Sinopsis K-Drama : Arthdal Chronicles
Episode 03-2
Images by : TvN
Part
1 : The Children of Prophecy
Sanung masuk ke dalam kamarnya. Tapi,
baru masuk ke dalam kamar, ada seseorang yang menyergapnya dari belakang dan
mengarahkan pisau ke lehernya. Sanung sudah tegang, tapi ternyata yang
menyergapnya adalah Taealha.
“Kau mencintaiku atau tidak?” tanya
Taealha.
Sanung tertawa kecil. Dan Taealha
melepaskannya dengan kecewa karena Sanung tidak mencintainya.
Tapi, Sanung langsung memeluknya. Sanung
kemudian bertanya dimana Hae Tuak? Taealha menjawab kalau Hae Tuak akan segera
datang. Ternyata, Sanung ingin tahu pergerakan Tagon.
“Sudah kuduga. Kau tak tertarik
padaku. Di pikiranmu hanya ada Tagon. Kenapa kau amat benci putramu?” tanya Taealha.
“Bukan benci,” jawab Sanung.
Flashback
Saat
Tagon masih kecil, pendeta suku Saenyeok menyuruh Sanung untuk segera membunuh
Tagon.
“Dia
akan membunuhmu dan hancurkan hidup banyak orang. Terlebih, dia akan
membubarkan Serikat Arthdal,” ujar pendeta.
“Itu
omong kosong!” sangkal Sanung.
“Daraburu
telah bersabda. Suku Saenyeok dan suku lain yang mengikuti Saenyeok adalah
milikmu untuk dipimpin dan lindungi. Kau tak tahu itu?”
“Aku
tahu. Aku sangat tahu, karena itulah akan kupandu dia...”
“Sekalipun
tak membunuhmu, dia akan selamanya menjadi usikan. Suku Gunung Putih akan
mengetahui kelemahanmu, bagaimanapun caranya.”
End
“Bukan kebencian. Namun, ketakutan,”
beritahu Sanung. “Aku takut akhirnya akan membunuhnya.”
Taealha langsung menenangkan Sanung karena
Tagon masih terus mendengarkan perintah dari Sanung seperti tentara naif. Tagon
di sukai rakyat, tapi jalannya masih jauh.
Sanung menatapnya dan tiba-tiba, “Nikahi
aku.”
Taealha terdiam.
“Kau tidak mau?”
“Ayahku akan sangat senang. Namun, pernikahan
kita tak hanya melibatkan kita. Seperti katamu sendiri, itu mengubah dinamika
kekuasaan Arthdal. Suku Gunung Putih akan menentang. Terutama, Asa Ron yang
licik dan suka berkomplot,” jawab Taealha.
--
Asa Ron sedang menjalani ritual sebagai
Pendeta Tinggi. Di depannya, seorang gadis menari (apa ini perasaanku, kok
mereka nari di air sama seperti saat Choseol mengajari Tanya. Narinya juga di air).
Asa Mot datang menemuinya dan melapor
kalau wanita yang sering masuk ke kamar Sanung, bukanlah Danggeuri Suku
Saenyeok tapi Taealha, putri Hae Mihol. Tidak di sangka, Asa Ron sama sekali
tidak terkejut dengan berita Asa Mot.
“Saat Mihol tiba di Arthdal bersama
Suku Hae, mereka seharusnya diusir. Keahlian bertani dan olah perunggu mereka adalah
ancaman. Mihol jadi sangat berkuasa. Jika Sanung menikahi Taealha…”
“Mereka akan menikah?” tanya Asa Ron.
“Asa Ron Niruha, Sanung pasti
berencana akan melawan kita dengan Mihol di pihaknya.”
--
Hae Mihol sangat senang karena
akhirnya Sanung ingin menikahi Taealha.
“Aku malu. Akulah Taealha. Seharusnya
tak selama ini dia melamarku. Hanya butuh tiga hari agar Tagon melamar. Itu
menunjukkan betapa naifnya Tagon. Bukan begitu, Ayah?” ujar Taealha.
“Mustahil membandingkan mereka berdua.
Sanung pemimpin mereka. Hanya dua orang yang memegang gelar Niruha. Asa Ron dan
Sanung. Keduanya lawan yang berat,” ujar Hae Mihol.
“Namun, salah satu pemimpin itu
melamarku.”
“Fakta bahwa Sanung melamarmu berarti…
dia sudah memutuskan.”
“Benar. Memutus aliansi dengan Asa
Ron, gabungkan kekuatan dengan Suku Hae.”
“Itu alasan pertama.”
“Ada yang kedua?” kaget Taealha.
“Tagon. Sanung tahu benar hubungan
kalian. Dengan melamarmu, dia mengincar Tagon. Perjalanan panjangmu sebagai
yeomari (mata-mata) akhirnya hampir berakhir,” senyum Hae Mihol
--
Taealha langsung kembali ke kamarnya,
dan begitu kembali dia langsung meminum alkohol. Ibunya yang mengikutinya
bertanya kenapa dia minum-minum.
Sanung
dan ayahku akhirnya memutuskan. Tagon kini akan mati. Dia akan disingkirkan. Itu yang di pikirkan Taealha.
Dan seolah bisa tahu apa yang Taealha
pikirkan, Ibunya menyuruh Taealha untuk tidak ragu. Bukan dia yang meninggalkan
Tagon, tapi Tagon-lah yang di singkirkan dari lomba. Taealha harus tetap kuat.
“Ragu? Aku? Kenapa Ibu pikir aku jadi
yeomari untuk memata-matai Sanung dan Tagon? Karena perintah ayahku? Bukan. Tujuanku…
adalah menaklukkan Arthdal. Aku hanya cemas Tagon tak akan menyerah tanpa
melawan,” ujar Taealha.
--
Tagon memanggil Hae Tuak dan
memberikan 2 buah surat. Surat pertama untuk di berikan pada Taealha dan yang
satu lagi untuk bocah dalam menara. Hae Tuak takut dengan surat yang akan di
berikan pada Taealha, jika mereka tahu, Tagon bisa di asingkan karena ini.
Tagon tidak takut dan menyuruh Hae Tuak untuk pergi saja sekarang. Walau ragu,
Hae Tuak akhirnya memilih menuruti perintah Tagon.
--
Esok hari,
Semua prajurit dan para budak di bariskan
dengan rapi. Choseol terlihat sudah sangat tidak bertenaga dan hal itu membuat
Tanya merasa cemas. Tagon keluar dai tenda-nya dan memerintahkan kalau mereka
akan berangkat sekarang juga. Tanpa tahu mau di bawa kemana, para Suku Wahan di
suruh untuk berjalan lagi.
Kitoha dan Moogwang tidak mengikuti
rombongan para budak. Moogwang merasa cemas karena Moobaek belum kembali juga.
kitoha sih tidak cemas karena Moobaek adalah ksatria terhebat Daekan, jadi
pasti baik-baik saja.
--
Moobaek berjalan terus memasuki hutan
karena kudanya sudah tidak ada lagi. dan dia menemukan sebuah tempat yang
memiliki air dan tengkorak hewan. Itu adalah tempat dimana Tanya biasa latihan
menari di ajari oleh Choseol.
Dengan langkah ragu, Moobaek berjalan
ke sana dan melihat ke sekeliling tempat itu. Puas melihat, Moobaek hendak
pergi. Tapi, saat itu, matanya melihat sesuatu yang tergantung di atas pohon
pemujaan tersebut. Dan dengan panahnya, Moobaek memanah benda itu hingga jatuh
ke tanah.
Saat Moobaek mengambil benda itu,
seorang wanita tua keluar dan memohon pada Moobaek untuk tidak mengambil benda
itu.
“Ini pasti Bundelan Keramat kalian,”
ujar Moobaek dan memeriksa isi buntelan.
“Ya. Jadi, tolong jangan dihancurkan.”
“Ini
byeoldaya,” ujar
Moobaek dalam hatinya begitu melihat ada kayu berbentuk bulat dengan ukiran di
atasnya. “Dari mana kau dapat ini?”
“Itu totem peninggalan leluhur kami, Serigala
Putih Besar.”
“Mustahil,” pikir Moobaek lagi, terkejut.
--
Malam hari,
Para penjaga yang berjaga di bawah
tebing hitam, bertanya-tanya kapan Moobaek akan kembali untuk naik? Tempat ini
tampak mengerikan saat sudah malam.
Dan tidak jauh dari sana, terlihat Eunseom
dan Dotti yang mengintai. Dotti yang tidak sadar situasi malah berujar kalau
dia takut. Suaranya terdengar oleh 2 penjaga di sana. Melihat para penjaga yang
mulai waspada dan hendak menyerang mereka, Eunseom jadi takut dan
bertanya-tanya, apa dia bisa melawan kedua penjaga itu?
Saat itu, Eunseom teringat saat Tanya
selalu berkata dia hebat karena bisa menirukan secara sempurn apapun yang
pertama kali di lihatnya. Dan dia teringat saat rombongan Moobaek berniat
menghabisinya sambil menaiki kuda.
Dan dengan itu, dia naik ke Bantu dan
menggunakan Bantu untuk menjatuhkan kedua penjaga tersebut.
“Dujeumsaeng menunggangi kuda? Itu
mustahil,” ujar penjaga kaget melihat Eunseom yang menunggangi kuda.
“Ke mana kalian bawa sukuku?”
“Aku dengar tentang dujeumsaeng yang
bisa bicara bahasa kami. Pasti kawananmu.”
“Ke mana kalian membawa mereka?” tanya
Eunseom lagi.
“Mereka semua naik. Tak ada
dujeumsaeng yang tersisa di bawah.”
“Atas? Mereka di atas mana?”
“Di atas tebing.”
“Bagaimana orang bisa naik tebing? Kalian
tahu tentang gua itu?” tanya Eunseom.
Gantian penjaga yang kaget, gua apa? Saat
itulah, Dotti menyadari kalau ada alat yang bisa membuat mereka ke atas lift. Dia
segera memberitahunya kepada Eunseom.
Melihat tumpukan kayu dan lift
sederhana itu, Eunseom benar-benar terkejut : Ini mustahil. Pilar yang menyangga langit. Tali panjang tanpa ujung. Ini
yang hanya bisa diimpikan aku dan ibu.
“Siapa kalian? Bagaimana bisa kalian
membuatnya? Siapa yang membuatnya?” tanya Eunseom lagi.
“Dibuat atas perintah Sanung Niruha.”
“Siapa?”
“Sanung Niruha, pemimpin Serikat
Arthdal.”
“Orang
macam apa dia? Siapa orang di balik tebing yang membuat bangunan seperti ini? Seberapa
tingginya dia? Dia pasti raksasa,” pikir
Eunseom. “Apa dia setinggi tebing itu? Dia pemimpin suku kalian?”
“Pemimpin suku? Kurasa bisa dibilang
begitu.”
“Di mana dia sekarang?”
“Di mana lagi? Di Arthdal, tentunya,”
jawab penjaga itu.
Eunseom menatap ke atas tebing, dia
akan menuju ke sana.
--
Esok pagi,
Penjaga yang kemarin berhasil di taklukan
oleh Eunseom, di suruh membawa mereka ke atas. Tentu saja, mereka bersembunyi di
bawah tubuh Bantu dengan di tutupi kain hitam. Pera penjaga tentu heran,
ngapain penjaga di bawah naik dan membawa kuda. Dengan matanya, penjaga itu
berusaha memberi tanda kalau ada penyusup yang bersembunyi di balik kain yang
menutupi tubuh kuda.
Dan sebelum mereka diserang, Eunseom
segera melajukan kudanya meninggalkan tempat itu. Para penjaga tentu tidak bisa
mengejarnya.
--
Anak buah Tagon bersama Hae Tuak tiba
di pemukiman daerah Arthdal. Begitu sampai semua masyarakat langsung menyoraki
nama Tagon yang menurut berita telah membawa banyak budak untuk mereka.
Asa Ron Niruha yang melihat hal itu,
tentu tidak merasa senang.
--
Sanung menyambut anak buah Tagon dan
senang karena mereka telah berhasil membawa budak. Dia kemudian bertanya kapan
Tagon akan kembali?
“Dia berangkat kemarin, tapi karena
ada 2000 dujeumsaeng, kurasa dia butuh tiga hari untuk tiba.”
“Kau datang sendirian?”
“Tidak. Hae Tuak dari suku Hae menemaniku.”
Sanung tersenyum, tapi tidak lama
wajahnya berubah muram.
--
Hae Tuak menemui Taealha dan
menunjukkan surat yang di titipi Tagon. Membaca isi surat itu, Taealha kaget. Dia
bertanya berulang kali apa benar Tagon yang menulis surat itu? tae Huak
membenarkan. Dia juga heran kenapa Tagon mengungkap hal yang seharusnya di
rahasiakan. Terutama pada Sanung Niruha.
Ini
bunuh diri, ujar Taealha dalam
hati.
“Kau akan bagaimana? Kau turuti kata
Tagon atau akan melaporkan rencana Tagon?” tanya Hae Tuak.
“Apa dia bersenandung?” tanya Taealha.
“Saat berikan ini padamu, apa dia menyenandungkan lagu?”
“Astaga, aku tak ingat. Kau benar! Dia
bersenandung. Kenapa?”
Taealha langsung terkejut gitu.
--
Taealha pergi menemui Sanung ke Istana
Serikat. Saat itu Sanung sedang bersama para pengikutnya, tapi begitu melihat
tanda dari Taealha, dia segera menyuruh para pengikutnya untuk pergi. Setelah
tinggal berdua, Taealha baru bicara.
“Kudengar Hae Tuak datang.”
“Dia datang membawa hal penting,”
beritahu Taealha.
“Apa itu? Kita di awasi. Cepat katakan.”
“Siapa yang boleh lakukan Ollimsani?”
tanya Taealha.
“Apa maksudmu?”
“Kutanya, siapa yang boleh lakukan
Ollimsani.”
“Pendeta suci dari Klan Asa.”
“Bagaimana jika orang lain
melakukannya?”
“Sudah jelas, 'kan? Dia pasti… Tak
mungkin.”
“Tagon sudah tamat,” ujar Taealha.
--
Sanung memberitahu putranya kalau Tagon
sudah melakukan Ollimsani, tidak hanya sekali atau dua kali, tapi berkali-kali.
“Menuntun arwah kepada para dewa adalah
hak istimewa bagi orang suci. Itu yang paling dihargai Klan Asa. Namun, Tagon…,”
ujar Sanung.
“Itu seharusnya tak terjadi.”
“Jika diadili di Pengadilan Keramat… Tagon
akan bagaimana?
“Dia akan dibunuh atau dibuang,
merangkak setelah kakinya dipotong.”
“Asa Ron tak akan membunuhnya, hanya
dibuang. Walau dia ampuni Tagon dan hanya membuangnya,”
“Serikat tetap akan murka.”
“Benar. Dan kepada siapa… kemarahan
itu ditujukan?” ujar Sanung. “Kalau begitu, Asa Ron ambil putusan di Pengadilan
Keramat. Asa Ron akan dimintai tanggung jawab. Tagon telah menggali makamnya
dan Asa Ron dengan tangannya sendiri. Tak ada yang boleh tahu keterlibatanku. Bagaimanapun,
aku ayahnya Tagon.”
Tags:
Arthdal Chronicles