Original Network : Hunan Tv, iQiyi, Mango TV
Li Haichao tidak
percaya bahwa Jian Jian bisa tidak bersemangat lagi. Tapi karena Jian Jian
telah mengatakan itu, maka diapun menuruti nya.
“Apa ini perusahaan minyak? Aku Direktur Li,
Li Haichao. Aku ingin minta bantuan kalian. Sumber tenaga di putriku ini sudah
habis, kalian tolong isikan lagi. Bisa isi berapa? Lima truk? Kurang. Paling
tidak 50 truk. Kapan bisa terkirim? Baik, besok pagi. Terima kasih,” kata Li
Haichao, membuat candaan lucu untuk menyemangati Jian Jian.
Mendengar
itu, Jian Jian tertawa senang. Lalu dia meminta maaf. Dia merasa karena dirinya
lah, makanya Li Haichao tidak menikah lagi. Dan Li Haichao menjawab bahwa
sejujurnya dia memang tidak ingin menikah lagi. Bahkan beberapa tahun ini dia
dan Ling Heping telah berdiskusi, kelak jika mereka sudah tua, mereka akan
sama- sama pensiun ke panti jompo.
“Kelak aku
mau tinggal bersama Ayah, melayani Ayah,” kata Jian Jian, bersikap berbakti
sebagai seorang anak.
“Siapa yang
melayani siapa belum tentu,” balas Li Haichao sambil menepuk- nepuk bahunya
yang kelelahan. “Coba pikirkan. Kau yang begini, melahirkan anak, lebih nakal
darimu,
aku yang melayani atau tidak?” candanya.
“Lebih baik ke panti jompo, untuk menikmati
hidup saja.”
“Benar
juga,” kata Jian Jian sambil tertawa cekikan.
“Baiklah.
Asal bicara begitu lama. Cepat tidur.
Aku tutup dulu,” kata Li Haichao, mengingatkan.
“Tunggu, ada
satu hal,” kata Jian Jian. “Ayah, aku mencintaimu, selamat malam,” katanya.
Lalu dia langsung mematikan telpon.
Mendengar
kata- kata itu, Li Haichao merasa sangat senang.
Keesokan
harinya. Jian Jian datang ke tempat kerja Ling Xiao dan menunggu nya sambil
selesai kerja. Lalu dia mengajak Ling Xiao untuk makan siang bersama.
Saat makan
siang, Ling Xiao merasa sedikit curiga kepada Jian Jian. Karena Jian Jian tiba-
tiba bersikap begitu perhatian kepadanya. Dia merasa Jian Jian bersikap seperti
ini, karena ada yang ingin Jian Jian katakan padanya. Dan Jian Jian menyangkal.
“Kelak asalkan aku senggang, aku datang temani
kau makan. Nanti sore, aku usahakan cepat selesai kerja, menjemputmu pulang,” kata Jian
Jian, menjelaskan niat tulusnya.
Saat sudah
selesai makan siang, Ling Xiao menanyai, kenapa Jian Jian tiba- tiba bersikap
seperti ini. Dan Jian Jian menjawab dengan jujur bahwa dia sedang mengasihani
Ling Xiao. Ketika Ling Xiao sedang sendirian, Ling Xiao pasti akan melamun dan
berpikir sembarangan. Jadi dia seperti ini, karena dia tidak ingin Ling Xiao
berpikir terlalu banyak. Dan dia akan mengasihani Ling Xiao sampai Ling Xiao
merasa tidak perlu dikasihani lagi.
“Kau masih marah?” tanya Ling
Xiao sambil tersenyum.
“Tidak.”
“Kemarin kau menangis,” kata Ling
Xiao, mengingatkan.
“Tidak!” bentak Jian Jian, kesal.
“Baik, tak menangis. Anjing kecil buang air,” canda Ling
Xiao sambil tertawa. Dan dengan
kesal, Jian Jian memukul Ling Xiao.
Ling Xiao
kemudian memberitahu Jian Jian untuk tidak perlu menjemputnya malam ini. Karena
dia ada janjian dengan Ling Heping untuk ke dokter malam ini. Dan Jian Jian
mengiyakan. Lalu diapun pamit.
Saat sudah
jalan beberapa langkah, Jian Jian berhenti dan berjalan kembali ke arah Ling
Xiao. “Kenapa
begitu tinggi?” tanyanya. Lalu dia menarik kerah Ling Xiao dan mencium
bibirnya.
Setelah itu,
Jian Jian langsung berlari pergi sambil tertawa. Awalnya Ling Xiao merasa agak
terkejut, tapi kemudian dia ikut tertawa juga.
Saat jam
pulang kerja. Ling Heping datang menjemput Ling Xiao dan memberitahu bahwa dia
sudah ada janjian dengan Dokter kenalan nya. Dan dengan perhatian, Ling Xiao
menanyai, Ling Heping merasa sakit dimana. Jika terlalu sakit, dia menyarankan
supaya lebih baik mereka pergi ke rumah sakit saja. Tapi Ling Heping menolak,
dengan alasan bahwa bulan lalu dia baru saja melakukan pemeriksaan di kantor,
hanya saja belakangan ini tidak tahu kenapa seluruh tubuhnya terasa kurang
nyaman. Jadi dia ingin mencoba ke dokter tradisional untuk diperiksa.
Mendengar alasan itu, Ling Xiao pun mengerti
dan menerima.
Diruang
praktek. Setelah Ling Heping selesai diperiksa, dia menyuruh Ling Xiao untuk
diperiksa sekalian saja. Dan Ling Xiao menolak. Tapi Ling Heping memaksa, jadi
Ling Xiao pun terpaksa menurut.
Dengan
serius, Dokter memeriksa denyut nadi Ling Xiao. Lalu dia mulai bertanya –tanya. “Kau sulit
tertidur? Sering terbangun dan sering bermimpi?” tanyanya. Dan Ling Xiao, mengiyakan. “Berapa jam
kau tidur?”
“Tidak pasti. Kadang empat lima jam, kadang
lima enam jam,” jawab Ling
Xiao dengan serius.
“Limpamu tak baik, livermu juga tersendat,” kata
Dokter, menjelaskan. “Pikiran berefek pada limpa, emosi berefek
pada liver. Jadi hasilnya, karena tekanan emosi yang lama, juga tak bisa
melepaskan tekanan,” jelasnya kepada Ling Heping. “Tekanan
pekerjaan besar, ya?”
“Lumayan,” jawab Ling Xiao, singkat.
Dokter
kemudian menuliskan resep obat untuk Ling Xiao. Dan dia menyarankan Ling Heping
untuk lebih baik membawa Ling Xiao menemui psikiater.
“Kau bilang apa? Anakku tak sakit, hanya susah
tidur, kenapa ke psikiater?” protes Ling Heping, tidak setuju.
“Susah tidur dengan tekanan emosi ada hubungan
erat. Dan kau lebih baik periksa otak besarnya,” jelas Dokter.
“Phui! Phui! Phui!” kata Ling Heping, membuang kata- kata sial. “Anakku tidak
sakit. Omong kosong.”
“Kau menelepon minta aku periksa anakmu,” balas
Dokter.
Mendengar
itu, Ling Xiao menatap ke arah Ling Heping. Dan dengan gugup, Ling Heping
tertawa serta menyangkal.
Setelah
selesai menuliskan resep, Dokter menyuruh Ling Xiao untuk pergi mengambil obat
terlebih dahulu. Dan Ling Xiao menurut.
Namun
setelah keluar dari ruangan, Ling Xiao tidak pergi untuk mengambil obat.
Malahan dia berdiri didepan pintu dan mendengarkan pembicaraan mereka berdua
yang berada di dalam ruangan.
Ling Heping
menceritakan ke khawatirannya kepada Dokter. Kalau Ling Xiao pergi ke
psikiater, dan hal ini tersebar, maka itu akan menjadi buruk. Dia sebenarnya
tidak masalah, tapi dia khawatir Ling Xiao yang akan bermasalah. Karena jika
suatu hari Ling Xiao punya pasangan, dan pasangan nya tahu kalau Ling Xiao
pernah pergi ke psikiater, pasangan nya pasti berpikiran kalau Ling Xiao gila.
Dia berbicara seperti ini, karena selama dia kerja di kantor polisi. dia sudah
pernah melihat banyak hal seperti ini. Jadi intinya, dia menegaskan bahwa Ling
Xiao tidak sakit.
“Baik, tidak sakit,” kata
Dokter, mengerti. “Makan obat,
kita lihat saja dulu,” jelasnya.
“Lao Zhao, beri aku kepastian. Kapan bisa
sembuh?” tanya Ling
Heping, khawatir.
“Tak ada kepastian. Aku dokter, bukan peramal
nasib,” balas
Dokter dengan serius. “Kulihat anakmu depresi, dia punya banyak
masalah, ini masalah hati,” jelasnya.
“Masalah hati? Kau tadi bilang kau bukan
peramal,” keluh Ling
Heping.
Setelah
cukup mendengarkan, Ling Xiao pun pergi untuk mengambil obat.
Jian Jian
menunggu sampai Ziqiu pulang. Dan ketika dia mendengar suara pintu seberang
dibuka, dia langsung berlari keluar sambil membawa kantong sampah yang telah
disiapkannya.
“Hei. Kebetulan, kak,” sapa Jian
Jian. “Aku mau
buang sampah,” jelasnya,
beralasan dengan gugup.
“Kau taruh di depan pintu, besok pagi aku
buang. Cepat tidur, selamat malam,” balas Ziqiu. Lalu
dia ingin masuk ke dalam apatermen.
Jian Jian
menarik tas Ziqiu dan menahannya untuk jangan masuk dulu. Lalu dia mencium
sesuatu yang aneh dari tubuh Ziqiu, dan dia menebak bahwa Ziqiu pasti ada jatuh
di tong sampah. Karena tubuh Ziqiu bau sekali. Dan Ziqiu mengiyakan dengan sikap
acuh.
“Oh iya. Hari ini aku dapat uang, aku
pinjamkan,” kata Jian
Jian sambil memberikan kartu atm
nya.
“Untuk apa aku ambil uangmu?” tanya
Ziqiu, merasa egonya terluka.
“Bayar dulu kartu kreditmu,” jawab Jian
Jian sambil menaruh kartu itu
ke tangan Ziqiu langsung.
Ziqiu
berniat mengembalikan kartu itu, tapi Jian Jian tidak mau menerima nya. Dengan
malas, Ziqiu mendorong Jian Jian untuk pulang. Lalu dia menahan pegangan pintu
sehingga Jian Jian tidak bisa keluar.
“Kuberi tahu, kau hutang pada bank, lebih baik
hutang padaku. Kak!” kata Jian Jian,
menjelaskan dengan perhatian.
“Jangan kasihani aku, bisa tidak? Aku mohon.
Aku paling benci dan tak perlu dikasihani,” pinta Ziqiu.
Mendengar
itu, Jian Jian terdiam.
Saat Ling
Heping mengantarkannya pulang, Ling Xiao mengucapkan terima kasih. Terima kasih
karena Ling Heping membawanya ke Dokter. Lalu dia pamit.
“Hei,” kata Ling
Heping, menghentikan Ling Xiao yang ingin pergi. “Mulai sekarang, jika kau ada masalah, jika
kau tak ingin beri tahu aku, kau beri tahu saja Ayah Li. Beri tahu Jianjian
atau Ziqiu juga boleh. Pokoknya… ada masalah jangan dipendam, harus katakan,” katanya,
menyarankan.
“Itu saran Dokter Lao Zhao?” tanya Ling
Xiao.
“Lao Zhao bilang padaku, kau jangan begadang,
tak baik untuk tubuh,” balas Ling Heping. Dan Ling Xiao mengiyakan. Lalu diapun pergi.
“Ayah, hati-hati,” kata Ling
Xiao, perhatian.
Menerima
perhatian dari Ling Heping, Ling Xiao merasa senang dan tersenyum kecil.
Bibi Qian
terus mencoba untuk menjodohkan Li Haichao dengan wanita pilihan nya, Zhang
Hongying. Tapi karena Li Haichao tidak ada merespon sedikit pun, dia mengira Li
Haichao masih memiliki perasaan untuk He Mei. Jadi diapun sedikit menjelek-
jelekkan He Mei.
“Aku dengar dari Bibi Qian, Jianjian sangat
pengertian. Kapan dia pulang?” tanya Hongying, perhatian.
“Seminggu pulang sekali atau dua kali,” jawab Li
Haichao sambil tersenyum dengan canggung.
“Lain kali, bawa anakmu kemari. Biar mereka
bisa bertemu, saling mengenal,” kata Bibi Qian, menyarankan.
“Tidak. Tidak baik. Meminta anak guru Zhang
datang, dia tak senang,” kata Li Haichao, menolak dengan halus.
“Kenapa anakku bisa tidak senang? Keluarga
kami demokratis, dua anakku sangat menghormatiku. Oh iya, anak ku ingin punya
adik perempuan, dia pasti menyukai Jian Jian,” balas Hongying dengan sikap ramah.
Ketika
karyawan Li sudah kembali dari kamar mandi, Li Haichao langsung menyuruhnya
untuk menlanjutkan nya bermain mahjong. Karena dia harus pergi untuk menyiapkan
sayuran.
“Dia malu dan juga tak inisiatif. Jika dia
bermuka tebal, sepuluh wanita sudah dinikahi,” komentar Bibi Qian.
“Tak masalah, Bibi Qian. Aku kejar dia,” kata
Hongying, bersemangat.
“Guru Zhang, semangat,” kata
karyawan Li, menyemangati.
Setelah Bibi
Qian selesai bermain mahjong dan Hongying sudah pergi, Li Haichao meminta Bibi
Qian untuk membantunya menolak Hongying.
Dia merasa tidak nyaman bila anak dari kedua pihak harus bertemu, kepadahal dia
dan Hongying tidak ada apa- apa. Juga dia tidak mau menikah lagi.
“Li Jianjian yang bilang. Dia bilang dua
keluarga saling bertemu, berbincang, melihat sifat satu sama lain,” kata teman
Qian. Dan Li Haichao merasa terkejut, karena tidak menyangka.
“Yang minta kami kenalkan pacar untukmu adalah
Li Jian Jian kamu,” kata Bibi
Qian, memberitahu. Dan Li Haichao semakin terkejut.
Flash back
Jian Jian
meminta Bibi Qian untuk mencarikan jodoh untuk Ayahnya. Karena Ayahnya sudah
berumur 50 tahun dan memerlukan pasangan hidup. Jika kondisi pasangannya rumit,
maka jangan jodohkan ke Ayahnya. Jika pasangan nya sudah punya anak, maka dia
mau bertemu dengan anak nya terlebih dahulu.
“Benar, ini pertimbangan bagus,” kata teman
Qian dan Bibi Qian, setuju.
“Ada Guru Zhang, dia sangat memenuhi
persyaratanmu. Dia berpengetahuan, ada dua anak, tetapi sudah dewasa. Dua hari
lalu aku bawa dia ke toko mie, pernah bicara dengan ayahmu, sepertinya ayahmu
tidak tertarik,” kata Bibi
Qian, mengadu.
“Penampilannya?” tanya Jian Jian.
“Sangat berkualitas. Dan aku merasa, dia
sangat suka pada ayahmu,”jawab Bibi Qian, menjelaskan.
“Itu bagus sekali. Aku beri tahu, ayahku lebih
lambat dekat, dan lebih serius. Temui dia beberapa kali, pasti akan berhasil.
Nanti aku juga ikut, minta anaknya untuk bertemu,” kata Jian Jian, setuju.
Setelah
membicarakan itu, Jian Jian berlari ke arah Ziqiu yang sudah menunggu nya di
ayunan. Dan lalu mereka pulang bersama.
Flash back
end
Li Haichao
agak tidak menyangka kalau ternyata Jian Jian yang ingin mencarikan jodoh
untuknya. Dan mengetahui itu, diapun diam serta berpikir.
Jian Jian
dan Ling Xiao menonton film bersama didalam kamar sambil memakan semangka dan
berbaring dengan nyaman di atas tempat tidur.
Lalu setelah
itu, Ling Xiao menceritakan tentang pengalamannya saat dia tinggal di
Singapura. Dan Jian Jian mendengarkan dengan baik.
Flash back
Dari awal… Ibuku seperti tanaman di dalam pot. Aku tak bisa bayangkan, bagaimana
bisa biarkan tanaman keluar dari potnya?
Dokter
mengajarkan Ling Xiao caranya memijat kaki Chen Ting. Itu untuk mencegah supaya
otot kaki Chen Ting tidak rusak. Sebab Chen Ting belum bisa berjalan untuk
sementara.
Dia juga tidak yakin, kami juga tak
yakin. Tetapi selain percaya, aku tak ada cara lain.
Ling Xiao
memijat Chen Ting dengan serius. Namun Chen Ting tidak merasa senang sama
sekali, malahan dia merasa sedih, karena dia sama sekali tidak tahu kapan
kakinya bisa pulih.
Saat dia makan, kebanyakan cairan, mudah
dicerna.
Ling Xiao
juga menyuapi Chen Ting saat makan.
Xiao Chengzi tak mau ikut nenek. Aku juga
harus menjaganya. Tetapi untung ada dia, jadi kamar pasien tidak sepi.
Meiyang
sering menceritakan berbagai hal menarik, dan itu membuat hari- hari Ling Xiao
menjadi tidak terasa terlalu kosong.
Pasien yang lumpuh di ranjang paling
malu, dan paling direndahkan adalah saat tak bisa menahan buang air.
Melihat
kedekatan antara Ling Xiao dan Meiyang, Chen Ting merasa senang. Namun ketika
tiba- tiba dia tidak sengaja buang air, dan Meiyang mengatakan bahwa itu bau,
Chen Ting menjadi merasa murung.
“Chengzi panggilkan suster,” perintah
Ling Xiao. Dan Meiyang pun langsung pergi untuk memanggilkan suster.
Saat Ling
Xiao ingin membantu nya, Chen Ting merasa sangat emosional. “Keluar. Kamu
keluar! Tak mengerti? Kamu keluar!” perintahnya sambil memukul- mukul Ling Xiao
yang masih tetap ingin membantunya.
Mulai saat itu aku baru bisa sedikit
memahaminya. Seberapa menderitanya dia. Betapa baiknya jika dia mati dalam
kecelakaan. Hidup begini… apa artinya?
Malam hari.
Saat Ling Xiao datang untuk menjaga Chen Ting seperti biasa, suster menemukan
Chen Ting memotong nadinya sendiri didalam kamar mandi. Dan Ling Xiao pun
merasa sangat panik.
Aku terus berpikir, hidup… Hidup menderita, apa artinya? Di hati setiap orang pasti ada monster.
Jika tak berhati-hati, monster itu akan keluar, dan melukai orang.
Chen Ting
sudah merasakan semangat untuk hidup. Walaupun Ling Xiao tetap perhatian
padanya. Tapi dia tidak bisa menghargai itu.
“Aku ingin pulang,” kata Chen
Ting. Lalu dia mendorong piring yang Ling Xiao pegang. “Aku tak mau
dikurung seperti hewan!” teriaknya. “Aku mohon,” pintanya dengan perasaan frutasi.
Mendengar
itu, Ling Xiao hanya diam. Dia berjongkok dan membersihkan makanan yang Chen
Ting tumpahkan.
“Jangan bersihkan! Aku mohon biarkan aku
pergi! Biarkan aku pergi!” teriak Chen Ting sambil menangis keras.
Orang yang berdiri di tepi kegelapan,
juga mudah… dibawa masuk ke malam yang panjang. Seakan malam ini… selamanya tak akan berakhir. Kau hanya bisa bersabar melewati hidup
ini.
Akhirnya,
Ling Xiao dan Meiyang pun membawa Chen Ting pulang dari rumah sakit.
Namun setiap malam, Ling Xiao sama sekali
tidak bisa tidur dengan tenang. Karena setiap malam, Chen Ting pasti akan
mencoba untuk melukai diri sendiri. Jadi dia harus terjaga dan menjaga nya.
Melihat itu,
Meiyang juga merasa syok dan tidak tenang.
Suatu hari,
Ling Xiao membuatkan bubur untuk Chen Ting. Dan Chen Ting menolak dengan keras
serta memukul panci panas yang Ling Xiao letakkan diatas meja. Dan kemudian
panci tersebut pun jatuh serta tidak sengaja mengenai bahu Ling Xiao yang sedang
berjongkok di sebelah Chen Ting.
“Maaf!” kata
Chen Ting, merasa terkejut sendiri. “Aku tidak sengaja. Maaf! Maaf!” pintanya
sambil menangis.
Malam hari.
Meiyang dengan perhatian memberikan obat kepada Ling Xiao. Lalu dia menawarkan
diri untuk menggantikan Ling Xiao memijat kaki Chen Ting.
“Kau tidak
kuat,” tolak Ling Xiao sambil terus memijat kaki Chen Ting.
Tengah
malam. Chen Ting akhirnya mau mencoba untuk berdiri lagi dan dia bersedia
mengikuti program pemulihan di rumah sakit besoknya.
Saat itu, aku kira langit akhirnya bisa
terang kembali.
Flash back
end
Selesai
menceritakan kisahnya, Ling Xiao tertidur dibahu Jian Jian. Dan dengan
perhatian, Jian Jian menepuk- nepuk tangan Ling Xiao dengan lembut.
“Tidak
masalah. Kelak aku menyayangimu,” gumam Jian Jian. Lalu dia menatap hujan deras
yang turun diluar.
Direstoran.
He Mei kehilangan Dongdong saat mereka pergi untuk mengambil makanan. Dan He
Mei merasa khawatir.
Dengan
panik, He Mei kemudian mencari- cari Dondong. Dan akhirnya dia menemukan
Dongdong. Juga dia bertemu dengan Ziqiu yang ternyata sekarang bekerja
direstoran tersebut.
“Ziqiu?
Tokomu sudah tutup?” tanya He Mei, perhatian.
“Aku pergi kerja,” jawab Ziqiu, dengan singkat. Lalu diapun pergi menjauhi He Mei. Dan He Mei merasa sedih melihat itu.
Ketika Ziqiu
membuang sampah, dia bertemu dengan seekor anjing terlantar yang mendekatinya.
Dan karena merasa kasihan, diapun membawa anjing tersebut bersama nya.
Saat Jian
Jian pulang dari membeli es krim, dia tidak sengaja berpapasan dengan Ziqiu.
Dan diapun langsung memanggilnya. Tapi Ziqiu malah berjalan cepat untuk
menghindarinya. Jadi diapun juga ikut berjalan cepat untuk mengejar nya. Tapi
tanpa sengaja sandal jepitnya malah putus, dan dia hampir saja terjatuh.
Melihat itu,
Ziqiu dan anjing nya mendekati Jian Jian. Dan si anjing memakan es krim yang
Jian Jian pegang.
Jian Jian
membantu Ziqiu memandikan si anjing. Ziqiu memberitahu bahwa anjing ini dia
temukan di dekat tong sampah.
“Kau pungut
begitu saja?” tanya Jian Jian, ingin tahu.
“Sama
sepertiku, tak ada yang mau. Sangat kasihan,” jawab Ziqiu.
“Oh. Sini
kulihat. Mirip sekali. Mata dan hidung ini, menggemaskan sepertimu,” canda Jian
Jian sambil tertawa.
“Kau belajar
dari siapa? Seperti pria hidung belang,” balas Ziqiu, tidak tertawa sama
sekali.
“Apanya? Aku
sedang menghiburmu,” jelas Jian Jian.
“Kau begitu
harus aku merasa senang,” kata Ziqiu dengan ketus.
“Beberapa
hari ini kau ke mana? Begitu malam baru pulang,” tanya Jian Jian, mengubah
topik.
“Tidak ada,”
jawab Ziqiu, tidak mau memberitahu.
“Badanmu bau
sampah,” komentar Jian Jian.
“Kau yang
bau sampah,” balas Ziqiu, kesal.
Jian Jian
kemudian diam. Karena dia merasa, semakin dia berbicara, Ziqiu semakin tidak
senang. Dan Ziqiu menyuruh Jian Jian untuk terus bicara, karena jika Jian Jian
diam, dia merasa tidak terbiasa.
“Kau mau sampai kapan seperti ini padaku?” tanya Jian Jian, langsung.