Pagi hari. Jam 09.00 tepat. Alarm berbunyi. Dan dengan masih setengah
mengantuk Shuta mematikannya. Namun ketika tiba- tiba dia teringat sesuatu, dia
langsung bangun dan melepaskan bajunya. Tapi sayangnya, baju gantinya yang
sehatusnya berada di gantungan tidak ada sama sekali.
“Ibu, baju berkabungku dimana?” teriak Shuta, bertanya pada Ibunya.
“Baju berkabung? Kamu mau apa?”
“Sudah jelas untuk pergi ke peringatan kematian Saku, kan?”
“Kamu bermimpi, ya? Kamu kan sudah pergi kemarin,” jawab Ibu sambil
tertawa.
Mendengar itu, Shuta langsung masuk ke dalam kamar, dan melihat tanggal
yang berada pada kalender di meja. “Disini juga sudah berganti hari, ya?” gumam
Shuta dengan heran.
Mengenakan pakaian sekolah, Shuta pergi ke rumah Saku. Sesampainya
disana, dia memanggil- manggil Ibu Saku, tapi tidak ada jawaban, jadi dia main
masuk ke rumah Saku langsung. Dan ternyata didalam rumah, dia menemukan Ibu
Saku pingsan didalam kamar Saku dengan semua foto Saku bertebaran disekitarnya.
Dirumah sakit. Shuta menelpon dan memberitahukan Ibunya. Nyawa Ibu Saku
untungnya bisa di selamatkan. Dan mendengar itu, Ibu Shuta pun menyuruh agar
Shuta menuggu sebentar, karena dia akan segera datang ke rumah sakit.
Shuta kemudian teringat perkataan Kyoko padanya. “Kemungkinan, masa depan akan berubah menjadi lebih buruk dari
sebelumnya.”
Dan dia teringat juga perkataan Ibu Saku padanya. “Sudah takdirnya waktunya hanya sampai disitu.”
“Aku tidak bisa… membiarkannya berakhir seperti ini,” gumam Shuta penuh
tekad.
Shuta datang ke sekolah, dan mencari buku berjudul ‘Kimi mo Time Traveler ~ Kamu juga penjelajah waktu!’ di dalam
perpustakaan. Tapi dia tidak berhasil menemukannya, dan ketika itu Kyoko
memanggilnya.
“Sudah hentikan. Apapun yang kamu lakukan hasil pasti akan tetap sama.
Takdir Saku adalah meninggal karena jantungnya yang lemah,” kata Kyoko.
“Tidak mau. Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan Saku mati.
Walaupun aku sampai tidak berdaya, aku tidak akan membiarkannya berlari,” balas
Shuta.
Kyoko menjelaskan bahwa dulu bukankah dia sudah pernah mengatakannya,
ada alasan mengapa mereka harus menjaga sejarah. Karena itu akan mengacaukan
hukum alam. Intinya adalah semua orang yang berhubungan dengan Shuta, mereka
nantinya akan kehilangan ingatan mereka tentang Shuta. Termaksud ingatan Shuta
juga.
“Hilang?”
“Kalau kamu mengubah takdir seseorang, itu artinya kehidupan mereka
harus di tulis kembali dari awal. Michiru-chan, Saku-kun juga, mereka akan
menjadi orang lain. Kenangan berharga kalian. Semuanya akan menghilang,” jelas
Kyoko.
Shuta merenungkan kembali semua kenangannya bersama dengan Saku dan
Michiru. Kemudian Kyoko kembali menjelaskan, dia tidak ingin Shuta berakhir
menjadi sama seperti dirinya.
Mendengar itu, Shuta diam selama sesaat dan menundukan kepalanya. Lalu
dia mengatakan bahwa dia sama sekali tidak mau itu terjadi, melupakan kenangan
bersama Saku dan Michiru, tapi dia akan tetap melakukannya. Karena dia ingin
Saku hidup, walaupun Saku menjadi orang yang tidak di kenalnya. Karena dia
ingin Michiru tertawa, walaupun Michiru menjadi orang yang tidak di kenalnya.
Kyoko tersenyum sedih mendengar itu. Lalu dia mendekati Shuta, dan
menyerahkan buku yang di cari oleh Shuta. “Sejak 2 tahun yang lalu. Saat kamu
memperlihatkan kembang api di malam itu. Aku terus menunggumu. Aku ingin
mengucapkan terima kasih. Terima kasih, karena telah membuat kenangan
denganku.”
“Jika semuanya telah selesai, aku akan datang menemuimu lagi,” janji
Shuta sambil tersenyum, dan Kyoko balas tersenyum padanya. Lalu Shuta berlari
pergi.
Shuta menaiki sepeda nya dengan cepat. “Tunggu aku. Saku… Michiru…” gumamnya didalam hati. Lalu dia
menaiki kereta.
Sesampainya di masa lalu. Di sekolah. Shuta dihampiri oleh teman- teman
seklub basketnya. Mereka menanyai keadaan perut Shuta, apa masih sakit atau
tidak? Jika tidak, maka mereka meminta agar Shuta jangan pulang dulu, dan
bermain bersama dengan mereka, karena ini adalah pertandingan terakhir mereka.
“Hari ini pertandingan? Dengan kata
lain, ini hari dimana Saku meninggal,” pikir Shuta, dia
ragu untuk ikut bermain. Tapi teman- temannya memaksa, sehingga dia terpaksa
harus ikut bermain. “Bukan waktunya untuk
bertanding.”
Ketika akan melempar bola basket ke ring, untuk mencetak angka 3 point.
Shuta teringat mengenai kejadian yang pernah di alamin nya, yaitu lemparan nya
gagal saat tim lawan menghalanginnya. Sehingga kali ini dia tidak langsung
melemparkan bola ke dalam ring, tapi dia mengecoh lawan dan mendekati ring,
lalu melemparnya. Dan bola berhasil masuk ke dalam ring. Lalu peluit tanda pertandingan
berakhir berbunyi.
Namun ternyata, ketika Shuta melompat untuk melemparkan bola ke dalam
ring, dia tanpa sengaja malah terjatuh, dan melukai kakinya. “Sakit. Apa yang sedang aku lakukan?”
gumamnya dengan geram.
Didalam kamar mandi. Shuta yang berada di zaman sekarang, dia mengeluh
karena perutnya masih sangat sakit akibat jamur yang diberikan oleh Saku. Dan
disaat itu, seseorang mengetuk pintu kamar mandi tempat nya berada. Jadi dia
pun menjawab, “Ada orang!”
“Sudah kuduga kamu ada disini. Apa kamu sudah menyerahkan surat Michiru
pada Saku?”tanya Shuta dari masa depan.
“Siapa?” balas Shuta zaman sekarang, kebingungan.
“Sudahlah cepat jawab!”
“Sudah ku serahkan!” jawab Shuta zaman sekarang sambil menahan sakit di
perutnya.
Shuta dari masa depan mengatai dirinya sendiri yang sekarang ‘bodoh’.
Dan dia memberitahu pada dirinya bahwa hari ini dia pasti akan kalah, jadi
percuma berusaha. Namun dia ingin dirinya untuk lebih percaya diri lain kali.
Sesudah mengatakan itu, Shuta dari masa depan pergi.
Shuta di zaman sekarang dengan cepat menyelesaikan urusan BAB nya. Lalu
dia keluar dari dalam kamar mandi untuk melihat siapa yang berbicara padanya
barusan, tapi tidak ada siapapun. Dan karena perutnya kembali sakit, maka dia
pun masuk kembali ke dalam kamar mandi.
Shuta mengayuh sepedanya secepat mungkin. “Sial! Apa tidak bisa kembali lebih awal?” keluhnya. Lalu disaat
itu dia melihat Saku yang tampak kecapekan, seperti habis berlari. “Saku!”
teriaknya.
“Michiru… akan pergi ke Inggris,” kata Saku dengan nafas
tersenggal-senggal.
“Aku tahu, cepat naik!” balas Shuta.
Setelah Saku duduk di bangku belakang, Shuta langsung ingin mengayuh
sepedanya, tapi karena kakinya sedikit terkilir ketika bermain basket barusan,
maka Shuta agak kesusahan. Menyadari itu, Saku bertanya. Tapi Shuta membalas
bahwa itu tidak penting. Lalu dia mengayuh sepedanya secepat mungkin ke
stasiun.
Michiru tiba di stasiun kereta.
Tags:
Enoshima Prism