Sesuai yang dikatakan Bao Xue, dia membawa Xiao Yu ke dalam pertemuan yang dihadirinya. Hari ini, dia akan makan malam dengan temannya dan sekaligus diperkenalkan ke partner bisnis temannya gitu (?) Bao Xue juga memperkenalkan Xiao Yu pada semua orang yang hadir. Ada tn. Ge yang merupakan investor dari drama terakhirnya sekaligus teman yang mengundangnya ke pertemuan ini. Kemudian, tn. Chai yang hari ini juga baru pertama kali ditemuinya.
tn. Chai juga sempat mengira Bao Xue dan Xiao Yu adalah kakak adik. Bao Xue segera meluruskan kalau mereka sepupu. Ayah Xiao Yu adalah pamannya. Karena kepribadian keduanya yang supel, mereka dengan cepat akrab dengan tn. Chai.
Sekretaris Shanshan, Feng Xi yang sedari tadi sudah ada disana dan mendengar obrolan mereka, menginterupsi dengan sopan, untuk menyampaikan pesan bosnya agar mereka mulai makan duluan saja. Ya udah, mereka duduk untuk berbincang. Mereka tidak makan dan menunggu hingga Shanshan tiba.
Layaknya pertemuan pertama, tn. Chai mengajak Xiao Yu berbincang. Kemudian, dia meminta izin, bolehkah mereka menambahkan akun We Chat (berteman di WeChat). Xiao Yu sedikit ragu sehingga dia melirik ke Bao Xue. Bao Xue memberitanda kalau Xiao Yu boleh memberikan nomornya ke tn. Chai, jadi Xiao Yu memberikannya.
Di tengah pembicaraan, tn Du Shijun, dari ruang makan VIP sebelah, datang menyapa. Dia datang karena mendengar suara tn. Ge. Mereka saling bertegur sapa. tn. Ge juga memperkenalkan tn. Du yang berasal dari Firma Hukum Shi Cheng, rekan bisnisnya.
Akhirnya, orang yang mengadakan pertemuan datang, Shanshan. Begitu tiba, dia segera meminta maaf dengan sopan karena sudah datang terlambat. Tn. Du juga pamit pergi untuk kembali ke ruangannya. Setelah tn. Du pergi, tn. Ge memperkenalkan Shanshan pada Bao Xue dan Xiao Yu. Saat mendengar nama mereka, Shanshan tertawa kecil karena arti nama Yu dan Xue berarti ‘hujan’ dan ‘salju.’ Wow, terdengar dingin.
Pertemuan itu berlangsung dengan menyenangkan. Xiao Yu juga ternyata sangat kuat minum. Semua sampai kagum dengan kemampuan minum Xiao Yu. Xiao Yu juga pandai bicara dan membuat suasana terasa lebih menenangkan.
Di pertemuan itu, karena kebetulan Xiao Yu duduk disebelah tn. Chai, jadi tn. Chai lebih sering mengajaknya bicara, apalagi Shanshan sedang sibuk membahas sesuatu diluar. tn. Chai banyak mengatakan nasehat yang bagus untuk Xiao Yu. Seperti, tidak ada orang yang sukses tanpa berusaha. Kau harus mengerti betapa pentingnya uang baru bisa menyimpan uang.
Xiao Yu membalas dengan sedikit bercanda kalau dia sekarang tidak punya uang untuk disimpan. tn. Chai membalas kalau Xiao Yu kan bisa membuatnya. Sekarang, kesempatan ada di hadapannya. Makan malam dengannya.
“Hah?” kaget Xiao Yu. Dari ekspresi wajahnya, dia sepertinya sudah berpikiran buruk.
“Kau sudah salah paham,” ujar tn. Chai, sebelum Xiao Yu berpikiran aneh. “Sebagian besar dari bisnis kami adalah hubungan masyarakat. Banyak kontrak yang ditandatangani saat makan bersama. Xiao Yu, kau cantik, elegan dan berpendidikan. Ini adalah kelebihan yang harus kau gunakan.”
Xiao Yu menolak sopan dengan alasan tidak begitu mengerti bisnis tn. Chai. tn. Chai membalas balik kalau Xiao Yu kan bisa belajar. Xiao Yu akhirnya menjawab kalau dia akan memikirkannya dulu. Tn. Chai setuju dan menambahkan kalau dia nggak memaksa, jadi Xiao Yu bisa memikirkannya baik-baik.
Sementara itu, Bao Xue berbincang dengan Feng Xi. Dia membuka pembicaraan dengan menanyakan kampung Feng Xi, karena tadi kan Shanshan bilang berasal dari daerah yang sama dengan Feng Xi. Feng Xi menjawab kalau dia berasal dari Jingzhou, Hubei. Dia ke Beijing karena pacarnya mengambil kuliah Ph.D di Beijing. Sudah sekitar tiga tahun.
Feng Xi sangat bangga saat membicarakan pacarnya karna pacarnya sangat pintar dan sekarang sedang meneliti untuk gelar post-doktoral. Bao Xue kagum dan jadi makin kepo, gimana keduanya bisa bertemu? Dengan senang, Feng Xi menjawab kalau dia dan pacarnya adalah teman sekelas saat SMP. Sejak kecil, nilai studi pacarnya sudah bagus. Saat ujian masuk universitas, nilai pacarnya cukup untuk kuliah di Ibukota provinsi. Sementara dia mulai bekerja begitu lulus sekolah. Setelah menyelesaikan sarjananya, pacarnya melanjutkan ke sekolah pasca-sarjana. Dia naik bus jarak jauh untuk mengunjungi pacarnya itu setiap bulan. Kemudian, pacarnya diterima kuliah Doktoral di Beijing, jadi dia berhenti dari pekerjaannya dan ikut pacarnya kemari. Kebetulan,dia punya saudara yang pergi keluar negeri, jadi dia menjaga rumahnya. Dan kebetulannya lagi, rumah saudaranya itu dekat kampus pacarnya.
Bao Xue mengira kalau Feng Xi sekarang tinggal bersama pacarnya tersebut. Eh, dugaannya tersebut salah. Pacar Fengxi tinggal di asrama kampus. Dan setiap akhir pekan, pacarnya akan membawa baju kotor ke rumahnya untuk dia cuci, kemudian, dia akan memasak sesuatu yang enak untuk pacarnya itu agar dia senang. Feng Xi merasa bahagia dan tenang karena bisa tinggal satu kota dengan pacarnya. Dia juga sudah membicarakan pernikahan dengan pacarnya itu. Mereka akan menikah begitu pacarnya lulus.
Pembicaraan mereka berakhir, karena Shanshan dan tn. Ge sudah menyelesaikan pembicaraan bisnis mereka. Mood Shanshan kelihatannya cukup bagus karena dia mengajak semuanya untuk ikut berkuda dengannya besok. tn. Ge dan tn. Chai menolak karena mereka sudah ada janji. Xiao Yu juga menolak karena dia paling takut olahraga, lebih baik tiduran saja. Sementara Feng Xi dan Bao Xue punya waktu dan okay untuk iktu dengannya.
--
Esok harinya,
Mereka pergi ke arena berkuda dengan mobil Shanshan. Ketiganya cukup nyambung dalam berbincang. Dari mereka bicara, ketiganya sepertinya punya pemikiran yang sangat berbeda. Bao Xue begitu optimis walaupun hanya menjadi artis dengan peran kecil. Shanshan dengan pemikiran logisnya. Sementara Feng Xi yang cukup tenang.
Shanshan sudah sering berkuda, jadi dia sudah mempunyai kudanya sendiri di sana. Dia juga membantu melatih Bao Xue dan Feng Xi dalam berkuda. Lagi asik berlatih, ada soerang pria yang mendekati dan memohon bantuan mereka bertiga untuk menjadi figuran karena dia sedang membuat iklan di sana. Eh, tidak disangka, Bao Xue ternyata mengenali pria itu, Liu Liangzhou. Bao Xue memberitahu Shanshan kalau Liangzhou adalah fotografer dramanya sebelumnya.
Karena sudah saling mengenal, tentu Bao Xue mau membantu. Shanshan juga mau mau membantu, tapi dia masih punya urusan lain. Jadi, hanya Bao Xue dan Feng Xi yang membantu dengan menjadi figuran.
Shanshan bertemu seorang pria yang juga berkuda di sana. Pria itu panggil Kak Bin. Beberapa waktu lalu, dia meminjam uang Shanshan dan belum mengembalikannya. Dia berjanji akan segera membayar begitu mendapatkan uang. Dia merasa nggak enak karna Shanshan sama sekali tidak mendesaknya untuk membayar kembali hutangnya, jadi dia berjanji akan membayar bunga hutangnya beberapa hari lagi. Shanshan nggak mau menerimanya karena dulu, kak Bin yang mengajarinya saat dia mulai berbisnis. Makanya, dia menyuruh agar kak Bin membayarnya saat perputaran modalnya sudah normal. Dan dia hanya perlu membayar pokoknya saja. Tidak usah pakai bunga.
--
Bao Xue pulang dengan badan letih dan sakit habis berkuda. Pas dia sampai, Nenek sedang bermain piaono dan Xiao Yu tidak ada di rumah. Nenek memberitahu kalau Xiao Yu pergi dan bilang mau mengunjungi perusahaan.
Selesai bermain piano, Nenek membantu menguruti Bao Xue yang mengeluh sakit pinggang dan pantat. Bao Xue mengeluh kalau berkuda jauh lebih menyakitkan daripada pacaran. Ah, sempat-sempatnya dia menggoda ingin membantu mencarikan pacar untuk Neneknya. Setelah membantu mengurut sebentar, Nenek mulai ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Bao Xue ikut membantu sambil berbincang dengan Neneknya. Dia memuji suara nyanyian neneknya yang begitu murni dan tidak seperti berumur 70tahunan. Ada banyak hal yang dibicarakan Nenek, apalagi terkait masa lalu.
Nenek juga kelihatan bahagia saat membicarakan Ibu Bao Xue dan Bao Xue. Dia bercerita kalau Chencheng, ibu Bao Xue, begitu lulus kuliah, mulai bekerja di Shenzhen. Saat melahirkan Bao Xue, Chengcheng kembali ke Beijing dan dia yang menjaganya selama masa nifas. Setelah cuti hamilnya selesai, Chengcheng kembali ke Shenzhen untuk bekerja. Karena dia sangat menyanyangi keduanya, jadi Chengcheng membiarkan Bao Xue tetap di Beijing agar dijaga olehnya dan Kakek. Saat itu, paman Bao Xue merasa Chengcheng mengambil keuntungan besar, jadi dia langsung mengirim Xiao Yu ke TK di Beijing. Saat itu, kakek bilang padanya agar mereka harus adil. Punya cucu dalam dan luar disisi kita sangat baik dan kehidupan setelah pernikahan tidak akan terasa sepi. Padahal saat itu dia belum memberikan pendapat, tapi kakek sudah membuka kedua tangan dengan lebar untuk menyambut Bao Xue dan Xiao Yu.
Bao Xue menimpali kalau dia dan Xiao Yu dibesarkan oleh Kakek dan Neneknya. Nenek membenarkan. Dan yang membuat takjud, dia membesarkan keduanya dengan cara yang sama tapi hasilnya, begitu berbeda. Seperti kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bao Xue sangat mirip dengan orangtuanya, jujur dan baik. Sementara paman dan bibi Bao Xue (ayah dan Ibu Xiaoyu) sangat egois dan selalu memikirkan diri sendiri.
Melihat Nenek begitu marah saat membicarakan paman dan bibinya, Bao Xue tidak bisa menahan diri lagi untuk bertanya. Dia ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi antara Nenek dengan pamannya? Saat dia masih kecil, Nenek dan orangtuanya tidak mau memberitahu apapun dengan alasan dia masih kecil. Tapi sekarang, dia sudah dewasa dan setidaknya, mereka harus memberitahunya alasannya bukan.
Nenek tidak mau karna jika tahu terlalu banyak dan disimpan di hati, bisa jadi penyakit. Bao Xue tetap ingin tahu karena diliputi tanda tanya juga bisa jadi penyakit. Dia masih tidak mengerti kenapa Neneknya begitu kesal jika membahas paman dan bibinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Bao Xue terus membujuk Neneknya agar mau cerita.
Akhirnya, Nenek mau bercerita. Masalah ini sudah dimulai sejak kakek masih hidup.
--
Pacar Feng Xi, Li Xiang, datang berkunjung. Baru juga datang, dia sudah mengomel-ngomel karena Feng Xi bilang kelelahan dan menyarankan agar mereka pesan makan malam saja. Li Xiang mengomentar Feng Xi yang bergaul dengan Shanshan yang teman-temannya pria-pria mesum. Feng Xi hanya menanggapi Li Xiang dengan bilang pemikirannya yang kotor.
Li Xiang beneran nggak puas dan ingin menelpon Shanshan untuk memperingatinya agar lain kali tidak membawa Feng Xi keluar lagi. Feng Xi setuju aja dan tidak masalah. Li Xiang langsung menelpon Shanshan dan menyalakan loudspeaker. Tanpa babibu, dia menyuruh Shanshan untuk tidak membawa Feng Xi keluar lagi lain kali demi alasan apapun karena apa yang Shanshan lakukan sangat mengganggu dunia mereka berdua. Jika Shanshan ada masalah dengan hubungan mereka, dia bisa langsung memberitahunya atau jika ada pendapat mengenai dirinya juga bisa langsung bilang. Jangan menganggu mereka dengan cara ini.
Shanshan langsung membalas semua ucapan Li Xiang dengan menohok. Dia kan hanya membawa Feng Xi keluar agar Feng Xi mengenal dunia luar agar hidupnya sedikit berwarna. Dia tidak ingin memberi Feng Xi kesempatan selingkuh. Emangnya Li Xiang mau Feng Xi gimana? Menunggu Li Xiang di rumah selama 24 jam untuk melayaninya, hah? Dia anggap Feng Xi apaan? Pacarnya atau ibunya? Tidak boleh begitu egois tahu!
Begitu mengatakan itu, Shanshan langsung mematikan telepon. Li Xiang beneran kesal. Sementara Feng Xi tertawa kecil mendengar Li Xiang dimarahi.
Sebenarnya, Shanshan sedikit khawatir juga jika Li Xiang tersinggung, jadi dia mengirim pesan ke Feng Xi, untuk bertana, apakah Li Xiang marah? Feng Xi membalas : “Marahi saja dia.”
Feng Xi mendukung Shanshan. Tapi, dia juga berusaha menghibur Li Xiang yang down setelah dimarahi Shanshan. Li Xiang tidak marah karena yang dikatakan Shanshan ada benarnya. Dia hanya berusaha mempertahankan harga diri dengan bilang kalau Shanshan memang keras kepala.
--
Nenek mulai menceritakan masalahnya dengan paman Bao Xue. Ini dimulai dari sepuluh tahun yang lalu. Saat itu, rumah mereka mengalami pembongkaran dan mereka diberikan sejumlah uang ganti rugi. Kemudian, mereka mendapatkan rumah ini. Saat itu, rumah ini belum diberikan secara resmi meski sudah dijanjikan. Saat itu, paman Bao Xue, Dai Hou Jiang (ayah Xiao Yu) yang mendengar kabar mengenai rumah ini, segera datang secepat kilat dari Hangzhou. Begitu tiba, Hou Jiang langsung sibuk bekerja, membeli dan memasak sayur hingga membawakan teh dan air. Tentu saja, Nenek merasa ada yang aneh.
Dan benar, Hou Jiang datang dan bersikap baik kepada mereka dengan maksud tertentu. Hou Jiang membujuk kakek dan nenek untuk tidak terburu-buru membeli rumah baru setelah pembongkaran. Dia mengajak mereka tinggal bersamanya di Hangzhou. Dia ada rencana untuk mengubah rumahnya, jadi, dia ingin menyatukan uangnya dan uang ganti rugi pembongkaran yang didapatkan orang tuanya, untuk membeli rumah yang lebih besar.
Saat tahu niatnya tidak murni, Nenek kelihatan kecewa dan marah. Dia sudah menduga hal itu, tapi tetap saja menyakitkan saat dugaannya ternyata benar. Berbeda dengan Nenek, Kakek tidak masalah jika harus pindah ke rumah putranya itu. Nenek tetap pada keputusan awalnya. Dia tidak akan pergi dan pindah dari kampung halamannya ini. Jika kakek setuju dengan Hou Jiang, kakek bisa pergi dengan Hou Jiang tapi dia tetap akan di sini. Dia akan membeli rumah baru yang tenang dan dekat dengan rumah sakit.
Kakek itu tahu kalau niat Hou Jiang adalah uang mereka. Jadi, dia menyarankan Nenek agar mereka mencari rumah yang agak jauh saja untuk menghemat uang dan sisa uangnya bisa diberikan kepada Hou Jiang dan keluarganya untuk membeli rumah yang lebih besar. Nenek tetap saja tidak setuju.
Dengan tegas dan bijaksana, Nenek menasehati Hou Jiang untuk membeli sesuatu sesuai kemampuan. Mengapa pula dia harus membeli rumah besar hanya untuk tiga orang? Beli yang kecil dulu. Saat nanti punya uang, baru beli rumah besar. Wajar kalau nenek marah karena dia saja tidak pernah mengambil keuntungan dari Hou Jiang, tapi Hou Jiang terus saja menginginkan uang mereka!
Hou Jiang sudah kelihatan kesal. Dia membela diri kalau dia kan hanya memberikan saran, tapi kenapa ibunya harus mengatakan hal menyakitkan seperti itu?! Nenek tidak peduli pada protesnya dan tetap menegaskan kalau dia nggak akan pindah. Setelah mendapatkan uang pembongkaran, tidak ada yang boleh menyentuh uang tersebut karna dia akan menggunakannya untuk membeli rumah pensiun baginya dan Kakek.
Walaupun Nenek mengatakan hal secara tegas dan kelihatan dingin, tapi sebenarnya hatinya sangat sakit. Dia menangis sepanjang malam di tempat tidurnya karna rasa kecewa yang begitu besar. Kakek lah yang berusaha menghiburnya. Tapi, Nenek sudah sangat sedih. Di saat anak orang lain memberikan uang untuk membeli rumah besar kepada orang tuanya, tapi anak mereka malah ingin memakai uang mereka untuk membelikan diri sendiri rumah besar. Apa itu bisa disebut berbakti? Nenek tetap ingin agar mereka memiliki rumah sendiri. Kakek membujuk, kalau itu juga akan menjadi rumah mereka karena mereka ikut membayar. Nenek langsung bertanya, jika ada dua keluarga dalam satu atap, siapa yang akan menjadi tuan rumah? Dia atau Zhu Min (nama menantunya, Ibu Xiao Yu)? Kakek membalas kalau semuanya satu keluarga dan dengarkan saja siapapun yang benar. Nenek dengan bijak menjawab kalau didunia ini, semua orang punya pemikiran sendiri untuk menentukan siapa yang benar dan salah.
Gara-gara membahas Hou Jiang, mereka berdua hampir saja bertengkar hebat karena perbedaan pendapat. Nenek merasa dia tidak salah karna dia sudah membesarkan Hou Jiang dari kecil, jadi dia tidak bersalah apapun padanya.
Setelah semua masalah itu, akhirnya Nenek dan Kakek membeli rumah yang mereka tinggali sekarang. Dan kemudian, Hou Jiang berhenti berkunjung. Setengah tahun kemudian, rumah mereka siap di huni. Dia baru saja mau memulai hidup yang tenang, tapi Hou Jiang diam-diam menelpon kakek. Setelah menerima telepon itu, Kakek mengajak Nenek berdiskusi.
Hou Jiang bilang sama kakek kalau Xiao Yu akan kuliah di Eropa. Ada dua pilihan, pertama : kuliah di Inggris dan hanya diberikan beasiswa 50%, namun, biaya hidup lebih murah. Kedua : kuliah di Norwegia dengan beasiswa penuh, namun, biaya hidup akan sedikit lebih mahal. Ah, dari pembicaraannya saja, sudah ketahuan kalau Hou Jiang ingin meminta uang. Kakek memberitahu kalau untuk biaya sekolah dan hidup 1 tahun akan butuh sekitar 100.000 yuan. Dia ingin membantu Hou Jiang karena Hou Jiang kan juga baru-baru ini membeli rumah. Nenek langsung membalas kalau mereka juga baru membeli rumah. Mereka tidak ada uang untuk membantu Hou Jiang. Kakek beneran ingin membantu sehingga dia menyarankan agar mereka menggunakan uang tabungan mereka yang masih ada sekitar 1 juta Yuan.
Untung ada Nenek yang masih mampu berpikir logis. Dia tidak mengizinkan Kakek menggunakan uang masa tua mereka tersebut. Dengan tegas, dia menyatakan kalau dia hanya membiayai pendidikan anak-anaknya. Mereka sudah menyekolahkan Hou Jiang sampai sarjana dan Chengcheng lulusan pasca-sarjana. Sudah cukup. Dia sudah melakukan yang terbaik. Jadi, mereka jangan ikut campur lagi untuk hal yang tidak bisa mereka lakukan. Dan setelah itu, kakek hanya diam dan tidak membahasnya lagi.
(maaf, interupsi, kalau kalian di posisi Nenek gimana? Setuju sama kakek dan memberikan semuanya? Atau setuju dengan pendapat Nenek? Kalau aku, mungkin aku setuju dengan Nenek).
Dan kemudian, di hari ‘kepergian’ kakek, Nenek bertengkar hebat dengan Hou Jiang di aula berkabung di rumah. Mengingat hari itu, terlihat jelas kesedihan di wajah Nenek.
Saat itu, Nenek masih sangat berduka. Di sisinya ada Hou Jiang dan Chengcheng. Padahal kakek baru saja di kremasi, tapi Hou Jiang malah mengajak Nenek untuk ikut dengannya ke Hangzhou. Nenek menolak dan hanya ingin tinggal di rumahnya. Dia tidak mau menambah masalah dengan tinggal di Hangzhou. Hou Jiang memintanya untuk tidak bicara begitu karna sudah sepantasnya dia dan istrinya menjaga Nenek. Nenek tetap menolak karena dia tahu Hou Jiang sudah cukup tertekan dengan biaya kuiah Xiao Yu. Chengcheng ikut bicara dan mengajak ibunya untuk tinggal dengannya saja di Shenzhen untuk sementara. Dan ibunya bisa pulang kapanpun dia mau. Nenek tetap pada keputusan awalnya, tidak akan pergi. Jika mereka merindukannya, mereka bisa datang berkunjung.
Hou Jiang tetap membujuk Nenek untuk ikut dengannya. Dia membahas usia nenek yang sudah berumur dan untuk apa tinggal di rumah sebesar ini? Akan sangat susah membersihkannya.
“Katakan? Apa maumu?” perintah Nenek setelah mengatakan perkataan Hou Jiang. Apa yang Hou Jiang katakan, menyiratkan kalau dia ingin menjual rumah Nenek.
Suasana menjadi dingin. Hou Jiang diam sejenak sebelum menjawab. Dia menegaskan terlebih dahulu kalau dia nggak ada niat memanfaatkan Ibunya sama sekali. Tapi sekarang, dia sedang melakukan bisnis dan memerlukan dana. Dia sudah menjaminkan rumahnya di Hangzhou, namun, uangnya juga tak cukup. Jadi, bisakah dia membantunya dulu dengan menjaminkan rumah ini? Jika bisnisnya sudah berjalan, dia akan membayar Ibunya dengan bunganya sekaligus.
Nenek tertawa miris. Dia sudah menduga kalau Hou Jiang nggak punya niat baik. Dia marah, kecewa, sedih dan berbagai perasaan yang sulit diungkapkan. Padahal ayahnya baru meninggal tapi Hou Jiang sudah memiliki niat untuk menjaminkan rumah ini. Hou Jiang mau mengusirnya kemana?
Hou Jiang menekankan kalau rumah ini hanya dijadikan jaminan. Rumah ini bukan dijual dan masih milik nenek.
Nenek itu bukan orang bodoh. Dia nanya balik, gimana kalau bisnis Hou Jiang gagal? Hou Jiang menjawab kalau dia akan menjual rumahnya di Hangzhou untuk membayar kembali nenek. Nenek langsung mengingatkan, kan barusan Hou Jiang bilang sudah menjaminkan rumah di Hangzhou, tapi nggak cukup.
“Kau ini hanya memikirkan kepentingan diri sendiri di matamu. Ketika ayahmu masih hidup, tabungan sebelum pensiun, properti setelah pensiun, yang mana yang tak kau pikirkan?”
“Lalu, yang mana yang ada kau berikan padaku?” balas Hou Jiang, nggak tahu malu.
“Aku tak memberikannya kepadamu, karena aku bijak. Apakah aku berutang padamu? Aku akan mengatakan ini sekarang. Selama mataku masih terbuka, aku yang mengambil keputusan di rumah ini.”
Hou Jiang mulai emosi dan membandingkan ibunya dengan orangtua lain yang melakukan segala yang di bisa untuk membantu anak sendiri, tapi Ibunya malah seperti ini padaya. Dia tetap saja menyuruh ibunya membiarkannya menjaminkan rumah dan dia pasti akan membayarnya kelak. Nenek semakin marah dan bertanya, apa anaknya itu mau dia memotong dagingnya sedikit demi sedikit kemudian diberikan padanya baru dia bisa disebut ibu yang berdedikasi?
Chengcheng beneran takut melihat pertengkaran ibu dan abangnya. Dia berusaha membujuk keduanya untuk tidak membahas hal ini lagi. Tapi, percuma. Masalah ini sudah sangat menyinggung Nenek. Nenek bertanya serius, apakah dia berutang pada Hou Jiang? Apa dia pernah membiarkannya kelaparan atau tidak menyekolahkannya? Eh, Hou Jiang malah menjawab kalau hidup seseorang bukan hanya tentang belajar dan makan!
“Membesarkan anak mencari kami. Membeli rumah juga mencari kami. Sebenarnya apa yang ingin kau lakukan?” tanya Nenek. “Gagak pun bisa memberi makan induknya. Kau sudah menjadi seorang ayah. Kau seperti ini, bagaimana kau memberi contoh untuk Xiaoyu?”
“Lalu, jika aku merawat Ibu, apakah itu termasuk balas budi untuk Ibu?”
“Kau mengambil uangku menjual rumah. Uang dari menjual rumahku sendiri untuk merawatku, selain itu masih digunakan untuk mendukung keluarga kalian. Kalian berdua masih sehat dan kuat, memiliki tangan dan kaki, masih datang untuk meminta uang dariku yang sudah hampir berusia 70 tahun. Apa kau tak tahu malu?”
Hou Jiang masih belum juga mengerti dan menawarkan agar mereka membuat surat perjanjian jika Ibunya tidak percaya padanya. Nenek tetap menolak. Dia menebak kalau nanti saat ditagih, Hou Jiang akan mengeluarkan surat itu dan menunjukkan kemana-mana bilang kalau Ibunya tidak masuk akal. Dan jika begitu, dia yang akan jadi orang jahat.
Hou Jiang semakin marah dan menyebut mana ada Ibu sepertinya yang memperlakukan anak sendiri seperti maling. Nenek nggak peduli dan tetap tidak mau memberikan rumahnya sebagai jaminan. Hou Jiang mulai mengandai-andaikan, kalau kelak Ibunya sakit, bukankah dia akan mengandalkan mereka?
“Mengandalkanmu? Aku tak berani. Tak satupun dari 200 tulang di tubuhku yang lunak. Dai Hou Jiang, kita berdua adalah ibu dan anak. Aku melahirkan dan membesarkanmu. Sampai sekarang, aku malah menjadi orang yang berdosa. Baik. Mulai sekarang, kita putus hubungan. Aku bukan lagi ibumu. Kau juga bukan putraku!” ujar Nenek dengan suara bergetar, penuh kesedihan.
Hou Jiang tidak meminta maaf sama sekali. Dia mengiyakan kalau mereka putus hubungan dan malah bilang jika kelak Ibunya sakit, jangan menghubunginya, hubungi saja Chengcheng. Chengcheng sangat shock dan tidak bisa berhenti menangis karena pertengkaran ibu dan abangnya berakhir seperti itu, di hari pemakaman ayahnya.
Dan sekarang, sudah 10 tahun dia dan Hou Jiang tidak berhubungan. Jika mengingat hari itu, Nenek masih marah. Dia bertanya pendapat Bao Xue, apakah dia salah? Bao Xue menjawab kalau Neneknya nggak salah. Tapi, dia ingin tanya, jika pamannya menemuinya sekarang karena butuh bantuan, apakah dia akan membantu? Jawaban Nenek, tidak. Tapi, jika Hou Jiang datang menundukkan kepala dan mengakui kesalahan, dia akan memaafkannya.
Bao Xue berusaha menenangkan Nenek dan membujuk agar keduanya berbaikan. Dia merasa pamannya dan Nenek punya sifat yang sama. Nenek menunggu pamannya datang meminta maaf, sementara pamannya mungkin menunggu Nenek menelpon. Nenek jadi emosi karna untuk apa dia yang menelpon? Apa nggak terbalik? Dia jadi kesal karena Bao Xue malah membela pamannya. Bao Xue membantah, dia selalu ada dipihak Nenek.
Bao Xue kemudian penasaran sesuatu, apakah Xiao Yu juga tahu masalah ini? Nenek menjawab kalau Xiao Yu pasti tahu kalau dia berkonflik dengan ayahnya. Namun, mungkin, dia nggak tahu masalahnya apa. Karena, jika Hou Jiang membicarakan masalah ini dari sudut pandangnya, dia yakin, dia pasti tak memahaminya.
Bao Xue mencoba mencairkan suasana dengan memuji pemikiran neneknya yang logis dalam masalah ini.
“Tidak ada yang logis atau tidak logis. Tidak boleh memiliki niat mencelakai orang lain, tapi, kau juga harus waspada terhadap orang lain. Aku sepanjang hidup tak menipu orang lain, namun, tak mudah bagi siapapun menipuku,” jawab Nenek, sedih.