Original
Network : Hunan Tv, iQiyi, Mango TV
Dicafe. Mingyue menangis sangat keras, saat
tahu bahwa Ling Xiao akan pergi. Dan Ling Xiao merasa malu dan memberikan
tissue padanya, sebab orang- orang akan mengira dia menindas Mingyue. Dan
Mingyue mengiyakan serta meminta maaf.
Ling Xiao kemudian mengatakan tujuannya. Dia
meminta supaya kelak Mingyue bisa menjaga Jian Jian dan memperhatikan Jian
Jian, karena Jian Jian suka ceroboh. Dan Mingyue mengiyakan serta menjelaskan
bahwa Ling Xiao bisa tenang, karena dia pasti akan mengirimkan pesan pada
mereka setiap harinya. Lalu dia mulai menangis lagi, ketika Ling Xiao
mengucapkan terima kasih padanya.
Dengan perhatian, Ling Xiao pun memberikan
tissue padanya lagi.
Li Haichao mengantarkan ke pergiaan Ling
Xiao. Dia mengingatkan bahwa jika Ling Xiao tidak terbiasa dengan makanan
disana, maka dia akan mengirimkan nya ke sana. Dan Ling Xiao mengiyakan.
“Hei. Kamu
sudah mengatakan itu ratusan kali,” komentar
Ling Heping, merasa geli. Lalu dia menunjuk waktu dijam tangannya.
“Cepat
pergi, jangan terlambat,” kata Li
Haichao, mengerti.
Sebelum
masuk ke dalam mobil, Ling Xiao menatap ke atas atap apatermen. Dan menyadari
itu, Li Haichao menenangkan Ling Xiao untuk jangan khawatir, karena dia akan
bicara pada mereka nanti.
“Tenang
saja, Ayah Li. Kalian dirumah juga jaga diri,” kata Li Haichao. Lalu dia pergi
dengan Ling Heping menuju ke bandara.
Diatas atap.
Ziqiu menatap ke pergian Ling Xiao dengan perasaan berkecamuk.
Malam hari.
Li Haichao menelpon Jian Jian dengan suara berbisik- bisik. Dia menyuruh Jian
Jian untuk segera pulang, karena besok Ziqiu sudah akan pergi. Tapi Jian Jian
tidak mau dan terus bersikap keras kepala.
Li Haichao
mengantarkan ke pergian Ziqiu. Dia mengatakan hal yang sama kepada Ziqiu
seperti kepada Ling Xiao kemarin. Jika Ziqiu tidak terbiasa dengan makanan
disana, maka Ziqiu bisa menelponnya dan dia akan mengirimkan makanan ke sana.
Dan Ziqiu mengiyakan.
“Hei, kak,”
kata Ling Heping, mengingatkan. Sambil menunjukkan waktu di jam tangan nya.
“Cepatlah
pergi,” kata Li Haichao mengerti.
“Ayah,
ketika Li Jian Jian pulang, beritahu aku ya,” pinta Ziqiu, masih merasa
khawatir. Dan Li Haichoai mengiyakan serta menenangkan Ziqiu untuk tidak perlu
khawatir. “Ayah, jaga diri,” katanya. Lalu dia pergi dengan Ling Heping menuju
ke bandara.
“Tenang
saja. Berangkatlah. Sampai jumpa. Telepon ya,” kata Li Haichao sambil
melambaikan tangannya. Dan Ziqiu berteriak mengiyakan.
Setelah
semuanya pergi, Li Haichao berjalan pulang sendirian dengan perasaan kesepian
dan agak sedih karena harus berpisah.
Dilapangan
yang luas. Jian Jian duduk diatas salah satu pohon besar sambil memandang ke
arah langit, melihat pesawat yang terbang melintas diangkasa. Dan mengingat-
ingat kenangan- kenangan mereka bertiga dulu, saat mereka masih tinggal
bersama- sama.
Tahun ajaran
baru dimulai. Saat masuk ke dalam kelas, Jian Jian dan Mingyue berpelukan
dengan bahagia sambil tertawa keras dan mengobrol. Jian Jian menceritakan
pengalaman liburannya. Dan Mingyue mendengarkan dengan baik. Lalu dia menanyai,
apakah Jian Jian sudah ada menghubungi Ling Xiao dan Ziqiu.
“Jika kamu
rindu mereka, telpon saja,” kata Jian Jian dengan sikap acuh sambil tertawa
tidak peduli.
Dengan sikap
menyebalkan, Mingyue mulai menasehati Jian Jian untuk jangan bersikap kekanak-
kanakan. Dan mendengar itu, Jian Jian merasa sangat tidak senang dan marah. Dia
menendang meja nya dengan keras, lalu dia keluar dari dalam kelas.
Tang Can
yang sampai disaat itu, merasa heran. Sedangkan Mingyue langsung berlari keluar
untuk mengejar Jian Jian.
Para teman-
teman sekelas memuji Tang Can yang berhasil mendapatkan peran utama. Dan Tang
Can merasa sangat senang, tapi dia tetap bersikap rendah diri dan tidak
sombong. Lalu dia menanyai teman- temannya, apa yang terjadi kepada Jian Jian
barusan. Dan tidak ada seorang pun yang tahu kenapa.
Mingyue
berkeliling mencari Jian Jian, tapi dia tidak berhasil menemukan nya. Dan dia
merasa cukup bersalah.
Sampai kelas
dimulai, Jian Jian sama sekali tidak ada kembali ke dalam kelas.
Jian Jian
membolos. Dia naik ke dalam bus, dan karena kebiasaan, dia membayar tiga kali.
Dan saat supir bus menanyai, apakah masih ada dua orang lagi, Jian Jian pun
tersadar dan duduk di tempatnya.
Jian Jian
duduk merenung sepanjang perjalanan. Dia mengingat setiap kenangan mereka
bertiga dulu, saat mereka bertiga masih bersama. Dan dia merasa sedih serta
menangis. Namun dia berusaha menguatkan dirinya sendiri dan menghapus air
matanya.
Bus terus
melaju sampai hari sudah sore. Dan ketika sudah sampai distasiun terakhir,
supir bus berteriak membangunkan Jian Jian yang tertidur. “Nona, bangun. Nona.
Kamu sudah naik tiga kali bolak balik, biayamu sudah sepadan. Cepatlah turun,”
katanya.
“Oh. Terima
kasih, Paman,” kata Jian Jian dengan canggung.
Ketika
Doudou melihat Jian Jian, dia berlari mendekatinya dan memanggilnya. Lalu
dengan bersemangat, dia mulai bertanya- tanya mengenai Ling Xiao dan Ziqiu yang
telah pergi untuk bersekolah keluar negri, karena itu adalah gosip yang sangat
menarik. Dan Jian Jian hanya ‘Hmm…’ kan saja dengan sikap cuek.
“Dulu Ibuku
bilang membesarkan anak orang itu beresiko. Lihatlah, kali ini kalian sudah
berantakan,” komentar Doudou.
“Kaulah yang
berantakan. Keluarga siapa yang berantakan?” bentak Jian Jian, marah.
“Kenapa
begitu galak?” keluh Doudou, takut. “Aku hanya merasa kakak mu tidak berhati
nurani. Merasa tidak adil untukmu,” jelasnya.
“Kenapa dua
kakakku tidak berhati nurani? Mereka hanya kuliah diluar negri, setelah itu
akan pulang. Apa yang kamu tahu dari keluarga kami?” balas Jian Jian, membela
kedua kakak nya.
Ketika
sampai didepan kompleks apatermen, Jian Jian dan Doudou bertemu dengan Ibu
Doudou serta Bibi Qian. Dan lagi- lagi mereka membahas tentang Ling Xiao serta
Ziqiu. Dan Jian Jian agak capek mendengarkan nya. Lalu dia beralasan dan pulang
ke rumah dengan cepat.
Didalam
rumah. Li Haichao sedang bertelponan dengan Ziqiu, dan ketika Jian Jian pulang,
dia sengaja menghindar dengan pergi ke kamar mandi dan tidak mau menjawab
telpon itu.
Saat
akhirnya Jian Jian keluar dari kamar mandi dan mau makan, Li Haichao langsung
memarahinya. “Kamu mau apa? Hah? Kamu berencana tidak berhubungan dengan kakak
mu? Tidak telepon mereka. Kalian dari kecil tumbuh besar bersama. Hubungan ini
harus kamu hargai. Kamu tahu atau tidak?” tanyanya, menjelaskan.
Dengan tidak
peduli, Jian Jian makan dengan santai dan tertawa. “Apakah separah itu?”
balasnya.
Dengan
kesal, Li Haichao menghentikan Jian Jian untuk jangan makan, karena dia sedang
berbicara serius. Dan dengan malas, Jian Jian pun mengiyakan. Lalu saat Li
Haichao menanyai, apa yang dia inginkan. Dia menjawab dengan jujur, dia ingin
para tetangga jangan lagi selalu mengejek Li Haichao, karena sia- sia membesarkan
anak, dia ingin temannya jangan pernah membahas bahwa dia mempunyai kakak,
karena dia hanya ingin memulai hidup sebagai anak tunggal dan dia ingin
dunianya bisa menjadi lebih tenang.
“Jangan
panik, pelan- pelan bicaranya. Atau sambil makan sambil bicara,” kata Li
Haichao, melembut.
“Ayah. Aku
bukan marah, karena mereka pergi. Aku hanya mengerti dari hal ini. Mereka
sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kita. Jika suatu hari Ayah atau aku
pingsan diruang operasi, mereka bahkan tidak berhak tanda tangan disurat
perjanjian,” jelas Jian Jian dengan sedih.
“Kamu
panggil mereka ‘Kakak’ begitu lama, semuanya tidak berarti kah?”
“Memang
Kakak, tapi bukan Kakak kandung,” jawab Jian Jian, pelan. “Sekarang aku
mengerti, dulu pemikiran kami terlalu kekanak- kanakan. Berhubungan baik itu
keluarga, jadi apa bedanya dengan main rumah- rumahan?”
Dengan
lembut, Li Haichao menasehati Jian Jian untuk jangan berbicara seperti ini,
karena Ling Xiao dan Ziqiu akan sedih. Juga dia ingin Jian Jian untuk berpikir,
selama ini kebaikan Ling Xiao dan Ziqiu itu adalah tulus. Mendengar itu, Jian
Jian menggelengkan kepalanya supaya air matanya tidak keluar.
“Xiao Jian.
Dia keluar negeri, karena dia ingin menghemat uang kita, menghemat uang kuliah,
dan disana dia bisa mempelajari hal yang dia ingin pelajari. Jadi itu hal
baik,” kata Li Haichao, berbicara tentang Ziqiu.
Mendengar
itu, Jian Jian menundukkan kepalanya. Dan tidak merespon.
“Dia pergi
ke Singapura, karena Ibu kandungnya disana. Ibu kandung, dia bisa apa? Apa dia
masih ada pilihan lain?” kata Li Haichao, berbicara tentang Ling Xiao.
Mendengar
itu, Jian Jian tetap tidak merespon.
“Xiao Jian,
seperti aku dan Ibumu membentuk keluarga. Kelak kamu juga akan punya keluarga
sendiri, juga akan pergi dari Ayah. Tapi tidak berarti, kita bukan keluarga.
Tidak berarti kita tidak saling perhatian. Hati keluarga sesungguhnya itu
selamanya selalu bersama,” jelas Li Haichao, menasehati dengan tegas.
Dengan
sedih, Jian Jian mulai menangis. “Tapi aku tidak mau mereka pergi. Aku tidak
mau mereka pergi,” jelasnya.
Mendengar
itu, dengan perhatian, Li Haichao memeluk dan menghibur Jian Jian.
Jian Jian : “Saat kecil, tidak
berpikir untuk berpisah. Selalu merasa waktu sangat lambat. Selalu berpikir,
kapan bisa dewasa. Tetapi waktu, dikertas coretan saat belajar, disaat yang
menyenangkan, sedih, atau air mata. Dikapan pun itu, ada tangan yang tidak
terlihat. Dia menarik kita,
Jian Jian
menjalani kehidupannya seperti biasa. Dia selalu rajin menggambar dan tidak
fokus belajar dengan benar di kelas.
Lalu suatu
hari, Jian Jian datang ke kelas sambil menangis. Dan melihat itu, Mingyue serta
Jian Jian merasa heran.
dia terdiam dan tidak berhenti. Satu
tahun, sekejap mata satu tahun lagi. Begitu mirip, datar, tanpa ombak, tetapi
diam- diam berubah.
Jian Jian
merayakan tahun baru bersama dengan Li Haichao dan Ling Heping. Dengan senang,
dia menerima ampao dari mereka berdua.
Saat Ling
Xiao dan Ziqiu mengirimkan pesan, tidak menghindari mereka berdua lagi. Dia
langsung pergi ke dalam kamarnya dan menyalakan video call di komputernya.
Jadi kami berusaha mencegah waktu
mengubah kami,
Mereka
bertiga mengobrol dengan akrab seperti biasanya. Dan saling mengucapkan selamat
tahun baru kepada satu sama lain. Namun koneksi internet Ziqiu agak kurang
bagus, jadi diapun memutuskan koneksi video call nya duluan.
kami berusaha menyampaikan perhatian,
kami berusaha mengurangi jarak.
Akhirnya,
hanya Jian Jian dan Ling Xiao saja yang mengobrol berdua. Namun kemudian
Meiying datang dan mengajak Ling Xiao untuk bermain bersama, serta seperti
biasa dia mengejek Jian Jian. Sehingga suasana menjadi agak canggung. Dan lalu
Ling Xiao memutuskan video call nya duluan.
Kami berusaha, berusaha melawan waktu dan
jarak.
Jian Jian
sebenarnya merasa agak sedih. Tapi dia tidak mengatakannya.
Tahun 2012, aku diterima di Universitas
lokal, jurusan Seni Pahat. Demi menjaga Ibunya, Kak Ling Xiao cuti kuliah. Kak
Ziqiu juga sangat sibuk. Dulu perkataan Ayah dibuktikan satu persatu. Dia
bilang orang dewasa memang sibuk.
Saat sampai
di kampus, Jian Jian mengabari Li Haichao yang menelpon. Dia memberitahu bahwa
dia sudah sampai dan nanti siang, dia tidak akan pulang makan.
Setelah itu,
Jian Jian mendapatkan sms, ucapan selamat dari Ling Xiao. Dan dengan senang,
dia ingin membalas serta ingin menanyai, bagaimana keadaan Ibu Ling Xiao. Namun
saat dipikirkan, itu kurang pantas baginya, jadi diapun tidak jadi bertanya dan
tidak mengatakan apapun. Dia hanya membalas ‘Terima kasih.
Sedangkan
Ziqiu sama sekali tidak ada mengirimkan sms apapun kepadanya.
Setelah kuliah, aku baru mengerti, kata
‘Saat kuliah akan santai’, itu adalah bohong. Aku jadi sangat sibuk, selain
masuk kelas, ada tugas yang tidak ada habisnya.
Ketika Jian
Jian akhirnya mendapatkan sms dari Ziqiu, dia merasa sangat senang.
Dan waktu seperti mulai ‘bangun’. Seperti
buru- buru ke suatu tempat, untuk membawa kami. Tanpa sadar, dua tahun sudah
lewat. Aku sudah tahun ketiga. Kakak juga sama. Kak Ziqiu sudah tamat. Tapi,
dia tidak kembali.
Jian Jian
merasa sedih, karena semakin waktu berlalu, mereka bertiga jadi agak jarang
berkomunikasi lagi. Tapi dia harus terus melanjutkan hidupnya.
Ziqiu
menelpon Li Haichao dan menceritakan bahwa sekarang dia sedang melanjutkan
studi nya ke bidang lain, dia sekarang mempelajari caranya membuat makanan- makanan
manis dan dessert. Lalu dia meminta maaf, karena sebelum nya dia sudah berjanji
bahwa dia akan pulang setelah tamat, tapi pada akhirnya tidak. Dan Li Haichao
mengerti serta menasehati Ziqiu untuk belajar dengan baik.
“Ayah.
Kenapa Li Jian Jian diam saja? Apakah dia marah?” tanya Ziqiu dengan gugup. Dan
Li Haichao pun mengarahkan video ke arah Jian Jian yang sedang makan mie
disebelahnya.
“Hai,” sapa
Jian Jian sambil melambaikan tangannya dan tersenyum seperti biasa. “Kenapa
harus marah? Belajar itu bagus, dan kamu juga suka. Belajarlah dengan baik ya,”
jelasnya. Lalu dia beralasan bahwa dia harus cepat makan dan kembali ke kampus
lagi nanti.
“Baiklah.
Baguslah jika tidak marah,” kata Ziqiu, merasa lega.
Kemudian Li
Haichao dan Ziqiu kembali mengobrol berdua lagi selama sesaat. Setelah selesai,
Li Haichao ingin menasehati sikap Jian Jian. Tapi Jian Jian langsung
menghindarinya dan pergi.
Suatu hari, aku menyadari perpisahan
adalah hal biasa dalam hidup. Seperti biji dandelion, terbang sampai mana,
disitulah mereka tumbuh. Ada tanah yang baru, ada teman baru, juga ada impian
yang baru.
Saat Jian
Jian sedang sibuk bekerja memahat, Ziqiu mengirimkan foto dessert buatannya.
Dan Jian Jian memuji bahwa itu menggiurkan, jadi jangan lupa saat pulang
buatkan untuknya. Tapi kemudian setelah berpikir sebentar, dia tidak jadi
mengirimkan kata itu, dan hanya membalas dengan singkat saja, ‘Hebat. Bagus!”
Dan pelan- pelan karena perpisahan ini,
dari yang begitu perhatian, kita mulai menjadi asing dan tidak ada yang bisa
dibicarakan.
Ketika Jian
Jian sedang makan, Ling Xiao menelponnya melalui video call, dan diapun
langsung menyerahkan ponselnya kepada Ling Heping. Dia beralasan bahwa dia
sedang sibuk makan. Jadi Ling Heping yang mengobrol dengan Ling Xiao.
Setelah
mengobrol sebentar, Ling Xiao meminta Ling Heping untuk memberikan ponsel
kepada Jian Jian, karena dia ingin mengobrol. Dan Jian Jian pun menjawab.
“Akhir-
akhir ini tidak diam- diam pacaran, kan?” tanya Ling Xiao, mengintrogasi.
“Aku cari
pacar kemana? Gila,” balas Jian Jian, mengeluh.
“Masih
kecil, fokus belajar dulu, mengerti?” jelas Ling Xiao. Dan Jian Jian
mengiyakan. Lalu dia memberikan ponsel kepada Ling Heping lagi.
Setelah Ling
Heping selesai bertelponan dengan Ling Xiao, dia menanyai Jian Jian, apa saja
yang biasanya Jian Jian dan Ling Xiao bahas saat bertelponan. Dan Jian Jian
menjawab bahwa mereka tidak ada membahas apa- apa, karena tidak ada yang bisa
dibicarakan, palingan mereka hanya saling memastikan bahwa satu sama lain masih
hidup, itu saja.
Mendengar
itu, Ling Heping tertawa geli. Lalu dia mengeluh, karena Ling Xiao jarang
sekali menelponnya. Dan sekali bertelponan, dia tidak tahu harus membahas apa.
Lalu dia bertanya, kenapa Li Haichao bisa berbicara begitu banyak ketika
bertelponan dengan Ling Xiao dan Ziqiu. Mendengar itu, Jian Jian tertawa keras.
“Apakah kamu
merasa, dikeluarga kita ini, Ayahmu seperti seorang Ibu?” tanya Ling Heping.
Dan Jian Jian mengiyakan. Lalu mereka berdua tertawa bersama- sama.
Mingyue
sering diam- diam mengambil foto Jian Jian dan mengirimkannya kepada Ling Xiao.
Tapi Jian Jian sama sekali tidak tahu itu.
“Apakah kamu
pacaran?” tanya Jian Jian, curiga melihat Mingyue tersenyum- senyum sendiri
saat bermain ponsel.
“Tidak,”
sangkal Mingyue dengan gugup.
Setelah tamat, aku dan Kak Du Juan,
membuka studio seni pahat bernama ‘Batas Waktu’. Manusia seperti tertahan
dibatas waktu, menumpang hidup disana.
Meskipun kami tidak bisa langsung jadi
seniman. Tetapi sebagai pengrajin, kami tidak akan mati kelaparan. Kami masih
muda, bisa pakai banyak waktu untuk mengejar mimpi.
Jian Jian
dan berfoto bersama Kakak Senior nya, Du Juan. Dia studio baru mereka berdua.
Kemudian
saat makan malam, Jian Jian menunjukkan foto- foto studionya kepada Li Haichao
dan juga Ling Heping. Dan mereka berdua memuji nya serta merasa senang
untuknya.
Lalu Ling
Heping menceritakan bahwa Ling Xiao sudah di terima bekerja di tempat magang
nya. Dan mendengar itu, Jian Jian merasa sedih, karena itu berarti, Ling Xiao
tidak akan pulang. Dan Ling Heping menjawab bahwa Ling Xiao mengatakan
kepadanya, kalau dia tidak bisa meninggalkan Chen Ting.
“Bukankah
ada suster yang menjaga Chen Ting? Kenapa tidak bisa ditinggalkan?” tanya Li
Haichao, heran.
“Tidak perlu
dipikirkan juga tahu, sudah pasti dia tidak mau lepaskan anak kita. Chen Ting
ini…” keluh Ling Heping, kesal.
Ditelpon,
Ling Xiao menjelaskan alasannya tidak bisa pulang kepada Jian Jian. “Sekarang
disini masih membutuhkanku. Jadi aku pulang dua tahun lagi. Saat itu Xiao
Chengzi sudah besar, dan bisa menjaganya.”
“Oh,” balas
Jian Jian, tanpa semangat.
Ling Xiao
kemudian meminta Jian Jian untuk membuka video call, karena dia ingin melihat
Jian Jian. Tapi Jian Jian menolak dengan alasan bahwa sekarang dia sedang sibuk
menggambar bersama teman, jadi tidak terlalu nyaman. Lalu dia pamit dan
mematikan sambungan telpon.
Jian Jian
berbohong. Sebab sekarang dia sedang menggambar sendirian. Dan tidak ada
seorangpun disekitarnya.
Mimpi yang sering kita kejar terus
bersinar dan menjauh. Mereka seperti bintang, pelangi dan bagai embun yang
bergerak di bunga mawar putih.
Usaha studio
Jian Jian dan senior nya berjalan dengan cukup baik.
Mereka yang hidup disana dan hidup yang
disini, itu karena terpaksa bagi orang dewasa. Tidak berdaya. Makanan, udara,
dan air mata yang diam- diam mengalir dimalam hari.
Setiap orang sibuk sendiri dalam
kehidupannya. Kami sama seperti hubungan lain, perlahan- lahan hilang dalam
waktu yang berlalu. Bahkan rindu juga menghilang. Hanya tersisa ingatan indah
dimasa kecil dan ucapan doa yang tidak pernah hilang di hari besar.
Jian Jian
dan kedua kakak nya masih sering berkiriman pesan. Tapi hubungan mereka semakin
canggung dan terasa jauh. Semua pesan yang saling mereka kirimkan hanyalah
sekedar ucapan ‘selamat tahun baru’, ‘selamat ulang tahun’, ‘selamat ini’, dan
‘selamat itu’.
Kami, seperti tiga planet, tinggal
bersama- sama untuk sesaat. Tapi kemudian saling berpisah dan melewati jalang
masing- masing. Aku akhirnya paham, orang yang kembali, pasti akan kembali.
Yang tidak kembali, tidak perlu ditunggu.
Tang Can
pulang sambil menangis. Dan Jian Jian serta Mingyue berusaha untuk menghibur
nya.
Musim panas tahun 2018, Tang Can tidak
tahan di Beijing, jadi dia pulang. Setelah dapat persetujuan orang tua, aku
menyewa rumah di komplek dekat dengan studioku. Tinggal bersama dengan dua
sahabat baikku, memulai hidup saling bergantungan kami.
Tang Can, Mingyue, dan Jian Jian, mereka merayakan kebebasan dan kepindahan mereka dengan gembira.
Dalam batasan waktu ini, aku melihat
kembali. Jalan panjang yang tanpa ujung itu, sudah dilalui cukup jauh. Tiba-
tiba aku berumur 25 tahun. 25 tahun yang tidak punya apa- apa.”
💞💞💞💞
ReplyDelete