Sinopsis Lakorn : Leh Bunpakarn Episode 1 part 2


Original Network : Channel 3



Bualya memakai pakaian seksi dan duduk diatas meja Plerngfah untuk menggoda nya. Namun Plerngfah sama sekali tidak tertarik dan merasa malas dengan sikap nya.
“Pah, kamu tidak perlu menggunakan masalah Direktur untuk mengancam ku. Kamu tampan dan hot seperti ini. Kamu bisa memiliki ku kapan pun, kamu tahu?” kata Bualya dengan sikap manis dan manja, sambil mengelus tangan Plerngfah.
Dan Plerngfah menepis tangan Bualya dengan tegas. “Kamu tidak punya pekerjaan ya? Aku tidak ingin dipecat karena pelecehan seksual, Bun. Itu tidak layak!” katanya. Lalu diapun pergi. Dan Bualya merasa sangat kesal.

Plerngfah pergi ke tempat parkir untuk mengambil barangnya. Dan sambil berjalan, dia mengeluh kan sikap Bualya yang mengiritasi mata nya. Kemudian dia mengingat perkataan Bualya barusan. “Apa bayangan itu nyata? Bukan ilusi?” gumam nya.

Tepat disaat itu, tiba- tiba seseorang jatuh dari ketinggian dan meninggal dengan paku menusuk tubuhnya. Dan melihat itu, Plerngfah terkejut, sebab orang itu adalah temannya, Nai.


“Panggil ambulans! Panggil polisi! Cepat!” kata Plerngfah dengan panik kepada orang disekitarnya. Lalu Plerngfah menyentuh Nai, dan dia melihat sebuah gambaran.
Diatas atap, seseorang berpakain hitam mencekik leher Nai dan menjatuhkan nya.
Melihat gambaran itu, Plerngfah menatap ke atas, tapi tidak ada siapapun disana. Lalu saat dia menatap Nai, dia terkejut melihat tubuh Nai seperti bercahaya sesaat.

“Sebelum Nai meninggal, apa yang dia lakukan?” tanya Plerngfah kepada orang disekitarnya.
“Hari ini, ada seorang tamu yang di undang untuk wawancara berita pagi. P’Nai yang mengurus nya,” jawab seorang karyawan.
“Siapa? Dan apa dia sudah pergi?”
Sitang terkejut, saat mendengar kabar kalau Nai meninggal, sebab dia barusaja berbicara dengan Nai sebelum wawancara. Dan karyawan TV menjelaskan bahwa dia juga tidak menyangka, karena Nai adalah orang yang ceria dan semua orang menyukai nya.

“P’Krat, apa menurutmu reporter ini bunuh diri?” tanya Sitang.
“Itu alasan paling memungkinkan. Jika tidak, mungkin ini kecelakaan,” jawab Krat. “Lagian ini bukan urusan kita,” jelas nya, menenangkan. Lalu diapun pamit dan pergi duluan.
Ketika Sitang keluar dari ruangan siaran, dia dikejutkan oleh Plerngfah yang tiba- tiba datang dan menarik nya ke tangga darurat. Dan dengan panik, diapun mengancam akan memanggil polisi, bila Plerngfah melukai nya. Dan Plerngfah tidak peduli, sebab dia tidak tertarik dengan Sitang. Yang dia pedulikan adalah masalah tentang Nai.
“Hey kamu! Apa kamu tahu tentang kematian Nai?” tanya Plerngfah.
“Ya. Mengapa?”

“Karena kamu orang terakhir yang bertemu dengan dia. Aku ingin tahu pada waktu itu, apakah ada sesuatu yang abnormal atau mencurigakan?”
“Tidak ada sama sekali. Khun Danai terlihat biasa saja dan kami hanya berbicara beberapa kata. Kemudian Khun Kittiphong menelpon ku. Apa yang kamu curigakan?” balas Sitang, menjelaskan.

Plerngfah merasa sangat stress. Karena dia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana. Namun akhirnya, diapun tetap mencoba untuk menjelaskan. Ketika dia menyentuh tubuh Nai sebelum Nai meninggal, dia melihat gambaran dimana Nai di cekik dan di dorong.
Mendengar itu, Sitang mengambil hpnya untuk menghubungin psikiater. Dan Plerngfah merasa kesal dengan nya. “Kamu jangan stress. Percayai aku. Ini hanya penyakit, seperti ketika kita terkena flu. Hanya saja orang Thai tidak bisa menerima nya, tapi penyakit ini bisa di sembuhkan. Kamu hanya perlu minum obat secara teratur,” jelas Sitang, menenangkan.


“Kamu!” bentak Plerngfah, menghentikan Sitang. “Aku tidak stress sampai di titik dimana aku berkhayal. Aku benar- benar melihat gambaran itu dan kematian Nai terkait dengan sabotase juga. Aku melihat karakter muncul ditubuh Nai,” jelas nya. “Itu hanya sekilas dan lalu menghilang.”
Mendengar itu, Sitang merasa sangat geli, sebab Plerngfah sebelumnya mengejek ‘ramalan’, tapi sekarang Plerngfah malah percaya dengan psychics. Lalu dia menjelaskan kalau karakter yang ingin Plerngfah ketahui, itu adalah kode yang dibuat Khun Uthaiyothin saat berkhianat. Itu saja. Tapi Plerngfah tidak percaya, sebab menurut nya Khun Uthaiyothin bukanlah pengkhianat.

“Bagaimana bisa kamu tahu lebih baik daripada sejarawan seperti ku?” tanya Sitang.
“Mengapa tidak? karena aku adalah keturunan Khun Uthai yang masih hidup,” balas Plerngfah dengan serius. Dan Sitang terkejut mengetahui itu.

Sitang dan Plerngfah pergi bersama untuk menyelidiki kebenaran. Namun sebelum mereka berangkat, Sitang menghubungi Adul dan melapor terlebih dahulu. Dan Plerngfah pun memuji betapa baiknya Sitang, karena melapor setiap hal kepada Adul. Dengan malas, Sitang tidak menanggapi nya.
“Kamu lapar? Mau makan dulu?” tanya Plerngfah. “Kelihatan nya jalan ke Chantaburi cukup panjang.”
“Tidak! Hey! Ketika kita tiba disana, apa kamu yakin kita bisa masuk? Aku tahu kalau tanah milik Khun Uthai ini milik yayasan. Tapi ketika itu terbakar, itu di tutup secara permanent dan tidak seorang pun yang di perboleh kan untuk masuk,” kata Sitang.
“Apa kamu tahu dengan siapa kamu pergi?” balas Plerngfah dengan percaya diri.
Sesampainya diyayasan, satpam yang berjaga disana langsung membukakan pintu bagi Plerngfah dan Sitang. Karena ternyata si satpam dan Plerngfah saling mengenal, sebab Plerngfah adalah mantan pemilik tanah. Namun Plerngfah memang sudah lama tidak datang, sekitar 10 tahun lebih.
“Satu- satunya yang tersisa di dalam adalah reruntuhan. Yayasan sedang mencari kontraktor bangunan, jadi ini biarkan tanpa perbaikan,” kata si satpam menjelaskan.
“Yup,” jawab Plerngfah.

Setelah si satpam pergi, Sitang memuji betapa berkuasanya Plerngfah ternyata. Dan Plerngfah mengiyakan. Tanah ini adalah milik Ayahnya, tapi Ayahnya memberikan tanah ini secara gratis kepada yayasan. Sehingga wajar saja orang disini menghormatinya. Lalu setelah menjelaskan itu, Plerngfah pun pergi ke mobil untuk mengambil kamera nya terlebih dahulu.

“Ini adalah tempat pertama dimana karakter misterius muncul saat kebakaran,” jelas Plerngfah sambil menuntun Sitang ke dalam. “Untungnya, tidak ada seorang pun yang terluka atau mati seperti ledakan bangunan kemarin.”
Plerngfah lalu bertanya, pendapat Sitang dari sisi sejarawan. Dan Sitang pun menjelaskan, menurut nya karakter misterius yang muncul tersebut adalah kode atau signal untuk tujuan tertentu. Seperti ketika Khun Uthai menjual kontak ke orang asing, hal yang di sampaikannya harus nya sangat penting dan memiliki efek hingga hari ini. Namun itu baru amsusi saja.

“Jadi mengapa paman mu percaya pada prediksi, meskipun asumsi mu lebih masuk akal?” tanya Plerngfah.
“Paman percaya kalau karakter itu lebih dari sekedar kode komunikasi. Karena paman menemukan beberapa bukti tentang Khun Uthai,” jelas Sitang.
“Bukti apa?”
“Bukankah kamu keturunan Khun Uthai? Mengapa kamu bertanya padaku?” kata Sitang, ketus.

Plerngfah kemudian tiba- tiba merasakan kalau mata nya sangat sakit. Dan dengan cemas, Sitang pun menanyai, apa yang salah dengan nya. Dan Plerngfah menunjuk ke arah sesuatu dengan serius, dia merasa ada sesuatu dibawah.
“Itu area tumpukan kayu,” jelas Plerngfah. Lalu dia ingin kesana untuk membukannya.
“Tunggu! Membuka? Mengapa?” tanya Sitang, heran.
“Aku tidak tahu. Aku hanya tahu kalau ada sesuatu dibawah sana.”

Mendengar itu, Sitang pun memakai sarung tangannya, lalu dia membongkar tumpukan kayu yang berada dibawah, dan disana ternyata terdapat tulisan karakter. Kemudian saat dia melihat ke arah Plerngfah, dia terkejut, karena Plerngfah mimisan lagi. Namun Plerngfah tidak peduli dengan mimisan nya, dan dia menyuruh Sitang untuk menyingkirkan kayu- kayu tersebut. Dan Sitang pun melakukannya.


“Ini pintu. Mengapa ada pintu disini?” tanya Sitang, heran, ketika dia menemukan pintu rahasia di bawah tumpukan kayu barusan.
“Bangunan yayasan dulu nya adalah bangunan kayu tua sekitar 100 tahun yang lalu. Lalu mereka mungkin membangun yayasan diatas pintu ini. Setelah semua kebakar, kita pun jadi menemukan ini,” jelas Plerngfah.
“Kamu tahu tentang ini sebelumnya?” tanya Sitang, penasaran
“Tidak. Biasanya ada gambar yang melintas di kepalaku. Tapi kali ini… “ kata Plerngfah sulit untuk menjelaskan. “Aku tidak melihat gambaran, tapi aku bisa merasakan sesuatu disini,” jelasnya.

Plerngfah dan Sitang kemudian bersama- sama membuka pintu rahasia tersebut dan masuk ke dalam ruang bawah tanah disana. Dan ternyata ruangan itu sangat luas.
“Hey kamu! Jika kamu ingin memotret, kamu tidak boleh menggunakan flash ya. Benda-benda yang terkubur di bawah tanah akan di hancurkan oleh flash. Apa kamu tahu?” kata Sitang, mengingatkan.
“Kamera sekarang tidak membutuhkan flash. Dasar ketinggalan zaman!” balas Plerngfah.

Dengan malu, Sitang pun mengabaikan Plerngfah dan melihat- lihat ke sekeliling. Lalu dia menemukan sesuatu yang aneh dan memanggil Plerngfah. Ada lukisan di dinding, tapi gambarnya sudah tidak terlalu jelas. Gambarnya tampak seperti seseorang sedang menyembah, tapi dia tidak tahu apa yang disembah mereka. Dan Sitang merasa kalau mereka bisa menemukan apa yang di sembah itu, mereka akan tahu arti lukisan ini.

Plerngfah diam dan melihat ke sekeliling nya untuk mencari tahu, apakah ada petunjuk yang berarti. Dan disaat itu, dia melihat bayangan seseorang di luar. “Siapa?!” teriak nya, bertanya. Lalu dia berlari mengejar orang tersebut.
“Kamu! Tunggu aku!” teriak Sitang sambil mengikuti Plerngfah.

Pria berpakaian hitam yang mengintip barusan, dia berlari masuk ke dalam hutan. Dan ketika Plerngfah serta Sitang mendekat, dia langsung mengeluarkan pistol nya dan menembak mereka. Untungnya, Plerngfah berhasil bergerak cepat, sehingga dia bisa melindungi Sitang serta menghidari tembakan tersebut. Namun sayang nya, karena itu, si pria hitam pun berhasil melarikan diri darisana.


“Apa kamu baik- baik saja?” tanya Plerngfah sambil mengeluh kesakitan.
“Aku baik- baik saja. Bagaimana denganmu?” balas Sitang, khawatir.
“Ouch! Berat!” keluh Plerngfah. Dan Sitang langsung memarahinya.
Plerngfah lalu memandang ke sekitar, dan bertanya, siapa orang tadi. Dan tentu saja, Sitang juga tidak tahu.
Plerngfah mengambil kotak p3k dari satpam yang berjaga untuk mengobati tangan Sitang yang tidak sengaja terluka. Lalu dia menyuruh si satpam untuk melaporkan si pria hitam ke polisi. Dan si satpam mengiyakan.


Dengan perhatian, Plerngfah meminta tangan Sitang untuk diobati. Tapi Sitang menolak, karena baginya itu cuma luka gores biasa saja. Dan dengan paksa, Plerngfah pun menarik tangan Sitang dan lalu mengobatinya. Dan saat Plerngfah meniup luka ditangannya agar tidak sakit, Sitang jadi teringat akan kenangan masa kecil nya dulu.


“Semoga Plerng di berkati dengan kekuatan yang besar!” kata Plerng, lalu dia meniup luka ditangan Tua Nhai. “Huff…”
“Oh, Plerng! Ludah mu menyemprot ke tangan ku,” keluh Tua Nhai.
“Dan apa itu terasa lebih baik?” tanya Plerng.
“Lebih baik. Terima kasih ya Plerng.”

Sitang terpaku diam dan menatap Plerngfah. Dan Plerngfah harus memanggilnya beberapa kali untuk menyadarkannya. Lalu Plerngfah bertanya, apakah dia ingin baikan. Dan dengan heran, Sitang pun bertanya, mengapa.
“Apa kamu ingin baikan?” tanya Plerngfah, mendesak.
“Um.”


“Semoga Plerng di berkati dengan kekuatan yang besar!” kata Plerng mengucapkan mantranya. Lalu dia meniup luka ditangan Sitang. “Selesai.”
Mendengar mantra itu, Sitang terkejut. “Di TK Thaweepanya… Ruangan kelinci putih!” katanya, mengetes. Dan mendengar itu, mata Plerngfah terbuka lebar karena terkejut.

“Tua Nhai?” tanya Plerngfah sambil menunjuk Sitang. “Kamu Tua Nhai?” tanyanya, bersemangat. Lalu dia tertawa dan menyentuh wajah Sitang untuk memastikan. “Tua Nhai ya?”
“Hmm…” balas Sitang, malu. “Itu aku.”

Dalam perjalanan pulang, Plerngfah dan Sitang saling diam sambil saling melirik satu sama lain secara malu- malu. Lalu karena sudah tidak tahan lagi, Sitang pun menyuruh Plerngfah untuk bicara, jika ada yang ingin di katakan. Dan kemudian Plerngfah pun bertanya, kenapa Sitang mengubah nama Sitang.
“Aku tidak mengubah namaku. Nama asliku Sitang. Tua Nhai itu nama pendek. Siapa yang mau ‘Tua Nhai’ sebagai nama asli?” balas Sitang, sedikit mengeluh.

“Bagaimana aku bisa tahu itu? Aku hanya tahu nama mu itu.”
“Paman tidak suka nama pendek ku. Dia bilang itu canggung. Ketika orang tuaku meninggal, tidak  seorangpun menggunakan nama itu lagi,” jelas Sitang dengan pelan.
“Kecuali aku,” balas Plerngfah sambil tersenyum.


Sitang kemudian mengomentari kalau Plerngfah telah berubah banyak. Dan dengan narsis, Plerngfah mengatakan kalau dia memang telah menjadi lebih tampan. Dan Sitang tertawa geli mendengar itu.
“Ketika kamu kecil, kamu lebih manis daripada ini,” komentar Sitang. “Juga jauh lebih sopan.”
“Akhirnya, aku tumbuh dengan tidak ada yang baik ya?” tanya Plerngfah sambil tertawa. “Tapi aku ingat satu hal.”
“Apa itu?”

“Kamu berjanj bahwa kamu akan menikahi ku,” kata Plerngfah. Dan Sitang mencoba untuk mengingat nya. “Plerng… Tua Nhai akan menjadi pengantin mu… Plerng … Kita akan bersama selama nya ya,” kata Plerngfah mencoba mengingatkan sambil meniru gaya bicara Sitang saat kecil dulu.
“Hey Khun!” protes Sitang sambil memukul Plerngfah dan tertawa. “Tidak. Berhenti. Berhenti!”
“Hey! Aku sedang menyetir,” balas Plerngfah mengingatkan. Lalu dia tertawa dengan keras.

Post a Comment

Previous Post Next Post