Sinopsis K-Drama : Arthdal Chronicles
Episode 03-3
Images by : TvN
Part
1 : The Children of Prophecy
Berita mengenai Tagon yang melakukan
Ollimsani telah sampai ke Asa Ron karena sebuah surat yang tertinggal di meja
Serikat. Hal ini tentu sangat berbahaya. Asa Mot tentu ingin Tagon di hukum,
tapi Asa Ron ragu. Sekarang ini, semua suku berpihak pada Tagon dan pasti akan
semakin menyalahkan klan Asa jika mereka menghukum Tagon.
Dan karena hal itu, Asa Ron menyuruh
agar mereka berpura-pura tidak tahu atas hal itu. Asa Ron juga bertanya siapa
saja yang telah melihat surat itu? pembawa surat mengatakan tidak ada. Dia langsung
membawa surat itu begitu melihatnya. Dan tanpa di duga, Asa Ron membunuh orang
itu.
Setelah itu, Asa Ron menyuruh Asa Mot untuk
mencari tahu siapa yang menulis surat itu. Hanya sedikit orang yang bisa menulis
surat. Dia dapat merasakan dengan jelas kalau pasti ada yang merencanakan semua
ini.
--
Taealha sudah siap menemui Sanung, dan
Hae Tuak yang menunggunya langsung menanyakan, apakah Taealha menuruti yang
Tagon minta atau dia melaporkan Tagon?
“Kuturuti dia,” jawab Taealha.
“Apa katamu? Astaga, apa yang kau
pikirkan? Ini berarti kau memilih Tagon?”
“Tidak juga. Namun, katamu dia
bersenandung.”
“Ya. Memangnya kenapa? Katakan. Apa
artinya itu?”
“Dia senang. Tagon sedang antusias
sekarang. Seperti saat dia membakar Atturad,” jawab Taealha.
--
Tagon berada di hamparan padang rumput
yang luas. Dan dia teringat sesuatu. Gambaran saat dia masih kecil dan di cekik,
berusaha di bunuh.
Moogwang melihatnya sendiri dan
menghampirinya. Dia sangat senang dengan Tagon dan bahkan semua orang Arthdal
pun pasti bahagia saat melihat Tagon membawa para budak.
“Pesta sesungguhnya belum di mulai,”
ujar Tagon.
“Apa? Pesta apa?”
Tagon tidak menjawab dan hanya
bertanya mengenai para budak. Moogwang menjawab kalau para budak sedang di
mandikan dan di beri makan.
--
Malam hari,
Para suku Wahan duduk bersama untuk di
beri makan. Tapi, tentu saja ada beberapa di antara mereka yang dapat makan
dengan lahap dan ada yang tidak. Mereka juga bertanya-tanya apa alasan para
prajurit itu tidak membunuh dan merampok kita bahkan memberi mereka makan.
Tanya saja tampak sangat tidak
bertenaga. Dia menyuruh wanita di belakangnya untuk berhenti menangis dan
makan. Dia juga menyuruh Choseol untuk makan. Wanita itu menangis karena
meninggalkan nenek-nya di sana dan bahkan putrinya (Dotti), entah masih hidup
atau tidak.
“Kau harus makan agar bisa hidup. Agar
bisa makan. Hanya itu cara kita menemukan Dotti,” nasehat Tanya. Tapi, wanita
itu terus menangis.
Tidak jauh dari mereka, Eunseom dan
Dotti tiba di sana. Dotti menangis sedih karena melihat ibunya menangis.
“Tunggulah sebentar lagi. Akan ku
tangkap pemimpinnya,” janji Eunseom.
“Pemimpin yang di Arthdal?”
“Ya. Pemimpin unit, Sanung Niruha.”
“Pemimpin
unit? Kukira dia pemimpin serikat.”
“Bukan, dia pemimpin unit.”
“Benarkah? Pemimpin unit? Maka kau
harus menangkapnya dan menyelamatkan ibuku, ya?”
“Ya, pasti,” tekad Eunseom.
Dan dari jauh, Tanya melihat Bantu. Dia
tahu kalau Eunseom pasti ada di dekat sana dan akan menyelematkan mereka.
--
Asa Ron sudah tahu kalau pengirim surat
itu adalah pedagang kulit Sanung Niruha. Asa Ron menyuruh Asa Mot dan pengikutnya
yang lain untuk mencari pedagang kulit itu dan menyelidiki kepada siapa saja
pedagang itu sudah menceritakan mengenai Tagon yang melakukan Ollimsani. Terserah
mereka mau menyuap pedagang itu dengan hadiah atau membunuhnya. Pokoknya,
mereka harus menguburkan fakta bahwa Tagon melakukan Ollimsani.
Asa Ron benar-benar marah karena tahu
bahwa ini pasti adalah perbuatan Sanung.
Pas sekali, saat dia keluar dari
kediamannya, dia bertemu dengan Sanung. Dia sudah hendak menyerang Sanung, tapi
tanpa di sangka rakyat sudah berkumpul dan memohon agar Asa Ron mengampuni
Tagon.
Tidak hanya itu, Sanung ikut berlutut
dan memohon pengampunan untuk putranya yang telah melakukan ritual keramat yang
harusnya di lakukan oleh klan Asa. Sanung berpura-pura baik di depan para
rakyat dan sekaligus memberitahu apa yang Tagon telah lakukan.
Asa Ron tampak sangat-sangat marah. Dia
benar-benar telah di perdaya oleh Sanung.
--
Dotti dan Eunseom sedang menunggangi
Bantu, tapi Bantu tiba-tiba saja berhenti untuk makan. Eunseom langsung
memarahinya karena Bantu terus saja makan. Dotti kemudian menyadari kalau
tanaman yang di makan oleh Bantu di susun membentuk barisan. Itu adalah
pertanian.
Dan tiba-tiba saja, petani muncul dan
memarahi mereka pencuri yang ingin mencuri tanaman ini. Ini adalah tanamanya. Tanahnya!
Eunseom terkejut, padahal dalam suku Wahan, tidak ada yang istilahnya ‘tanah
kita’ karena itu artinya sama saja memiliki langit dan bumi.
Tidak hanya itu, petani itu berkata kalau dia
yang menanam benih dan menyuburkan tanahnya dan mencabut rumput liarnya. Eunseom
semakin terkejut, menanam benih adalah hal yang tidak di lakukan suku Wahan.
Petani itu emosi karena sikap bodoh
Eunseom, tapi saat dia hendak memukul Eunseom, dia melihat kalung yang Eunseom pakai
(itu kalung yang di tinggalkan Asa Hon pada Eunseom). Melihat kalung itu,
petani menjadi takut dan memohon di ampuni nyawanya. Dia tidak tahu kalau
Eunseom berasal dari suku Asa.
“Asa? Apa itu?” bingung Eunseom.
Tapi, petani itu menyadari warna bibir
Eunseom yang berwarna ungu. “Apa… Igutu?!” kaget petani itu.
“Igutu?” tanya Eunseom ulang. Dan teringat
prajurit yang waktu itu mengiris lengannya juga menyebutnya Igutu. “Apa itu
Igutu? Apa artinya itu?”
Tetapi bukannya menjawab, petani itu
malah menjerit : “Ada Igutu!” dan berlari ketakutan. Teriakannya itu terdengar
oleh seorang wanita cantik, Chae Eun, yang ada di dekat sana.
Eunseom mengejar petani itu dan
memaksanya memberitahunya apa itu Igutu. Petani itu ketakutan dan memohon tidak
di bunuh. Eunseom melepaskannya dan berkata tidak akan membunuhnya.
“Igutu adalah percampuran darah Saram
dan Neanthal.”
“Lalu, apa itu Neanthal?”
“Mereka monster!”
Mendengar kata monster, membuat
Eunseom terguncang. Dia adalah anak monster? Dia… anak monster?
Dan dalam keadaan bingung itu, petani
itu malah menyerang Eunseom. Dotti langsung berteriak. Dan Eunseom refleks
membela diri dan tanpa sadar membuat pria itu mati. Eunseom juga kaget dengan
yang di lakukannya.
Chae-Eun berlari mendekati mereka. Dan
Eunseom tentu mengeluarkan pisau kayu-nya dan mengarahkannya pada Chae-Eun agar
tidak mendekati mereka.
“Aku tak akan menyakitimu. Tenanglah. Tak
apa,” tenangkan Chae-Eun.
“Kau tak takut padaku? Dia bilang aku
anak monster.”
“Dia salah. Neanthal bukan monster. Itu
kebohongan oleh Klan Asa,” beritahu Chae-Eun. Chae-Eun kemudian mendekati
petani dan melakukan ritual untuk mengantarkannya pergi (apa dia dari klan Asa?).
Chae-Eun kemudian mendekat ke Eunseom dan melihat tangan Eunseom yang terluka. “Darah
ungu. Kau sungguh Igutu. Aku belum pernah lihat. Jangan berkeliaran begini. Kau
akan mati atau membunuh orang seperti tadi,” nasehat Chae-Eun.
“Jika Neanthal bukan monster, mereka
itu apa?” tanya Eunseom.
“Spesies yang agak berbeda daripada
Saram. Lebih cantik daripada kami, para Saram,” jawab Chae-Eun.
--
Asa Ron benar-benar bingung. Apa yang
harus di lakukannya? Jika mereka membunuh Tagon, rakyat akan membenci dan
memberontak pada mereka. Tapi, jika tidak, kekuasaan dan otoritas mereka akan
terancam.
Saat itu, seorang wanita tua masuk
menemui Asa Ron. Semua langsung berlutut dan Asa Ron memanggilnya dengan
panggilan : “Ibu Gunung Puncak Putih.”
“Seperti ibu yang melihat anaknya menunggangi
kuda menuju tebing, aku secepatnya kemari setelah mendengar berita mengerikan.”
“Ibu Gunung Puncak Putih.”
“Mengakui orang melakukan Ollimsani di
luar lingkaran keramat, sama dengan memberi tahu siapa pun bisa menemui para
dewa. Jika kita biarkan…”
“Ibu. Jika kami hukum Tagon sekarang…”
ujar Asa Yon.
“Hanya satu dari seratus. Tidak, hanya
satu dari puluhan ribu orang yang bisa menemui para dewa. Orang berkumpul di
sekitar yang terpilih, membentuk klan. Seiring waktu, beberapa klan membentuk
satu suku. Begitulah cara kita memiliki Serikat. Jika kekuasaan dan otoritas yang
terpilih hancur, apa yang akan menyatukan orang? Jika mereka terserak,
alih-alih bersatu, memilih tak memadukan kekuatan, dunia Saram akan kembali
menjadi seperti saat dikuasai hewan hina. Jika semua dianggap terpilih, itu
berarti tak ada yang terpilih. Pendeta Tinggi. Gagasan kesetaraan macam itu hanya
akan menghancurkan Serikat. Ini bukan hanya tentang Klan Asa. Ini akan
membubarkan Serikat. Pakai akal sehatmu!” ujar Asa Sakan (Ibu Gunung Puncak
Putih).
--
Chae-Eun memberikan pakaian Arthdal (pakaian
petani tadi) pada Eunseom. Setelah itu, Chae-Eun mengoleskan sesuatu pada bibir
Eunseom untuk menyembunyikan warna ungu di bibir Eunseom.
“Kubuat ini untuk adik perempuanku, tapi
ambillah,” ujar Chae-Eun, memberikan lipstick itu untuk Eunseom. “Pastikan
selalu kau pakai.”
“Tampaknya, orang di sini sangat
membenci Igutu. Kecuali kau? Kenapa membantuku?”
“Aku tak mau lagi. Mungkin aku akan
membunuhmu jika bertemu lagi,” jawab Chae-Eun. “Sebaiknya cepat kembali ke
asalmu. Kau pasti berasal dari tempat yang tak mengenal Igutu.”
“Di mana aku bisa bertemu Neanthal?”
“Tak bisa lagi. Kami bunuh mereka
semua,” jawab Chae-Eun dan beranjak pergi.
--
Eunseom dan Dotti tiba di kota
Arthdal. Mereka sangat takjub melihat dinding batu yang mengelilingi Arthdal
dan ada para petugas di sana yang memeriksa setiap orang yang masuk ke dalam (tu
daerah perbatasan).
Pas giliran mereka hendak masuk dan di
periksa, Dotti tiba-tiba menangis keras hingga penjaga jadi tidak curiga dan
menyuruh mereka masuk.
Saat sudah di dalam, Dotti langsung
bertanya kenapa Eunseom mencubitnya? Eunseom membantah dan berkata kalau Dotti
yang menangis sendiri. Dotti langsung bilang Eunseom yang mencubitnya dan
rasanya sangat sakit.
Pas di dalam, mereka benar-benar kaget
melihat para orang berkumpul dan melakukan transaksi perdagangan. Bahkan ada
orang menjual kain. Semua adalah hal yang sangat berbeda dengan yang ada di
suku Wahan!
“Tempat ini… Arthdal,” pikir Eunseom.
-Bersambung-
Tags:
Arthdal Chronicles