Original
Network : jTBC Netfix
“Nomor kasus 2017D2531. Sebuah kasus suap. Kepala Jaksa Seo
didakwa atas kasus suap terkait penerimaan lahan senilai 370 juta dari Anggota
Dewan Ko. Sidang pertama, tak bersalah. Sidang kedua, bersalah. Mahkamah Agung
mengembalikan kasusnya dan dia bebas. Kasus ditutup,” kata Jong Hoon, mengambil
sebuah kasus sebagai materi belajar. “Apa inti masalah di sini?” tanyanya.
“Haruskah lahan gratis yang Seo dapat dianggap sebagai bukti suap
atau hadiah?” kata Byung Ju sambil berjalan masuk ke dalam kelas dengan membawa
dua gelas kopi. “Kau pakai kasusku sebagai materi kelasmu. Aku merasa
terhormat,” katanya sambil tersenyum.
“Mahkamah Agung berkata itu bukan suap. Apa alasannya?” tanya Jong
Hoon.
“Karena tak ditemukan adanya relasi antara tugasku dan quid pro
quo (sesuatu untuk sesuatu, atau barter),”
jawab Byung Ju, menjelaskan.
2017. Sidang.
Sebagai Jaksa penuntut, Jong
Hoon menanyai Byung Ju yang menjadi terdakwa, apakah lahan senilai 370 juta won
yang berubah menjadi 5,6 miliar won adalah sebuah hadiah atau suap. Dan Byung
Ju menjawab bahwa itu adalah hadiah yang disalah artikan sebagai suap.
“Hadiah? Itu uang 370 juta won. Hadiah sebesar itu tidak normal,”
komentar Joon Hwi.
“Mereka adalah teman baik. Berdasarkan pernyataan penghakiman, Seo
adalah teman dekat Ko, sangat dekat dan tahu satu sama lain,” lawan Ji Ho yang
sudah membaca kasus ini.
Sidang
Jong Hoon menyatakan bahwa
walaupun Byung Ju dan Ko Hyeong Su adalah teman dekat, namun Hyeong Su pasti
memiliki motif tertentu saat memberikan lahan tersebut, yaitu sebagai jaminan,
bila suatu saat dia terkena masalah, maka Byung Ju mau membantunya. Dan Byung
Ju tidak mungkin tidak mengetahui motif Hyeong Su tersebut. Jadi ini tidak bisa
di katakan sebagai ‘bukan qui pro quo’.
“Itu pelanggaran terkait larangan suap terhadap aparat. Terkait
jabatannya dan demi kepentingan pribadi,” kata Joon Hwi. Perkataannya sama
persis dengan perkataan Jong Hoon dulu di persidangan.
“Jadi, dia menyuapku sebagai jaminan?” tanya Byung Ju. Dan Joon
Hwi membenarkan.
“Kau tak baca hasil putusannya. Seharusnya kau membacanya dengan
teliti karena ini kasusku dulu,” kata Jong Hoon, mengingatkan. “Seo Ji-ho. Bisa
beri tahu kami?”
“Harapan akan bantuan di masa mendatang bukanlah quid pro quo.
Suap untuk jaminan bukanlah tindak suap,” jawab Ji Ho.
“Tindakan non-suap itu digunakan untuk kepentingan kalian.
Melegakan sekali,” kata Jong Hoon, memuji Byung Ju dengan sikap sarkastik.
Mendengar pujian tersebut, Byung Ju memberikan segelas es kopi
yang di bawanya. “Kelas yang amat menarik,” balas nya, memuji.
Didepan patung keadilan. Byung Ju dan Jong Hoon mengobrol berdua.
Byung Ju memuji kehebatan Jong Hoon dan menyarankannya untuk kembali menjadi
Jaksa saja, sebab menurut nya, Jong Hoon memang terlahir untuk menjadi Jaksa.
Dan Jong Hoon mengiyakan, namun sekarang dia disini, itu semua adalah akibat
dari Byung Ju. Setelah mengatakan hal tersebut, Jong Hoon mengembalikan es kopi
yang belum diminumnya kepada Byung Ju.
Ketika Jong Hoon pergi, Byung Ju mendapatkan telpon dari nomor tidak dikenal.
Oktober 2020
Ada telpon masuk diponsel Byung Ju. Tapi Jong Hoon dan kedua
detektif tidak menyadari hal tersebut, karena ponsel itu tidak bersuara ataupun
bergetar. Juga mereka sedang sibuk memperhatikan rekaman CCTV.
“Jika benar dia dibunuh, pelaku pasti menggunakan pintu itu,”
tebak Det. Oh.
“Agar tak ada jejak di CCTV,” tambah Det. Jang Dong Su, setuju.
“Pintu itu khusus untuk para profesor, dibuka dengan sidik jari,”
jelas Jong Hoon.
Karena pintu diruangan pengawas tidak mungkin, maka Det. Oh berkesimpulan bahwa pelaku pasti masuk melalui pintu yang berada didalam aula
pengadilan. Namun karena CCTV tidak ada menampilkan koridor yang menuju ruang
tunggu dari aula pengadilan. Ini berarti mereka tidak bisa memastikan siapa
saja yang keluar masuk disitu.
“Kau bisa menebaknya melalui jejak kaki,” kata Jong Hoon,
menyarankan.
Jong Hoon lalu mendapatkan telpon. “Baterainya habis? Akan kuisi
sekarang,” katanya, lalu dia memeriksa alat pengintai di kakinya (gelang
pengintai untuk tersangka kasus pemerkosaan).
Melihat itu, Det. Dong Su merasa bingung. Dan Det. Oh berbisik, menjelaskan kepadanya. “Dia mencobanya untuk kelasnya.”
“Jika dia dibunuh, apa ada yang kau curigai?” tanya Det. Dong Su.
“Aku,” jawab Jong Hoon. Mendengar iu, Det. Dong Su tertegun. Lalu
Det. Oh berbisik sesuatu ditelinganya untuk menjelaskan. “Tapi ada orang
lain yang aku curigai,” tambah Jong Hoon, menjawab.
Para wartawan berkerumung didepan pintu masuk falkutas hukum.
Dean Oh mengadakan rapat. Donasi yang Byung Ju berikan saja sudah
kontroversial, lalu kejadian tidak terduga ini malah terjadi. Byung Ju
meninggal didalam bangunan yang didirikan menggunakan uang nya tersebut. Dan
kasus ini masih belum diketahui, apakah ini pembunuhan atau bunuh diri, karena
mereka masih harus menunggu hasil autopsi. Dan Dean Oh menanyai pendapat setiap
orang, apa yang harus dilakukan sekarang.
“Pihak kampus tak akan membuat pernyataan terkait kasus ini.
Tolong menjauh dari media dan suruh murid kalian untuk diam,” kata Wakil Dean
Ju, membuat keputusan. “Untuk mengurangi stres dan menjauhkan mereka dari kasus
ini, perlukah kita undur ujian…” tanyanya.
“Tidak perlu,” jawab Jong Hoon, yang baru masuk ke dalam ruang
rapat. “Rapat ini penuh tekanan. Tapi aku yakin perpustakaannya baik-baik
saja,” jelasnya sambil mengecas alat pengintai yang berada dibawah kaki nya.
Diperpustakaan. Kang Sol A ingin bergosip tentang kasus kematian
Byung Ju, tapi Kang Sol B tidak menanggapinya. Bahkan Kang Sol B dan setiap
orang didalam perpustakaan menatap Kang Sol A dengan tajam supaya diam.
Dengan ngeri, Kang Sol A pun diam. Lalu dia mendorong kursinya ke
belakang dan tidak sengaja membuat suara. Mendengar itu, setiap orang kembali
menatap nya dengan tajam. Dan dengan perasaan tambah ngeri, Kang Sol A pun
langsung pergi dari perpustakaan secara diam- diam.
Ditempat fotocopy. Ketika Kang Sol A mendengar media sibuk
memberitakan tentang kasus kematian Byun Su, dia merasa stress. Lalu dengan
kesal dia mengomel, bagaimana bisa semua orang tenang, dan bersikap biasa saja
dengan duduk dan belajar, kepadahal publik sibuk membicarakan kampus mereka.
“Kau mau apa jika tidak belajar? Jika tak lolos ujian pengacara,
hidupmu bisa kacau. Hanya setengah yang akan lulus. Ini perang. "Kau mati,
aku hidup.”,” kata Penjaga, Sung Dong Il, berkomentar.
“Tapi dia bukan orang asing. Dia ada di sana sedetik yang lalu.
Bagaimana bisa tak ada yang peduli? Dasar psikopat. Bajingan berdarah dingin,”
balas Kang Sol A masih mengomel.
“Jadilah psikopat jika itu membantumu untuk lulus,” balas Penjaga
Dong, menyindir.
Berita : “Polisi
menduga jika dia dibunuh dan akan jalani autopsi untuk temukan penyebab
kematiannya.”
Mendengar itu, Kang Sol A jadi merasa penasaran, apakah itu benar.
Dan Penjaga Dong menasehati Kang Sol A untuk jangan pedulikan itu dan belajar
saja, karena satu masa percobaan lagi, maka Kang Sol A sudah harus membayar
beasiswa orang miskin yang sebelumnya Kang Sol A dapatkan. Dengan stress, Kang
Sol A diam dan membereskan kertas- kertas yang berserakan di meja.
“Masalahmu sudah cukup banyak. Kau bekerja paruh waktu di sini.
Belajarlah,” kata Penjaga Dong, mengambil alih kerjaan Kang Sol A.
“Tapi ini kasus pembunuhan,” gumam Kang Sol A.
“Bunuhlah buku-bukumu. Cepat pergi. Pergi!” usir Penjaga Dong.
Kang Sol A tetap tidak mau pergi. “Jika dia dibunuh, lalu siapa
pelakunya?” tanyanya, penasaran.
Mendengar itu, dengan kesal, Penjaga Dong menfoto copy wajahnya
sendiri, kemudian dia menulis sesuatu disana, lalu dia memberikan hasilnya
kepada Kang Sol A. “"Kau akan sepertiku" Taruh di kamarmu,” katanya.
“Gagal ujian pengacara 10 kali? Tidak!” kata Kang Sol A, takut.
Lalu dia langsung berlari pergi.
Kang Sol A kembali ke dalam perpustakaan. Kali ini dia berusaha
untuk jangan sambil menimbulkan suara dan mengganggu orang lain. Dan ketika dia
berhasil duduk ditempatnya dengan tenang, dia menghela nafas lega.
Lalu ketika Kang Sol A menatap ke depan, dia menemukan memo kecil
didepan nya. “DESAHANMU PUN BERISIK!”. Membaca itu, dia mendengus pelan. Lalu
ketika dia menatap ke arah buku nya, dia menemukan memo kecil lagi. “TIDAK
SEMUA ORANG BAIK-BAIK SAJA.” Membaca itu, dia merasa heran dan menatap ke
sekeliling nya.
Joon Hwi berlari mengelilingi lapangan sambil dia merasa capek,
barulah dia berhenti dan berbaring di tanah untuk beristirahat.
Ketika Joon Hwi kembali ke kampus, dia bertemu dengan Jong Hoon
yang sedang berdiri didepan batu kenangan. ‘DEDIKASI ALUMNI SEO BYUNG-JU.
DONASI ANDA AKAN CIPTAKAN KEADILAN.’
“Katamu dia tak bunuh diri,” kata Joon Hwi.
Dan Jong Hoon menganggukkan kepalanya. “Terlalu banyak hal yang
harus dia urus untuk bunuh diri.”
“Siapa kira-kira?” gumam Joon Hwi, bertanya. Dan Jong Hoon diam.
Kamar Man Ho dipenuhi dengan tempelan koran berita, buku- buku
tentang hukum. Dan dia sendiri sedang berbaring mendengar kan berita tentang
Byung Ju sambil membaca buku tebal tentang hukum. Lalu dikaki nya terpasang
alat pengintai. Dan sedang di cas oleh nya.
Det. Dong Su dan Det. Oh datang ke tempat Man Ho.
Alat pengintai dikaki Jong Hoon di lepaskan.
Jong Hoon memperhatikan lokasi beberapa tahanan yang baru
dibebaskan. Salah satunya adalah Man Ho. Dia memperhatikan lokasi mereka
melalui gps yang tertanam di alat pengintai. Ini karena mereka barusaja di
bebaskan, jadi mereka masih harus di pantau supaya tidak meresahkan masyarakat.
Maret 2020
Man Ho datang ke Falkutas Hukum. Dilorong, dia bertemu dengan Penjaga Dong. “Di mana aula kelas untuk kelas Hukum Perdata?” tanyanya.