Sinopsis C- Drama : Go Ahead Episode 11

 

Original Network : Hunan Tv, iQiyi, Mango TV

Dicafe. Mingyue menangis sangat keras, saat tahu bahwa Ling Xiao akan pergi. Dan Ling Xiao merasa malu dan memberikan tissue padanya, sebab orang- orang akan mengira dia menindas Mingyue. Dan Mingyue mengiyakan serta meminta maaf.


Ling Xiao kemudian mengatakan tujuannya. Dia meminta supaya kelak Mingyue bisa menjaga Jian Jian dan memperhatikan Jian Jian, karena Jian Jian suka ceroboh. Dan Mingyue mengiyakan serta menjelaskan bahwa Ling Xiao bisa tenang, karena dia pasti akan mengirimkan pesan pada mereka setiap harinya. Lalu dia mulai menangis lagi, ketika Ling Xiao mengucapkan terima kasih padanya.

Dengan perhatian, Ling Xiao pun memberikan tissue padanya lagi.

Li Haichao mengantarkan ke pergiaan Ling Xiao. Dia mengingatkan bahwa jika Ling Xiao tidak terbiasa dengan makanan disana, maka dia akan mengirimkan nya ke sana. Dan Ling Xiao mengiyakan.

Hei. Kamu sudah mengatakan itu ratusan kali, komentar Ling Heping, merasa geli. Lalu dia menunjuk waktu dijam tangannya.

Cepat pergi, jangan terlambat,” kata Li Haichao, mengerti.


Sebelum masuk ke dalam mobil, Ling Xiao menatap ke atas atap apatermen. Dan menyadari itu, Li Haichao menenangkan Ling Xiao untuk jangan khawatir, karena dia akan bicara pada mereka nanti.

“Tenang saja, Ayah Li. Kalian dirumah juga jaga diri,” kata Li Haichao. Lalu dia pergi dengan Ling Heping menuju ke bandara.


Diatas atap. Ziqiu menatap ke pergian Ling Xiao dengan perasaan berkecamuk.


Malam hari. Li Haichao menelpon Jian Jian dengan suara berbisik- bisik. Dia menyuruh Jian Jian untuk segera pulang, karena besok Ziqiu sudah akan pergi. Tapi Jian Jian tidak mau dan terus bersikap keras kepala.

Didalam kamar, Ziqiu mendengarkan semua pembicaraan itu dan merasa sedih.

Li Haichao mengantarkan ke pergian Ziqiu. Dia mengatakan hal yang sama kepada Ziqiu seperti kepada Ling Xiao kemarin. Jika Ziqiu tidak terbiasa dengan makanan disana, maka Ziqiu bisa menelponnya dan dia akan mengirimkan makanan ke sana. Dan Ziqiu mengiyakan.

“Hei, kak,” kata Ling Heping, mengingatkan. Sambil menunjukkan waktu di jam tangan nya.

“Cepatlah pergi,” kata Li Haichao mengerti.


“Ayah, ketika Li Jian Jian pulang, beritahu aku ya,” pinta Ziqiu, masih merasa khawatir. Dan Li Haichoai mengiyakan serta menenangkan Ziqiu untuk tidak perlu khawatir. “Ayah, jaga diri,” katanya. Lalu dia pergi dengan Ling Heping menuju ke bandara.

“Tenang saja. Berangkatlah. Sampai jumpa. Telepon ya,” kata Li Haichao sambil melambaikan tangannya. Dan Ziqiu berteriak mengiyakan.



Setelah semuanya pergi, Li Haichao berjalan pulang sendirian dengan perasaan kesepian dan agak sedih karena harus berpisah.





Dilapangan yang luas. Jian Jian duduk diatas salah satu pohon besar sambil memandang ke arah langit, melihat pesawat yang terbang melintas diangkasa. Dan mengingat- ingat kenangan- kenangan mereka bertiga dulu, saat mereka masih tinggal bersama- sama.



Tahun ajaran baru dimulai. Saat masuk ke dalam kelas, Jian Jian dan Mingyue berpelukan dengan bahagia sambil tertawa keras dan mengobrol. Jian Jian menceritakan pengalaman liburannya. Dan Mingyue mendengarkan dengan baik. Lalu dia menanyai, apakah Jian Jian sudah ada menghubungi Ling Xiao dan Ziqiu.

“Jika kamu rindu mereka, telpon saja,” kata Jian Jian dengan sikap acuh sambil tertawa tidak peduli.


Dengan sikap menyebalkan, Mingyue mulai menasehati Jian Jian untuk jangan bersikap kekanak- kanakan. Dan mendengar itu, Jian Jian merasa sangat tidak senang dan marah. Dia menendang meja nya dengan keras, lalu dia keluar dari dalam kelas.

Tang Can yang sampai disaat itu, merasa heran. Sedangkan Mingyue langsung berlari keluar untuk mengejar Jian Jian.

Para teman- teman sekelas memuji Tang Can yang berhasil mendapatkan peran utama. Dan Tang Can merasa sangat senang, tapi dia tetap bersikap rendah diri dan tidak sombong. Lalu dia menanyai teman- temannya, apa yang terjadi kepada Jian Jian barusan. Dan tidak ada seorang pun yang tahu kenapa.

Mingyue berkeliling mencari Jian Jian, tapi dia tidak berhasil menemukan nya. Dan dia merasa cukup bersalah.


Sampai kelas dimulai, Jian Jian sama sekali tidak ada kembali ke dalam kelas.


Jian Jian membolos. Dia naik ke dalam bus, dan karena kebiasaan, dia membayar tiga kali. Dan saat supir bus menanyai, apakah masih ada dua orang lagi, Jian Jian pun tersadar dan duduk di tempatnya.





Jian Jian duduk merenung sepanjang perjalanan. Dia mengingat setiap kenangan mereka bertiga dulu, saat mereka bertiga masih bersama. Dan dia merasa sedih serta menangis. Namun dia berusaha menguatkan dirinya sendiri dan menghapus air matanya.


Bus terus melaju sampai hari sudah sore. Dan ketika sudah sampai distasiun terakhir, supir bus berteriak membangunkan Jian Jian yang tertidur. “Nona, bangun. Nona. Kamu sudah naik tiga kali bolak balik, biayamu sudah sepadan. Cepatlah turun,” katanya.

“Oh. Terima kasih, Paman,” kata Jian Jian dengan canggung.


Ketika Doudou melihat Jian Jian, dia berlari mendekatinya dan memanggilnya. Lalu dengan bersemangat, dia mulai bertanya- tanya mengenai Ling Xiao dan Ziqiu yang telah pergi untuk bersekolah keluar negri, karena itu adalah gosip yang sangat menarik. Dan Jian Jian hanya ‘Hmm…’ kan saja dengan sikap cuek.

“Dulu Ibuku bilang membesarkan anak orang itu beresiko. Lihatlah, kali ini kalian sudah berantakan,” komentar Doudou.


“Kaulah yang berantakan. Keluarga siapa yang berantakan?” bentak Jian Jian, marah.

“Kenapa begitu galak?” keluh Doudou, takut. “Aku hanya merasa kakak mu tidak berhati nurani. Merasa tidak adil untukmu,” jelasnya.

“Kenapa dua kakakku tidak berhati nurani? Mereka hanya kuliah diluar negri, setelah itu akan pulang. Apa yang kamu tahu dari keluarga kami?” balas Jian Jian, membela kedua kakak nya.



Ketika sampai didepan kompleks apatermen, Jian Jian dan Doudou bertemu dengan Ibu Doudou serta Bibi Qian. Dan lagi- lagi mereka membahas tentang Ling Xiao serta Ziqiu. Dan Jian Jian agak capek mendengarkan nya. Lalu dia beralasan dan pulang ke rumah dengan cepat.


Didalam rumah. Li Haichao sedang bertelponan dengan Ziqiu, dan ketika Jian Jian pulang, dia sengaja menghindar dengan pergi ke kamar mandi dan tidak mau menjawab telpon itu.

Saat akhirnya Jian Jian keluar dari kamar mandi dan mau makan, Li Haichao langsung memarahinya. “Kamu mau apa? Hah? Kamu berencana tidak berhubungan dengan kakak mu? Tidak telepon mereka. Kalian dari kecil tumbuh besar bersama. Hubungan ini harus kamu hargai. Kamu tahu atau tidak?” tanyanya, menjelaskan.

Dengan tidak peduli, Jian Jian makan dengan santai dan tertawa. “Apakah separah itu?” balasnya.


Dengan kesal, Li Haichao menghentikan Jian Jian untuk jangan makan, karena dia sedang berbicara serius. Dan dengan malas, Jian Jian pun mengiyakan. Lalu saat Li Haichao menanyai, apa yang dia inginkan. Dia menjawab dengan jujur, dia ingin para tetangga jangan lagi selalu mengejek Li Haichao, karena sia- sia membesarkan anak, dia ingin temannya jangan pernah membahas bahwa dia mempunyai kakak, karena dia hanya ingin memulai hidup sebagai anak tunggal dan dia ingin dunianya bisa menjadi lebih tenang.


“Jangan panik, pelan- pelan bicaranya. Atau sambil makan sambil bicara,” kata Li Haichao, melembut.

“Ayah. Aku bukan marah, karena mereka pergi. Aku hanya mengerti dari hal ini. Mereka sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kita. Jika suatu hari Ayah atau aku pingsan diruang operasi, mereka bahkan tidak berhak tanda tangan disurat perjanjian,” jelas Jian Jian dengan sedih.


“Kamu panggil mereka ‘Kakak’ begitu lama, semuanya tidak berarti kah?”

“Memang Kakak, tapi bukan Kakak kandung,” jawab Jian Jian, pelan. “Sekarang aku mengerti, dulu pemikiran kami terlalu kekanak- kanakan. Berhubungan baik itu keluarga, jadi apa bedanya dengan main rumah- rumahan?”

Dengan lembut, Li Haichao menasehati Jian Jian untuk jangan berbicara seperti ini, karena Ling Xiao dan Ziqiu akan sedih. Juga dia ingin Jian Jian untuk berpikir, selama ini kebaikan Ling Xiao dan Ziqiu itu adalah tulus. Mendengar itu, Jian Jian menggelengkan kepalanya supaya air matanya tidak keluar.


“Xiao Jian. Dia keluar negeri, karena dia ingin menghemat uang kita, menghemat uang kuliah, dan disana dia bisa mempelajari hal yang dia ingin pelajari. Jadi itu hal baik,” kata Li Haichao, berbicara tentang Ziqiu.

Mendengar itu, Jian Jian menundukkan kepalanya. Dan tidak merespon.


“Dia pergi ke Singapura, karena Ibu kandungnya disana. Ibu kandung, dia bisa apa? Apa dia masih ada pilihan lain?” kata Li Haichao, berbicara tentang Ling Xiao.

Mendengar itu, Jian Jian tetap tidak merespon.

“Xiao Jian, seperti aku dan Ibumu membentuk keluarga. Kelak kamu juga akan punya keluarga sendiri, juga akan pergi dari Ayah. Tapi tidak berarti, kita bukan keluarga. Tidak berarti kita tidak saling perhatian. Hati keluarga sesungguhnya itu selamanya selalu bersama,” jelas Li Haichao, menasehati dengan tegas.

Dengan sedih, Jian Jian mulai menangis. “Tapi aku tidak mau mereka pergi. Aku tidak mau mereka pergi,” jelasnya.

Mendengar itu, dengan perhatian, Li Haichao memeluk dan menghibur Jian Jian.

Jian Jian : “Saat kecil, tidak berpikir untuk berpisah. Selalu merasa waktu sangat lambat. Selalu berpikir, kapan bisa dewasa. Tetapi waktu, dikertas coretan saat belajar, disaat yang menyenangkan, sedih, atau air mata. Dikapan pun itu, ada tangan yang tidak terlihat. Dia menarik kita,

Jian Jian menjalani kehidupannya seperti biasa. Dia selalu rajin menggambar dan tidak fokus belajar dengan benar di kelas.


Lalu suatu hari, Jian Jian datang ke kelas sambil menangis. Dan melihat itu, Mingyue serta Jian Jian merasa heran.


dia terdiam dan tidak berhenti. Satu tahun, sekejap mata satu tahun lagi. Begitu mirip, datar, tanpa ombak, tetapi diam- diam berubah.

Jian Jian merayakan tahun baru bersama dengan Li Haichao dan Ling Heping. Dengan senang, dia menerima ampao dari mereka berdua.


Saat Ling Xiao dan Ziqiu mengirimkan pesan, tidak menghindari mereka berdua lagi. Dia langsung pergi ke dalam kamarnya dan menyalakan video call di komputernya.

Jadi kami berusaha mencegah waktu mengubah kami,

Mereka bertiga mengobrol dengan akrab seperti biasanya. Dan saling mengucapkan selamat tahun baru kepada satu sama lain. Namun koneksi internet Ziqiu agak kurang bagus, jadi diapun memutuskan koneksi video call nya duluan.

kami berusaha menyampaikan perhatian, kami berusaha mengurangi jarak.

Akhirnya, hanya Jian Jian dan Ling Xiao saja yang mengobrol berdua. Namun kemudian Meiying datang dan mengajak Ling Xiao untuk bermain bersama, serta seperti biasa dia mengejek Jian Jian. Sehingga suasana menjadi agak canggung. Dan lalu Ling Xiao memutuskan video call nya duluan.

Kami berusaha, berusaha melawan waktu dan jarak.

Jian Jian sebenarnya merasa agak sedih. Tapi dia tidak mengatakannya.


Tahun 2012, aku diterima di Universitas lokal, jurusan Seni Pahat. Demi menjaga Ibunya, Kak Ling Xiao cuti kuliah. Kak Ziqiu juga sangat sibuk. Dulu perkataan Ayah dibuktikan satu persatu. Dia bilang orang dewasa memang sibuk.

Saat sampai di kampus, Jian Jian mengabari Li Haichao yang menelpon. Dia memberitahu bahwa dia sudah sampai dan nanti siang, dia tidak akan pulang makan.


Setelah itu, Jian Jian mendapatkan sms, ucapan selamat dari Ling Xiao. Dan dengan senang, dia ingin membalas serta ingin menanyai, bagaimana keadaan Ibu Ling Xiao. Namun saat dipikirkan, itu kurang pantas baginya, jadi diapun tidak jadi bertanya dan tidak mengatakan apapun. Dia hanya membalas ‘Terima kasih.

Sedangkan Ziqiu sama sekali tidak ada mengirimkan sms apapun kepadanya.


Setelah kuliah, aku baru mengerti, kata ‘Saat kuliah akan santai’, itu adalah bohong. Aku jadi sangat sibuk, selain masuk kelas, ada tugas yang tidak ada habisnya.

Ketika Jian Jian akhirnya mendapatkan sms dari Ziqiu, dia merasa sangat senang.


Dan waktu seperti mulai ‘bangun’. Seperti buru- buru ke suatu tempat, untuk membawa kami. Tanpa sadar, dua tahun sudah lewat. Aku sudah tahun ketiga. Kakak juga sama. Kak Ziqiu sudah tamat. Tapi, dia tidak kembali.

Jian Jian merasa sedih, karena semakin waktu berlalu, mereka bertiga jadi agak jarang berkomunikasi lagi. Tapi dia harus terus melanjutkan hidupnya.


Ziqiu menelpon Li Haichao dan menceritakan bahwa sekarang dia sedang melanjutkan studi nya ke bidang lain, dia sekarang mempelajari caranya membuat makanan- makanan manis dan dessert. Lalu dia meminta maaf, karena sebelum nya dia sudah berjanji bahwa dia akan pulang setelah tamat, tapi pada akhirnya tidak. Dan Li Haichao mengerti serta menasehati Ziqiu untuk belajar dengan baik.

“Ayah. Kenapa Li Jian Jian diam saja? Apakah dia marah?” tanya Ziqiu dengan gugup. Dan Li Haichao pun mengarahkan video ke arah Jian Jian yang sedang makan mie disebelahnya.

“Hai,” sapa Jian Jian sambil melambaikan tangannya dan tersenyum seperti biasa. “Kenapa harus marah? Belajar itu bagus, dan kamu juga suka. Belajarlah dengan baik ya,” jelasnya. Lalu dia beralasan bahwa dia harus cepat makan dan kembali ke kampus lagi nanti.

“Baiklah. Baguslah jika tidak marah,” kata Ziqiu, merasa lega.


Kemudian Li Haichao dan Ziqiu kembali mengobrol berdua lagi selama sesaat. Setelah selesai, Li Haichao ingin menasehati sikap Jian Jian. Tapi Jian Jian langsung menghindarinya dan pergi.

Suatu hari, aku menyadari perpisahan adalah hal biasa dalam hidup. Seperti biji dandelion, terbang sampai mana, disitulah mereka tumbuh. Ada tanah yang baru, ada teman baru, juga ada impian yang baru.



Saat Jian Jian sedang sibuk bekerja memahat, Ziqiu mengirimkan foto dessert buatannya. Dan Jian Jian memuji bahwa itu menggiurkan, jadi jangan lupa saat pulang buatkan untuknya. Tapi kemudian setelah berpikir sebentar, dia tidak jadi mengirimkan kata itu, dan hanya membalas dengan singkat saja, ‘Hebat. Bagus!”

Dan pelan- pelan karena perpisahan ini, dari yang begitu perhatian, kita mulai menjadi asing dan tidak ada yang bisa dibicarakan.


Ketika Jian Jian sedang makan, Ling Xiao menelponnya melalui video call, dan diapun langsung menyerahkan ponselnya kepada Ling Heping. Dia beralasan bahwa dia sedang sibuk makan. Jadi Ling Heping yang mengobrol dengan Ling Xiao.

Setelah mengobrol sebentar, Ling Xiao meminta Ling Heping untuk memberikan ponsel kepada Jian Jian, karena dia ingin mengobrol. Dan Jian Jian pun menjawab.


“Akhir- akhir ini tidak diam- diam pacaran, kan?” tanya Ling Xiao, mengintrogasi.

“Aku cari pacar kemana? Gila,” balas Jian Jian, mengeluh.

“Masih kecil, fokus belajar dulu, mengerti?” jelas Ling Xiao. Dan Jian Jian mengiyakan. Lalu dia memberikan ponsel kepada Ling Heping lagi.

Setelah Ling Heping selesai bertelponan dengan Ling Xiao, dia menanyai Jian Jian, apa saja yang biasanya Jian Jian dan Ling Xiao bahas saat bertelponan. Dan Jian Jian menjawab bahwa mereka tidak ada membahas apa- apa, karena tidak ada yang bisa dibicarakan, palingan mereka hanya saling memastikan bahwa satu sama lain masih hidup, itu saja.

Mendengar itu, Ling Heping tertawa geli. Lalu dia mengeluh, karena Ling Xiao jarang sekali menelponnya. Dan sekali bertelponan, dia tidak tahu harus membahas apa. Lalu dia bertanya, kenapa Li Haichao bisa berbicara begitu banyak ketika bertelponan dengan Ling Xiao dan Ziqiu. Mendengar itu, Jian Jian tertawa keras.


“Apakah kamu merasa, dikeluarga kita ini, Ayahmu seperti seorang Ibu?” tanya Ling Heping. Dan Jian Jian mengiyakan. Lalu mereka berdua tertawa bersama- sama.


Mingyue sering diam- diam mengambil foto Jian Jian dan mengirimkannya kepada Ling Xiao. Tapi Jian Jian sama sekali tidak tahu itu.

“Apakah kamu pacaran?” tanya Jian Jian, curiga melihat Mingyue tersenyum- senyum sendiri saat bermain ponsel.

“Tidak,” sangkal Mingyue dengan gugup.


Setelah tamat, aku dan Kak Du Juan, membuka studio seni pahat bernama ‘Batas Waktu’. Manusia seperti tertahan dibatas waktu, menumpang hidup disana.

Meskipun kami tidak bisa langsung jadi seniman. Tetapi sebagai pengrajin, kami tidak akan mati kelaparan. Kami masih muda, bisa pakai banyak waktu untuk mengejar mimpi.

Jian Jian dan berfoto bersama Kakak Senior nya, Du Juan. Dia studio baru mereka berdua.


Kemudian saat makan malam, Jian Jian menunjukkan foto- foto studionya kepada Li Haichao dan juga Ling Heping. Dan mereka berdua memuji nya serta merasa senang untuknya.

Lalu Ling Heping menceritakan bahwa Ling Xiao sudah di terima bekerja di tempat magang nya. Dan mendengar itu, Jian Jian merasa sedih, karena itu berarti, Ling Xiao tidak akan pulang. Dan Ling Heping menjawab bahwa Ling Xiao mengatakan kepadanya, kalau dia tidak bisa meninggalkan Chen Ting.


“Bukankah ada suster yang menjaga Chen Ting? Kenapa tidak bisa ditinggalkan?” tanya Li Haichao, heran.

“Tidak perlu dipikirkan juga tahu, sudah pasti dia tidak mau lepaskan anak kita. Chen Ting ini…” keluh Ling Heping, kesal.

Ditelpon, Ling Xiao menjelaskan alasannya tidak bisa pulang kepada Jian Jian. “Sekarang disini masih membutuhkanku. Jadi aku pulang dua tahun lagi. Saat itu Xiao Chengzi sudah besar, dan bisa menjaganya.”

“Oh,” balas Jian Jian, tanpa semangat.

Ling Xiao kemudian meminta Jian Jian untuk membuka video call, karena dia ingin melihat Jian Jian. Tapi Jian Jian menolak dengan alasan bahwa sekarang dia sedang sibuk menggambar bersama teman, jadi tidak terlalu nyaman. Lalu dia pamit dan mematikan sambungan telpon.

Jian Jian berbohong. Sebab sekarang dia sedang menggambar sendirian. Dan tidak ada seorangpun disekitarnya.


Mimpi yang sering kita kejar terus bersinar dan menjauh. Mereka seperti bintang, pelangi dan bagai embun yang bergerak di bunga mawar putih.

Usaha studio Jian Jian dan senior nya berjalan dengan cukup baik.


Mereka yang hidup disana dan hidup yang disini, itu karena terpaksa bagi orang dewasa. Tidak berdaya. Makanan, udara, dan air mata yang diam- diam mengalir dimalam hari.

Setiap orang sibuk sendiri dalam kehidupannya. Kami sama seperti hubungan lain, perlahan- lahan hilang dalam waktu yang berlalu. Bahkan rindu juga menghilang. Hanya tersisa ingatan indah dimasa kecil dan ucapan doa yang tidak pernah hilang di hari besar.

Jian Jian dan kedua kakak nya masih sering berkiriman pesan. Tapi hubungan mereka semakin canggung dan terasa jauh. Semua pesan yang saling mereka kirimkan hanyalah sekedar ucapan ‘selamat tahun baru’, ‘selamat ulang tahun’, ‘selamat ini’, dan ‘selamat itu’.

Kami, seperti tiga planet, tinggal bersama- sama untuk sesaat. Tapi kemudian saling berpisah dan melewati jalang masing- masing. Aku akhirnya paham, orang yang kembali, pasti akan kembali. Yang tidak kembali, tidak perlu ditunggu.

Tang Can pulang sambil menangis. Dan Jian Jian serta Mingyue berusaha untuk menghibur nya.




Musim panas tahun 2018, Tang Can tidak tahan di Beijing, jadi dia pulang. Setelah dapat persetujuan orang tua, aku menyewa rumah di komplek dekat dengan studioku. Tinggal bersama dengan dua sahabat baikku, memulai hidup saling bergantungan kami.

Tang Can, Mingyue, dan Jian Jian, mereka merayakan kebebasan dan kepindahan mereka dengan gembira.

Dalam batasan waktu ini, aku melihat kembali. Jalan panjang yang tanpa ujung itu, sudah dilalui cukup jauh. Tiba- tiba aku berumur 25 tahun. 25 tahun yang tidak punya apa- apa.”

1 Comments

Previous Post Next Post