Original
Network : Tencent Video, iQiyi
Motto
sekolah adalah ‘Menjadikan Istri Sebagai Pusat’. Membaca tulisan itu dipajang
didepan kelas, Ning Yi merasa sangat bingung. Lalu ketika dia diberikan Buku
berjudul Menantu Pria, dia semakin bertambah bingung.
“Teman,
numpang tanya di sini tempat apa?” tanya Ning Yi kepada teman sebangkunya, Li
Pin.
“Di
sini adalah Sekolah Kebajikan Pria,” jawab Li Pin dengan baik hati.
Pelajaran 1 : Memasak
“Menghormati
orang tua. Mengajari anak-anak cinta kasih. Bisa memasak.”
Pelajaran 2 : Membuat Teh
“Melayani
di rumah. Memiliki cara mengurus keluarga.”
Pelajaran 3 : Menyulam atau bordir
“Mencintai
istri tanpa pamrih. Tidak mendengarkan gosip. Tidak melawan norma kebajikan”
Pelajaran 4 : Merawat anak
“Istri
menjauhi dapur. Suami menyapu aula”
Tiga
teman sekelas Ning Yi mengadakan taruhan. Pertama, Gao Qiu, teman dibangku
belakang Ning Yi, dia bertaruh 10 yen. Gao Qiu menebak kalau Ning Yi dihukum
datang ke sekolah ini, karena tidak bisa melayani istri dengan benar. Kedua, Li
Pin, teman sebangku Ning Yi, dia bertaruh 20 yen. Li Pin menebak kalau Ning Yi
dihukum, karena Ning Yi tidak bisa melakukan pekerjaan rumah. Ketiga, Shen
Miao, teman diseberang Ning Yi, dia bertaruh 30 yen.
Kemudian
Li Pin membangunkan Ning Yi yang tertidur dimeja, dia memperkenalkan Ning Yi
kepada Gao Qiu serta Shen Miao. Lalu dia menanyai, kenapa Ning Yi dikirim
bersekolah disini. Dan Ning Yi menjelaskan bahwa sejujurnya, dia juga tidak
tahu apa kesalahannya, kepadahal dia hanya pergi mendengarkan musik di Teater
Xinmen. Mendengar nama Teater Xinmen, setiap orang terkejut dan merasa kalau
Ning Yi telah melakukan dosa percabulan sebagai menantu pria. Tapi mereka juga
ingin tahu bagaimana Teater Xinmen sebenarnya, jadi banyak orang mendekati Ning
Yi untuk mendengarkan ceritanya. Dan Ning Yi merasa tiba- tiba dia menjadi
populer, jadi dia tersenyum senang.
“Lingkungannya
biasa saja, pelayanan juga tidak terlalu baik. Tidak ada kursi, semuanya kamar.
Harga konsumsinya cukup tinggi, tidak bisa menyimpan alkohol,” kata Ning Yi,
menceritakan setiap detail tentang Teater Xinmen. “Benar juga, bukan berarti
semua pelayanannya buruk. Yang itu… Manajer Yang… Ibu Yang itu. Pelayanannya
cukup baik,” katanya, memuji Bos Yang. “Bagus. Lalu Gadis penghibur yang
namanya…”
“Gadis
penghibur?” kata setiap orang, bersemangat.
“Yuan
Jin'er, kau pernah mendengarnya?” tanya Ning Yi dan rata- rata banyak orang
pernah mendengar nama itu. “Dia memang cantik, tapi suaranya biasa saja,”
komentarnya.
Tiba-
tiba Ketua Sekolah Kebajikan atau Ketua Kelas, Feng Yuan datang. Dia
memperingatkan semuanya untuk jangan membuat keributan, jika tidak nanti Tuan
Guru akan menghukum mereka berdiri, dan dia tidak bisa membantu mereka.
Mendengar itu, setiap murid langsung kembali ke tempat duduk mereka masing-
masing.
“Kami
sedang asyik mengobrol dengan Saudara Ning,” kata Li Pin, menjelaskan kepada
Feng Yuan agar jangan marah.
“Apa
yang kau bicarakan?” tanya Feng Yuan.
“Teater
Xinmen,” jawab Ning Yi sambil tersenyum. Mendengar itu, Feng Yuan langsung
merasa tertarik.
Sialnya,
tepat disaat itu, Tuan Guru datang. Dan dia menghukum mereka, Ning Yi, Li Pin,
Gao Qiu, dan Shen Miao, untuk berdiri diluar kelas, termaksud dengan Feng Yuan.
“Tuan,
aku…” kata Feng Yuan, ingin membela diri. Dan Li Pin menggelengkan kepalanya
sebagai tanda bahwa itu percuma saja. Ning Yi, Gao Qiu, dan Shen Miao, mereka
bertiga hanya diam.
“Kau
kenapa? Sebagai Ketua Kelas Kebajikan, bersekongkol dengan sekelompok orang
yang tak berguna. Masih berani berdalih. Keluar!” bentak Tuan Guru dengan
keras.
Mereka berlima dihukum mengangkat air didalam baskon dan berdiri di depan halaman. Setelah Tuan Guru pergi, Ning Yi membuang air didalam baskonnya dan duduk. Lalu dia menyarankan mereka berempat agar bersantai juga dan nanti dia yang akan bertanggung jawab. Mendengar itu, mereka berempat pun membuang air didalam baskon mereka dan duduk juga. Kemudian mereka mulai mengobrol.
Ning
Yi ingin mengetahui, kenapa mereka berempat bisa datang ke sekolah ini, dan
mereka pun bercerita. Feng Yuan, dia datang bersekolah disini secara sukarela,
karena dia mau belajar untuk meringankan beban istrinya. Li Pin, dia diantarkan
bersekolah disini oleh Istrinya, karena dia melupakan hari ulang tahun
Istrinya. Shen Miao, dia belum menikah, bertahun- tahun gagal ujian ilmiah, dan
tak mampu terus hidup miskin, jadi keluarganya mengantarkannya ke sekolah ini
untuk belajar sambil bekerja, setelah bertemu keluarga yang baik, barulah dia
menikah. Gao Qiu, dia tidak pandai bicara dan responnya lambat, jadi dia
diantarkan ke sekolah ini oleh Istrinya. Walaupun kesalahan yang mereka masing-
masing perbuat tampak tidak terlalu besar, tapi karena mereka adalah Menantu
Matrilokal, maka mereka tidak bisa melawan.
“Ada
apa dengan menantu? Apakah derajatnya menantu lebih rendah? Menantu juga punya
hak asasi manusia. Pasangan suami istri, bagaimanapun derajatnya sama. Harus
saling mencintai, tidak membedakan tinggi dan rendah,” protes Ning Yi, tidak
bisa menerima ketidakadilan ini.
Mendengar
perkataan itu, Li Pin dan Gao Qiu memberikan hormat mereka kepada Ning Yi.
Karena Ning Yi telah mengatakan sesuatu yang ada didalam hati mereka selama
bertahun- tahun ini, jadi mereka kagum kepada Ning Yi.
“Walaupun
kau sukarela datang ke sini, tak boleh dipukul dan dimarahi Guru. Jangan
biarkan dia menghina kita,” kata Ning Yi, ingin menuntut keadilan.
Mendengar
perkataan itu, Feng Yuan langsung berdiri. “Benar kata Saudara Ning, kami juga
memiliki martabat,” katanya, setuju. Lalu semua orang didalam kelas keluar
serta berseru hal yang sama dengan keras dan bersemangat. ‘Kami adalah menantu yang bermartabat.’
Mendengar
keributan tersebut, Tuan Guru datang. Dengan berani, Ning Yi memberitahu Tuan
Guru bahwa mereka ingin memberontak dan melawan. Sayangnya, saat Ning Yi
mengatakan itu, para murid hanya diam. Dan empat teman yang menemani Ning Yi
dihukum, mereka sudah berdiri ditempat mereka kembali sambil mengangkat baskon
diatas kepala mereka. Melihat itu, senyum percaya diri Ning Yi langsung
menghilang. Dan Tuan Guru mendengus padanya.
“Kalian
dihukum berdiri untuk merenungkan kesalahan kalian. Tapi kalian, malah
berbincang di sini. Mau berbincang dengan istri kalian juga? Sekelompok sampah
yang lemah,” hina Tuan Guru, memarahi empat teman Ning Yi. “Katakan, siapa yang
suruh meletakkan baskomnya?” tanyanya, marah. Dan semuanya diam, tidak berani
menjawab.
“Tuan,
jangan tanya lagi. Aku yang menyuruh meletakkannya,” kata Ning Yi, mengakui
dengan berani.
“Kau,
ulurkan tanganmu,” perintah Tuan Guru.
“Kenapa?
Kau mau memukulku?” tanya Ning Yi dengan keras.
“Ulurkan,”
bentak Tuan Guru.
Akhirnya
Ning Yi pun mengulurkan tangannya. Lalu ketika Tuan Guru ingin memukul
tangannya, dia langsung menangkap tongkatnya dan mematahkannya. Dan Tuan Guru
sangat marah. Sementara para murid merasa terkejut, karena mereka tidak
menyangka kalau Ning Yi bakal seberani ini.
“Kami
menghormatimu, memanggilmu Guru. Kuharap kau juga menghormati kami,” jelas Ning
Yi dengan tegas. “Hormati kami,” katanya, menekankan. “Kami datang ke sini
untuk belajar, bukan untuk dihukum dan dihina olehmu. Guru yang menghina siswa,
adalah Guru yang paling tidak kompeten,” komentarnya.
“Benar,”
seru para murid setuju.
“Dasar
kau menantu,” bentak Tuan Guru sambil gemetar penuh amarah.
Mendengar
kata itu, Li Pin langsung membanting baskom yang dipegangnya serta protes,
sebab Tuan Guru menghina mereka, diikuti oleh Gao Qiu dan yang lainnya. Kemudian
dengan emosi, Tuan Guru mengusir Ning Yi untuk pergi. Dan Ning Yi mengiyakan,
lalu dia langsung berjalan pergi tanpa ragu. Melihat itu, para murid bersorak
dengan keras, mereka mendukung tindakan keren Ning Yi.
“Ning,
saudara Ning,” teriak Li Pin memanggil, dan Ning Yi pun berhenti berjalan serta
berbalik menatapnya. “pintunya di sana,” jelas Li Ping, memberitahu. Mendengar
itu, Ning Yi langsung berputar dan berjalan ke pintu keluar yang benar, tanpa
rasa malu sama sekali. Sehingga setiap orang masih merasa kagum kepadanya.
Ditoko.
Dua pelanggan yang mengantri dikasir membuat keributan, sebab nomor tiket yang
mereka bawa sama. Lalu mereka berdua sama- sama mengakui kalau punya diri
mereka yang benar, sedangkan yang lain palsu. Saat Su Tan’er memeriksa tiket
mereka berdua, dia sulit membedakan, mana tiket yang asli dan mana tiket yang
palsu.
“Pasti
hari itu sangat ramai, kami terlalu terburu-buru dan terjadi pengulangan angka.
Kedua tamu jangan marah,” kata Su Tan’er, menjelaskan kepada dua pelanggan. “Di
toko kami, masih cukup persediaan kain awan senja. Aku jamin kalian
masing-masing akan mendapatkan kain,” katanya, menenangkan mereka berdua.
“Erhu, bawa kedua tamu pergi mengambil kain,” perintahnya sambil tersenyum
tenang.
Setelah
dua pelanggan tersebut mengikuti Erhu pergi, Manajer Toko Xi melapor kepada Su
Tan’er bahwa mereka tidak bisa seperti ini. Bila terjadi kesalahan sekali, maka
tidak apa- apa, tapi hari ini saja sudah ada tiga tamu yang memiliki nomor yang
sama. Jadi jika ini dibiarkan, maka kerugiaannya akan semakin besar.
Mendengar
itu, Su Tan’er terdiam dan berpikir.
Menteri Utama Dinasti Wu: Qin Siyuan
Menantu Pria Dinasti Wu: Kang Xian
Kang
Xian bermain catur bersama Ayah mertuanya, Qin Siyuan. Tapi setiap dia menjalankan
pion caturnya, dia selalu merasa ragu dan merubah- rubah langkahnya. Jika Qin
Siyuan bersuara sedikit saja, dia langsung takut. Melihat itu, Qin Siyuan
tertawa. Lalu dia memutuskan supaya permainan ini dianggap seri saja. Dan
dengan senang hati, Kang Xian mengiyakan.
“Pemain
catur di dunia ini, tak ada yang bisa mengalahkanmu,” puji Kang Xian, dan Qin
Siyuan tertawa. “Membosankan,” keluhnya sedikit.
Ning
Yi kebetulan lewat didekat sana dan melihat sikap lucu Kang Xian saat bermain
catur bersama dengan Qin Siyuan. Awalnya mereka berdua tidak mengetahui
keberadaan Ning Yi. Tapi saat Kang Xian melihat burung serta ingin
menangkapnya, barulah Qin Yuan menyadari keberadaan Ning Yi.
“Teman
kecil, kau juga tahu cara bermain catur?” tanya Qin Yuan dengan sikap ramah.
“Tak
berani bilang mengerti. Hanya bisa main saja,” jawab Ning Yi, merendah.
“Sini,
teman kecil, silahkan,” ajak Qin Yuan.
“Baik,”
balas Ning Yi sambil tersenyum dan memberikan hormat.
Ning
Yi dan Qin Yuan bermain catur bersama, sedangkan Kang Xian duduk dan
memperhatikan permainan mereka. Saat permainan sudah berjalan setengah jalan,
Kang Xian menertawai Qin Yuan yang pasti akan kalah nantinya, sedangkan Ning Yi
pasti akan menang. Dan mendengar itu, Qin Yuan tersenyum dengan tenang.
“Anda
telah mengalah,” kata Ning Yi, bersikap rendah hati.
“Keterampilan
caturmu ini, kau belajar dari siapa?” tanya Qin Yuan, ingin tahu.
“Aku
tidak pernah mencari Guru. Jika ada waktu, aku belajar dari buku catur di
rumah,” jawab Ning Yi, menjelaskan.
“Pantas,
kau punya banyak taktik. Sulit untuk ditebak,” puji Qin Yuan, tulus.
“Aku
hanya merasa bermain catur sama halnya dengan berbisnis dan perang. Jika orang
lain tahu langkahmu selanjutnya, maka tak akan ada harapan lagi,” jelas Ning
Yi.
“Anak
kecil, aku baru pertama kali melihat Tuan Qin mengakui kalah pada permainan
catur. Anak kecil, kau jadi temanku mulai sekarang. Kau adalah temanku, aku
sudah mengakuinya,” kata Kang Xian dengan tulus.
Ning
Yi merasa tersentuh dengan kebaikan Kang Xian. Lalu Ning Yi mengetahui kalau
ternyata Kang Xian adalah Kepala Sekolah Kebajikan Pria dan Menantu matrilokal
terbesar di Dinasti Wu. Saat mengetahui itu, Ning Yi langsung bersikap hormat
kepada Kang Xian dan memperkenalkan dirinya.
“Kau
harus mengingat nama Tuan Qin. Ia adalah master catur di dinasti ini. Kau
mengalahkannya,” kata Kang Xian sambil tertawa.
“Tidak
berani, itu hanya kebetulan saja,” balas Ning Yi, bersikap rendah hati.
“Teman
kecil, kau sudah membantuku mengalahkan Tuan Qin, jika nanti kau menghadapi
kesulitan, cari saja aku. Aku pasti akan membantumu,” janji Kang Xian,
menawarkan bantuannya.
“Aku
akan menyimpannya di hatiku,” balas Ning Yi, berterima kasih.
“Teman
kecil Ning berminat temani aku main sekali lagi?” tanya Qin Yuan, mengajak.
Mendengar itu, Ning Yi memandang ke langit dan masih terang. Jadi dia
mengiyakan.
Tapi
sebelum permainan catur dimulai, tiba- tiba Ning Yi dipanggil. Jadi Ning Yi pun
pamit kepada mereka berdua dan menjelaskan bahwa dirumah sepertinya ada
masalah, jadi dia harus pulang untuk mengurusnya. Untuk permainan catur ini,
jika urusannya sudah selesai, dia berjanji akan melanjutkannya. Mendengar itu,
Qin Yuan tersenyum dan mengangguk mengerti.
Kemudian
Ning Yi pun pergi.
Ditoko.
Banyak pelanggan dengan nomor tiket yang double. Karena hal tersebut,
terjadilah keributan ditoko. Masalahnya, tiket asli dan tiket palsu sangat
sulit untuk dibedakan, karena kedua tiket tersebut terdapat cap toko yang sama
persis.
Kemudian
tiba- tiba beberapa Petugas Keadilan datang. “Ada laporan rahasia dari rekan
bisnis, manajer toko memalsukan nomor. Menolak menukarnya dengan produk. Sesuai
contoh pada buku "Hukum Wu", ini termasuk dalam penipuan. Sesuai
hukum, toko ini akan disegel dan dibersihkan,” jelas Kepala Petugas Keadilan
kepada Su Tan’er. “Periksa!” perintahnya kepada para bawahannya.
“Tuan
Pejabat, tunggu,” pinta Su Tan’er, menghentikan para petugas dengan panik.
“Tuan, ada yang melaporkan toko kami melakukan penipuan. Jika memang benar, aku
akan menerima hukuman. Tapi tolong kalian periksa nomor tiket ini. Bukan toko
kami yang memalsukan. Membuat nomor palsu harus mengganti lebih banyak kain
awan senja. Bagi toko kami, ini tidak ada manfaatnya. Tolong kalian periksa,”
pintanya sambil menunjukkan tiket- tiket yang barusan dikumpulkan.
“Kau
ikut kami pulang. Bawa pulang semua nomor untuk diperiksa,” perintah Kepala
Petugas Keadilan, memutuskan. Mendengar itu, para pelanggan langsung mengeluh
dan marah- marah kepada Su Tan’er.
Tepat
disaat itu, Su Wenxing datang dan mengajak Su Tan’er untuk berbicara berdua
sebentar. Dengan sengaja, dia menakut- nakuti Su Tan’er, jika Su Tan’er tidak
memberikan barang sesuai nomor tiket para pelanggan, maka toko Su Tan’er akan
ditutup. Jadi dia menyarankan agar Su Tan’er memberikan saja kepada para
pelanggan. Walaupun jelas kalau hal ini dapat menyebabkan Su Tan’er mengalami
kerugian, tapi ini lebih baik daripada toko Su Tan’er harus ditutup. Lalu dia
berpura- pura menjadi saudara yang baik, dia menjelaskan bila barang di gudang
Su Tan’er tidak cukup, maka Su Tan’er bisa mengambil kain dari gudangnya
terlebih dahulu.
“Baik
kalau begitu, terima kasih kakak,” kata Su Tan’er dengan senang dan lega.
“Hanya
saja, aku punya sedikit persyaratan. Mulai sekarang toko kain ini akan dikelola
oleh kita berdua. Bagaimana?” pinta Su Wenxing, mulai bernegosiasi. “Kau jangan
khawatir, ini hanya sementara waktu. Setelah toko kain masuk ke jalurnya, aku
akan mengembalikan toko padamu,” jelasnya, menyakinkan Su Tan’er.
Mendengar
itu, Su Tan’er diam dan berpikir, karena dia merasa ragu. Lalu saat dia
mendengar keluhan dan amukan amarah dari para pelanggan, diapun setuju dengan
Su Wenxing.
“Begini
saja, buat surat pernyataan kita berdua,” kata Su Tan’er, memutuskan.
“Baik,”
jawab Su Wenxing, setuju.
Akhirnya
Su Tan’er dan Su Wenxing membuat surat pernyataan bersama, kemudian mereka
mencap stempel toko mereka masing- masing diatas kertas nya.
“Ini
semua salah Ning Yi. Membuat ide busuk mengambil barang dengan nomor. Akhirnya
kakakmu yang membantumu. Lagi pula, dia adalah orang luar. Tidak bisa dipercaya,”
kata Su Wenxing, menjelek- jelekkan Ning Yi supaya lain kali Su Tan’er tidak
mempercayai Ning Yi lagi.
Tepat
disaat itu, Ning Yi datang. Dia memegang tangan Su Wenxing yang sedang memegang
cap toko dan menatap Su Tan’er. “Aktingnya sudah cukup, saatnya menangkap
pencuri.”
Mendengar itu, Su Tan’er langsung tersenyum. Dan melihat itu, Su Wenxing merasa sangat bingung sekali, ada apa sebenarnya. Lalu Ning Yi menarik tangan Su Wenxing untuk mengikutinya.
Lqnjuuut...
ReplyDelete