Original Network : Hunan Tv, iQiyi, Mango TV
Jian Jian
bersikap seperti preman kecil. “Hari ini hari pertama sekolah, aku akan
berpakaian seperti ini. Terlihat sangat hebat, ‘kan?” katanya dengan bangga.
“Sangat hebat,” puji Ziqiu.
Jian Jian
menjelaskan bahwa karena dirinya adalah peringkat dua dari belakang, maka demi
tidak di tindas serta merendahkannya, maka dia memutuskan untuk bertindak
terlebih dahulu. Dan untuk menunjukkan tekadnya ini, dia memakai ikat kepala
dengan tulisan ‘Tidak Bisa Ditindas’.
“Terbalik,”
kata Ling Xiao, berkomentar dengan serius. Dan lalu tiba- tiba terdengar suara
gagak.
“Tidak penting,” balas Jian Jian, menyembunyikan rasa malunya.
“Jian Jian,
jika ada yang menindas mu disekolah, katakan pada Kakak. Aku akan memukulnya,”
kata Ziqiu, berpihak pada Jian Jian. Dan Jian Jian merasa sangat puas. Namun
sebelum mereka sempat bertos tangan, Ling Xiao langsung menghentikan mereka
dengan memukul kepala Ziqiu.
“Ayah Li
bilang jangan buat masalah, tidak dengar?” kata Ling Xiao, mengingatkan Ziqiu.
Dan Ziqiu serta Jian Jian bertukar tatapan secara diam- diam sebagai kode.
Dengan
tegas, Li Haichao menyuruh mereka untuk makan. Lalu dia membentak Jian Jian
untuk bertukar pakaian menjadi seragam. Dan dengan cemberut, Jian Jian menurut
dan pergi ke kamar untuk bertukar pakaian.
“Tidak bisa
ditindas,” gumam Li Haichao, mendengus.
Ketika Ling
Xiao, Jian Jian, dan Ziqiu, berangkat sekolah bersama. Mereka bertemu dengan
Bibi Qian dan Nenek Zhang yang datang untuk
merawat Ibu Zhu yang baru saja melahirkan. Dan dengan ramah serta sikap sopan,
mereka bertiga menyapa Bibi Qian dan Nenek Zhang.
“Nak, kalian
rindu pada Ibu?” tanya Nenek Zhang. Dan mendengar pertanyaan itu, suasana
menjadi agak suram. Dengan cepat, mereka bertiga pergi menghindari Nenek Zhang.
“Apa aku
salah bicara?” tanya Nenek Zhang, heran.
Bibi kedua
Ziqiu yang berasal dari desa datang ke kota mengujungi Li Haichao. Melihat itu,
para tetangga yang sedang bermain mahjong di depan toko Li Haichao mulai
bergosip.
“Ibu Ziqiu
pergi kemana? Sudah begitu lama tidak ada kabar sama sekali.”
“Kakek dan
Nenek Ziqiu sudah tiada. Kemudian dia menghilang.”
Li Haichao
memperlakukan Bibi kedua dengan sopan dan ramah. Mereka mengobrolkan tentang
anak- anak mereka. Liubao, anak Bibi kedua, dia sudah berhenti sekolah dan
mulai bekerja. Mengetahui itu, Li Haichao tidak tahu harus berkomentar
bagaimana.
“Anak
kampung tidak seperti anak kota. Yang keluarga miskin, harus mengandalkan diri.
Ziqiu, jika dibesarkan dirumah kami, juga tidak akan jadi sarjana, hanya bisa
bekerja saja,” cerita Bibi kedua.
“Disini juga
tidak sebaik yang kamu katakan. Aku buka kota kecil ini, anak- anak tidak akan
lapar,” balas Li Haichao, menyemangati Bibi kedua. Dan Bibi kedua berterima
kasih atas kebaikan Li Haichao.
Siang hari.
Ling Heping datang ke rumah Li Haichao. Dia memberikan uang bulanan kepadanya
dan juga ikut makan bersama seperti biasa di rumahnya.
Ling Xiao,
Jian Jian, dan Ziqiu, kemudian juga datang. Seperti biasa Jian Jian sangat bersemangat.
“Hari ini ada hal yang ingin aku umumkan,” katanya. Lalu dia masuk ke dalam
kamar mandi sebentar.
Sementara
Ling Xiao, dia masuk ke dalam kamar Jian Jian. Dan Ziqiu memperhatikan itu.
Li Haichao
memberitahu Ziqiu bahwa barusan Bibi kedua datang dan memberikan banyak telur
bebek, tapi sekarang Bibi kedua sudah pergi. Dan Ziqiu merasa tidak masalah,
sebab bila bertemu dengan Bibi kedua, dia juga tidak tahu harus mengatakan apa.
“Kau ini,
bibimu juga perhatian padamu,” kata Li Haichao, menasehati.
“He Lan
memang baik, hanya cerewet saja. Selalu bicara begitu banyak. Ziqiu, kamu harus
patuh. Harus berbakti pada Ayahmu,” kata Ling Heping, sambil tertawa. Dan Ziqiu
mengiyakan serta ikut tertawa juga.
Ketika Ling
Xiao sudah keluar dari kamar, Ziqiu menanyai nya dengan curiga, untuk apa Ling
Xiao masuk ke dalam kamar Jian Jian. Dan Ling Xiao tidak mau memberitahu.
Jian Jian
kemudian keluar dari kamar mandi. Dengan senang dan bersemangat, dia tertawa.
Melihat itu, Ling Heping merasa bahwa keluarga mereka berlima ini sangat bagus
juga. Tanpa pasangan dan wanita, mereka juga bisa membesarkan tiga anak dengan
baik.
“Hem… hem …
,” kata Jian Jian, menarik perhatian semuanya. “Aku ingin umumkan satu hal.
Aku, Li Jian Jian, hari ini datang bulan!” katanya dengan bangga sambil
tertawa. Dan semuanya terdiam, tidak tahu harus berkomentar apa. Dan melihat
reaksi mereka, Jian Jian merasa heran. “Tidak memberikan selamat?”
“Selamat
Jian Jian, sudah jadi gadis besar,” kata Ling Heping dengan canggung sambil
mengangkat gelasnya untuk bersulang. Dan semuanya juga ikut bersulang untuk
merayakan.
Jian Jian
kemudian menceritakan bahwa sebenarnya dia sempat merasa khawatir. Sebab saat
SMP, murid dikelasnya secara bergiliran datang bulan, hanya dia yang belum.
Jadi dia khawatir bahwa dia memiliki pennyakit, seperti penyakit yang Ibunya
derita. Mendengar itu, Li Haichao menenangkan Jian Jian untuk tidak perlu
khawatir, karena penyakit Ibu bukanlah penyakit turunan. Lalu jika lain kali
ada apapun, Jian Jian harus bertanya pada mereka. Dan Ling Heping setuju.
“Tanya?
Kalian semua pria, tidak datang bulan, apa gunanya bertanya?” tanya Jian Jian,
mengatakan fakta. Dan dengan canggung, Li Haichao serta Ling Heping pun
terdiam. “Oh, dan juga, temanku bilang jika datang bulan akan sakit perut, kenapa
perutku tidak sakit?” tanyanya, penasaran.
“Ling Xiao,
tadi kamu diam- diam meletakkan apa di kamar Jian Jian?” tanya Ziqiu kepada
Ling Xiao, untuk mengalihkan pembicaraan. “Mungkin hadiah,” tebaknya.
“Hadiah?”
tanya Jian Jian dengan senang. Lalu diapun langsung berlari ke dalam kamar.
Dengan
senang, Jian Jian berteriak. Dan itu mengejutkan semua orang. “Kakak memberiku
sebuah baju,” katanya sambil menunjukkan BH yang diberikan Ling Xiao. “Bahkan
warna putih, sampinganya renda. Cantik sekali.”
Mendengar itu,
semuanya merasa canggung dan malu. Masing- masing saling membuat alasan untuk
pergi.
Setelah
semuanya pergi, Li Haichao menasehati Jian Jian untuk ke depannya hal seperti
ini jangan di bahas diluar. Tapi Jian Jian tidak merasa ada yang salah, karena
sekarang mereka ada didalam rumah bukan di luar.
“Kamu ini,”
kata Li Haichao, pasrah.
Li Haichao
mengundang Bibi Qian untuk membahas tentang masalah datang bulang Jian Jian
yang datang terlambat. Dan Bibi Qian menjawab bahwa itu tidak apa- apa. Lalu Li
Haichao meminta Bibi Qian untuk ketika punya waktu nanti bantu Jian Jian
membeli pakaian dalam yang sesuai untuk anak perempuan.
“Xiao Jian
sudah 16 tahun, kamu masih biarkan dia pakai singlet?” tanya Bibi Qian, mulai
bersikap cerewet. “Bagaimana kamu jadi seorang Ayah?” omelnya.
“Karena
tidak ku perhatikan,” gumam Li Haichao dengan pelan.
“Anak ini
tidak punya Ibu, sungguh kasihan. Xiao Jian ini tidak terlihat seperti
perempuan. Setiap hari bersama dengan kedua Kakaknya, seperti monyet liar. Kamu
berikan dia kayu, dia sudah bisa membuat keributan,” omel Bibi Qian. Dan
mendengar itu, Li Haichao hanya diam saja dan merasa sangat malas
mendengarkannya.
Jian
Jian berlari dengan terburu- buru ke
ruang penyiaran. “Tolong, ada hal mendesak,” katanya kepada kakak- kakak senior
yang berada di ruang penyiaran.
“Pengumuman, Murid Li Ling Xiao kelas 3-1.
Adikmu ke taman belakang untuk membela kebenaran. Adikmu ke taman belakang
untuk membela kebenaran. Cepatlah ke sana. Cepatlah ke sana.”
Mendengar
panggilan itu, Ling Xiao langsung berlari keluar dari dalam kelas.
Jian Jian
mengambil batu bata yang dilihat nya, lalu dia lanjut berlari menuju ke taman
belakang.
Ziqiu
melindungi teman sekelas Jian Jian, yang bernama Qi Mingyue. Dua penipu menuduh
Mingyue menabrak mereka dan membuat obat impor milik mereka pecah. Jadi mereka
berdua menuntut ganti rugi. Namun Ziqiu tidak mau, sebab dua penipu duluan yang
menabrak Mingyue.
Mingyue
memiliki sikap pengecut dan baik hati. Ditakuti sedikit oleh dua penipu dan
mendengar cerita sedih dua penipu tersebut, dia langsung bersedia untuk
memberikan uangnya. Tapi Ziqiu langsung menghentikan nya untuk jangan melakukan
ini. Lalu dia bertarung melawan dua penipu tersebut.
“Kakak!”
teriak Jain Jian yang berlari datang. “Jangan sentuh Kakakku!” teriaknya. Lalu
dia melemparkan tas nya berisikan batu bata kepada dua penipu tersebut.
Jian Jian
kemudian berniat memukuli kedua penipu tersebut. Dan Ziqiu memeluknya dari
belakang serta menahannya supaya jangan bertindak terlalu jauh. Kemudian Ling
Xiao datang sambil berlari menuju ke arah mereka.
“Polisi
sudah datang! Tangkap mereka!” teriak Ling Xiao. Lalu dia melompati anak tangga
yang ada supaya bisa lebih cepat sampai didepan Jian Jian dan Ziqiu.
Melihat aksi
itu, Mingyue merasa terkejut dan takjub. Sedangkan kedua penipu barusan
langsung pergi melarikan diri.
“Li Jian
Jian! Kamu jangkrik?” keluh Ziqiu, karena Jian Jian tidak mau berhenti. Lalu
dia mengomelinya, “Kuminta kamu pergi panggil guru, kenapa kamu panggil Ling
Xiao?”
“Aku sudah
ke kantor, tidak ada orang,” teriak Jian Jian, menjawab. Dan Ling Xiao langsung
memukuli kepalanya. “Kenapa memukulku? Mau nikahi aku jika aku bodoh?”
keluhnya.
“Kamu kira
aku bodoh? Bela kebenaran? Jika mereka punya senjata bagaimana?” tanya Ling
Xiao, menasehati. Dan Jian Jian langsung melemparkan kesalahan kepada Ziqiu.
Ziqiu tiba-
tiba teringat, apakah benar Ling Xiao sudah memanggil polisi. Dan Ling Xiao
menjawab tidak, karena barusan dia terburu- buru ke sini, jadi mana sempat. Dan
Jian Jian langsung mengomel lagi, karena dia ingin sekali berkelahi melawan dua
penipu tadi. Dan Ling Xiao memukuli kepala Jian Jian lagi, kemudian dia menarik
Jian Jian untuk kembali dengannya.
Dan dengan
bingung, Mingyue langsung mengikuti mereka bertiga.
Disekolah.
Guru menghukum Ling Xiao, Jian Jian, dan Ziqiu, untuk berdiri di depan koridor.
Dan dia mengomeli serta memarahi mereka bertiga. Mendengar itu, mereka bertiga
hanya diam saja dan bersikap seperti murid baik- baik yang patuh. Kemudian
ketika Guru sudah pergi, mereka bertiga langsung menghela nafas dan berdiri
dengan sikap malas.
Ziqiu lalu
menjentik kepala Jian Jian dengan pelan. “Kamu bisa juga panggil satpam.”
“Sudahlah, jangan marahi dia. Dia bisa memanggilku lewat siaran sudah termasuk peningkatan,” kata Ling Xiao. Dan mendengar mereka berdua, Jian Jian langsung cemberut.
Mingyue
datang dan mengucapkan terima kasih kepada mereka bertiga. Juga dia
memperkenalkan dirinya. “Aku teman sekelas Li Jian Jian. Namaku Qi Mingyue.”
“Dia teman
sekelasmu?” tanya Ling Xiao.
“Aku tidak
kenal,” jawab Jian Jian. Dan semuanya merasa terkejut.
“Aku ketua
kelas,” kata Mingyue, mengingatkan.
“Maaf,”
balas Jian Jian.
“Mengapa
kalian mau menolongku?” tanya Mingyue, ingin tahu.
“Membela
kebenaran,” jawab mereka bertiga secara bersamaan. Dan Mingyue menatap mereka
bertiga dengan aneh, karena tidak menyangka kalau mereka akan memberikan
jawaban seperti itu.
Saat Li
Haichao mau memindahkan tas Jian Jian yang berada dikursi, dia merasa heran,
karena tas Jian Jian sangat berat sekali. Dan ketika dia membuka tas Jian Jian,
dia terkejut melihat ada batu bata didalamnya.
“Jian Jian!”
teriak Li Haichao, kesal.
Saat kelas
sudah berakhir, Mingyue menghampiri Jian Jian. Dia ingin mentraktir Jian Jian
sebagai terima kasih karena telah menolong nya kemarin. Dan tanpa sungkan Jian
Jian mengatakan bahwa dia mau makan es krim.
“Sekarang
ada waktu?” tanya Mingyue. Dan Jian Jian mengganguk dengan bersemangat.
Di toko es
krim. Mingyue tidak menyangka kalau Jian Jian akan mengundang Ling Xiao dan
Ziqiu juga. Tapi dia tidak masalah, karena mereka berdua juga sudah menolong
nya kemarin.
“Kalian
sepupu?” tanya Mingyue, ingin tahu.
“Bukan. Kami
satu keluarga,” jawab Jian Jian.
“Beda Ayah
dan Ibu?” tanya Mingyue, lagi.
“Beda Ayah
Beda Ibu,” jawab Jian Jian, dengan jujur. Dan Ling Xiao serta Ziqiu mengangguk.
“Jadi kalian
tidak ada hubungan apa- apa?” tanya Mingyue, merasa heran.
“Kenapa
tidak ada hubungan? Mereka adalah Kakak ku,” tegas Jian Jian. Dan walaupun
masih merasa bingung, Mingyue pun mengiyakan.
Sebelum Jian
Jian memesan, dia menanyai, ada berapa uang Mingyue. Dan saat tahu kalau
Mingyue memiliki banyak uang, Jian Jian pun mulai memesan. Sementara Mingyue
merasa bingung harus memesan yang mana, jadi dia membeli es krim yang pelayan
rekomendasi kan.
Saat makan
es krim, Ling Xiao, Jian Jian, dan Ziqiu, saling berbagi mencicipi rasa es krim
masing- masing. Dan melihat itu, Mingyue merasa tertarik. Dan Jian Jian pun
langsung menawarkan es krimnya untuk Mingyue cicipin. Lalu dia mengambil
sedikit es krim Mingyue, dan Ziqiu juga ikut mencicipi es krim Mingyue. Dan
menikmati pengalaman saling berbagi es krim seperti ini, Mingyue merasa sangat
senang.
Mingyue dan
Jian Jian menjadi dekat. Mereka berjalan ke kelas bersama. Mingyue menanyai,
apakah Ayah Jian Jian tidak marah kepada Jian Jian karena mendapatkan nilai
jelek, karena kedua Kakak Jian Jian memiliki nilai yang bagus. Dan Jian Jian
tertawa dan menjawab bahwa harapan
Ayahnya pada dirinya sangat rendah, Ayahnya hanya ingin dia tidak buat masalah
saja. Mendengar itu, Mingyue sedikit iri kepada Jian Jian, karena Ibunya sangat
tegas, bila peringkatnya turun ke lima besar, maka dia akan gawat.
“Ibumu
memukulimu?” tanya Jian Jian.
“Tidak
sampai memukul,” jawab Mingyue dengan agak cemberut.
Ketika masuk
ke dalam kelas, Jian Jian memperkenalkan Mingyue kepada Ayahnya. Dan melihat
itu, Ibu Qi Mingyue, yang bernama Jin Yuxiang, dia membawa Mingyue untuk
menjauhi Jian Jian dan memperkenalkan Mingyue kepada murid lain yang lebih baik
didalam kelas, yaitu murid yang mendapatkan peringkat satu. Dan karena itu,
suasana pun menjadi agak aneh dan canggung.
“Duduk.
Jangan sungkan,” kata Jian Jian, menenangkan Li Haichao.
Guru Huang
masuk ke dalam kelas dan memulai pertemuan murid hari ini. Pertama, dia
memanggil orang tua dari murid Wang Yajie yang mendapatkan juara pertama di
ujian penempatan kali ini untuk membagikan pengalaman cara mendidik anak yang
baik. Kemudian setelah itu, dia meminta orang tua Qi Mingyue untuk membagikan
pengalamannya juga.
“Apa kabar
semua. Saya orang tua Qi Mingyue. Nama saya Jin Yuxiang. Keluarga kami sangat
mementingkan didikan pada anak kami. Disini saya bisa membagi beberapa
pengalaman pada semua. Yaitu dalam materi tidak merugikan anak. Tetapi dalam
pendidikan tidak boleh memanjakan anak- anak,” kata Yuxiang dan masih sangat
panjang lagi.
Mendengar
pidato yang Ibunya katakan, Mingyue merasa sangat malu. Jadi diapun terus
menunduk kan kepalanya ke bawah.
“Lihat Ibu
Mingyue. Seperti berbagi pengalaman seakan anaknya sudah masuk Universitas,”
komentar Jian Jian. Dan Li Haichao tertawa geli.
“Yang dia
katakan bagus,” balas Li Haichao.
“Yang
dikatakan Guru SMA dan SMP hampir sama, tidak ada yang berubah. Jadi jika nanti
mulai menghukum mu, kamu tahanlah sedikit. Nanti akan kucici kakimu,” kata Jian
Jian, bersikap berbakti.
“Tidak
perlu, kamu cuci saja kaus kakimu yang bau itu. Jangan selalu minta Kakak yang
cuci,” balas Li Haichao, menasehati.
“Dia yang
mau, bukan aku yang paksa,” balas Jian Jian, membela diri.
Setelah
akhirnya Yingxua selesai berbicara, Guru Huang dan semua orang didalam kelas
memberikan tepuk tangan untuk menghormatinya. Tapi Jian Jian dan Li Haichao
sama sekali tidak memperhatikan itu dan masih sibuk berbicara serta tertawa
saja. Karena itu, Guru Huang pun memanggil Li Haichao. Dan dengan agak malu, Li
Haichao pun berdiri.
“Ayah Jian
Jian. Jian Jian setiap akhir pekan ikut kelas menggambar? Anda ingin dia
mengembangkan bakatnya di bidang kesenian?” tanya Guru Huang.
“Itu… aku
tidak berpikir begitu jauh. Dari kecil dia suka menggambar, jadi kuizinkan
saja,” jawab Li Haichao dengan jujur.
“Lebih baik
gunakan waktu agar dia belajar dengan baik,” balas Guru Huang, menasehati. Lalu
ketika Li Haichao ingin membalas, dia menghentikan Li Haichao.
Dengan
canggung, Li Haichao pun berhenti berbicara dan duduk kembali.
Dicafe. Jian
Jian menceritakan sikap Guru Huang barusan didalam kelas sambil tertawa. Dan
Ling Xiao menanyai, jika Jian Jian menjadi guru, mana yang lebih Jian Jian
sukai, yang pintar dan patuh atau yang nilai jelek. Mendengar pertanyaan itu,
Jian Jian pun jadi bisa memaklumi sikap Guru Huang. Lalu dengan sikap seperti
anak baik- baik, dia menyuruh Ziqiu dan Mingyue untuk mengerjakan pr dengan baik.
Jian Jian
kemudian mengambil kotak pensil Ling Xiao. Dan disana dia menemukan sebuah
surat cinta. Melihat itu, Ling Xiao langsung merebut surat cinta itu dan
merobek nya.
“Siapa yang
menulisnya?” tanya Jian Jian, mengintrogasi.
“Tidak
tahu,” jawab Ling Xiao dengan sikap acuh.
“Benar. Kamu
harus belajar dengan baik. Jangan dipengaruhi hal seperti ini,” puji Jian Jian.
Mendengar itu, Ling Xiao tersenyum puas sambil menatap Jian Jian.
“Kamu juga
kenal dia. Dia alergi wanita, jika suara wanita agak keras, dia sudah keras,”
kata Ziqiu, menenangkan Jian Jian.
“Kamu juga.
Pemandu sorak dilapangan basket,” balas Ling Xiao.
Jian Jian
kemudian dengan bersemangat menceritakan kepada Mingyue bahwa dulu dia ingin
menjadi anak angkat Ayah Ling Xiao, dan mau Ling Xiao menjadi kakak nya.
Hasilnya Ling Xiao langsung berlutut dan melamarnya. Kemudian mereka berduapun
di jodohkan. Dengan senang, dia lalu bersandar di bahu Ling Xiao. Dan Ling Xiao
mendorong kepalanya dengan sebal.
Mendengar
cerita itu, Mingyue tertawa. Lalu tanpa sengaja dia terambil minuman milik
Ziqiu yang berada disebelahnya dan meminumnya. Dan saat dia sadar bahwa dia
telah berciuman secara tidak langsung dengan bibir Ziqiu, dia merasa malu dan
deg- degan. Dia meminta maaf, lalu pergi untuk membelikan minuman yang baru
untuk Ziqiu.
“Kamu
keterlaluan,” komentar Jian Jian.
“Dia yang
keterlaluan,” balas Ziqiu, tidak merasa bersalah.
Melihat
sikap Ziqiu dan Mingyue tersebut, Ling Xiao tersenyum.
Saat makan
malam, Li Haichao bercerita bahwa dia tidak takut nilai Jian Jian jelek, dia
hanya takut Jian Jian masih merasa bangga walaupun nilai nya jelek. Mendengar
itu, Jian Jian merasa sangat senang, karena memiliki Ayah yang pengertian. Lalu
dia mengundang Li Haichao untuk bersulang. Tapi Li Haichao langsung menolak.
“Aku hanya
minta, saat kamu berada diluar, jangan katakan kamu putriku saja,” kata Li
Haichao. Dan semuanya tertawa.
“Jangan
ketuk pintu, tidak ada sisa nasi,” kata Ling Xiao, menaburkan garam ke luka
Jian Jian. Dan semuanya tertawa lagi.
“Tenang Jian
Jian. Sisa nasi dirumah ku akan ada bagianmu,” kata Ziqiu, ikut mengganggu Jian
Jian. Dan dengan kesal, Jian Jian memukulinya.
Jian Jian
tiba- tiba merasa gusinya sakit. Tapi dia menolak untuk pergi ke rumah sakit.
Dan Li Haichao membentak Jian Jian untuk patuh.
Dengan baik,
Ling Heping menengahi mereka untuk jangan bertengkar, karena sekarang waktunya
makan. Lalu dia memberikan banyak sayuran kepada Jian Jian, karena kalau sedang
sakit gigi lebih baik jangan makan daging. Dan Jian Jian berterima kasih
padanya.
Tiba- tiba
Nenek Ling Xiao menelpon Ling Heping, dan suasana menjadi agak kurang enak.
Ling Xiao berhenti makan dan pergi.
“Setiap kali
begitu Kakak dengan Nenek nya menelpon kemari, langsung tidak bisa makan,”
komentar Jian Jian.
“Ibunya
sungguh mengganggu. Dia sudah di Singapura, tidak pernah datang, keberadaannya
terasa sekali,” kata Ziqiu, mengeluh tidak senang. Dan Jian Jian setuju.
“Sudah.
Sudah. Lain kali didepan Kakakmu, perhatikan bicara kalian, mengerti?” kata Li
Haichao, menasehati.
Ling Heping
kemudian kembali untuk memberikan telpon kepada Ling Xiao. Karena Nenek ingin
berbicara dengan Ling Xiao. Tapi Ling Xiao malah sudah tidak ada ditempat. Dan
lalu dia mengeluh kesal, dia menganggap ini karena Li Haichao terlalu
memanjakan Ling Xiao selama ini. Dan Li Haichao pun membalas Ling Heping.
Akhirnya, Ling Heping dan Li Haichao bertengkar.
“Li Haichao,
Ling Heping, cukup!” bentak Jian Jian, kesal. “Jangan saling menghina. Masih
makan atau tidak?” tanyanya. Dan Ling Heping serta Li Haichao pun berhenti
bertengkar.
Setelah
selesai mencuci piring, Ling Heping memijit bahu Li Haichao, karena dia merasa
bersalah telah emosi dan menyalahkan Li Haichao barusan.
“Katakan,
ada masalah lagi dengan Neneknya?” tanya Li Haichao, ingin tahu.
“Telepon
pasti ada masalah. Suami Chen Ting akan bekerja setengah tahun disini. Chen
Ting akan bawa putrinya kemari. Memintaku mencarikan sekolah untuk putrinya,”
kata Ling Heping, bercerita.
Mengetahui
itu, Li Haichao merasa agak kurang senang. Seharusnya Chen Ting menelpon
langsung saja, tidak perlu lewat Nenek nya. Dan Ling Heping juga tidak bisa
melakukan apapun, karena bagaimana pun Ibu Chen Ting adalah Nenek Ling Xiao.
Dan hubungan ini tidak bisa putus. Lalu dia juga tidak akan memberitahu Ling
Xiao, karena dia tidak tahu harus berbicara bagaimana.
Jian Jian
dan Ziqiu mengantarkan makanan kepada Ling Xiao. Tapi Ling Xiao menolak. Dan
mereka berdua membujuk Ling Xiao untuk makan saja. Lalu Ziqiu ingin mengetahui
tentang Ibu Ling Xiao. Tapi sebelum dia sempat bertanya, Jian Jian langsung
memukul dan mencubitnya, sebagai tanda agar Ziqiu jangan membahas hal itu.
“Aduh, apa
yang tidak bisa dibicarakan?” keluh Ziqiu, tidak mengerti. “Ibunya pergi
setelah bercerai. Ibuku? Pergi begitu saja.”
“Dia
sekarang adalah orang asing. Tidak ingin tahu,” kata Ling Xiao, menjelaskan.
Dan Jian Jian membenarkan.
“Hati- hati
Ibumu meminta kembali dagingmu,” kata Ziqiu. Dan Ling Xiao tertawa sambil
bercanda bahwa dia akan mengurangi berat badannya.
Tiba- tiba
Jian Jian merasa gigi nya sakit lagi. Dan dengan perhatian, Ling Xiao serta
Ziqiu langsung membantunya mengecek.
“Mungkin
tumbuh geraham jadi peradangan,” kata Ling Xiao, menilai.
“Bisa tahu
apa dengan itu? Dokter gadungan,” balas Ziqiu.
“Jika bodoh,
banyaklah belajar,” balas Ling Xiao. “Minta Ayah Li memberimu obat anti radang
dan sikat gigimu,” jelasnya kepada Jian Jian. Lalu dia menyuruh mereka berdua
untuk pergi, karena dia mau tidur.
Jian Jian
tidak mau pergi. Dia ingin lihat Ling Xiao selesai makan dulu. Dan dia langsung
naik ke atas tempat tidur. Lalu Ziqiu pun menawarkan Ling Xiao untuk makan.
“Eh, Kakak,
selimutmu ada baumu. Wangi sekali,” puji Jian Jian. Dan Ling Xiao langsung
tersedak makanan nya dan menarik Jian Jian untuk turun dari tempat tidurnya.
“Sudah
kubilang. Jangan naik ke kasur kami, mengerti?” kata Ling Xiao, menasehati.
“Atau ku hajar kamu,” ancamnya.
Dengan
kesal, Jian Jian mengambil makanan untuk Ling Xiao dan pergi. “Biar kelaparan
saja,” umpatnya.
Saat Jian
Jian telah pergi. Ziqiu menanyai, kenapa Ling Xiao bersikap seperti ini,
kepadahal Jian Jian masih anak kecil. Dan Ling Xiao membalas bahwa Jian Jian
sudah 16 tahun.
“Baiklah.
Lain kali kita kunci kamar kita. Tidurlah,” kata Ziqiu, mengerti.
Lanjuttt sampai tamat kak
ReplyDelete