Stasiun Sendo.
Seorang pria mengambil sebuah
buku didalam rak. Buku yang diambilnya berjudul ‘Ke dalam memorimu’ dan dia
membaca buku itu.
Lalu pria itu menatap keluar
jendela. Dan dia seperti melihat sesosok wanita duduk diluar sana. Pria
tersebut adalah Sung Hyun.
***
Han Ji Ah pulang ke kampung
halamannya.
Ji Ah berkunjung ke sebuah tempat
didekat rel kereta. Disana dia berdiri dan menatap ke atas selama sesaat. Lalu
dia berjongkok dan menundukkan kepalanya, menangis dengan keras.
Ji Ah kembali stasiun. Dia
menutupi mata bengkaknya menggunakan bedak. Lalu dia melihat ke sekitarnya
dengan tatapan sedih.
Flash back
Saat jam pelajaran, Ji Ah
menggambar dirinya dan Sung Hyun bergadengan tangan direl kereta. Lalu dia
memandang keluar, dan melihat Sung Hyun yang sedang mengikuti kelas olahraga.
Melihatnya, dia tersenyum malu- malu.
Lalu tiba- tiba Ji Ah melihat,
Sung Hyun pingsan. Dan tanpa berpikir, dia langsung berlari keluar dari dalam
kelas.
Melihat itu, Guru meneriaki Ji
Ah. Lalu Hye Sun, teman baik Ji Ah, dia memandang keluar jendela dan melihat
apa yang terjadi. Kemudian dia berdiri dan beralasan kepada Guru bahwa dia mau
pergi memanggil Ji Ah.
“Gadis-gadis
itu sungguh…” keluh Guru, kesal.
“Apa
dia baik baik saja? Apa dia pingsan lagi?” tanya Ji Ah dengan khawatir, kepada
teman baik Sung Hyun, yaitu Dong Chan, yang mengedong Sung Hyun dipunggungnya.
“Ya,”
jawab Dong Chan.
“Bawa
dia ke klinik,” kata Hye Sun, menyarankan.
Disaat
itu, Sung Hyun yang pingsan bangun dan mengedipkan matanya dengan tatapan nakal
kepada Ji Ah yang merasa khawatir kepadanya.
Kelas
berakhir. Guru menyuruh murid- murid untuk membawa buku- buku yang akan
disumbangkan ke kantor Guru. Dan teman sebangku Ji Ah, dia mengumpulkan buku Ji
Ah yang ada diatas meja. Judul buku nya ‘Ke dalam memorimu’.
Di
UKS. Sung Hyun tampak sangat sakit, jadi Dokter menyarankan Sung Hyun untuk
pergi ke rumah sakit saja dan periksa disana. Dan lalu Ji Ah menawarkan diri
untuk menemani Sung Hyun.
Sung
Hyun dan Ji Ah berjalan melewati rel kereta api. Sung Hyun menceritakan kepada
Ji Ah bahwa dia sangat benci belajar, karena dia akan melupakan semuanya. Dia
yakin kalau suatu saat, dia akan terkena Alzheimer, seperti yang dialami
ibunya. Ibunya bahkan tidak bisa mengenalinya. Jadi lebih sedikit yang dia
tahu, semakin sedikit yang dia lupakan.
“Bagaimanapun…
Aku pikir kamu harus belajar. Bahkan jika nanti kamu melupakannya,” kata Ji Ah,
menasehati. “Kita berada di usia memperluas pengetahuan kita. Kecuali kamu melupakan
semuanya sekaligus. Mungkin lebih baik menyimpan lebih banyak ingatan,”
jelasnya.
“Aku
lapar,” balas Sung Hyun, mengalihkan topik. “Bagaimana dengan roti?”
“Setuju,”
jawab Ji Ah, langsung.
“Dasar
pecandu roti,” gerutu Sung Hyun. Dan Ji Ah tertawa.
Flash
back end
Ji
Ah membeli roti. Lalu dia kembali ke kantor. Dan sambil bekerja, dia memakan
roti yang dibeli nya barusan. Lalu tiba- tiba, dia merasa perutnya agak sakit.
Ji
Ah mengira kalau ada sesuatu yang salah dengan rotinya, jadi diapun membuang roti
nya yang masih tersisa banyak.
Pacar
Ji Ah, Seok Jin, kemudian datang. Dan
mereka minum kopi bersama didekat tangga. Lalu tiba- tiba Ji Ah mendapatkan
telpon, jadi diapun pergi duluan.
“Apa
kamu mendapatkan hasilnya?” tanya Ji Ah ditelpon sambil jalan, mengabaikan
orang yang berpapasan dengannya dan berbicara dengannya. “Baiklah. Aku akan
mampir sepulang kerja.”
Ditoko
roti Dorothy. Seorang pelanggan cantik merasa suka kepada Sung Hyun, jadi dia
meninggalkan kertas catatan yang bertuliskan nomor telponnya kepada Sung Hyun.
Dengan ramah, Sung Hyun menerima itu.
Namun
setelah pelanggan cantik tersebut pergi, Sung Hyung langsung membuang kertas
tersebut tanpa membukanya sama sekali.
Semua
bahan siap, dengan fokus, Sung Hyun menghias kue yang sudah jadi. “Gunakan
pemotong roti untuk memotong permukaan kasar,” gumamnya.
Lalu
akhirnya, kue yang cantik pun siap.
Dirumah
sakit. Mengetahui kalau dirinya mengidap penyakit dan harus mengikuti
kemoterapi, Ji Ah menanggapinya dengan sikap tenang. Dia hanya ingin Dokter Eun
Soo tidak memberitahu Ibunya.
“Ji
Ah. Aku pikir kita harus memberitahunya,” kata Dokter Eun dengan serius.
“Apa
ini, kau membuatku takut,” keluh Ji Ah. “Apa aku di tahap akhir?” tebaknya.
“Sejujurnya,
prognosisnya tidak terlihat bagus. Tapi kita harus melakukan yang terbaik,”
balas Dokter Eun, menjelaskan dengan pelan. “Ayo kembali menjalani kemoterapi.
Kita akan menunggu dan mencari solusinya.”
Dirumah.
Ji Ah membaca buku. Lalu tiba- tiba datang kiriman paket kue untuknya dari toko
roti Dorothy.
Ibu
sedang bersih- bersih saat Ji Ah menelpon. “Hai, sayang!” sapanya. “Kue?
Bukankah dari Hye Sun? Hari ini kan, ulang tahunmu... apa kegiatanmu hari ini?
Haruskan aku mengirimkan sesuatu untuk dimakan?...”
“Tidak
ibu, jangan kirim apapun, aku akan makan diluar,” jawab Ji Ah, menolak. Lalu
mereka pun selesai bertelponan.
Setelah
meniup lilin ulang tahunnya, Ji Ah memberitahu Seok Jin bahwa dirinya mengidap
kanker perut. Awalnya Seok Jin mengira kalau Ji Ah sedang bercanda, tapi
melihat betapa seriusnya Ji Ah, dia jadi percaya.
Keesokan
harinya. Ji Ah pergi ke rumah sakit sendirian. Lalu tiba- tiba Seok Jin juga
datang ke sana dan memanggilnya.
Dokter
Eun menghubungi Ji Ah, tapi tidak diangkat dan dia merasa khawatir. Lalu datang
pesan masuk dari Ji Ah. “Aku akan
menerima kemoterapi ketika aku kembali. Tolong rahasiakan ini dari Ibuku.”
Dicafe.
Seok Jin berusaha bersikap ceria, dia memuji betapa bagusnya cuaca dan lalu dia
mengajak Ji Ah untuk berjalan- jalan ke suatu tempat. Dan Ji Ah menanggapinya
dengan positif. Tapi kemudian Seok Jin malah langsung mengubah topik, dan Ji Ah
merasa agak kecewa dan lalu diam.
“Bagaimana
dengan kemonya?” tanya Seok Jin, perhatian.
“Setelah
aku bertemu ibuku,” jawab Ji Ah.
Dokter
Eun menemui Dokter utama dan memintanya untuk mengatur ulang jadwal kemoterapi
Ji Ah. Dan Dokter utama mengomentari bahwa ini tidak akan mudah.
Ji
Ah pulang ke kampung dan menemui Ibunya. Melihat kedatangannya, Ibu merasa
sangat senang sekali. Dan Ji Ah menjelaskan bahwa dia pulang, karena dia
mengambil cuti selama beberapa hari, tepatnya dua hari.
“Kamu
sudah makan?” tanya Ibu, perhatian.
“Tidak,
aku sangat lapar,” jawab Ji Ah, bersikap manja. “Aku sangat menginginkan buatan
Ibu,” katanya. Dan Ibu tertawa dengan senang.
Malam
hari. Ji Ah mengundang Hye Sun dan Dong Chan untuk berkumpul. Saat melihat
bertemu, Hye Sun dan Dong Chan sama- sama merasa kalau Ji Ah tampak agak
sedikit lelah. Dan Ji Ah beralasan bahwa ini karena dia punya banyak pekerjaan
akhir- akhir ini. Dan Hye Sun percaya, karena beginilah hidup.
“Jika
seseorang bersedia memberiku makanan gratis. Aku akan berhenti bekerja
sekarang, dan menikah dengannya,” kata Hye Sun dengan serius.
“Aku
bisa memberimu makan,” gumam Dong Chan dengan pelan dan penuh harap.
Melihat
interaksi mereka berdua, Ji Ah tertawa.
Ji
Ah kemudian menanyai kabar Sung Hyun, dan saat tahu kalau Sung Hyun sekarang
membuka toko roti, Ji Ah teringat dengan kue ulang tahun yang diterimanya. Dan
diapun menanyai mereka berdua, apakah ada yang memberikan alamatnya kepada Sung
Hyun. Dengan rasa bersalah, Hye Sun berpura- pura tidak ingat.
“Dia
juga menjualnya secara online dan mereka juga cukup populer. Dia sedang
mengerjakan resep baru untuk mengikuti kontes kue,” kata Dong Chan,
menjelaskan.
“Apa
nama toko rotinya?” tanya Ji Ah, ingin tahu.
“Nama
panggilan masa kecilmu,” jawab Dong Chan.
Flash
back
Sung
Hyun memberitahu Ji Ah bahwa dia tidak akan pergi ke sekolah lagi mulai
semester depan. Karena dia mau belajar cara membuat kue. Mendengar itu, Ji Ah
agak terkejut.
“Jika
kamu ingin menghubungiku, lakukanlah selagi aku masih mengingatmu,” kata Sung
Hyun dengan sikap santai.
Flash
back end
Dong
Chan menawarkan diri untuk menelpon Sung Hyun dan memanggilnya bergabung. Dan
Ji Ah menolak, lalu dia pamit ke toilet sebentar.
“Bukankah
mereka sudah berbaikan?” tanya Dong Chan, berbisik pelan.
“Mereka
tidak pernah bertemu setelah tahu terakhir SMA,” balas Hye Sun.
“Tapi
bagaimana ini, aku menyuruhnya datang,” kata Dong Chan, khawatir.
“Apa?!”
teriak Hye Sun dengan panik. Lalu dia mencubit pipi Dong Chan dan tertawa
keras. “Kerja bagus,” pujinya.
Ji
Ah menelpon, dan melihat itu, Seok Jin sengaja tidak mengangkatnya. Lalu saat
Ji Ah mengirimkan sms padanya, dia sengaja tidak membalasnya. Dia bersikap
patah hati dan menangis. Melihat itu, temannya menghiburnya.
“Hapus
air matamu,” kata si Teman sambil memegang pundah Seok Jin. “Cinta pasti
berubah seiring berjalannya waktu. Tapi itu datang kembali! Kamu pantas
mendapatkan yang lebih baik dari Ji Ah,” jelasnya.
Mendengar
itu, Seok Jin diam. Lalu dia pamit dan pergi.
Ketika
Ji Ah sedang duduk didepan restoran, Sung Hyun datang dan berdiri dihadapan
nya. Melihatnya, Ji Ah merasa agak canggung. Tapi Sung Hyun bersikap biasa
saja, dan dia memuji bahwa Ji Ah tampak lebih cantik.
“Apa
kamu dari pesta pernikahan?” tanya Ji Ah, heran melihat Sung Hyun mengenakan
setelan jas rapi. “Pasti panas. Ayo masuk ke dalam dan minum,” ajaknya dengan
agak acuh. Lalu dia berjalan masuk ke dalam duluan.
Mendengar
komentar Ji Ah, Sung Hyun merasa agak malu- malu. Lalu sebelum mengikuti Ji Ah
masuk ke dalam restoran, dia mencoba merapikan rambutnya terlebih dahulu.
Didalam
restoran. Hye Sun sengaja ingin memberikan ruang bagi Ji Ah berduaan dengan
Sung Hyun saja. Jadi dia mengajak Dong Chan untuk berbicara berdua diluar sebentar.
Tapi Dong Chan sama sekali tidak peka. Dan dengan kesal, Hye Sun pun menjewer
telinganya. Lalu Dong Chan menggunakan kesempatan itu untuk memegang tangan Hye
Sun.
“Ah…
kamu cabul sialan!” gerutu Hye Sun sambil menarik tangannya.
“Cepat
keluar,” kata Dong Chan dengan sikap tenang.
Saat
hanya tinggal berdua saja, Ji Ah dan Sung Hyun sama- sama merasa canggung. Ji
Ah mengucapkan terima kasih atas kue ulang tahun yang dikirimkan padanya. Dan
dia tidak menyangka bahwa Sung Hyun mengingat hari ulang tahunnya. Dengan malu-
malu, Sung Hyun menjelaskan bahwa dia mengingat semua tentang Ji Ah.
“Aku
berada di kelas yang sama denganmu dikelas satu. Apa kamu ingat nomorku?” tanya
Ji Ah, sengaja ingin mengetes.
“Kelas
1 nomor 25. Kelas 2 nomor 37. Kelas 3 nomor 32.
Kelas 4…” jawab Sung Hyun sambil berpikir keras.
“Hei,
kamu hanya mengatakan sesuatu secara acak, karena kamu tahu aku tidak ingat,”
balas Ji Ah sambil mendengus. “Bagaimana dengan tahun kedua sekolah menengah?”
“Kelas
2 nomor 35,” jawab Sung Hyun dengan yakin.
Ji
Ah terus- menerus menanyakan berbagai pertanyaan untuk mengetes Sung Hyun. Dan
Sung Hyun berhasil menjawab semuanya dengan benar. Dan Ji Ah sama sekali tidak
menyangka, lalu dia mulai merasa emosi dan marah.
“Kamu
bilang kepadaku untuk tidak menghubungimu! Yang memutuskan hubungan harus
menjangkau terlebih dahulu. Dan bukan orang yang sudah putus!” teriak Ji Ah,
mengeluh. Kemudian dia berdiri dan berniat pergi.
“Aku
menunggumu,” kata Sung Hyun, membuat Ji Ah berhenti. “Menunggu panggilan darimu
selagi masih mengingatmu,” jelasnya.
“Berhentilah
mengatakan sesuatu yang begitu murahan,” balas Ji Ah. pelan. Lalu dia pergi.
Saat
Ibu sudah akan tertidur, Ji Ah memanggilnya. Pertama Ji Ah meminta maaf kepada
Ibu. Lalu dia memberitahu bahwa besok dia harus ke kantor, dan kemudian dia
akan kembali lagi. Dia akan mengambil liburan panjang, karena dia mau
beristirahat.
“Apa
ada yang salah?” tanya Ibu, khawatir.
“Apa
kamu tidak ingin tinggal bersamaku?” balas Ji Ah.
“Bagaimana
jika kamu dipecat?”
“Aku
hanya perlu ke perusahaan lain,” balas Ji Ah dengan sikap acuh. “Jangan
khawatir. Putrimu sepenuhnya mampu,” jelasnya.
Keesokan
harinya. Ji Ah kembali ke kantor dan dia menyerahkan surat pengunduran dirinya.
Dan menerima itu, si Atasan sangat terkejut.
“Aku
tidak punya banyak waktu,” kata Ji Ah, menjelaskan dengan singkat. Lalu dia
membungkuk memberikan hormat dan pergi.
Ketika
Ji Ah mau pergi, dia berpapasan dengan Seok Jin yang sedang dekat dengan wanita
lain. Melihat itu, Ji Ah pun langsung buru- buru masuk ke dalam lift.
“Ji
Ah!’ panggil Seok Jin, membuka pintu lift kembali.
“Jangan
masuk! Aku bilang, jangan!” kata Ji Ah, menghentikan. Lalu pintu lift pun
tertutup. Dan mereka berpisah.
Saat
Ji Ah sedang membereskan barang- barangnya didalam kamar, dia menemukan sebuah
liontin emas bergambar bunga putih. Itu adalah kalung hadiah dari Sung Hyun
dahulu.
“Apa
kamu yakin tidak ada yang terjadi?” tanya Ibu, agak curiga.
“Tentu
saja ada. Gadis kecil yang berharga telah kembali ke rumah Ibunya dalam tujuh
tahun,” jawab Ji Ah sambil tersenyum manis. Dan Ibu mendengus geli. “Aku hanya
ingin menghabiskan waktu bersama ibu. Makan bersama dan ngobrol bersama
sepanjang hari. Itu saja,” kata Ji Ah dengan serius.
“Baiklah,”
balas Ibu dengan senang.
“Aku
tidak akan lama disini. Aku hanya akan istirahat sejenak dari semuanya,” gumam
Ji Ah, memberitahu.
“Baiklah,
aku mengerti,” balas Ibu.
Ji
Ah mengudang Hye Sun dan Dong Chan lagi untuk berkumpul bersama. Mereka mengobrolkan
berbagai hal. Seperti Jun Hyun yang sekarang sedang jatuh cinta dengan Amy,
guru bahasa Inggris yang mengajar di sekolah yang sama dengan Hye Sun. Lalu Hye
Sun menanyai pendapat Ji Ah, haruskah mereka memanggil Sung Hyun. Dan sebelum
Ji Ah menjawab, Dong Chan langsung memberitahu bahwa dia sudah memanggil Sung
Hyun untuk datang, tapi Sung Hyun sedang sibuk.
“Kamu
sedikit…” keluh Hye Sun, kesal dan capek. “Lupakan saja! Aku harus berhenti
berbicara dengan mu.”
Hye Sun dan Dong Chan kemudian kembali bertengkar kecil lagi. Dan melihat interaksi mereka berdua, Ji Ah tertawa dengan keras.