Original Network : Hunan Tv, iQiyi, Mango TV
Seperti biasa, Ibu
Ming selalu meremehkan Mingyue, tanpa mau mendengarkan pendapat Mingyue sama
sekali.
Menurut Ibu Ming
pergi ke Beijing itu tidak baik, jadi dia tidak setuju. Bekerja sebagai
wartawan itu tidak bagus, jadi dia mau agar Mingyue berhenti. Lalu dia ingin
Mingyue belajar dan fokus mempersiapkan diri untuk ikut ujian pegawai sipil,
karena baginya pekerjaan pegawai sipil itu lebih bagus dan stabil. Dan tentu saja,
Mingyue menolak. Tapi Ibu Ming tidak mau dibantah.
Ayah Ming berusaha
membela dan mendukung keinginan Mingyue. Tapi ketika Ibu Ming membentak dan
memarahinya, dia langsung berhenti ikut campur.
“Hari ini aku
kembali ke sana,” kata Mingyue, merasa capek.
Mendengar itu, Ibu
Ming memberikan beberapa buku tebal untuk Mingyue. “Boleh saja. Tapi, bawa buku
ini. Sore tadi khusus kubelikan. Pelajarilah,” jelasnya. Dan dengan terpaksa,
Mingyue menerima buku- buku tersebut.
Secara diam- diam,
Mingyue masuk ke dalam apatermen.
Lalu setelah masuk
ke dalam kamar, Mingyue menyimmpan buku- buku yang Ibu Ming berikan ke dalam
laci. Karena dia sama sekali tidak mau mempelajari itu.
Pagi hari. Ketika
Jian Jian bangun dan melihat Ling Xiao, dia jadi teringat akan ciuman mereka
berdua semalam. Dan dengan panik, diapun langsung masuk ke dalam kamar mandi
untuk menghindarinya. Tapi dia malah dikejutkan oleh Mingyue, saat dia melihat
bahwa Mingyue sedang menggosok gigi dikamar mandi.
“Kamu pulang untuk
pindah?” tanya Jian Jian, khawatir.
“Jadi, kau mau
pulang ke rumahmu?” balas Mingyue dengan serius.
“Baik. Sekarang
juga?” tanya Jian Jian, setuju, asalkan Mingyue mau tinggal diapatermen ini
lagi, maka dia bersedia untuk pindah dari sini.
Mendengar itu,
Mingyue tertawa. Dan Jian Jian merasa bingung. Mingyue kemudian menjelaskan
bahwa dia sudah tidak marah lagi. Juga menurutnya perkataan Jian Jian kemarin
benar, orang lain tidak menyukainya bukan berarti itu salah nya. Lagipula dari
awal dia yang telah salah paham dan terlalu percaya diri, karena mengira Ling
Xiao menyukainya. Juga dia mau melihat hal menarik yang akan Jian Jian hadapi
nantinya, karena Ziqiu dan Ling Xiao sama- sama menyukai Jian Jian.
“Kamu ini iblis?”
tanya Jian Jian, ngeri, karena Mingyue tampak bersenang- senang diatas
penderitaan nya. Dan Mingyue tertawa.
Saat sarapan, Ling
Xiao ingin meminta maaf kepada Mingyue dan menjelaskan salah paham antara
mereka berdua. Tapi Mingyue langsung menghentikannya, karena dia tidak ingin
membahas itu lagi. Lalu untuk menghilangkan rasa malunya, Mingyue menyindir
Jian Jian sedikit. Tapi sebelum Mingyue selesai berbicara, Jian Jian langsung
menginjak kakinya yang berada dibawah meja dan memberikannya tatapan tajam.
Dengan sengaja,
Mingyue balas menginjak kaki Jian Jian dan menatapnya dengan tajam. Lalu
setelah itu, mereka saling tersenyum dan berhenti menginjak kaki masing-
masing.
Kemudian Tang Can
yang baru bangun bergabung dengan mereka untuk sarapan. Dan saat dia serta Jian
Jian tidak sengaja saling bertatapan, mereka berdua sama- sama mendengus dan
membuang wajah. Melihat itu, semuanya merasa bingung dan heran ada apa.
“Lupakan.
Lupakan,” gumam Jian Jian dengan frustasi, ketika dia terus teringat akan
ciuman nya dengan Ling Xiao.
Melihat itu, Ziqiu
merasa heran dan bertanya ada apa. Dan Jian Jian langsung menanyainya, apakah
Ziqiu akan tiba- tiba menciumnya, jika dia dalam keadaan tidak tenang. Dan
Ziqiu langsung menjawab tidak, malahan dia akan memasukkan kepala Jian Jian ke
dalam kulkas.
“Hebat. Jawaban
tepat,” puji Jian Jian sambil bertepuk tangan.
Ziqiu kemudian
menanyai, kenapa Jian Jian dan Tang Can bisa bertengkar. Dan Jian Jian menjawab
bahwa Tang Can yang mulai duluan.
“Bukan aku mau
mengataimu. Lihat panjangnya kuku Tang Can seperti penyihir. Jika melawannya,
kau pasti kalah. Pakai jurus rahasia saja,” kata Ziqiu, memberikan saran.
“Misal dia takut geli, kau kelitiki saja dia,” jelasnya.
“Hebat,” puji Jian
Jian sambil bertepuk tangan lagi.
Saat Jian Jian
sudah sampai distudio, dia menanyai Du Juan dan Zhou Miao, siapa yang telah menulis
makalah tentang dirinya, karena isi makalah itu terlalu berlebihan. “Pemimpin
hebat seni pahat masa kini.”
Dengan bangga,
Zhou Miao menjawab bahwa dia yang meminta orang untuk menulisnya. Lalu Zhou
Miao menjelaskan bahwa karena itu, pengikut Weibo mereka sekarang sudah
bertambah 30 orang lebih.
“Oh iya, wartawan
koran mingguan pagi kota kita, sudah membalas teleponku. Ingin buat janji untuk
mewawancaraimu. Kita harus mempromosikan studio kerja kita agar lebih baik,
kuat, dan besar. Serahkan saja padaku,” jelas Zhou Miao, bersemangat.
“Kau hebat sekali,
sayang,” puji Du Juan senang.
“Kapan aku bilang
aku ingin diwawancarai? Batalkan saja,” tolak Jian Jian.
“Bos Li, jangan
seperti itu. Studio ini bukan milikmu seorang, ada setengah milik Juanjuan
(Panggilan sayang untuk Du Juan). Sebagai rekan, harus bisa mengutamakan
keuntungan bersama,” kata Zhou Miao, menjelaskan. Dan Du Juan tesenyum
menyetujui.
Dengan sabar, Jian
Jian menjelaskan alasannya menolak kepada mereka berdua. Isi makalah yang
ditulis dikoran ini terlalu berlebihan, jika Guru nya lihat, maka Guru nya
pasti akan marah. Sebab hal yang melanggar moral adalah larangan baginya.
“Guru Peng dalam
satu tahun dapat banyak uang dan sering diwawancarai. Kenapa hanya dia yang
boleh terkenal, murid sendiri tak boleh diwawancarai?” tanya Zhou Miao dengan
sikap ngeselin.
“Aku membayarmu
jadi kepala pemasaran atau jadi manajer? Kau hanya datang bekerja, tahu tidak?”
balas Jian Jian dengan kesal. Lalu dia meremas koran yang menuliskan tentang dirinya
dan melemparkan itu kepada Zhou Miao.
Xixi masih ingat
mendekati Ling Xiao. jadi dia membelikannya segelas kopi dan berpura- pura
bertanya- tanya tentang hubungan antara Ling Xiao serta Jian Jian. Dan Ling
Xiao menerima kopi tersebut serta langsung membayar Xixi, lalu dia menjelaskan
bahwa dia tidak ingin privasinya disebarkan di seluruh rumah sakit.
“Aku bersumpah,
tidak akan menyebarkannya,” kata Xixi sambil mengangkat tangannya untuk membuat
sumpah.
“Aku keluar
makan,” balas Ling Xiao, tidak mau bercerita.
“Sama-sama saja,”
kata Xixi, ingin ikut.
“Lain kali, sudah
ada janji,” balas Ling Xiao, lalu dia langsung pergi. Dan Xixi menghela nafas
kecewa.
Ling Xiao mengajak
Mingyue untuk makan siang bersama sebagai permintaan maaf. Dan ketika memesan,
Mingyue merasa bingung harus memesan apa. Dan Ling Xiao menjelaskan bahwa
Mingyue boleh memesan apa saja.
“Kalian lihat menu pesan makanan tak merasa ragu?” tanya
Mingyue, pelan.
“Dalam menu ada puluhan masakan, setelah ke
restoran, tak peduli ragu berapa lama, biasanya kita akan pilih yang kita tahu,
dan yang kita sukai. Setelah memesannya, maka tak akan ragu lagi,” kata Ling
Xiao, menjelaskan.
“Ibuku keberatan aku selalu pilih yang sama,” balas
Mingyue sambil cemberut.
“Ibumu mentraktir makan juga selalu makan makanan
laut,” balas Ling Xiao sambil tersenyum, memberikan
kepercayaan diri kepada Mingyue.
Dengan senang,
Mingyue memanggil pelayan dan memesan makanan kesukaannya sambil menatap Ling
Xiao dengan ragu- ragu. Dan Ling Xiao mengangguk kan kepalanya. Dia membiarkan
Mingyue untuk memesan apa saja yang Mingyue inginkan.
“Berhasil,” gumam Mingyue senang, ketika dia telah selesai memesan. “Ibuku
memesan seperti itu,” jelasnya.
“Cukup baik,” puji Ling Xiao.
Ling Xiao kemudian
memberikan masukan kepada Mingyue. Menurutnya Mingyue harus melakukan
intropeksi diri. Karena dia melihat Mingyue selalu meremehkan dan menyalahkan
diri sendiri. Juga baginya, Mingyue sangat baik, tapi Mingyue kurang percaya
diri. Jadi Mingyue benar- benar harus melakukan intropeksi diri.
“Jika aku sangat baik, kenapa kau tak menyukaiku?” tanya Mingyue,
ingin tahu.
“Kau baik atau tidak, apa itu berhubungan dengan aku
menyukaimu atau tidak?” balas Ling Xiao, bertanya. “Itu dua hal
berbeda,” tegasnya.
“Oh. Benar juga.
Sebenarnya, tetap aku kurang baik,” gumam Mingyue sambil menunduk dan menatap ke
bawah.
“Kau sungguh sangat baik,” balas Ling
Xiao, tulus. “Jika kau tidak baik, mana mungkin aku berteman
denganmu?”
“Terima kasih,” kata Mingyue, senang.
Ling Xiao lalu
menceritakan tentang dirinya. Dia sendiri juga ada melakukan intropeksi diri, karena
dalam beberapa hal dia memang salah. Awalnya dia mendekati dan berteman dengan
Mingyue karena dia memang ada niat untuk memanfaatkan Mingyue. Saat dia di
Singapura, selain kuliah, waktu yang tersisa di gunakan untuk menjaga Ibunya,
mengantar adiknya ke sekolah, memasak, dan mengurus rumah. Terkadang saat
tengah malam dia sering terbangun untuk melihat apa yang Ibunya lakukan. Emosi
Ibunya itu tidak stabil, jadi Ibunya bisa melakukan hal yang membahayakan.
Setiap hari dia merasa sangat lelah dan hampir tidak bisa bertahan. Karena itu,
dia sering menghubungi Mingyue untuk menanyai tentang Jian Jian, sebab dengan
begitu, dia bisa menjauhi kehidupan yang menekan dirinya.
“Jika sungguh begitu, aku tak keberatan kau
manfaatkan. Semua ini aku yang bersedia, kau tak memaksaku,” kata
Mingyue, mengerti.
“Kau tak menyalahkanku, bukan berarti aku tak
bersalah,” balas Ling
Xiao. “Aku harus
minta maaf. Maaf.”
“Sudahlah, sudah berlalu,” kata
Mingyue, bersikap dermawan. “Sebenarnya, yang kau katakan hari ini
membuatku cukup senang. Setidaknya aku membantumu, lebih baik kau katakan
terima kasih.”
“Terima kasih,” kata Ling Xiao.
“Sama-sama, teman lama,” balas
Mingyue sambil tertawa.
Dengan
penasaran, Ling Xiao kemudian menanyai, sejak kapan Mingyue menyukai nya dan
mengapa Mingyue menyukai nya. Karena sebelum dia ke Singapura, mereka berdua
hanya kenal selama setahun saja. Dan ditahun itu, mereka berdua jarang
berbicara. Dan Mingyue menjawab bahwa dia menyukai Ling Xiao, sejak SMA kelas
satu, saat itu Ling Xiao mengatakan bahwa dirinya sangat baik, jadi dari situ
dia langsung menyukai Ling Xiao.
“Sejak saat itu terus menyukaiku?” tanya Ling
Xiao, memastikan. Dan Mingyue tersenyum mengiyakan. “Kau bahkan
tak memahamiku.”
“Aku memahamimu, kau sungguh sangat baik,” balas
Mingyue.
“Jelas-jelas kita sering berbincang di WeChat.
Tetapi kau hanya cerita masalah Li Jian Jian, dan tak penasaran dengan
masalahku. Kau juga tak tanya, aku juga hampir tak pernah membahas masalahku.
Ini termasuk memahami?” tanya Ling Xiao, heran.
“Aku tahu hidupmu sulit, aku masih perlu
memahaminya?” balas
Mingyue, tidak mengerti.
“Tahu hidupku sulit, tak ingin lebih memahami?” tanya Ling
Xiao. Dan Mingyue tidak bisa menjawab, karena tidak tahu harus menjawab apa.
Ling Xiao
kemudian menyimpulkan masalah Mingyue. Menurutnya, Mingyue mungkin tidak
terlalu menyukainya. Saat Mingyue mengetahui perasaannya kepada Jian Jian,
Mingyue merasa marah karena ada terlalu banyak kesalah pahaman dan Mingye jadi
merasa malu sendiri.
Mendengar
itu, Mingyue diam dan berpikir.
Malam hari.
Tang Can menanyai, apa kesimpulan dari pembicaraan Mingyue dengan Ling Xiao.
Dan Mingyue menjawab bahwa semuanya hanya salah paham saja. Jadi dia dan Ling
Xiao tetap terus menjadi teman.
“Kau orang yang begitu mudah menyerah,” komentar
Tang Can dengan ketus. “Diam-diam menyukainya sembilan tahun. Nona,
kau baik-baik saja? Sebenarnya, apa yang kau suka dari Ling Xiao?” tanyanya,
heran.
“Sebenarnya dalam perjalanan pulang, aku terus
memikirkan hal ini,” balas Mingyue, menjelaskan. “Dibandingkan
menyukainya, aku mungkin lebih suka diam-diam menyukainya. Diam-diam menyukai
bisa dilakukan dan dikuasai satu orang. Tak perlu berkorban, dan tak perlu
memilih. Dan setiap kali aku memikirkannya, aku sangat senang dan terhibur,” jelasnya
dengan senang.
“Aku sungguh tak mengerti,” balas Tang
Can, heran.
Tang Can
kemudian menghela nafas frustasi. Menurutnya mereka berdua ini begitu sial,
tidak seperti Jian Jian. Karena Mingyue gagal dalam hubungan cinta dan hanya
pekerja kontrak saja. Dan dirinya sendiri, gagal dalam karir dan pengangguran.
Sedangkan Jian Jian sudah menjadi seniman hebat, bahkan karya nya sudah terjual
sampai ke luar negeri. Kelak mereka berdua tidak akan sepadan lagi dengan Jian Jian.
“Jangan berkata begitu,” komentar
Mingyue.
Tepat disaat
Tang Can mengatakan itu, Jian Jian pulang dan mendengar itu semua. Lalu dengan
kesal, dia menutup pintu dengan keras dan pergi.
Mendengar
itu, Tang Can dan Mingyue merasa sama- sama kaget serta terdiam.
Jian Jian
pergi ke café dan memakan
satu kue besar sendirian sambil puas. Melihat itu dari jauh, Ling Xiao
tersenyum geli. Kemudian ketika Jian Jian hampir selesai, dia mendekatinya.
“Kenapa kau
tahu aku di sini?” tanya Jian Jian, heran.
“Awalnya,
aku ingin berputar kemari untuk beli sebuah kue dan bawa pulang untukmu,” jawab
Ling Xiao, menjelaskan.
“Begitu,”
gumam Jian Jian, malu- malu. “Aku sudah selesai makan, kau mau makan?”
tanyanya, menawarkan kue nya. Dan Ling Xiao mengiyakan. “Kuambilkan sendok,”
katanya. Tapi Ling Xiao tidak menunggu dan langsung memakan kue menggunakan
sendok Jian Jian.
Melihat itu,
Jian Jian merasa gugup, karena itu seperti ciuman tidak langsung. Dan Ling Xiao
tersenyum geli melihat reaksi lucu Jian Jian tersebut.
Ling Xiao
kemudian menceritakan kepada Jian Jian bahwa siang ini dia mentraktir Mingyue
makan, dan dia sudah meminta maaf serta menjelaskan semuanya kepada Mingyue.
Mendengar itu, Jian Jian menundukkan kepalanya dan bersikap suram.
“Kenapa?”
tanya Ling Xiao, bingung.
“Kami
berteman begitu lama, aku tak sangka Tang Can akan iri,” kata Jian Jian,
menceritakan tentang masalahnya. “Studio kerja kami baru tahun ini mulai
mendapat uang. Dan setiap hari disiksa klien, sebuah karya terus-menerus
diperbaiki. Dia gila bila iri padaku,” keluhnya dengan kesal.
“Sudahlah,
jangan bersedih,” hibur Ling Xiao. “Mungkin dia sendiri tidak lancar, jadi
bicaranya tidak enak didengar,” katanya sambil memegang kedua tangan Jian Jian
dengan erat.
Dengan malu
dan gugup, Jian Jian menarik tangannya. Lalu dia menceritakan bahwa dia hanya
ingin semuanya hidup dengan baik serta negara ini sejahtera. Dan Ling Xiao
membalas bahwa keinginannya lebih sederhana, dia berharap keluarga nya hidup
bahagia dan tidak sakit. Juga dia ingin menikahi seseorang dan melahirkan dua
anak.
“Siapa yang
mau melahirkan dua anak?” balas Jian Jian sambil tersenyum malu- malu.
“Jadi mau
berapa?” tanya Ling Xiao sambil tersenyum.
“Aku ingin…”
kata Jian Jian, berpikir. Lalu kemudian dia tersadar dan ingin memukul Ling Xiao.
Tapi Ling Xiao langsung menghindarinya sambil tertawa.
Zhou Miao
izin bekerja, karena komunitasnya sedang ada kegiatan pagi ini, dan siangnya
dia janji makan bersama dengan wartawan mingguan pagi. Mengetahui itu, Jian
Jian mengeluh kesal, kenapa dia tidak tahu kalau komunitas kampu ada begitu
banyak kegiatan.
“Jangan
terlalu manjakan dia, biar dia kerjakan tugasnya sendiri,” kata Jian Jian,
menasehati Du Juan.
“Lagi pula
aku juga tak sibuk, aku hanya tak tega dia kelelahan. Kau anggap demi aku
berlapang dadalah,” pinta Du Juan, dengan sikap manja.
“Masih tak
cukup lapang dada? Jika bukan karena kamu, sudah aku usir dia,” bentak Jian
Jian, kesal.
“Sudahlah,
istirahatlah,” kata Du Juan, menenangkan Jian Jian.
Demi Du Juan
yang terus membujuknya, maka Jian Jian pun bersedia menerima wawancara. Dia
melakukan wawancara di café Ziqiu.
Melihat itu,
para karyawan mulai bergosip sedikit. Café mereka ini setiap harinya hanya
mendapatkan pendapatan sedikit saja, jika bukan karena Ziqiu kaya, maka mungkin
café ini sudah bangkrut. Dan setahu mereka, alasan Ziqiu membuka café ini
adalah untuk Jian Jian. Jadi karena itulah mereka merasa kagum dan iri kepada
Jian Jian, karena Jian Jian punya karir yang bagus dan kakak yang kaya.
Ketika Ziqiu
datang dari dapur, para karyawan berhenti bergosip.
Ziqiu
memperhatikan kue- kue di etalase yang masih banyak belum terjual, dan dia
merasa heran, kenapa ada banyak yang belum terjual.
Setelah
Ziqiu masuk ke dapur, para karyawan mulai bergosip lagi. Menurut mereka, kue di
café mereka ini terlalu mahal, jadi anak kecil saja tidak akan sanggup untuk
membeli nya.
Setelah
selesai wawancara. Jian Jian dan Ziqiu mengobrol bersama. Jian Jian
mengomentari bahwa café Ziqiu ini tampak sepi. Dan dia menanyai, apakah Ziqiu
punya cara untuk mengatasi ini.
“Ayah
mengenalkan temannya padaku, Bibi yang bermarga Luo. Kudengar khusus mengajari
grup kafe dalam persiapan dan pelatihan karyawan. Besok aku ajak dia datang,
untuk belajar darinya,” jelas Ziqiu.
“Bibi Luo?
Aku tak pernah dengar,” kata Jian Jian, heran.
“Aku juga
tak pernah,” balas Ziqiu.
Jian Jian
menasehati Ziqiu bahwa Ziqiu harus mengolah café ini dengan baik. Walaupun uang
dari Huaguang sangat banyak, tapi akan rugi juga bila disayangkan. Dan dengan
tidak senang, Ziqiu menyuruh Jian Jian untuk jangan membahas tentang Huaguang
lagi.
“Baiklah,”
kata Jian Jian, mengerti. “Kafe ini juga hasil kerja kerasmu. Olahlah dengan
baik. Lebih banyak pikirkan kafe, bukan wanita.”
“Kenapa jadi
pikirkan wanita?” tanya Ziqiu, heran.
Dengan
serius, Jian Jian menjelaskan bahwa didalam hatinya dia sudah menganggap Ziqiu
sebagai kakak kandung nya. Jadi dia tidak bisa menikah dengan Ziqiu. Juga dia
tahu bahwa sebenarnya Ziqiu hanya ingin menjaga dirinya saja, tapi dia sudah
besar, dia bukan anak kecil lagi, jadi dia sudah bisa menjaga dirinya sendiri
dan bahkan dia menjaga Ziqiu serta Ling Xiao. Dan walaupun mereka tidak bisa
berada didalam satu akta didalam hukum, tapi didalam hatinya, Ziqiu selalu satu
keluarga baginya.
“Akta
keluarga di hatimu berbentuk seperti apa?” tanya Ziqiu dengan ragu sambil
menatap Jian Jian yang tersenyum dan memegang tangannya dengan lembut.
“Kepala
keluarga Li Haichao, anggota keluarga Sun Huiying, hubungan suami-istri.
Almarhum. He Ziqiu, putra pertama. Li Jian Jian, putri pertama,” jawab Jian
Jian, menjelaskan dengan detail.
“Jadi Ling
Xiao?” tanya Ziqiu, ragu.
“Ini aktaku,
dia ada di buku yang lain. Kepala keluarga, Li Heping. Putra pertama, Ling
Xiao,” jawab Jian Jian dengan serius.
Mendengar
itu, Ziqiu merasa terharu. Dan dengan tulus sambil memegang kedua tangan Ziqiu
dengan erat, Jian Jian menegaskan bahwa mereka berdua selalu adalah satu
keluarga dan berada didalam satu akta yang sama.
Malam hari.
Tang Can membuat rekaman untuk mengikuti audisi supaya bisa mendapatkan peran.
Tapi karena saking gugupnya, dia tidak bisa melakukan perannya dengan baik dan
harus terus mengulang- ulang.
Disaat itu,
Mingyue dan Jian Jian datang ke kamar nya. “Li Jian Jian beli mie dingin,”kata
Mingyue dengan gugup.
Saat makan,
Jian Jian dan Tang Can saling diam. Melihat itu, Mingyue pun berbicara untuk
membantu mereka berdua supaya bisa berbaikan. Dan dibawah meja dia menendang-
nendang kaki Jian Jian sebagai kode untuk berbicara juga.
“Can, kau
bilang ingin menyerah jadi aktris, 'kan? Kau bilang, karena yang mencarimu itu
adalah pemain tambahan saja. Jadi kau ingin menyerah. Apa yang kau pikirkan?”
tanya Mingyue dengan hati- hati.
“Ceritakanlah,”
kata Jian Jian, singkat.
“Benar,
ceritakanlah. Kita diskusikan, dan mendukungmu,” pinta Mingyue, membujuk Tang
Can.
Tang Can pun
berhenti makan dan bercerita. Dia terus mengikuti berbagai audisi, tapi selalu
gagal. Dia tahu kalau mereka berdua sangat mendukung nya, sejak dari SMA sampai
sekarang. Tapi …
Flash back
Saat SMA,
Tang Can mulai sering gagal dalam audisi. Dan orang- orang yang dulu dekat
dengannya serta berteman dengannya mulai menjauhi nya serta membicarakan dan
mengejek dirinya. Sehingga diapun menjadi penyendiri.
Disaat itu,
orang yang datang dan menolongnya secara diam- diam adalah Mingyue dan Jian Jian.
Dan dia mengetahui itu.
Direstoran.
Jam makan siang. Ibu Tang menghibur Tang Can untuk jangan terlalu memikirkan
perkataan orang. Lalu dia memberitahu bahwa kemarin orang dari perusahaan
Beijing menelponnya, mereka bilang Tang Can sangat berbakat dan mereka ingin
mengontrak Tang Can. Mengetahui itu, Tang Can merasa sangat bersemangat.
“Bagaimana
pembahasan kalian?” tanya Tang Can, ingin tahu.
“Ini,
kami… hanya garis besarnya, tak banyak
bicara juga,” balas Ibu Tang. “Intinya aku merasa agensi hiburan itu tak
membantu kita. Butuh manajer, Ibu jadi manajermu saja. Juga tetap bisa syuting
film, 'kan? Kau tak tahu, mereka sangat licik. Ingin ambil sebagian besar uang.
Bilang kau orang baru, awalnya ingin 30% dan 70%. Pada akhirnya, masing-masing
50%. Ya ampun, satu drama kita hanya dapat puluhan ribu. Semua untuk mereka,
termasuk hal bagus apa?” jelas Ibu Tang, menjelek- jelekkan perusahaan agensi.
“Bukan, Ibu.
Agensi hiburan akan membantu mempromosikan,” balas Tang Can, protes.
“Semuanya
menipu. Ibu akan mempromosikanmu. Lihat hasil dari promosi kita ini. Teman dan
saudara mengenalmu. Dan juga kemarin telepon dari wartawan untuk
masuk koran,” balas Ibu Tang dengan bangga.
“Itu
berbeda,” protes Tang Can.
“Apa yang
berbeda? Kau ini masih kecil, tak mengerti apa pun,” balas Ibu Tang, tidak mau
mendengarkan protes Tang Can.
Mendengar
itu, Tang Can merasa frustasi. Dan ketika Ibu Tang mulai membahas bahwa alasan
mereka gagal audisi, itu adalah karena peforma Tang Can kurang bagus. Tang Can semakin
merasa frustasi, stress, dan sedih.
Disaat Tang
Can merasa sedih, Mingyue dan Jian Jian mendekatinya serta berteman dengannya.
Dan itu membuatnya merasa sangat
bahagia.
Flash back
end
“Di saat aku
paling memalukan, kalian menerimaku dan mendukungku. Aku sungguh sangat
terharu. Tetapi kemudian, aku sangat takut pada dukungan kalian. Apa kalian
tahu?” jelas Tang Can, bertanya. “Setiap kali aku gagal, dan saat kalian
menyemangatiku, seperti apa perasaanku? Tatapan menghibur membuatku merasa aku
sangat tidak berguna. Aku merasa tak ada tempat, seperti hal konyol, selalu
gagal,” jelasnya dengan sedih.
“Jika kami
tak bertanya, kau akan merasa senang?” balas Jian Jian.
“Orang yang sukses, meski diludahi orang, itu juga pujian dari iri hati. Orang yang gagal, menghadapi tepuk tangan, tetap sebuah tamparan. Semakin kalian menyemangatiku, aku semakin merasa diriku sendiri bukan terlahir untuk itu,” kata Tang Can, menceritakan perasaan nya dengan penuh emosi.
💞💞💞💞
ReplyDelete