Original Network : tvN Netflix
Lampu
penyebrangan merah, yang berarti tidak boleh menyebrang. Tapi karena terburu-
buru supaya bisa naik ke dalam bus yang sudah mau berangkat, maka Ayah Seo pun
berlari menerobos lampu merah. Dan disaat itu, dia tertabrak oleh mobil.
Pengemudi mobil dengan baik hati mengajak Ayah Seo untuk ke rumah sakit dan di periksa. Tapi karena terburu- buru, Ayah Seo pun menolak serta mengatakan dia baik- baik saja. Lalu dia masuk ke dalam bus.
Dikantor.
Ketika Ayah Seo ingin memberikan presentasi, tangannya agak gemetar. Ini adalah
efek dari tabrakan barusan. Dia merasa agak pusing dan sakit. Tapi dia
memaksakan dirinya untuk terus bekerja.
Ibu Yoon
menyukai ide bisnis Ayah Seo yang berniat untuk memudahkan orang berbelanja
secara online, dan dia berniat untuk berinvestasi disitusnya. Tapi dia melihat,
angka pengguna terus meningkat, tapi belum jelas bagaimana mendapatkan
keuntungan darisana.
“Apa masih
belum berbayar?” tanya Ibu Yoon. Dan Ayah Seo mengiyakan. “Kau pasti sudah
banyak menghabiskan uang. Sampai kapan kau hanya mau mengumpulkan pelanggan?”
tanyanya dengan tajam.
“Aku lebih
mementingkan pembesaran skala dibandingkan keuntungan,” jawab Ayah Seo.
Mendengar jawaban
itu, Ibu Yoon merasa puas. Karena hanya mengejar keuntungan pada awal bisnis
sama saja dengan meminum air di laut. Jadi dia bersedia untuk berinvestasi.
Mengetahui
itu, Ayah Seo merasa sangat senang. Lalu tiba- tiba dia mulai mimisan. “Aku
mimisan karena terlalu senang,” jelasnya sambil tertawa. “Terima kasih. Terima
kasih banyak,” katanya.
Dengan puas,
para investor memberikan tepuk tangan padanya.
Ketika Nenek
Choi meminta bantuan, Ji Pyeong mengabaikannya dan mengambil barang- barangnya.
Dia berniat untuk pergi ke Seoul, karena dia sudah diterima di Universitas
sana. Dan Nenek Choi bingung kenapa Ji Pyeong pergi secara mendadak begini.
Mendengar komentar itu, Ji Pyeong langsung meluapkan emosinya.
“Itu uangku,
bukan uangmu. Rekening itu atas namamu, tapi itu uangku. Itu hasil investasi
sahamku,” kata Ji Pyeong, merasa sangat emosi.
“Hebat. Kau
jadikan jumlahnya sepuluh kali lipat dalam setahun,” puji Nenek Choi.
“Kau tahu
kenyataannya, tapi tetap begini?” tanya Ji Pyeong, terluka.
“Karena itu,
kau mengantarku ke bank? Untuk meminjam namaku?” balas Nenek Choi.
Dan Ji
Pyeong tidak bisa menjawab. Tapi kemudian dia menjawab dengan kasar. “Ya.
Karena itu aku mengantarmu. Kau tak tahu bingungnya anak yatim piatu seumur
aku. Dikeluarkan dari panti asuhan, diberi dua juta won karena sudah dewasa.
Aku harus hidup dengan uang itu. Bank tak mau buka rekening karena aku masih
anak-anak. Aku bukan anak-anak atau orang dewasa. Konyol sekali. Lalu tiba-tiba
ada seorang nenek bodoh muncul. Karena itu, aku mengantarmu. Pikirmu aku begitu
karena berterima kasih? Hal baik seperti itu hanya dilakukan orang kaya.
Percuma aku berbuat baik dan polos. Kau malah mempermainkanku dan menyuruhku
menulis surat. Sial. Aku memang bodoh,” bentaknya. “Berikan uangku sekarang!”
Mendengar
itu, Nenek Choi tidak membalas dan masuk ke dalam rumah. Dan Ji Pyeong merasa
semakin emosi serta kesal. Tapi kemudian tanpa disangka, Nenek Choi kembali,
dan memberikan banyak uang kepadanya.
Nenek Choi
menjelaskan bahwa uang barusan, yang dia berikan kepada Ayah Seo, itu adalah
uangnya. Mengetahui itu, Ji Pyeong merasa malu dan berlari kabur.
Dal Mi
merasa sedih karena In Jae dan Ibu. Lalu kemudian Ayah Seo menelpon. Dan dia
menahan rasa sedihnya serta berusaha untuk tersenyum.
Dengan
senang, Ayah Seo menjelaskan bahwa dia berhasil mendapatkan investor. Dan
dengan bersemangat, Dal Mi mengucapkan selamat, karena Ayah Seo berhasil.
“Ayah akan
sukses dan membawa kembali Ibu dan In-jae,” kata Ayah Seo, penuh tekad. Dan Dal
Mi tidak bisa menjawab. “Kau tak percaya pada ayah?”
“Boleh aku
berkata jujur?” tanya Dal Mi, pelan.
“Tunggu
sebentar. Dengarkan perkataan ayah dulu. Kau akan berubah pikiran setelah
mendengarkan ayah. Sebenarnya ayah bisa membayangkan bagaimana dunia ini akan
berubah. Dengarkan. Kini, banyak orang yang memakai ponsel, 'kan? Bagaimana
jika ponsel itu makin canggih? Kau akan bisa berfoto dan mendengarkan musik
dari ponsel. Kau juga bisa pakai internet,” jelas Ayah Seo, penuh harapan.
“Sepertinya
akan nyaman,” komentar Dal Mi.
“Hei, itu
akan lebih dari sekadar nyaman. Dunia akan berubah drastis. Ayah bukan berhenti
dari kantor karena dipukuli. Aku berhenti untuk mempersiapkan dunia baru itu.
Bagaimana? Ayah pasti sukses, 'kan?” tanya Ayah Seo.
“Apa aku
boleh berkata jujur?’ tanya Dal Mi, pelan.
“Hei. Kau
masih tak percaya ayah?”
“Aku
percaya. Aku yakin Ayah akan sukses,” jawab Dal Mi sambil menahan rasa
sedihnya. Lalu dia memberitahu bahwa dia ingin memakan Ayam Goreng.
Ayah Seo merasa
terharu serta dia juga merasa sangat pusing. Jadi diapun diam untuk sesaat.
Lalu dia berjanji kepada Dal Mi bahwa dia akan membelikan ayam goreng dan cola
juga nanti.
Dulu aku tak sadar waktu bersamanya adalah
waktu yang berharga. Semua momen bersamanya adalah anugerah. Jadi, aku sudah
bulatkan tekad. Aku tak akan mengisi masa kini
dengan penyesalan lagi.
Ayah Seo dan
Ibu Yoon masuk ke dalam lift bersama. Ketika melihat Ayah Seo mimisan lagi, dia
meminjamkan sarung tangan nya. Dan dengan malu, Ayah Seo berterima kasih.
“Kau akan
dipanggil CEO jika sukses, dan dipanggil penipu jika gagal. Bidang ini memang
menakutkan,” komentar Ibu Yoon.
“Ya, kamu
benar. Aku selalu jatuh dan hancur. Kuharap bidang ini seperti pasir, bukan
aspal. Pasti berbisnis akan lebih mudah,” balas Ayah Seo. “Dulu putriku jatuh
saat naik ayunan dan lututnya luka parah. Jadi, istriku melarangnya untuk naik
ayunan lagi. Tapi putriku malah minta kami menebarkan pasir di bawah ayunannya.
Dia naik ayunan dengan senang, setelah aku tebarkan pasir di bawahnya. Jika
bidang ini empuk seperti pasir, pasti aku akan sangat senang dalam berbisnis.
Tapi ini terlalu keras dan menakutkan,” kata Ayah Seo sambil mengingat tentang
Dal Mi.
Ketika tidak
ada pasir empuk dibawah ayunan, saat terjatuh, maka itu akan terasa
menyakitkan. Tapi jika ada pasir empuk dibawahnya, maka walaupun terjatuh,
tidak akan terlalu sakit.
Distasiun.
Nenek Choi membelikan sepatu untuk Ji Pyeong, karena sepatu Ji Pyeong sudah
jelek. Dan Ji Pyeong menolak dengan sikap ketus yang biasa. Tapi Nenek Choi
tidak peduli dan tetap bersikap baik kepadanya.
“Aku akan
kabur dengan sepatu ini, dan menjadi orang kaya. Jauh lebih kaya darimu. Apa
kau tak akan merasa dikhianati?” tanya Ji Pyeong.
“Pasti
merasa begitu,” jawab Nenek Choi sambil berjongkok dan menggantikan sepatu Ji
Pyeong. “Aku tak akan bisa tidur karena marah, tak bisa makan, dan merasa
sangat iri.”
“Haruskah
aku kembalikan uang ini?” tanya Ji Pyeong.
“Anak Baik,
kau memang pembangkang,” keluh Nenek Choi.
Setelah
selesai memakaikan sepatu untuk Ji Pyeong, Nenek Choi duduk disebelahnya.
Dengan serius, Nenek Choi meminta Ji Pyeong untuk berjanji. Jangan
menghubunginya jika sukses. Jangan menghubunginya, jika Ji Pyeong menjadi kaya,
menikah dan hidup dengan baik. Karena dia tidak mau merasa iri. Namun hubungi
dia, jika Ji Pyeong merasa susah. Dan datang kembali, jika Ji Pyeong tidak
punya tempat berlindung. Jangan kesusahan sendiri.
Mendengar
itu, Ji Pyeong merasa tersentuh dan sedih. Tapi dia tidak mengatakan apa- apa.
Ketika sudah waktunya untuk berangkat, diapun berjalan pergi dengan langkah
lambat.
“Bu Choi.
Kau tak ada permintaan?” tanya Ji Pyeong, pelan.
“Apa? Aku
tak bisa dengar,” balas Nenek Choi.
“Katakan
permintaanmu. Aku tak bisa utang budi begini. Kau tahu aku tak suka utang budi.
Karena itu, katakan satu permintaanmu,” teriak Ji Pyeong sambil menangis.
“Kubilang
aku tak perlu. Cepat naik,” balas Nenek Choi, menahan rasa sedihnya.
Dengan
sedih, Ji Pyeong memeluk Nenek Choi untuk terakhir kalinya. “Kau harus tetap
sehat,” pintanya. Dan dengan perhatian, Nenek Choi balas memeluknya serta
menghapus air matanya.
Didalam bus.
Ayah Seo merasa tidak sehat dan kenjang- kenjang sedikit. Dan ketika Ayam
goreng nya terjatuh, seorang penumpang membantunya. Lalu dia mengomentari
apakah Ayah Seo mabuk. Dan dengan kesusahan Ayah Seo menjawab tidak.
“Ada apa
dengan tanganku? Kenapa aku begini?” gumam Ayah Seo, merasa bingung.
Do-san. Terkadang aku berpikir. Pada musim
semi tahun itu, aku kehilangan banyak hal. Jika tak ada surat darimu, bagaimana
jadinya musim semiku? Aku pasti akan lebih menyesali bunga yang gugur daripada
bunga yang bermekaran.”
Dal Mi
berada didalam kamar dan merenung.
In Jae dan
Ibu Cha berangkat ke luar negri.
Ji Pyeong
menuju ke Seoul.
Nenek Choi
membersihkan tokonya sambil memandang bunga sakura yang mulai berguguran.
Sesampainya
distasiun terakhir. Ayah Seo tidak turun. Dia meninggal. Dan Ayam goreng yang
dipegang nya terjatuh semua ke lantai. Dan di tangan yang lain dia memegang
erat ponsel dengan latar foto keluarga nya.
“Pasti akan menjadi musim semi penuh
penyesalan karena aku harus melepaskan orang yang kucintai tanpa sempat berkata
bahwa aku mencintainya.”
Flash back
end
Dal Mi
menuliskan surat untuk Do San.
Dal Mi
kemudian memasukkan surat yang sudah ditulisnya ke dalam rumah burung seperti
biasa.
Terima kasih karena menemaniku musim semi
tahun itu.
Ji Pyeong
datang ke toko Nenek Choi dan membantunya untuk membuka toko. “Ini, aku. Nek.”
Mendengar
itu, Nenek Choi menatap Ji Pyeong. “Anak baik?” tanyanya. Dan Ji Pyeong
mengiyakan. “Apa kau sakit? Kau tak punya tempat tinggal?” tanyanya dengan
perhatian.
Mendengar
itu, Ji Pyeong merasa terharu dan tanpa mengatakan apapun, dia memeluk Nenek
Choi.
Saat itu, aku percaya kau ada. Sekarang, aku ingin
percaya bahwa kau benar ada, Do-san. Aku merindukanmu.
Do San yang
asli. Dia dan teman- temannya berhasil menemukan program IT yang canggih. Dan
mereka bertiga merasa sangat senang sekali.
Jadi, kupikir kini aku harus menemukanmu, Nam
Do-san.