Original Network : Channel 3
Bualya
memakai pakaian seksi dan duduk diatas meja Plerngfah untuk menggoda nya. Namun
Plerngfah sama sekali tidak tertarik dan merasa malas dengan sikap nya.
“Pah, kamu
tidak perlu menggunakan masalah Direktur untuk mengancam ku. Kamu tampan dan
hot seperti ini. Kamu bisa memiliki ku kapan pun, kamu tahu?” kata Bualya
dengan sikap manis dan manja, sambil mengelus tangan Plerngfah.
Dan
Plerngfah menepis tangan Bualya dengan tegas. “Kamu tidak punya pekerjaan ya?
Aku tidak ingin dipecat karena pelecehan seksual, Bun. Itu tidak layak!”
katanya. Lalu diapun pergi. Dan Bualya merasa sangat kesal.
Plerngfah
pergi ke tempat parkir untuk mengambil barangnya. Dan sambil berjalan, dia
mengeluh kan sikap Bualya yang mengiritasi mata nya. Kemudian dia mengingat
perkataan Bualya barusan. “Apa bayangan itu nyata? Bukan ilusi?” gumam nya.
Tepat disaat
itu, tiba- tiba seseorang jatuh dari ketinggian dan meninggal dengan paku
menusuk tubuhnya. Dan melihat itu, Plerngfah terkejut, sebab orang itu adalah
temannya, Nai.
“Panggil
ambulans! Panggil polisi! Cepat!” kata Plerngfah dengan panik kepada orang
disekitarnya. Lalu Plerngfah menyentuh Nai, dan dia melihat sebuah gambaran.
Diatas atap,
seseorang berpakain hitam mencekik leher Nai dan menjatuhkan nya.
Melihat
gambaran itu, Plerngfah menatap ke atas, tapi tidak ada siapapun disana. Lalu
saat dia menatap Nai, dia terkejut melihat tubuh Nai seperti bercahaya sesaat.
“Sebelum Nai
meninggal, apa yang dia lakukan?” tanya Plerngfah kepada orang disekitarnya.
“Hari ini,
ada seorang tamu yang di undang untuk wawancara berita pagi. P’Nai yang
mengurus nya,” jawab seorang karyawan.
“Siapa? Dan
apa dia sudah pergi?”
Sitang
terkejut, saat mendengar kabar kalau Nai meninggal, sebab dia barusaja
berbicara dengan Nai sebelum wawancara. Dan karyawan TV menjelaskan bahwa dia
juga tidak menyangka, karena Nai adalah orang yang ceria dan semua orang
menyukai nya.
“P’Krat, apa
menurutmu reporter ini bunuh diri?” tanya Sitang.
“Itu alasan
paling memungkinkan. Jika tidak, mungkin ini kecelakaan,” jawab Krat. “Lagian
ini bukan urusan kita,” jelas nya, menenangkan. Lalu diapun pamit dan pergi
duluan.
Ketika
Sitang keluar dari ruangan siaran, dia dikejutkan oleh Plerngfah yang tiba-
tiba datang dan menarik nya ke tangga darurat. Dan dengan panik, diapun
mengancam akan memanggil polisi, bila Plerngfah melukai nya. Dan Plerngfah
tidak peduli, sebab dia tidak tertarik dengan Sitang. Yang dia pedulikan adalah
masalah tentang Nai.
“Hey kamu!
Apa kamu tahu tentang kematian Nai?” tanya Plerngfah.
“Ya.
Mengapa?”
“Karena kamu
orang terakhir yang bertemu dengan dia. Aku ingin tahu pada waktu itu, apakah
ada sesuatu yang abnormal atau mencurigakan?”
“Tidak ada
sama sekali. Khun Danai terlihat biasa saja dan kami hanya berbicara beberapa
kata. Kemudian Khun Kittiphong menelpon ku. Apa yang kamu curigakan?” balas
Sitang, menjelaskan.
Plerngfah
merasa sangat stress. Karena dia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana. Namun
akhirnya, diapun tetap mencoba untuk menjelaskan. Ketika dia menyentuh tubuh
Nai sebelum Nai meninggal, dia melihat gambaran dimana Nai di cekik dan di
dorong.
Mendengar
itu, Sitang mengambil hpnya untuk menghubungin psikiater. Dan Plerngfah merasa
kesal dengan nya. “Kamu jangan stress. Percayai aku. Ini hanya penyakit,
seperti ketika kita terkena flu. Hanya saja orang Thai tidak bisa menerima nya,
tapi penyakit ini bisa di sembuhkan. Kamu hanya perlu minum obat secara
teratur,” jelas Sitang, menenangkan.
“Kamu!”
bentak Plerngfah, menghentikan Sitang. “Aku tidak stress sampai di titik dimana
aku berkhayal. Aku benar- benar melihat gambaran itu dan kematian Nai terkait
dengan sabotase juga. Aku melihat karakter muncul ditubuh Nai,” jelas nya. “Itu
hanya sekilas dan lalu menghilang.”
Mendengar
itu, Sitang merasa sangat geli, sebab Plerngfah sebelumnya mengejek ‘ramalan’,
tapi sekarang Plerngfah malah percaya dengan psychics. Lalu dia menjelaskan
kalau karakter yang ingin Plerngfah ketahui, itu adalah kode yang dibuat Khun
Uthaiyothin saat berkhianat. Itu saja. Tapi Plerngfah tidak percaya, sebab
menurut nya Khun Uthaiyothin bukanlah pengkhianat.
“Bagaimana
bisa kamu tahu lebih baik daripada sejarawan seperti ku?” tanya Sitang.
“Mengapa
tidak? karena aku adalah keturunan Khun Uthai yang masih hidup,” balas Plerngfah
dengan serius. Dan Sitang terkejut mengetahui itu.
Sitang dan
Plerngfah pergi bersama untuk menyelidiki kebenaran. Namun sebelum mereka
berangkat, Sitang menghubungi Adul dan melapor terlebih dahulu. Dan Plerngfah
pun memuji betapa baiknya Sitang, karena melapor setiap hal kepada Adul. Dengan
malas, Sitang tidak menanggapi nya.
“Kamu lapar?
Mau makan dulu?” tanya Plerngfah. “Kelihatan nya jalan ke Chantaburi cukup
panjang.”
“Tidak! Hey!
Ketika kita tiba disana, apa kamu yakin kita bisa masuk? Aku tahu kalau tanah
milik Khun Uthai ini milik yayasan. Tapi ketika itu terbakar, itu di tutup
secara permanent dan tidak seorang pun yang di perboleh kan untuk masuk,” kata
Sitang.
“Apa kamu
tahu dengan siapa kamu pergi?” balas Plerngfah dengan percaya diri.
Sesampainya
diyayasan, satpam yang berjaga disana langsung membukakan pintu bagi Plerngfah
dan Sitang. Karena ternyata si satpam dan Plerngfah saling mengenal, sebab
Plerngfah adalah mantan pemilik tanah. Namun Plerngfah memang sudah lama tidak
datang, sekitar 10 tahun lebih.
“Satu-
satunya yang tersisa di dalam adalah reruntuhan. Yayasan sedang mencari
kontraktor bangunan, jadi ini biarkan tanpa perbaikan,” kata si satpam
menjelaskan.
“Yup,” jawab
Plerngfah.
Setelah si
satpam pergi, Sitang memuji betapa berkuasanya Plerngfah ternyata. Dan
Plerngfah mengiyakan. Tanah ini adalah milik Ayahnya, tapi Ayahnya memberikan
tanah ini secara gratis kepada yayasan. Sehingga wajar saja orang disini
menghormatinya. Lalu setelah menjelaskan itu, Plerngfah pun pergi ke mobil
untuk mengambil kamera nya terlebih dahulu.
“Ini adalah
tempat pertama dimana karakter misterius muncul saat kebakaran,” jelas
Plerngfah sambil menuntun Sitang ke dalam. “Untungnya, tidak ada seorang pun
yang terluka atau mati seperti ledakan bangunan kemarin.”
Plerngfah
lalu bertanya, pendapat Sitang dari sisi sejarawan. Dan Sitang pun menjelaskan,
menurut nya karakter misterius yang muncul tersebut adalah kode atau signal
untuk tujuan tertentu. Seperti ketika Khun Uthai menjual kontak ke orang asing,
hal yang di sampaikannya harus nya sangat penting dan memiliki efek hingga hari
ini. Namun itu baru amsusi saja.
“Jadi
mengapa paman mu percaya pada prediksi, meskipun asumsi mu lebih masuk akal?”
tanya Plerngfah.
“Paman
percaya kalau karakter itu lebih dari sekedar kode komunikasi. Karena paman
menemukan beberapa bukti tentang Khun Uthai,” jelas Sitang.
“Bukti apa?”
“Bukankah
kamu keturunan Khun Uthai? Mengapa kamu bertanya padaku?” kata Sitang, ketus.
Plerngfah
kemudian tiba- tiba merasakan kalau mata nya sangat sakit. Dan dengan cemas,
Sitang pun menanyai, apa yang salah dengan nya. Dan Plerngfah menunjuk ke arah
sesuatu dengan serius, dia merasa ada sesuatu dibawah.
“Itu area
tumpukan kayu,” jelas Plerngfah. Lalu dia ingin kesana untuk membukannya.
“Tunggu!
Membuka? Mengapa?” tanya Sitang, heran.
“Aku tidak
tahu. Aku hanya tahu kalau ada sesuatu dibawah sana.”
Mendengar
itu, Sitang pun memakai sarung tangannya, lalu dia membongkar tumpukan kayu
yang berada dibawah, dan disana ternyata terdapat tulisan karakter. Kemudian
saat dia melihat ke arah Plerngfah, dia terkejut, karena Plerngfah mimisan
lagi. Namun Plerngfah tidak peduli dengan mimisan nya, dan dia menyuruh Sitang
untuk menyingkirkan kayu- kayu tersebut. Dan Sitang pun melakukannya.
“Ini pintu.
Mengapa ada pintu disini?” tanya Sitang, heran, ketika dia menemukan pintu
rahasia di bawah tumpukan kayu barusan.
“Bangunan
yayasan dulu nya adalah bangunan kayu tua sekitar 100 tahun yang lalu. Lalu
mereka mungkin membangun yayasan diatas pintu ini. Setelah semua kebakar, kita
pun jadi menemukan ini,” jelas Plerngfah.
“Kamu tahu
tentang ini sebelumnya?” tanya Sitang, penasaran
“Tidak.
Biasanya ada gambar yang melintas di kepalaku. Tapi kali ini… “ kata Plerngfah
sulit untuk menjelaskan. “Aku tidak melihat gambaran, tapi aku bisa merasakan
sesuatu disini,” jelasnya.
Plerngfah
dan Sitang kemudian bersama- sama membuka pintu rahasia tersebut dan masuk ke
dalam ruang bawah tanah disana. Dan ternyata ruangan itu sangat luas.
“Hey kamu!
Jika kamu ingin memotret, kamu tidak boleh menggunakan flash ya. Benda-benda
yang terkubur di bawah tanah akan di hancurkan oleh flash. Apa kamu tahu?” kata
Sitang, mengingatkan.
“Kamera sekarang tidak membutuhkan flash. Dasar ketinggalan zaman!” balas Plerngfah.
Dengan malu,
Sitang pun mengabaikan Plerngfah dan melihat- lihat ke sekeliling. Lalu dia
menemukan sesuatu yang aneh dan memanggil Plerngfah. Ada lukisan di dinding,
tapi gambarnya sudah tidak terlalu jelas. Gambarnya tampak seperti seseorang
sedang menyembah, tapi dia tidak tahu apa yang disembah mereka. Dan Sitang
merasa kalau mereka bisa menemukan apa yang di sembah itu, mereka akan tahu
arti lukisan ini.
Plerngfah
diam dan melihat ke sekeliling nya untuk mencari tahu, apakah ada petunjuk yang
berarti. Dan disaat itu, dia melihat bayangan seseorang di luar. “Siapa?!”
teriak nya, bertanya. Lalu dia berlari mengejar orang tersebut.
“Kamu!
Tunggu aku!” teriak Sitang sambil mengikuti Plerngfah.
Pria
berpakaian hitam yang mengintip barusan, dia berlari masuk ke dalam hutan. Dan
ketika Plerngfah serta Sitang mendekat, dia langsung mengeluarkan pistol nya
dan menembak mereka. Untungnya, Plerngfah berhasil bergerak cepat, sehingga dia
bisa melindungi Sitang serta menghidari tembakan tersebut. Namun sayang nya,
karena itu, si pria hitam pun berhasil melarikan diri darisana.
“Apa kamu
baik- baik saja?” tanya Plerngfah sambil mengeluh kesakitan.
“Aku baik-
baik saja. Bagaimana denganmu?” balas Sitang, khawatir.
“Ouch!
Berat!” keluh Plerngfah. Dan Sitang langsung memarahinya.
Plerngfah
lalu memandang ke sekitar, dan bertanya, siapa orang tadi. Dan tentu saja,
Sitang juga tidak tahu.
Plerngfah
mengambil kotak p3k dari satpam yang berjaga untuk mengobati tangan Sitang yang
tidak sengaja terluka. Lalu dia menyuruh si satpam untuk melaporkan si pria
hitam ke polisi. Dan si satpam mengiyakan.
Dengan
perhatian, Plerngfah meminta tangan Sitang untuk diobati. Tapi Sitang menolak,
karena baginya itu cuma luka gores biasa saja. Dan dengan paksa, Plerngfah pun
menarik tangan Sitang dan lalu mengobatinya. Dan saat Plerngfah meniup luka
ditangannya agar tidak sakit, Sitang jadi teringat akan kenangan masa kecil nya
dulu.
“Semoga
Plerng di berkati dengan kekuatan yang besar!” kata Plerng, lalu dia meniup
luka ditangan Tua Nhai. “Huff…”
“Oh, Plerng!
Ludah mu menyemprot ke tangan ku,” keluh Tua Nhai.
“Dan apa itu
terasa lebih baik?” tanya Plerng.
“Lebih baik.
Terima kasih ya Plerng.”
Sitang
terpaku diam dan menatap Plerngfah. Dan Plerngfah harus memanggilnya beberapa
kali untuk menyadarkannya. Lalu Plerngfah bertanya, apakah dia ingin baikan.
Dan dengan heran, Sitang pun bertanya, mengapa.
“Apa kamu
ingin baikan?” tanya Plerngfah, mendesak.
“Um.”
“Semoga
Plerng di berkati dengan kekuatan yang besar!” kata Plerng mengucapkan
mantranya. Lalu dia meniup luka ditangan Sitang. “Selesai.”
Mendengar
mantra itu, Sitang terkejut. “Di TK Thaweepanya… Ruangan kelinci putih!”
katanya, mengetes. Dan mendengar itu, mata Plerngfah terbuka lebar karena
terkejut.
“Tua Nhai?”
tanya Plerngfah sambil menunjuk Sitang. “Kamu Tua Nhai?” tanyanya, bersemangat.
Lalu dia tertawa dan menyentuh wajah Sitang untuk memastikan. “Tua Nhai ya?”
“Hmm…” balas
Sitang, malu. “Itu aku.”
Dalam
perjalanan pulang, Plerngfah dan Sitang saling diam sambil saling melirik satu
sama lain secara malu- malu. Lalu karena sudah tidak tahan lagi, Sitang pun
menyuruh Plerngfah untuk bicara, jika ada yang ingin di katakan. Dan kemudian Plerngfah
pun bertanya, kenapa Sitang mengubah nama Sitang.
“Aku tidak
mengubah namaku. Nama asliku Sitang. Tua Nhai itu nama pendek. Siapa yang mau
‘Tua Nhai’ sebagai nama asli?” balas Sitang, sedikit mengeluh.
“Bagaimana
aku bisa tahu itu? Aku hanya tahu nama mu itu.”
“Paman tidak
suka nama pendek ku. Dia bilang itu canggung. Ketika orang tuaku meninggal,
tidak seorangpun menggunakan nama itu
lagi,” jelas Sitang dengan pelan.
“Kecuali
aku,” balas Plerngfah sambil tersenyum.
Sitang
kemudian mengomentari kalau Plerngfah telah berubah banyak. Dan dengan narsis,
Plerngfah mengatakan kalau dia memang telah menjadi lebih tampan. Dan Sitang
tertawa geli mendengar itu.
“Ketika kamu
kecil, kamu lebih manis daripada ini,” komentar Sitang. “Juga jauh lebih
sopan.”
“Akhirnya,
aku tumbuh dengan tidak ada yang baik ya?” tanya Plerngfah sambil tertawa.
“Tapi aku ingat satu hal.”
“Apa itu?”
“Kamu
berjanj bahwa kamu akan menikahi ku,” kata Plerngfah. Dan Sitang mencoba untuk
mengingat nya. “Plerng… Tua Nhai akan menjadi pengantin mu… Plerng … Kita akan
bersama selama nya ya,” kata Plerngfah mencoba mengingatkan sambil meniru gaya
bicara Sitang saat kecil dulu.
“Hey Khun!”
protes Sitang sambil memukul Plerngfah dan tertawa. “Tidak. Berhenti.
Berhenti!”
“Hey! Aku
sedang menyetir,” balas Plerngfah mengingatkan. Lalu dia tertawa dengan keras.
Tags:
Leh Bunpakarn