Images by : TvN
Part
3 : Arth, The Prelude to All Legends
Eunseom berhasil di selamatkan. Semua suku Momo yang menyelamatkannya, sangat senang karena misi mereka berhasil. Dalsae langsung berlari memeluk Eunseom dengan bahagia. Eunseom masih linglung, mengira dia bermimpi. Dalsae dengan bahagia berkata kalau ini bukanlah mimpi. Dan kemudian, Eunseom baru tersadar kalau di sana ada suku Momo juga. Apa yang sebenarnya terjadi? Badoru yang baru tiba, berlari memeluk Eunseom dengan erat. Dia menangis bahagia karena Eunseom selamat.
Arthdal Chronicles
Eunseom mengucapkan terimakasih karena Karika
telah menyelematkannya. Dia menundukkan kepala dalam-dalam. Karika berujar
kalau sekarang mereka telah ‘Lepas Kaitan’. Eunseom jelas bingung, apa artinya
‘Lepas Ikatan’? Karika kebingungan menjelaskan karena dia harus menggunakan
istilah “galma” tapi menurut Tapien, tidak ada kata dalam bahasa Arth untuk
“galma.”
“Saat kau selamatkan anakku, takdir kita
terkait. Kini, kita baru saja lepas kaitan karena aku menyelamatkanmu. Kini,
kita kembali seperti saat kita mulai,” jelas Karika, pada Eunseom.
Dalsae saja bingung. Eunseom juga bingung. Karika bertanya apa yang akan Eunseom lakukan sekarang? Eunseom memberitahu kalau dia harus kembali ke suku Ago untuk menyelamatkan temannya. Karika langsung bertanya, apakah Eunseom tahu apa artinya selamat dari Pengadilan Air Terjun? Eunseom hanya tahu jika dia selamat, maka suku Ago akan percaya akan ucapannya. Karika tertawa kecil karena kepolosan Eunseom.
Dengan bantuan Tapien, Karika mulai berbicara
dengan bahasa suku Momo, dan Tapien menerjemahkannya pada Eunseom.
“Saat selamat jatuh dari air terjun Ago, kau
menjadi sesuatu yang lain. Saat kembali ke Suku Ago, kau tak bisa hidup sebagai
dirimu sendiri. Kau bisa pergi bersama kamijika tak menginginkan hal itu.”
“Aku tak mengerti maksudmu. Aku harus
selamatkan temanku.”
“Jika akhirnya kau malah kabur, datangi kami,
Suku Momo. Kami akan menyambutmu sebagai tamu. Mohon ingat itu. Semua air
terhubung. Semua air di dunia adalah rumah kami.”
--
Tachugan yang melihat hal itu merasa sangat
kesal dan marah. Dia bahkan menyebut semua orang telah gila.
Ipsaeng juga merasa sedih. Sepertinya, dia
pasti mengira Eunseom telah meninggal.
Tachugan menemui Pasa dan berteriak marah karena mereka kehilangan 1 budak secara sia-sia. Pasa mengingatkan kalau Eunseom bilang dia melihat Inaishing dalam mimpinya. Tachugan semakin marah karna dia yakin hal itu hanyalah kebohongan. Mirusol menimpali kalau mungkin saja Eunseom berbohong, tapi bagaimana dengan Ipsaeng yang dari klan Tae? Apa seorang dari suku Ago bisa berbohong soal Inaishingi? Tachugan menghela nafas, tampaknya amarahnya memuncak. Dia menawarkan untuk menyelidiki apakah Ipsaeng berbohong atau tidak.
--
Tachugan pergi ke kurungan Ipsaeng. Dia memanasi kalau sebentar lagi sudah magrib, dan saat malam akhirnya tiba, maka Ipsaeng akan mati. Dan karena itu, dia memberikan makanan terakhir untuk Ipsaeng. Ipsaeng tampak kesal.
Tachugan beranjak pergi, dan sebelum pergi,
dia dengan sengaja memutuskan tali pengikat pintu kurungan. Ipsaeng tidak tahu
kalau tali itu sengaja di putuskan oleh Tachugan dan karena itu, dia sangat
girang saat melihat tali pengurung terbuka. Tanpa membuang waktu dan berpikir
dua kali, dia langsung membuka pintu kurungan dan kabur.
--
Badoru, Eunseom dan Dalsae bergegas menuju
kembali ke wilayah klan Myo. Badoru hendak menjelaskan pada mereka, mengenai
apa yang akan terjadi karena Eunseom telah selamat dari Pengadilan Air Terjun,
tapi Dalsae and Eunseom tidak mendengarkannya. Mereka hanya berpikir harus
cepat kembali sebelum Ipsaeng di bunuh.
--
Ipsaeng mengira dia sudah berhasil kabur, tapi pada kenyataan-nya dia di tangkap lagi oleh Tachugan. Pasa dan Mirusol juga ada di sana. Tachugan menegaskan kalau ucapan Eunseom benar adalah Inaishingi, kenapa Ipsaeng harus mencoba kabur?!
Ipsaeng di bawa ke tengah lapangan dan di kelilingi oleh semua anggota klan Myo. Tachugan memukul Ipsaeng dan menyuruhnya untuk jujur kalau sudah membohongi mereka semua. Ipsaeng tidak takut lagi dan menyebut kalau mereka semua sudah bodoh. Dia bahkan menawarkan diri untuk di bunuh. Dia sudah tidak mau hidup lagi. Tidak masalah jika dia mati di sini, karena mereka semua juga akan berakhir sepertinya.
“Kau perlu bertanya? Kalian akhirnya akan
mati di tangan suku kalian sendiri! Perang antarsuku ini akan berlanjut, dan
kalian akhirnya akan dipenggal oleh sesama suku Ago. Akan kutunggu kalian di
dunia lain. Bunuh aku!” jelas Ipsaeng dan tertawa.
Tachugan sangat marah karena Ipsaeng berani
mengutuk klan Myo. Ipsaeng malah berkata kalau itu bukanlah kutukan. Dia tidak
punya kemampuan spritiual, jadi tidak bisa mengutuk. Namun, hal itu pasti akan
terjadi. Suku Ago akan terus saling bunuh dan akhirnya hancur sendiri!
Tachugan sudah mencapai batas.
“Sangkal jika bisa. "Aku tak mau dijual sesama Suku Ago sebagai budak, dan tak ada
orang sukuku akan membunuhku." Katakan itu. Majulah yang bisa
mengucapkannya!” tantang Ipsaeng.
Tidak ada yang bisa mengucapkannya. Tapi, Tachugan
bisa melihat keraguan di wajah semua orang di klan Myo. Melihat itu, Tachugan
langsung berteriak agar mereka tidak terbodohi oleh Ipsaeng yang adalah klan
Tae.
Mirusol yang dari tadi diam, akhirnya angkat
bicara. Mereka percaya pada Ipsaeng karena mereka sangat ingin berubah. Mereka
mau keluar dari situasi ini bagaimanapun caranya. Semua anggota suku Ago kini
putus asa.
“Karena itu... kita tak boleh terlalu
berharap. Ini waktunya kita melupakan harapan tak realistis itu. Inaishingi? Pahlawan
yang akan selamatkan kita pakai sabit berkarat? Itu omong kosong!” ujar
Tachugan penuh kemarahan dan juga rasa putus asa.
Dan di saat itu, Eunseom tiba. Dia mengambil
sabit yang tertancap di batang kayu dan memberikannya pada Tachugan. Semua
kaget karena Eunseom berhasil selamat. Eunseom tidak sadar akan keterjutan klan
Myo, dan malah terus berjalan ke arah Ipsaeng. Dia berkata akan membawa Ipsaeng
bersamanya.
“Aku tahu ini bukan urusanku, tapi apa itu
karena Inaishingi? Selain ucapannya, kalian tak boleh berperang dengan suku
sendiri. Itu tak hanya buruk. Menurutku itu bodoh,” ujar Eunseom pada mereka
semua, sebelum pergi.
Tapi, Ipsaeng juga terkejut sama seperti klan
Myo lainnya. Dia menyebut Eunseom sebagai “Inaishingi.” Mirusol juga memujanya
sebagai Inaishingi. Pasa juga berkata kalau Air Terjun telah memunculkan
Inaishingi. Inaishingi telah kembali!
Semua klan Myo bersorak. Mereka mengangkat
tubuh Eunseom. Dia kembali! Inaishingi! Dewa suku Ago!
Badoru dan Dalsae yang melihat dari belakang,
tersenyum. Eunseom telah menjadi Dewa yang Hidup untuk suku Ago, Inaishingi.
--
Eunseom di bawa ke ruang rapat. Pasa bahkan membiarkan Eunseom duduk di kursinya, di tengah meja rapat. Dia memberitahu kalau hanya Eunseom dan Inaishingi yang selamat dari Pengadilan Air Terjun dalam 1.000 tahun terakhir. Eunseom masih bingung.
“Tuntunlah kami. Kau kedatangan kedua
Inaishingi,” ujar Pasa.
Eunseom tambah bingung. Dia bahkan berujar kalau
mereka semua sudah salah paham. Dia bukan orang yang mereka pikirkan. Eunseom
bahkan dengan jujur memberitahu kalau ada orang yang melompat ke air dan
menyelematkannya.
“Itu tak penting. Mungkin ada seseorang yang
menolong Inaishingi juga saat dia selamat dari air terjun sekian tahun lalu. Ada
seseorang yang bertaruh nyawa demi kita di dunia yang kejam ini dan selamat
dari pusaran air mematikan tak peduli seseorang menolongmu atau tidak, itu tak
akan mungkin tanpa kehendak surga. Kau sudah memenuhi syarat sepenuhnya,” ujar
Tetua klan Myo.
(Oke, setidaknya, Eunseom jujur pada mereka,
mengenai cara dia bisa selamat, tapi mereka tetap mengakuinya sebagai
Inaishingi. Kalau Tagon kan menipu semuanya agar bisa menjadi Aramun Haesulla).
Merasa kalau keadaan menjadi semakin rumit,
Eunseom akhirnya hendak mengakui kalau mengenai dirinya yang melihat Inaishingi
dalam mimpi adalah…
Belum sempat dia mengatakannya, Tachugan
sudah menghentikannya bicara dan membawanya keluar. Semua tetua, Pasa dan
Mirusol heran melihat sikap Tachugan. Apalagi, Tachugan meminta izin membawa
Eunseom keluar sebentar. Mirusol langsung mengikutinya.
Diluar, para pejuang klan Myo memberi hormat
pada Eunseom. Mereka bahkan berkata akan menyelematkan dan mengembalikan pada
budak ke klan mereka seperti perkataan Eunseom sebelumnya. Mereka rela
berkorban nyawa demi Eunseom.
“Bisa kau rasakan? Kini, kau merasakan beban
dari ucapanmu? Tiap pejuang Klan Myo siap bertaruh nyawa. Kau sungguh
memimpikannya atau tidak, itu tak masalah. Yang jelas kau Inaishingi sekarang. Jangan
berani menyangkalnya. Kau adalah Inaishingi,” tegas Tachugan.
--
Eunseom membawa Ipsaeng untuk bicara berdua.
Dia bingung karena keadaan menjadi seperti ini. Dan semua ini terjadi karena
kebohongan Ipsaeng. Ipsaeng membantah. Dia memang berbohong mengenai
Inaishingi, tapi kan Eunseom yang suruh mereka menyelamatkan dan membantu klan
lain.
“Mereka bertaruh nyawa karena ucapanmu. Kau
akan mengabaikannya? Itu gila. Aku yakin bukan itu yang diajarkan di Iark. Walau
entah kau pelajari apa,” ujar Ipsaeng.
“Namun, aku harus selamatkan suku Wahan dan
Tanya.”
“Katamu kau harus bertarung. Bukan lawan satu
orang. Katamu mau melawan seluruh Arthdal, kau butuh bawahan untuk itu. Dengan
lakukan ini, kau kuasai 30.000 warga Suku Ago. Jadi, kenapa kau ragu? Aku
benar, 'kan?”
“Kau takut? Pada apa?”
“Berarti aku pun bertanggung jawab atas
30.000 orang, yang artinya bisa merusak hidup 30.000 orang.”
“Serius? Itu yang kau takuti? Kau tahu yang
harus kau takuti? Jika gagal merespons aspirasi 30.000 orang, kau akan mati,”
tegas Ipsaeng.
--
Eunseom bicara dengan Dalsae. Kini, Eunseom
sudah tahu maksud Karika tadi, mengenai dirinya yang tidak akan bisa hidup
sebagai dirinya sendiri. Dia sebelumnya telah menyuruh klan Myo untuk
menyelematkan klan lain terlebih dahulu, jadi dia tidak bisa menyelematkan suku
Wahan.
“Suku Wahan sudah punah,” ujar Dalsae, dan
membuat Eunseom terkejut. “Semua egois dan teman dianggap menyusahkan. Jadi,
mereka khianati, abaikan, dan akhirnya bunuh teman. Kau percaya itu terjadi
pada Suku Wahan? Namun… aku pun melakukannya. Aku ketakutan begitu tiba di
Tebing Hitam Besar karena tak mau tertangkap atau disiksa lagi. Aku juga mau
mati. Aku bingung sekali. Kau bahkan belum pulih, tapi kuajak menyelamatkan
mereka. Kubuat Mungtae berkhianat. Teodae mati, dan kau hampir mati dipukuli. "Semua salahku. Aku harus mati." Aku
terus berpikir begitu. Kabarnya itu norma di sini. Yang kuat menginjak yang
lemah agar yang lemah ketakutan. Dan mereka yang ketakutan berkhianat, kabur, dan
mengabaikan suku mereka. Kali pertama kita berburu saat berusia 12 tahun. Kau
ingat kata Ibu Choseol kepada kita di hari itu?” ujar Dalsae dan sekaligus
bertanya.
“Jika
semua orang takut, kita bukan pengecut.”
“Hanya
saja lawan terlalu kuat.”
“Maka
kita punya dua pilihan.
“Jika
mau melawan, lakukan bersama.”
“Jika
mau kabur, diam-diam saja."
Eunseom dan Dalsae saling menimpali kalimat
nasihat ibu Choseol pada mereka saat mereka pertama kali mulai berburu.
“Tepat. Mungkin warga Suku Ago mau melawan, tapi
tak bisa melakukannya bersama. Kupikir kau akan melakukannya dengan baik,” ujar
Dalsae, serius dan tulus. “Kupikir mereka berharap kau bisa menyatukan mereka. Mungkin
kau hanya perlu memainkan peran itu bagi warga di sini. Katamu kau impian
Wahan. Itu seperti omong kosong, tapi kau baru jadi impian lebih banyak orang. Tak
ada yang akan berubah.”
--
Dan karena perbincangannya dengan Dalsae, pikiran Eunseom seperti terbuka. Dia pergi ke perkemahan klan Myo yang sedang berkumpul bersama, menyiapkan senjata dan melakukan aktivitas lainnya. Dia juga teringat pembicaraannya dulu bersama Tagon (saat dia menyuruh Tagon menemuinya, karna dia tahu rahasia Tagon yang adalah Igutu), saat itu dia berkata akan menyelematkan suku Wahan. Dan Tagon saat itu memberitahu kalau Arthdal akan segera meluas ke seluruh dunia. Setelah Eunseom menyelamatkan mereka, lalu akan kemana? Adakah tempat tersisa bagi Suku Wahan?
Saat itu, seorang anakk dari klan Myo menghampiri
Eunseom. Dia memberikan sebuah baju seragam. Anak itu berujar kalau baju itu
adalah milik ayahnya, petarung yang luar biasa. Jadi, dia meminta Eunseom
memakai baju itu dan mempertahankannya. Dan tolong, selamatkan semua orang yang
di tangkap. Anak itu mengatakannya sambil menangis.
--
Kepala semua orang yang berkhianat dan di
penggal, di tancapkan pada tiang-tiang di alun-alun desa hingga semua rakyat
bisa melihatnya.
Saat itu, rombongan Tagon lewat. Kitoha yang
berada di paling depan, berteriak menyuruh semua rakyat segera berlutut. Berlutut
hingga dahi menyentuh tanah. Semua rakyat yang telah merasakan rasa takut
terhadap Tagon, melakukan hal tersebut. Walau sebelumnya mereka tidak pernah berlutut
hingga dahi ke tanah, tapi sepertinya mereka harus melakukan itu mulai dari
sekarang.
Mubaek yang juga berjalan dalam iringan tampak tidak tenang. Dia teringat laporan Kitoha mengenai Asa Ron yang harus-nya di adili melalui Sidang Keramat, tapi Tagon malah menggorok leher-nya. Mubaek juga teringat Barkryangpung, mengenai Tagon yang di gigit ular, tapi Harim yang menyelematkannya, malah di perintahkan di bunuh. Dan dia juga tidak tahu alasannya.
Tagon duduk di atas singgasana dan di arak di
tengah kota. Matanya tampak sayu.
Saya juga ikut dalam iringan. Dia terus melirik
ke Mubaek. Dia teringat pembicaraan Mubaek dengan Tanya mengenai pedang,
lonceng, dan cermina. Dan dirinya adalah cermin. Dan juga Mubaek berkata
mengenal wajahnya. Apa maksudnya, dia dengan cermin? Dan apa maksudnya pedang
dan lonceng?
Tiba-tiba, seorang wanita berhenti di depan iringan
Tagon. Kitohan langsung turun dari kuda-nya, hendak menyingkirkannya, tapi
Tagon memberi tanda agar mendengar apa yang ingin wanita itu katakan.
“Aku putri dan saudari dari Suku Bato, Gompa.
Aku mengutukmu dalam nama dewa pemburu hebat kami, Mihaje. Tagon, kau bunuh
kepala suku dan para tetua kami! Panah
Mihaje akan membutakan dan menulikanmu. Lidahmu akan tersangkut sehingga tak
bisa teriak saat sekarat,” kutuk Gompa, Cenayang Suku Bato.
“Cenayang Suku Bato. Dewamu, Mihaje, tak bisa
mengutuk Aramun Haesulla, dewa yang hidup dan putranya Airuju,” balas Tagon.
“Kau
akan dihancurkan oleh yang akan kau hancurkan. Hal-hal yang kau abaikan akan
menyerangmu! Airuju. Semoga tragedi turun atasnya!” lanjut Gompa.
Dan setelah itu, Gomba mengeluarkan pedang
yang telah di sembunyikan di balik bajunya, dia mengangkat pedang itu
tinggi-tinggi dan menancapkannya ke dada-nya sendiri. Dia membunuh dirinya
sendiri.
Semua rakyat berseru takut. Tagon tidak
merasa takut sama sekali. Dia mengangkat tangannya, memanggil Mungtae dan memerintahkannya
untuk menyingkirkan tubuh Gompa.
Tags:
Arthdal Chronicles