Sinopsis K-Drama : Arthdal Chronicles
Episode 09-1
Images by : TvN
Part
2 : The Sky Turning Inside Out, Rising Land
Saya bingung dengan perubahan sikap
mendadak Tanya, apalagi Tanya menyebutnya ‘tuan’. Dia bertanya alasan Tanya
tiba-tiba berubah. Tanya menjawab kalau dia hanya ingin hidup dan tidak mau
mati. Saya tetap tidak percaya dan bertanya apakah Tanya tahu apa yang di
inginkannya dan apa yang di takutinya?
“Kau ingin kebebasan dan takut
terkurung atau di awasi,” jawab Tanya.
Tidak hanya itu, Tanya bahkan
memberitahu Saya kalau Taealha memerintahkannya untuk terus mengawasi Saya.
Tapi, dia tidak akan mematuhi perintah Taealha. Dia hanya akan melaporkan pada
Taealha apa yang Saya ingin dia katakan dan laporkan.
Saya langsung memperingati Tanya untuk
tidak menganggap remeh Taealha, atau Tanya akan terbunuh. Tanya menatapnya dan
menjawab dengan yakin kalau dia tidak akan mati. Dia bukanlah Saenarae. Dia
terus menatap Saya yang mengingatkannya akan Eunseom.
“Dan aku bukan temanmu yang sudah
mati,” ujar Saya dan memalingkan wajah. “Jangan menatapku seperti itu lagi.”
Setelah itu, Saya langsung keluar dari
gudang. Diluar, Saya memegang dadanya yang berdegup kencang. Sepertinya, dia
mulai menyukai Tanya.
Arthdal Chronicles
Rombongan budak di berhentikan di tengah
hutan untuk beristirahat. Para majikan makan dengan sangat enak sambil
tertawa-tawa, sementara para budak hanya bisa menatap mereka dengan tatapan
kelaparan. Salah seorang budak, berbicara dengan bahasa suku-nya, kepada para
majikan. Tapi, tentu saja para majikan tidak tahu apa yang di katakan budak
tersebut.
Teodae langsung menerjemahkan kalau
budak itu memohon agar di beri makanan. Atau setidaknya, berikan mereka sedikit
air.
Para majikan itu langsung berdiri dan
menghampiri mereka. Dia berjalan ke arah Eunseom dan menyuruh Eunseom mengikuti
perkataannya : “Namaku Ungu. Aku lahir dari jalang kotor yang bercinta dengan
Neanthal. Aku anak monster. Yaitu, Igutu.”
Eunseom hanya menatapnya dan tidak mau
mengucapkan sepatah katapun. Majikan itu tidak menyerah dan terus menerus
mengulang perkataannya tersebut agar Eunseom mengikutinya. Tapi, karna Eunseom
tidak mau berbicara, mereka langsung memukulnya dengan kayu secara brutal.
Setelah itu, mereka menarik Teodae dan
menyuruh Teodae menerjemahkan perkataannya ini kepada para budak : “Aku adalah
Saram. Kalian hanya hewan hina, dujeumsaeng, dan si brengsek itu Igutu, yang
lebih hina daripada dujeumsaeng.”
Teodae dengan suara bergetar
menerjemahkan semua ucapan majikan itu. Dan dengan kejam, dia berkata kalau
ocehan mereka semua tidak akan pernah dia dengarkan. Kenapa? Karena ucapan sama
seperti air, hanya mengalir dari tempat tinggi ke rendah. Dan sebab itu, mereka
tidak boleh meminta air darinya.
Tapi, dia berteriak agar mereka
mengikuti ucapannya : “Aku adalah dujeumsaeng. Apa itu dujeumsaeng? Hewan hina
yang bisa berjalan pakai dua kaki, tapi tidak bisa terbang. Ayam dan kalian!
Dan aku Saram!”
Dan jika semua berteriak : “Aku
dujeumsaeng!” dia akan memberikan air. Tapi, tidak ada satupun yang mau
berteriak. Para majikan tidak peduli jika mereka tidak mau berteriak. Toh jika
sudah tiga hari, palingan mereka hanya akan meminum darah ibu mereka (maksudnya
saling membunuh gitu, sepertinya).
Sementara Eunseom sudah sangat terluka
parah dan hanya bisa menatap mereka semua. Dia tampak sangat tidak bertenaga.
Esok hari,
Perjalanan kembali di lanjutkan di
cuaca yang sangat terik.
--
Tanya sudah di bebaskan dari hutan dan
dia membersihkan ruang-ruangan. Setelah itu, dia masuk ke kamar Saya dan
meminta izin untuk membersihkan cermin. Saya mengiyakan dan sedikit mengabaikan
Tanya.
Tanya diam menatapnya. Saat itu,
terdengar suara burung dan Saya langsung menatap keluar jendela melihat bara
burung tersebut. Tanya langsung teringat cerita Eunseom mengenai mimpinya yaitu
kalau dia membenci burung dalam mimpinya. Itu karena dia terkurung tapi para
burung bisa terbang bebas. Dia ingin menangkap burung-burung itu, tapi dia
tidak berdaya. Karena itu, dia terkadang menangis.
Mengingat mimpi tersebut, Tanya dengan
perlahan bertanya pada Saya, apa Saya ingin menangkap burung tersebut?
--
Mereka pergi ke lapangan luas. Tanya
mengikatkan batu pada sebuah kain panjang dan mulai bersiul memanggil burung.
Saya tentu takjub apalagi Saya berkata kalau dia bisa memanggil sekitar 15
spesies burung. Bukan hanya itu, dia semakin takjub saat Tanya bisa menangkap
burung (menjatuhkan) hanya dengan batu dan kain panjang, bukan panah.
Tanya kemudian menghampiri burung yang
sudah di tangkapnya dan berdoa karena burung itu telah mati rela tertangkap
demi kemajuan mereka. Saya sedikit tidak percaya karena itu seperti omong
kosong, tapi tetap saja dia terkesan.
Melihat kalau Saya sepertinya tertarik
dengan caranya menangkap burung, Tanya langsung menawari diri untuk mengajarkan
Saya menangkap burung dengan kain dan batu. Setelah beberapa kali latihan, Saya
akhirnya mampu melakukannya. Saya tertawa sangat bahagia karena hal itu.
Begiitu pula, Tanya.
Setelah itu, mereka mulai membuat api
dan memanggang burung yang tadi mereka tangkap. Saya mengeluh kalau dia tidak
bisa memakan burung, dan Tanya langsung mengupas dan memberikan daging burung
pada Saya. Saya mencobanya dan terkesan dengan daging burung.
“Aku yakin banyak hewan lezat di sini.
Kenapa tempat ini jadi seperti ini?” tanya Tanya.
“Seperti
ini? Bisa kau jelaskan?”
“Maksudku… Ada terlalu banyak makanan,
semua rumah sangat besar. Terlalu banyak orang juga.”
“Aku yakin dahulu sama seperti tempat
asalmu. Konon jadi seperti ini setelah Aramun Haesulla membentuk Serikat.”
“Omong-omong, Serikat? Apa tepatnya itu?” tanya Tanya, lagi.
“Aku ragu kau paham konsepnya, tapi
Serikat adalah…”
--
Tanya sudah kembali bekerja di
benteng. Dan dia teringat penjelasan Saya mengenai serikat. Saat rapat, para
ketua suku berkumpul dan di sanalah pemimpin serikat akan di bentuk. Aramun
Haesulla membentuk Serikat. Mengingat nama Aramun, Tanya jadi teringat saat ibu
Eunseom menyebut nama Eunseom dengan Aramun (episode 01). Mungkinkah Aramun
itu?
“Ada lebih dari 300 suku. Yang terbesar
adalah Suku Saenyeok. Suku Gunung Putih yang kedua. Tagon dan Sanung dari Suku
Saenyeok. Asa Ron dari Suku Gunung Putih. Aku harus tahu semuanya dahulu. Itu
awalnya,” tekad Tanya.
--
Malam hari telah tiba,
Para majikan itu masih terus menyuruh
Eunseom mengikuti perkatannya. Tapi, Eunseom malah meludahinya. Dia tidak
berbicara sama sekali. Dan ya lagi, mereka memukuli Eunseom dengan brutal.
Para budak lain hanya bisa menundukkan
kepala, tidak berani menatap. Majika mulai mendekati para budak dan menyebarkan
air ke tanah. Membuat semua semakin haus. Bahkan satu persatu budak akhirnya
berkata : “Aku adalah dujeumsaeng.” Teodae sendiri sudah tampak sangat goyah.
Bangs**! Walau para budak sudah
mengatakan kalimat itu, mereka malah melempar air tidak ke dalam mulut mereka
tapi ke batu, hingga mereka harus menjilat. (Aku menanti kebangkitan Eunseom
atau siapapun dan memunashkan mereka!)
Teodae benar-benar tergoda dan
merangkak ke arah majikan. Dalsae menghentikannya. Jika mereka melakukannya,
bagaimana dengan Eunseom? Eunseom mau menyelamatkan mereka, walaupun dirinya
sendiri masih cedera dan akhirnya menjadi seperti itu.
Teodae menatap ke arah Eunseom yang
tidak berdaya. Dia jatuh terduduk dan menangis. Dalsae pun menangis.
--
Chae-eun panik dan memberitahu pada
Harim dan Mubaek kalau para suku wahan itu menghilang. Dan Nunbyeol sendiri
dalam keadaan tidak sadarkan diri.
“Mereka pergi saat Nunbyeol keluar
ambil obat. Dia mencari mereka di pergunungan, merasa ini salahnya,” sesal Chae-eun.
“Aku tahu dia masih muda, tapi kenapa
dia membiarkan itu?”marah Mubaek.
“Itu salahku. Kuminta Nunbyeol
mengawasi mereka dan menemui ahli obat,” ujar Chae-eun.
“Kita harus bagaimana?” tanya Harim.
--
Para budak kembali melanjutkan
perjalanan. Dan kali ini, mereka di pukuli jika berjalan lambat. Saat itu,
Teodae terjatuh dan menemukan sebuah kayu dengan ujung yang tajam. Teodae
mengambil kayu tersebut. Dia lanjut berjalan sambil menatap Eunseom yang ada di
sebelahnya dengan tatapan kebencian. Dalsae melihat tatapannya.
--
Mubaek menemui Moogwang dan
memarahinya karena telah menjual suku Wahan. Dia mau tahu Moogwang menjualnya
kemana!
“Gilseon bilang menjual mereka pada
Syoreujagin atau siapalah. Kami sudah dibayar.”
“Syoreujagin? Baiklah,” ujar Mubaek
dan beranjak pergi.
“Apa kau ke Gunung Puncak Putih?”
tanya Moogwang, menghentikan langkah Mubaek. Saat itu, Yeonbal kebetulan lewat
dan langsung menguping. “Kau ke sana, ya? Kau ke sana, benar? Kau menemui Asa
Sakan? Ternyata benar. Kenapa kau ke sana? Apa rencanamu? Kau mau bekerja sama
dengan Asa Ron? Karena dia, Tagon jadi…”
“Bukan seperti itu.”
“Mubaek. Jika kau berpikir mau
mengkhianati Tagon, sebaiknya hentikan. Bahkan aku pun bisa merasakannya. Tagon
pasti akan tahu.”
--
Dan Yeonbal langsung menemui Tagon dan
hendak melaporkan apa yang di dengarnya tadi. Dia merasa kalau Mubaek menjadi
sedikit aneh setelah kembali dari Iark.
--
Mubaek menemui Seucheon dan
memberitahu mengenai Syoreujagin dari Doldambul yang membeli suku Wahan.
“Syoreujagin dari Doldambul? Astaga.
Mungkin sudah terlambat. Mayoritas orang memang benci Igutu. Namun, si
berengsek Syoreujagin sangat benci mereka. Astaga. Dia pasti sudah mencelakai
Eunseom,” panik Seucheon.
“Pergi selidikilah,” perintah Mubaek.
--
Malam hari,
Para budak kembali berisitirahat. Dan
para majikan mempermainkan mereka semua yang ingin minum. Teodae benar-benar
sudah kehilangan pikiran, maksudnya dalam keadaan antara sadar dan sadar.
“Aku dujeumsaeng. Aku adalah hewan. Apa
sulitnya? Apa salahnya menjadi hewan? Ada Igutu yang lebih hina daripada hewan.
Ayo bilang saja kita adalah hewan dan Eunseom jauh lebih hina daripada…,” ujar
Teodae.
“Jangan bicara begitu tentangnya,”
marah Dalsae.
“Kau… meninggalkan kami. Bukan hanya
Mungtae, kau juga meninggalkanku. Namun… kau tak meninggalkan Eunseom?”
Dalsae menunduk dan menangis. Dia
marah tapi juga merasa sangat bersalah hingga tidak tahu harus berbuat apa.
Dalsae langsung menghampiri Eunseom
dan berusaha menyadarkannya. Teodae diam-diam meraih kayu tajam yang di
temukannya tadi. Saat semua orang sudah tertidur termasuk Dalsae. Teodae dengan
perlahan, berjalan menemui Eunseom dengan membawa kayu tajam tersebut.
Dia mengarahkan kayu tersebut ke arah
leher Eunseom. Tapi, dia tidak sanggup untuk membunuh Eunseom sama sekali.
Eunseom terbangun dan menatapnya. Mata Teodae berkaca-kaca dan dengan suara
pelan, dia meminta Eunseom untuk mengatakan sama seperti yang di minta oleh
para brengsek itu.
“Kau bisa melakukannya jika kulakukan?
Silakan lakukanlah. Namun... Aku tak bisa. Kau tahu itu. Namaku adalah seperti
mantra, yang diucapkan ibuku dan Tanya. Hanya itu yang kumiliki, jadi, aku tak
bisa merelakan namaku,” ujar Eunseom.
Mata Teodae semakin berkaca dan dia
tertawa, “Baiklah. Baguslah, dasar angkuh. Kau pikir kau lebih baik daripada
kami? Kau tak peduli pada apa yang aku dan Dalsae alami, ya? Kau hanya peduli tentang
nama yang sangat kau banggakan, ya? Baiklah. Bagus untukmu, Berengsek.”
Dan dia menjauhkan kayu tajam itu dari
Eunseom dan kemudian… menusukkan kayu tersebut ke lehernya sendiri. Darah
menciprat ke wajah Eunseom. Teodae membunuh dirinya sendiri di depan Eunseom
Eunseom menjerit histeris melihat hal
tersebut. dia tidak bisa berbuah apapun karena tubuhnya di ikatkan di pohon.
Teriakan histeris Eunseom tersebut, membangunkan semua orang. Dalsae sangat
shock.
(astaga, aku merinding!)
Tags:
Arthdal Chronicles