Di stasiun Sendo. Ji Ah duduk
sendirian disana, lalu Sung Hyun datang dan mengajaknya untuk berbicara. Dan Ji
Ah mengabaikannya serta ingin pergi. Tapi Sung Hyun memegang tangan Ji Ah dan
menahannya.
“Kita tidak punya cukup waktu.
Itu berlaku untuk kita berdua,” kata Sung Hyun dengan serius. Dan Ji Ah pun
berbalik menatapnya.
Sung Hyun membawa Ji Ah ke
apatermennya. Disana, di dinding- dinding rumah, terdapat banyak kertas- kertas
tempelan. “Aku melihatnya setiap hari sehingga aku tidak akan lupa,” kata Sung
Hyun, menjelaskan. Lalu dia menunjukkan buku kecil yang selalu dibawanya. “Aku
mengirimmu kue karena itu bisa jadi kesempatan terakhir,” jelasnya.
“Jangan bilang…” gumam Ji Ah,
berfirasat buruk.
“Penyakit Alzheimer,” kata Sung
Hyun dengan tenang.
Mendengar itu, Ji Ah merasa terkejut
dan sedih. Lalu dia teringat tentang kata- kata yang Sung Hyun katakan saat
masih SMA dulu.
“Kamu dapat menolakku. Dan aku
akan lupa bahwa kamu pernah melakukannya,” kata Sung Hyun dengan sikap tegar.
“Aku akan melamarmu lagi.”
“Sung Hyun, aku tidak ingin kamu
bersedih lagi,” balas Ji Ah. Lalu dia ingin pergi saja.
“Aku baik- baik saja. Suatu hari
aku akan melupakan semuanya, termaksud kesedihan.”
“Maafkan aku. Aku tidak bisa,”
balas Ji Ah. Lalu dia pergi.
Malam hari. Ji Ah dan Ibu duduk
berdua serta mengobrol. Ji Ah mengungkit, saat Ayah meninggal, Ibu masih bisa
tegar karena ada dirinya. Tapi bila Sung Hyun yang mengalami itu, dia tidak
berani membayangkannya. Dan Ibu menjelaskan bahwa dia bisa tegar, bukan karena
itu, tapi karena dia mencintai Ayah Ji Ah.
“Bagaimana bisa dua orang yang
menyedihkan akhirnya bertemu?” gumam Ji Ah. Lalu dia mulai menangis dengan
sedih.
“Apa hubungannya kesengsaraan
dengan cintamu?” balas Ibu, menenangkan Ji Ah. “Bukannya kalian saling
mencintai karena kalian sengsara?” tanyanya.
Mendengar itu, Ji Ah menangis
semakin keras. Dan Ibu ikut merasa sedih dan sakit. “Ji Ah. Terimalah
lamarannya. Tidak masalah,” katanya. Lalu dia memeluk Ji Ah dan ikut menangis.
***
Didekat rel kereta api. Sung Hyun
datang dari belakang dan memasangkan kalung ke leher Ji Ah. Lalu mereka berdua
saling bertatapan dan berciuman dengan lembut.
***
Direl kereta api. Ji Ah mengenang kenangan indah tersebut sambil
tersenyum. Lalu Sung Hyun datang untuk melamarnya lagi. Dan Ji Ah menolaknya
lagi.
“ Jika kamu adalah aku. Siapa
yang ingin kamu ingat sampai saat terakhirmu?” tanya Sung Hyun dengan serius.
“Jika aku, itu kamu. Aku pasti ingin menghabiskan saat terakhirku bersamamu.”
“Ini tidak benar. Biarkan aku
sendiri saja,” balas Ji Ah dengan sedih. “Hentikan!’ pintanya. Lalu dia
berbalik dan berjalan pergi.
Melihat
itu, Sung Hyun berusaha semakin keras untuk menyakinkan Ji Ah supaya jangan
ragu. Dia akan kehilangan ingatannya dan Ji Ah akan kehilangan hidup, dan semua
manusia pasti akan mati sejak mereka dilahirkan. Jadi baginya jika mereka bisa
bersama, selama tiga bulan saja, itu sudah cukup. Mereka bisa menjalani tiga
bulan itu seolah- olah lima puluh tahun. Mereka bisa bahagia dan waktu yang
mereka habiskan bersama, semuanya akan menjadi kenangan, dan itu cukup..
“Ji
Ah, maukah kamu menikah denganku?” tanya Sung Hyun dengan bersungguh- sungguh.
Ji
Ah diam dan menarik nafas. Lalu dia berbalik dan menatap Sung Hyun. “Apa itu
benar- benar akan cukup?” tanyanya, memastikan.
“Mm..
itu cukup,” jawab Sung Hyun.
“Kalau
begitu, ayo kita menikah,” kata Ji Ah, menerima lamaran Sung Hyun.
Sung
Hyun kemudian mendekati Ji Ah dan memakaikan cincin dijarinya. Dan lalu Ji Ah
balas memakaikan cincin di jari Sung Hyun. Akhirnya mereka berduapun menikah.
Seperti
biasa, Sung Hyun bekerja membuat roti. Tapi saat sedang membuat roti, dia tiba-
tiba lupa apa yang harus dilakukannya. Jadi dia membaca kembali buku
catatannya. Barulah kue itu bisa jadi.
Setelah
kuenya jadi, Sung Hyun memberikannya kepada Ji Ah untuk dicoba. Lalu setelah
mencoba, Ji Ah mulai menilai. Konsep kue Sung Hyun bagus, bahkan bisa dinikmati
oleh pasien kanker, sangat sehat, tapi harus sedikit lebih enak. Mendengar itu,
awalnya Sung Hyun tersenyum, kemudian senyumnya menghilang.
“Yah,
aku memang meminta kritik, tetapikamu tak kenal ampun,” keluh Sung Hyun.
“Baiklah. Lainkali aku akan menaruh segenap hati dan jiwaku.”
“Lumayan,”
balas Ji Ah sambil tersenyum.
Setiap
malam, Sung Hyun akan membaca buku catatannya dan menghafalnya. Tapi itu sangat
sulit, karena baru sesaat, dia akan lupa lagi.
Kehidupan
pernikahan, Sung Hyun dan Ji Ah berjalan cukup baik. Walaupun Sung Hyun terkadang
sering lupa, tapi Ji Ah bisa memakluminya.
Suatu
saat, Sung Hyun menemukan dua butir obat di dalam liontin kalungnya, dan dia
lupa obat apa itu serta merasa bingung. Lalu, Sung Hyun teringat perkataan
seorang nenek yang ditemuinya dirumah sakit. Didalam film, pemeran utama
menyembunyikan racun dilacinya untuk diminumnya. Mengingat itu, Sung Hyun
menatap kalung liontin di tangannya.
“Sayang,”
panggil Ji Ah, berdiri di dekat pintu kamar. “Apa itu?” tanyanya.
“Ah,
bukan apa- apa,” jawab Sung Hyun. “Aku akan segera keluar.”
Kemudian
setelah Ji Ah pergi, Sung Hyun memasukkan liontin tersebut ke dalam sebuah
kantong plastik hitam dan lalu dia menaruhnya di dalam kotak, dan meletakkanya
didalam sebuah tempat seperti kapsul.
Saat
malam, ketika sedang bersih- bersih, Sung Hyun menemukan sesuatu yang dibungkus
plastik putih dilantai. Lalu dia menaruh sesuatu itu ke dalam lemari dapur yang
paling atas. Tampak plastik putih itu, berisikan obat, karena ada logo rumah
sakitnya disana.
Tiba-
tiba, Ji Ah yang berada di dalam kamar merintih kesakitan. Ketika Sung Hyun
melihat itu, dia merasa panik. Dan dia segera mencari- cari di dalam lemari,
dimana obat Ji Ah.
“Dapur!”
kata Ji Ah dengan lemah.
Sung
Hyun kemudian pergi ke dapur dan membongkar- bongkar setiap lemari yang ada
didapur, tapi dia tidak bisa menemukan obat Ji Ah sama sekali. Dan dengan
panik, dia memukul kepalanya sendiri untuk coba mengingat- ingat. Tapi dia sama
sekali tidak ingat. Lalu saat dia membuka laci dapur paling atas, diapun
menemukan obat Ji Ah.
Setelah
semuanya berlalu, Sung Hyun duduk sendirian ditaman dan menyalahkan dirinya
sendiri. Kemudian Ji Ah keluar dan duduk disebelahnya, menemaninya. Dia
menghibur Sung Hyun bahwa ini bukanlah kesalahan Sung Hyun, tapi kesalahan
dirinya sendiri, karena itu adalah obatnya.
“Aku
menyimpannya dan aku lupa,” gumam Sung Hyun, merasa sangat bersalah.
Ji
Ah kemudian berdiri dan memeluk Sung Hyun. “Jangan pernah menyesal untuk
sesuatu seperti ini. Kamu hanya perlu berpikir untuk melindungi diri sendiri.
Mengerti?” jelasnya.
Mendengar
itu, Sung Hyun balas memeluk Ji Ah sambil meneteskan air mata secara diam.
Kehidupan
Sung Hyun dan Ji Ah kemudian berjalan kembali seperti biasa. Namun semakin
hari, kondisi Ji Ah semakin tambah lemah dan juga nafsu makan Ji Ah semakin
berkurang. Dan Sung Hyun merasa stress melihat itu.
Suatu
saat, hujan turun sangat deras. Dan Sung Hyun serta Ji Ah duduk di dalam rumah
sambil menatap hujan diluar.
Sambil
duduk bersama, Ji Ah menceritakan tentang Ayahnya. Alasannya menyukai hujan,
itu karena saat hujan, dia merasa selalu bersama Ayahnya. Walaupun begitu, setiap
kali dia memimpikan Ayahnya, dia masih saja menangis, karena dia merindukan
Ayahnya. Dia memang tidak mengingat apa yang terjadi didalam mimpinya, tapi
menghadapi emosi yang dirasakannya saat itu, masih saja menguras kesedihannya.
“Apa
mungkin bisa memisahkan ingatan dan emosi? Jika kenangan hilang, bukankah
emosinya juga akan hilang?” gumam Sung Hyun, bertanya.
“Tidak,”
jawab Ji Ah. Lalu dia mulai menjelaskan, “Kenangan ada disini,” katanya sambil
memegang kepala Sung Hyun. “Dan emosi ada didalam sini,” katanya sambil
menyentuh dada Sung Hyun.
Mendengar
penjelasan itu, Sung Hyun tersenyum. Dan Ji Ah balas tersenyum padanya.
Kemudian
karena Ji Ah ingin memakan es krim, maka Sung Hyun pun pergi untuk membelinya.
Dia pergi, sementara Ji Ah tinggal di dalam rumah dan menunggunya.
Awalnya,
saat Sung Hyun pergi dari rumah, dia memakai payung. Tapi saat telah selesai
belanja, dia lupa bawa dia ada membawa payung. Jadi diapun berlarian pulang,
tanpa memakai payung. Dan melihat itu, penjaga toko merasa heran, ketika dia
ingin mengingatkan Sung Hyun kalau payung Sung Hyun ketinggalan, Sung Hyun
sudah terlanjur berlari terlalu jauh dan tidak terlihat lagi.
Ibu
datang mengunjungi Ji Ah. Dan saat dia melihat Ji Ah, dia tampak terkejut.
Setelah
berlari setengah jalan, Sung Hyun lupa dimana rumahnya.
Ji
Ah dibawa ke rumah sakit. Dan dengan sedih, Ibu menangis.
Hujan
telah berhenti, tapi Sung Hyun masih belum bisa menemukan jalan pulang. Lalu
saat dia melihat es krim yang di belinya sudah mencair, dia merasa tambah
frustasi dan stress.
Karena
hanya ada satu orang yang bisa masuk ke dalam ruang rawat, maka hanya Ibu Ji Ah
yang masuk ke sana untuk menemani Ji Ah. Tapi Sung Hyun sama sekali belum
datang. Karena itu, Dong Chan pun berniat untuk mencarinya.
Setelah
agak lama, Sung Hyun berhasil menemukan jalan pulang dan sampai dirumah.
“Sayangku
… Han Ji Ah… “ panggil Sung Hyun, karena dia tidak melihat Ji Ah didalam rumah
sama sekali. Lalu tepat disaat itu, Dong Chang datang. Dan Sung Hyun pun
langsung bertanya padanya, dimana Ji Ah.
“Sung
Hyun, kamu harus ikut denganku,” kata Dong Chan dengan susah payah dan sedih.
“Kemana?
Apa maksudmu?” tanya Sung Hyun, bingung.
“Ji
Ah… “
“Dong
Chan, ada apa?”
“Dia
baru saja… meninggalkan kita,” kata Dong Chan sambil menangis.
“Kemana?
Dia pergi kemana? Ji Ah pergi kemana?” tanya Sung Hyun, selama sesaat dia tidak
bisa menerima kenyataan. “Dimana? Dimana Ji Ah pergi!” teriaknya sambil mulai
menangis.
Setelah
Ji Ah tiada, Sung Hyun masih terus sering mengenang kenangan bersamanya. Lalu suatu
saat, Sung Hyun tiba- tiba mengingat sesuatu, saat dia membaca catatan di
ponselnya.
Sung
Hyun pergi ke tempat pertama kali dia dan Ji Ah berciuman, yaitu disamping rel
kereta api. Dia menggali tanah yang ada disana dan menemukan kapsul waktu yang
tertanam.
Didalam
kapsul waktu tersebut, ada kalung yang pertama kali dia berikan kepada Ji Ah
dan juga sebuah ponsel. Melihat itu, Sung Hyun merasa agak kecewa dan mulai
menangis.
Sore
hari. Sung Hyun duduk ditaman dan membuka ponsel yang ditemukannya didalam
kapsul waktu. Dan ponsel tersebut berisikan video dari Ji Ah.
“Sung
Hyun, jika kamu menonton video ini. Tolong, pahami baik- baik apa yang aku
katakan. Jangan pernah takut kehilangan ingatanmu. Percayalah bahwa kamu
memiliki alam semesta di dalam dirimu. Semua momen yang kamu jalani akan tetap
ada didunia itu. Dialam semesta yang luas dan didalam dirimu, aku akan kesana.
Tentang kenangan, aku ingin menyimpannya sampai saat terakhir. Ini kedua
kalinya aku menjawab ini, itu kamu. Orang yang ingin aku ingat sampai saat
terakhir. Orang terakhir yang kulupa. Orang yang paling aku rindukan saat ini.
Itu kamu. Semua waktu yang aku habiskan bersamamu sudah cukup. Mereka lebih dari cukup. Dan itu
membuatku senang. Terima kasih.”
Menonton
video tersebut, Sung Hyun menangis dengan sedih.
“Dan
terima kasih sudah mengingatku,” kata Ji Ah dengan tulus. “Aku mencintaimu. Aku
mencintaimu. Aku mencintaimu,” katanya, berulang kali. “Aku pikir ini pertama
kalinya aku memberitahumu, aku seharusnya melakukan lebih banyak,” katanya,
merasa agak menyesal. “Sung Hyun, aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku sangat
mencintaimu.”
***
Stasiun
Sendo
Sung
Hyun menatap Ji Ah pergi.
Lalu
Sung Hyun membuka liontin yang dimilikinya. Dan didalam liontin kecil tersebut
terdapat foto Ji Ah. Kemudian dia melihat sesuatu yang pernah Ji Ah gambar.
***
Saat
dulu Sung Hyun dan Ji Ah bermain- main bersama di dekat rel kereta api. Ji Ah
bertanya, “Katakanlah kamu benar- benar kehilangan semua ingatanmu, apa yang
ingin kamu ingat di saat terakhirmu?”
“Kamu,”
jawab Sung Hyun, sangat pelan. Dan Ji Ah tidak bisa mendengar dengan jelas.
“Jika itu terjadi padamu, apa yang ingin kamu ingat disaat terakhirmu?”
balasnya, bertanya.
“Kamu
tahu, itu sama,” gumam Ji Ah.
“Jadi
ingatan apa yang ingin kamu simpan terakhir kali?” tanya Sung Hyun, ingin tahu.
“Kamu,” jawab Ji Ah. Lalu dia mulai berlari. Dan Sung Hyun mengejarnya sambil tertawa.