkan banyak darah.
Kedua, perkataan Nenek Wan. Pinya mati karena tidak sengaja meminum racun
tikus. Mengingat kedua hal ini, Pim jadi mencurigai sesuatu. Jadi diapun
bertanya, dan Nenek Wan menjawab bahwa itu hanyalah susu biasa.
“Kalau begitu, aku akan mencobanya. Bolehkah?”
tanya Pim.
“Tidak, kau tidak boleh meminumnya!” tolak
Nenek Wan, melarang.
“Kenapa? Kenapa aku tidak boleh minum susu
ini?” tanya Pim sambil mengambil susu di atas meja. Dia semakin curiga bahwa
pasti ada sesuatu, jadi dia ingin mencobanya.
“Tidak! Kau tidak boleh meminumnya!” larang
Nenek Wan, panik.
Sebelum Nenek Wan bisa melakukan sesuatu,
secara gaib sesuatu terjadi. Gelas susu yang Pim pegang dan sudah mendekati
bibirnya, tiba- tiba saja seperti ada sesuatu yang lewat dan memukul gelas itu,
sehingga gelas susu itu melayang ke arah dinding dan pecah.
Semua orang sangat terkejut pada kejadian aneh
ini.
Kemudian didekat pintu gudang, yaitu pintu
yang berada dibawah tangga, sosok Pinya muncul disana. Sosoknya tampak agak
mengerikan, karena pakaian putihnya diwarnai oleh merah darah. Tapi sayangnya,
tidak ada yang bisa melihat sosok Pinya, selain Nenek Wan.
Kebenaran 15 tahun lalu.
Sikap Nenek Wan terhadap Pinya, sama seperti
sikapnya terhadap Putt. Dia tidak terlalu perhatian, tapi tidak tampak terlalu
kejam juga. Cuma dia selalu memaksakan satu hal, yaitu dia menwajibkan Pinya
untuk meminum susu. Walaupun Pinya tidak suka, tapi karena takut, maka dia
tetap meminum susu yang Nenek Wan berikan padanya.
Disisi yang lain, sikap Nenek Wan terhadap Pim
yang masih bayi, sangat baik sekali. Dia bersikap lembut, perhatian, dan penuh
kasih, terhadap Pim.
Sikap bias Nenek Wan bukanlah hal yang kejam.
Namun hal yang paling kejam dibalik semua ini adalah ternyata susu yang selama
ini Nenek Wan berikan kepada Pinya dulunya serta Putt yang sekarang, itu
mengandung racun. Makanya Latte mati.
Namun sayangnya, selama ini tidak ada yang tahu tentang kebenaran ini sama sekali, termasuk Kakek Pong. Sehingga Kakek Pong terus menyalahkan Krit. Dan Nenek Wan yang merupakan pelaku utama, dia hanya diam serta menyaksikan Kakek Pong menyalahkan semua hal yang terjadi kepada Krit. Dan alasan Nenek Wan meracuni Pinya adalah hanya karena Pinya bukanlah anak normal.
“Teganya Ibu melakukan ini kepada putriku.
Kenapa Ibu tega?” tanya Ibu Mai sambil menangis sedih.
“Mai, kau menyalahkan Ibu? Semua yang Ibu
lakukan hanya untukmu,” balas Nenek Wan, tidak terima disalahkan danb dia tidak
merasa salah. “Kau gadis yang sempurna, tapi kau memilih menikahi bajingan itu!
Lalu anak pertamamu aneh. Terlahir jelek dan lumpuh, seperti Putt!” katanya
sambil memandang Putt dengan tatapan jijik.
Nenek Wan merasa semua ini adalah kutukan.
Keluarga ini dikutuk. Putri yang sempurna, malah menikah dengan pemabuk dan
melahirkan anak cacat. Tapi Ibu Mai berpikiran lain, menurut nya menjadi putri
dari Nenek Wan, itulah kutukan.
“Ibu membantu keluarga ini dengan
menyingkirkan karma buruk. Hanya itu yang Ibu lakukan,” kata Nenek Wan, masih
tanpa rasa bersalah, malahan dia tertawa dan merasa kalau tindakannya benar.
“Aku tidak akan menyalahkan siapapun.
Bagaimanapun, kalian adalah ayah dan ibuku,” kata Ibu Mai, malas berbicara pada
Nenek Wan lagi. “Tapi ku peringatkan. Mulai sekarang, jangan ganggu
keluargaku,” tegasnya.
Setelah mengatakan itu, Ibu Mai mengajak Pim
dan Putt untuk pulang. Dengan histeris, Nenek Wan menangis dan meminta agar Ibu
Mai jangan meninggalkannya.
Dari balik lubang kecil, Pinya memperhatikan
semua itu.
Jreng… jreng… semua kembali seperti semula.
Ibu Mai sudah baikan dan Putt juga sudah baikan. Lalu mereka bertiga tidak
tinggal dirumah mereka sendiri.
Ibu Mai menunjukkan keluarga mereka. Yang
dilukis oleh Krit, ayah Pim serta Putt. Didalam lukisan itu, ada Pinya kecil
dan Pim yang masih bayi dan Putt yang masih berada didalam kandungan Ibu Mai.
“Putt. Kamu sangat mirip dengannya. Ayahmu
seorang seniman. Dia biasa melukis setiap hari,” kata Ibu Mai sambil mengelus
kepala Putt. Lalu dia menghela nafas. “Dia tidak pernah menceritakan
masalahnya. Dia beralih ke alkohol yang menghancurkannya,” kata Ibu Mai dengan
sedih.
Setelah mengenang tentang Krit. Ibu Mai
kemudian mengenang tentang Pinya. “Dia sangat menyanyangimu. Dia memelukmu dan
menyanyikan ninabobo sampai kau tertidur,” katanya pada Pim.
“Karena itu melodinya terdengar tidak asing.
Bahkan sekarang pun, aku masih bias menyenandungkannya,” kata Pim sambil
tersenyum. Lalu dia memandang gambar Pinya, dan terpikir sesuatu, “Ma,
bagaimana jika apa yang kita tahu, bukan seluruh kebenarannya?” tanyanya dengan
agak ragu- ragu.
“Apa maksudmu?” tanya Ibu Mai, tidak mengerti.
“Terkadang, apa yang kita ketahui hanya
sebagian kecil dari kebenarannya, bukan seluruhnya,” kata Pim.
“Dia bicara soal Ayah,” jelas Putt, mengerti
dengan maksud Pim.
Pim dan Putt kemudian menceritakan lubang
kecil di dinding yang mereka berdua lihat. Mendengar itu, Ibu Mai agak
terkejut, karena dia juga bisa melihat lubang itu. Dan lubang itulah yang
membuatnya ingin keluar dari rumah itu.
Setelah Krit bunuh diri, Kakek Chom berusaha
menutup lubang itu, tapi lubang itu tidak pernah menghilang. Dan melihat lubang
itu, Ibu Mai merasa penasaran.
“Ibu pernah melihat ke dalamnya?” tanya Pim.
“Tidak. Tidak pernah,” jawab Ibu Mai. Tapi
ekpresinya tampak agak aneh.
Terdengar suara aneh, dan Nenek Wan terbangun
gara- gara suara itu. Dia merasa agak ngeri. Dan lalu Kakek Chom ikut
terbangun, tapi dia bukan terbangun oleh suara, namun karena Nenek Wan.
“Hei. Aku tidak mendengar apapun,” kata Kakek
Chom.
“Aku sudah mendengarnya selama 15 tahun. Aku
tidak tahan lagi! Cukup! Hentikan!” teriak Nenek Wan, mulai bersikap histeris.
Lalu dia berlari keluar dari kamar.
“Wan!” panggil Kakek Chom, heran.
Ketika Kakek Chom ingin menyusul Nenek Wan yang
tiba- tiba keluar dari kamar dengan sikap histeris, ponselnya berbunyi. Jadi
diapun tidak jadi menyusul dan mengangkat telpon masuk tersebut.
Letjen, Kepala Penanggulangan Tindak Kriminal,
teman lama Kakek Chom yang mengurus kasus tabrakan Ibu Mai. Dia menelpon dan
memberitahu Kakek Chom bahwa Pop dibunuh tadi malam. Setelah mengatakan itu,
dia menanyai, dimana Kakek Chom berada malam itu. Dan Kakek Chom menjawab
dengan kebohongan, dia menjawab bahwa dia berada di rumah sakit menemani
Putrinya.
Mendengar jawaban Kakek Chom, Letjen agak
tidak percaya. Jadi dia meminta Kakek Chom untuk datang ke kantor dan menjawab
beberapa pertanyaan.
“Kau didesak oleh para petinggi, kan?” tanya
Kakek Chom dengan yakin.
“Jangan bilang begitu,” jawab Letjen, masih
berbicara dengan sopan. “Dalam kasus menantumu 15 tahun lalu, aku sudah
melakukan yang terbaik untuk membantumu, kan?”
Kakek Chom diam. Jadi Letjen pun lanjut
berbicara. Dia membicarakan tentang kasus penabrakan Ibu Mai. Dalam kasus itu,
ada saksi dan foto- foto dari kamera dasbor. Pop berbicara jujur. Yang menabrak
mobil Ibu Mai bukanlah Pop, melainkan benar- benar temannya Pop.
Mendengar kebenaran ini, Kakek Chom terdiam
gugup. Dan lalu dia menelpon telpon dari Letjen.
Diruang tamu. Nenek Wan menjerit seperti orang
gila. Lalu tiba- tiba terdengar suara pintu gudang di gedor- gedor. Dengan
ngeri, dia berteriak dan bertanya siapa, tapi tidak ada jawaban. Lalu ketika
suara gedoran berhenti, dia mendekati pintu gudang dan membuka pintu gudang.
Dan darisana keluarlah, hantu Pinya.
“Nenek, tersayang. Nenek, gendong aku. Aku
kedinginan. Didalam sana dingin,” kata Pinya sambil mengulurkan tangannya.
Meminta dipeluk.
Dengan ngeri, Nenek Wan melangkah mundur. Dan
hantu Pinya berjalan mendekatinya serta memeluknya dengan erat. Dan Nenek Wan
langsung mendorongnya.
Tiba- tiba hantu Pinya menyemburkan banyak
darah ke arah Nenek Wan.
Mendengar suara teriakan Nenek Wan, Kakek Chom
turun. Dan saat dia turun, dia melihat Nenek Wan menggeliat- liat di lantai.
Dengan panik, dia mendekati Nenek Wan, dan saat dia mendekat, dia melihat mulut
Nenek Wan mengeluarkan darah dan ada botol racun tikus di tangannya.
Ketika Kakek Chom mengira, kalau Nenek Wan
sudah meninggal, dia panik. Tapi tiba- tiba saja, Nenek Wan berdiri, dan secara
perlahan tubuhnya berubah menjadi tubuh Krit. Dan Kakek Chom pun langsung
menembaknya. Setelah menembak, tubuh Krit berubah kembali menjadi tubuh Nenek
Wan. Melihat itu, Kakek Chom langsung memeluk tubuh Nenek Wan dan menangis.
“Wan. Wan!” panggil Kakek Chom, sedih dan
penuh penyesalan.
Kemudian Kakek Chom membuat keputusan. Dia
menembak mulutnya sendiri, sebagai aksi bunuh dirinya. Demikianlah akhir hidup,
Nenek Wan dan Kakek Chom.
Terkadang, kebenaran seperti lubang kecil yang
tersamarkan oleh kegelapan. Selalu ada disana. Kita hanya tidak bisa
melihatnya. Tapi begitu cahaya menyinarinya, semua orang bisa melihatnya,
membuat kita bertanya- tanya berapa lama itu tersembunyi disana.
Dulu, Ibu Mai ada mengintip ke dalam lubang di
dinding juga. Di dalam sana, dia melihat Pinya masuk ke dalam gudang dan
bersembunyi. Tanpa mengetahui itu, Nenek Wan mengunci pintu gudang, lalu dia
pergi. Sedangkan Krit, dia tertidur di sofa karena mabuk, jadi dia tidak sadar
ketika Pinya mengedor- ngedor pintu gudang dan memanggilnya.
Malam hari. Ketika Pinya di temukan meninggal
didalam gudang, Ibu Mai dan Kakek Chom, mereka sama- sama menyalahkan Krit.
Tapi bedanya, Kakek Chom hanya menjambak dan menyiram wajah Krit menggunakan
alkohol, supaya Krit terbangun. Namun Ibu Mai, bersikap lebih parah, dia
mengambil pistol dan menembak kepala Krit.
“Kau membiarkan putri kita mati,” kata Ibu
Mai, menyalahkan Krit.
“Mai, apa yang telah kau lakukan?” tegur Kakek
Chom, pada Ibu Mai.
Kemudian Kakek Chom langsung membantu Ibu Mai.
Dia mengambil pistol ditangan Ibu Mai dan meletakkannya ditangan Krit. Untuk
membuat seolah- olah Krit bunuh diri.
“Krit. Krit!” panggil Ibu Mai, sambil
menangis.
Didalam kamar. Dengan memakai pakaian merah
terang serta lipstik merah terang, Ibu Mai memandang dirinya didepan cermin
sambil tersenyum.
Didalam kamar. Pim yang sedang tidur dengan
nyenyak, tiba- tiba seperti merasakan sesuatu. Jadi diapun bangun.
“Pim, kau cantik sekali. Aku menyanyangimu,”
kata Pinya kepada Pim bayi.
Mengingat itu, Pim tersenyum sambil membiarkan tangannya dipegang oleh Pinya.