Original Network : Channel 7
“P’ Chuen! P’
Chuen!” panggil Pengikut 1 (Lor) dengan keras.
Mendengar
itu, Chuen melepaskan batu ketapel nya. Untungnya, batu tersebut berhasil
mengenai target yang dipasang, dan tidak mengenai Lor.
“Ada apa?”
tanya Chuen.
“Piak
disergap oleh anak- anak dari rumah besar!” jawab Lor sambil berlutut dihadapan
Chuen dengan sikap hormat.
“Bawa aku ke
sana sekarang!” perintah Chuen.
Melihat Chuen
berlari pergi mengikuti Lor, Ibu Choi merasa cemas. Tapi dia tidak menghentikan
Chuen.
Disungai.
Anak- anak dari rumah besar membully Pengikut 2 (Piak) sampai Piak menangis.
Ketika Chuen datang dan melihat hal itu, dia sangat marah. Tapi anak- anak dari
rumah besar malah tidak takut dan menertawainya. Jadi tanpa mengatakan apapun, Chuen
langsung menendang Bos dari rumah besar ke sungai. Kemudian menggunakan
ketapelnya, dia menembak anak- anak dari rumah besar yang membully Piak.
Tepat disaat
itu, Ton dan Tor lewat. Dengan sikap tegas, Ton menyuruh Chuen berhenti. Tapi Chuen
mengabaikannya. Lalu Ton mengajak Chuen untuk ikut dengan nya. Dan Chuen
langsung menjawab ‘tidak’ dengan keras.
“Jangan
takut,” kata Tor, salah paham. Dia mengira Chuen takut untuk ikut dengan
mereka.
“Siapa yang
bilang?!” balas Chuen.
“Jika kamu
tidak takut, lakukan apa yang Khun Ton katakan,” bujuk Tor.
Kakek Chom
pulang dan melihat ke sekeliling, mencari Chuen. Tapi dia tidak melihat Chuen,
jadi diapun menanyai Ibu Choi yang sedang menjahit di teras. Dan Ibu Choi pun
memberitahu bahwa barusan Chuen pergi mengikuti Lor.
“Kepadahal
aku sudah menyuruhnya untuk jangan kemana- mana! Dan temani kamu!” kata Kakek
Chom, menggerutu marah.
“Tidak apa,
Ayah. Aku baik—baik saja. Chuen juga akan segera pulang,” kata Ibu Choi,
melindungi Chuen.
Dirumah
besar. Chuen menjelaskan penyebab kejadian tadi kepada Ton dan Tor. Lalu Piak,
yang merupakan korban bully, ikut menjelaskan.
“Loy menumbuk
ku,” kata Piak.
“Karena dia
menantang ku,” balas Loy, membela diri.
“Tidak. Aku
hanya bilang, jika kamu benar- benar kuat, lawan Chuen. Sekali aku selesai
bicara, mereka memukul ku. Mereka juga bilang, bahkan jika Ayah Chuen datang,
mereka tidak akan takut,” jelas Piak.
Mendengar
orang tuanya disebut, Chuen langsung emosi dan ingin memukuli Loy. Tapi Tor
langsung menahannya. Dengan kuat, Chuen meronta, lalu dia menendang lutut Tor,
sehingga Tor terjatuh. Melihat itu, Ton langsung berdiri dan menahan Chuen.
“Anak baik
tidak boleh tidak patuh,” kata Ton, menasehati Chuen.
“Aku bukannya
tidak patuh,” balas Chuen dengan wajah keras.
“Kalau
begitu, bisakah kita berbicara baik- baik? Jika setuju, aku akan melepaskanmu,”
kata Ton, bernegosiasi dengan Chuen.
“Khun Ton
adalah orang yang adil. Jika orang kami yang salah, mereka akan dihukum,” kata
Tor, menenangkan Chuen supaya jangan khawatir.
“Baiklah,”
jawab Chuen, setuju. Dia bersikap seperti orang dewasa.
Setelah
masalah dengan rumah besar selesai, Chuen, Lor, dan Piak, pulang dengan
bersemangat. Dan Chuen mengakui bahwa dia bangga dengan sikap Piak, karena
tidak menerima uang kompensasi dari Ton barusan.
“Aku
sebenarnya ingin uang juga, tapi jika aku harus memilih, aku lebih memilih
kamu!” kata Piak, menunjukkan sikap setianya pada Chuen.
“Kita mesti
tunjukkan pada orang- orang itu, bahkan jika kita miskin, kita tidak peduli
tentang uang!” kata Chuen, bersemangat.
“Tapi kan
emang iya!” canda Lor. Lalu dia tertawa.
Ketika Chuen
sampai dirumah, dia menatap Kakek Chom dengan sikap takut- takut. Lalu ketika Kakek
Chom menanyai, kemana dia sebelumnya. Dia pun menjawab dengan jujur, apa yang
terjadi. Tapi kemudian Kakek Chom malah membentaknya dengan marah.
“Maksudmu
anak- anak itu lebih penting daripada Ibumu?!” bentak Kakek Chom, bertanya. Dan
Chuen menjawab tidak. “Kemudian mengapa kamu meninggalkan Ibumu sendirian?!”
Melihat Kakek
Chom marah dan bersikap keras kepada Chuen, Ibu Choi merasa tidak tega. Dan dia
langsung melindungi Chuen serta meminta Kakek Chom untuk jangan terlalu keras
terhadap Chuen.
“Jika aku
tidak disini, Chuen mesti menjaga kamu. Kita hanya punya satu sama lain. Jangan
lupa!” kata Kakek Chom, mengingatkan Chuen.
Saat Chuen
pergi untuk mandi. Ibu Choi berbicara kepada Kakek Chom. “Aku pikir Ayah
terlalu keras dengan Chuen.”
“Semakin dia
besar, semakin kuat dia harus jadi! Karena dia harus membalaskan musuh Ibunya,
Kakeknya,” kata Kakek Chom dengan penuh kebencian dan tekad untuk membalas
dendam.
Sebagai
permintaan maaf, Tor mengirimkan Chuen sebuah apel merah dan besar. Menerima
itu, Chuen langsung memberitahu Kakek Chom. Dan Kakek Chom menyuruh Chuen untuk
mengembalikan apel tersebut.
Melihat sikap
Kakek Chom, Ibu Choi mengerti bahwa Kakek Chom tidak mau menerima apel
tersebut. “Kembalikan itu kepada dia, sayang,” kata Ibu Choi dengan lembut.
“Iya, Ma,”
jawab Chuen dengan patuh. Lalu dia pergi.
Setelah Chuen
pergi, Ibu Choi langsung menanyai Kakek Chom, siapa Tor itu. Dan Kakek Chom
menebak bahwa Tor pasti anak yang pindah ke rumah besar beberapa bulan lalu.
“Siapa yang
akan pindah ke sini dari Bangkok?” gumam Ibu Choi, bertanya- tanya.
“Mungkin
bukan orang- orang itu. Dunia tidak mungkin sekecil itu,” jawab Kakek Chom.
Ketika Chuen
datang, Tor tidak ada nampak dihalaman, yang ada nampak hanya Ton saja. Melihat
Ton, Chuen merasa kesal, karena dia tidak menyukainya. Lalu saat dia mengatakan
bahwa dia ingin mengembalikan ‘Bapple’ dari Tor, eh, Ton malah menertawainya. Dan
diapun semakin merasa kesal.
“Mengapa kamu
tertawa?” tanya Chuen, tidak senang.
“Tidak ada,”
jawab Ton sambil tersenyum geli. Dia tertawa karena Chuen menyebut apel dengan
sebutan bapple. “Eh, Khun Tor ada didalam. Ayo, masuk,” ajaknya. Tapi Chuen
merasa ragu. “Mengapa? Takut aku culik, si kecil Chuen?” goda Ton, bercanda.
“Panggil aku Chuen
saja, tidak perlu tambahan ‘nak’,” keluh Chuen.
“Khun Tor!
Khun Tor! Si kecil Chuen disini cari kamu!” teriak Ton dengan keras,
mengabaikan keluhan Chuen.
Mendengar
itu, Chuen merasa kesal. Tapi sebelum dia sempat marah, Tor datang. Lalu Tor
mengundangnya untuk masuk ke dalam. Dan diapun mengikuti.
Didalam
rumah. Melihat tampang manis Chuen, Nanny Aon merasa gemes. Lalu dia menawarkan
sup tomat kepada Chuen. Tapi Chuen menolak, karena dia tidak tahu cara
memakannya.
“Apa yang
sulit? Masukkan ke mulutmu dan telan,” kata Tor, menjelaskan sambil tertawa.
Dan Nanny Aon juga ikut tertawa geli.
“Tidak lucu!”
balas Chuen dengan sikap serius.
Tanpa
berbasa- basi lagi, Chuen mengembalikan apel pemberian Tor. Lalu dia pamit dan
pergi. Melihat itu, Tor langsung mengambil apel yang Chuen tinggalkan begitu
saja dan pergi mengejarnya.
“Chuen
tunggu! Chuen!” panggil Tor.
“Aku tebak
Khun Tor menginginkan adik kecil. Apa kamu juga mau adik Khun Ton?” tanya Nanny
Aon, mendekati Ton.
“Malas, buat
sakit kepala,” tolak Ton.
Tor
memberikan apel kembali kepada Chuen. Lalu dia menjelaskan kepada Chuen bahwa
mereka adalah teman, jadi tidak ada salahnya antara teman, mereka saling
berbagi snack.
“Kamu perlu
memberitahu Kakek sendiri. Tapi mungkin kepalamu akan dipukulinya,” kata Chuen.
“Kemudian ayo
pergi,” kata Tor, tidak takut.
“Tunggu!
Tunggu! Kamu tidak takut Kakek ku?” tanya Chuen, menghentikan Tor yang tampak
sama sekali tidak takut.
“Aku temanmu.
Aku tidak perlu takut,” balas Tor dengan percaya diri.
“Okay,
terserah kamu. Tapi jika kepalamu retak, jangan salahkan aku ya!” kata Chuen,
bercanda. Dan Tor tertawa.
Tor
mengantarkan Chuen pulang. Ketika dia bertemu dengan Kakek Chom dan Ibu Choi,
dia mengenalkan dirinya dengan sopan. Namanya Saroj Sarayut, panggilannya Tor.
Rumahnya ada di Farmhouse. Lalu dia menjelaskan bahwa dia memberikan apel
kepada Chuen, karena dia dan Chuen adalah teman. Mendengar itu, Kakek Chom diam
dan tidak mengatakan apapun.
“Chuen, ambil
beberapa biji lotus untuk teman mu makan,” kata Ibu Choi, menerima niat baik
dari Tor. “Dia memberikan kita sesuatu, kita harus memberikan sesuatu sebagai
gantinya. Itulah teman,” jelas Ibu Choi, menasehati Chuen sekaligus.
“Iya, Ma,”
jawab Chuen, mengerti.
Dengan sopan,
Tor menolak. Tapi kalau dia menolak, maka Chuen akan mengembalikan apelnya.
Jadi akhirnya, dia pun menerima. Lalu untuk menunjukkan bahwa dia tulus
berteman dengan Chuen dan tidak sedikitpun memandang rendah Chuen, karena
harta. Jadi diapun ikut makan siang bersama keluarga Chuen.
Setelah makan
siang bersama, Tor dan Chuen pergi ke kolam lotus. Untuk mengambil beberapa
biji lotus serta bunga lotus untuk dipersembahkan ke Biksu.
“Apa kamu yakin?”
tanya Kakek Chom kepada Bawahan Mun.
“Iya, Tuan.
Pemilik Farmhouse adalah Lord Pichai Sarayut. Dia menikah dengan Lady Veena
Chawal, setelah Ibu dari kedua anak prianya meninggal,” jawab Bawahan Mun.
“Betapa
kebetulannya. Akhirnya, aku tidak perlu mencari- cari Chawal. Mereka datang
kepadaku!” kata Kakek Chom, senang.
“Tapi kita
belum menemukan pelakunya,” balas Bawahan Mun.
“Kita perhatikan
adiknya. Kakaknya mungkin tidak terlalu jauh,” kata Kakek Chom dengan yakin.
Di Farmhouse.
Saat Lady Veena melihat bunga Lotus yang Nanny Aon susun, dia merasa penasaran
darimana Lotus itu. Jadi diapun bertanya. Dan Nanny Aon pun menceritakan
tentang Chuen kepada Lady Veena serta Lord Pichai. Dia menceritakan bahwa Chuen
adalah anak yang baik, karena Tor memberikan apel padanya, Chuen membalas
dengan memberikan biji Lotus dan bunga Lotus juga. Mendengar itu, Lady Veena
serta Lord Pichai merasa kalau Chuen memang anak yang baik. Lalu Lady Veena
berencana untuk membeli beberapa Lotus dari Chuen untuk di persembahkan kepada
Biksu. Dan hal ini, juga pasti nya dapat membantu masyarakat di tempat ini.
“Anak itu
memiliki kulit yang sangat bagus. Terlalu bagus bagi anak- anak petani,” kata Nanny
Aon, menceritakan lebih detail tentang Chuen dengan bersemangat. “Dia sangat
sopan. Sangat manis,” jelasnya.
“Dia cowok
atau cewek?” tanya Lady Veena, penasaran dengan Chuen.
“Hey Khun!
Tentu saja, dia cowok! Bagaimana bisa Tor dan Ton bermain dengan cewek?” balas Lord
Pichai dengan yakin. “Benarkan, Nanny Aon?”
“Iya. Dia
cowok,” jawab Nanny Aon sambil tertawa.
Tampaknya
setiap orang salah paham dan mengira kalau Chuen adalah anak cowok. Karena
rambut dan gaya Chuen yang agak tomboy seperti anak cowok. Kepadahal sebenarnya
Chuen adalah anak cewek.
Ibu Choi
merasa penasaran tentang apa yang Kakek Chom dan Bawahan Mun bicarakan
sebelumnya. Jadi diapun bertanya secara langsung. Dan dengan gugup, Kakek Chom
menjawab bahwa sebelumnya, dia hanya memberitahu Bawahan Mu kalau dia mau berhenti
menjual beras kepada mereka.
“Kemudian
mengapa kamu terlihat stress?” tanya Ibu Choi, tidak percaya. “Mun juga,”
tambahnya.
“Orang- orang
di penggilingan. Mereka mau menurunkan harga,” jawab Kakek Chom, berbohong.
“Pa, beritahu
aku dengan jujur,” kata Ibu Choi, tidak percaya. “Beberapa tahun ini, kamu
selalu menyuruh Mun untuk mencari dia …”
“Mengapa?
Mengapa aku mau mencari dia?!” balas Kakek Chom dengan keras.
“Karena dia
pindah dari rumah tua,” jawab Ibu Choi, tahu.
Mendengar
itu, Kakek Chom langsung mengalihkan pembicaraan. Karena dia malas membahas
tentang topik sekarang ini. Dia menasehati Ibu Choi untuk segera kembali ke
dalam rumah, karena cuaca sangat panas. Dia tidak ingin Ibu Choi sakit lagi.
Karena Kakek
Chom bersikap keras kepala, Ibu Choi pun menghela nafas dan diam.
Malam hari.
Di Farmhouse. Lady Veena dan Lord Pichai berjalan- jalan berdua di halaman
rumah. Cuaca malam hari diperdesaan cukup sejuk serta tenang. Dan Lady Veena
sangat menyukainya. Lalu dia berpikir untuk mengundang Kade. Mendengar itu, Lord
Pichai tertawa, karena Kade adalah gadis kota, jadi mana mungkin Kade mau
datang ke pedesaan yang sunyi dan tidak apa- apa.
“Oh ya, besok
aku ingin menjelajahi tempat- tempat yang ada disini. Aku juga mau membeli
Lotus dirumah anak itu. Kamu mau ikut?” tanya Lady Veena, menawarkan.
“Oh! Kamu
pergi saja sendiri. Aku mau menyelesaikan buku bacaan ku,” tolak Lord Pichai,
tidak tertarik. “Oh, ajak Ton dan Tor juga untuk ikut denganmu,” sarannya.
“Khun Tor mungkin mau ikut. Tapi Khun Ton... dia mungkin lebih memiliki tinggal dirumah dan membaca buku sepertimu,” kata Lady Veena dengan yakin.
Pagi hari. Di
Farmhouse. Seperti yang Lady Veena tebak, Tor mau ikut jalan- jalan. Tapi Ton
tidak. Lalu Lord Pichai pun membujuk Ton untuk ikut saja, karena kan sekarang
Ton sedang liburan, jadi Ton harus banyak berjalan- jalan dan melihat dunia.
Tor serta Nanny Aon juga ikut membujuk Ton.
“Mm… biar ku
pikirkan dulu,” kata Ton.
“Huh…
terserah kamu lah! Jika kamu tidak mau ikut, kemudian tidak perlu ikut!” kata Lord
Pichai, capek membujuk Ton lagi.
Akhirnya Ton
ikut juga dengan Lady Veena dan Tor untuk berjalan- jalan, sekaligus
mengunjungi rumah Chuen. Dan dari jauh, Kakek Chom memperhatikan mereka semua
sambil tersenyum penuh arti.
Ketika Tor
dan keluarga datang, Chuen menyambut Tor dan keluarga dengan ramah, kecuali
Ton. Karena dia tidak menyukai Ton.
“Khun Ton.
Apa yang kamu lakukan sampai anak itu kesal?” tanya Nanny Aon, heran. Dan Ton
juga tidak tahu. Lalu Ton memutuskan untuk kembali ke mobil saja.
6 tahun kemudian
Hubungan
antara Tor dan Chuen masih terhubung dengan baik. Mereka saling mengirimkan
surat kepada satu sama lain. Pada saat surat terbaru dari Tor datang, Chuen membaca
surat itu bersama- sama dengan Ibu Choi yang duduk di sebelahnya dan
mendengarkan.
“Teman baikku, Chuen, aku minta
maaf karena selama tiga tahun terakhir, aku belum sempat mengunjungi Farmhouse
sama sekali. Terakhir kali kita berjumpa, kamu 12 tahun dan kamu masih seorang
preman kecil. Aku tidak tahu jika kamu masih seorang preman juga sekarang atau
tidak.”
Membaca
paragraf pertama, dengan bangga Chuen menjelaskan bahwa sekarang dia sudah
mengembangkan kekuasaannya. Mendengar itu, Ibu Choi menegur Chuen untuk
bersikap baik dan lanjutkan membaca suratnya.
“Tiga tahun terakhir aku belum
sempat mengunjungi Farmhouse, Khun Ton dan aku pergi ke Hua Hing dengan Ayah.
Khun Ton sangat terganggu karena kerabat Bibi Veena juga ikut. Aku sudah
memberitahu mu bahwa Khun Ton membenci Bibi Veena yang merupakan Ibu tiri kami.
Jadi dia membenci semua kerabatnya juga."
Membaca
paragraf kedua, Chuen merasa emosi. Dia merasa kepribadian Ton sangat buruk.
Kepadahal Lady Veena sangat baik. Dan bahkan Lady Veena sering mengirimkan nya
snack.
“Chuen…”
tegur Ibu Choi.
“Tapi kata pepatah, kamu
mendapatkan apa yang kamu benci. Karena Bibi Veena ada mengadopsi putri dari
kakak nya, Niwat Chawal, putrinya bernama Khun Kade atau Ketsine Chawal.”
Ketika Chuen
membaca paragraf ketiga, Ibu Choi merasa tidak nyaman dan emosiya jadi tidak
terkendali. Dengan suara keras, dia menyuruh Chuen untuk berhenti. Kemudian dia
meminta Chuen untuk membantunya ke dalam kamar.
Setelah Chuen
membantunya masuk ke dalam kamar, Ibu Choi menyuruh Chuen untuk pergi, karena
dia ingin beristirahat. Lalu tiba- tiba air mata yang ditahannya menetes, dan
dengan cepat dia langsung mengelap air matanya. Tapi Chuen melihat itu.
“Ma, mengapa
kamu menangis?” tanya Chuen, khawatir.
“Tidak apa.
Ada debu masuk ke mata,” jawab Ibu Choi, berusaha untuk tampak baik- baik saja.
“Chuen, biarkan aku istirahat. Kamu bisa pergi,” jelasnya.
“Okay,” jawab
Chuen dengan pelan. Lalu dia keluar dari kamar.
Setelah Chuen pergi, Ibu Choi mulai menangis. Dari luar Chuen mendengar itu, dan lalu dia membaca kembali surat dari Tor dengan perasaan bingung. Dia bertanya- tanya, apakah Ibu Choi tiba- tiba seperti ini, karena surat dari Tor.