Original
Network : Hunan Tv, iQiyi, Mango TV
Jian Jian menanyai, sampai kapan Ziqiu akan mengabaikannya
seperti ini. Dan Ziqiu diam, tidak menjawab. Jian Jian kemudian mengomentari
bahwa Ziqiu ini selalu saja menghadapi semuanya sendirian. Bahkan Ziqiu lebih
memilih untuk meminjam uang dari bank, daripada memakai uangnya. Kepadahal mereka
ada keluarga. Jian Jian tidak ingin mereka menjadi seperti dulu, mereka hampir
saja putus hubungan hanya karena mereka saling tidak mengatakan isi hati
sesungguhnya.
“Aku juga tak bermaksud lain, hanya tak ingin
katakan hal yang tak menyenangkan, kalian jadi ikut tak senang,” jelas Ziqiu,
merasa sedikit bersalah.
“Aku mengkhawatirkanmu jadi tak senang. Kau
mengabaikanku, hatiku sakit sekali,” kata Jian Jian dengan sikap sedikit
berlebihan. “Sungguh. Hatiku ini seperti kaca, sangat mudah hancur. Aku sering
berpikir, kakakku seorang diri menderita, dia mengikat dirinya di tiang salib.
Hatiku mulai berdarah. Tiba-tiba merasa, hidup ini tak menarik,” jelasnya.
Mendengar
itu, Ziqiu memukul kepala Jian Jian dengan pelan supaya Jian Jian berhenti
berbicara asal- asalan. Dan dengan kesal, Jian Jian mengeluh.
“Kau pilih
Ling Xiao bukan aku, aku tak boleh bersedih?” tanya Ziqiu, menjelaskan
perasaannya. “Jika aku
baik-baik saja, bersenang-senang, bukankah itu gila?” tanyanya.
Dan Jian Jian langsung terdiam.
“Benar juga. Jadi kau ingin sedih berapa hari
lagi?” tanya Jian
Jian sambil tersenyum manis. Dan mendengar itu, Ziqiu tersenyum kecil serta
sengaja tidak mau menjawab.
Ziqiu lalu
menyalakan keran dan menyiram si anjing. Ketika terkena air, si anjing merasa
tidak nyaman dan ingin melarikan diri. Tepat disaat itu, Ling Xiao membuka
pintu kamar mandi dari luar. Dan si anjing pun langsung berlari kabur.
“Apa itu?” tanya Ling Xiao,
terkejut. Dan Jian Jian serta Ziqiu memberikan tatapan kesal padanya.
Direstoran
Li. Saat makan mie bersama, Jian Jian memberikan sepotong daging ke dalam
mangkuk Ling Xiao sambil tersenyum manis. Dan melihat itu, Ziqiu merasa
cemburu. Menyadari itu, Jian Jian pun langsung menaruh dua potong daging ke
dalam mangkuk Ziqiu sambil tersenyum manis juga.
“Kita buat perjanjian. Li Jian Jian ingat,” tegas
Ziqiu. “Pertama,
perlakukan dengan adil, jangan pilih kasih. Kedua, jika pacarmu dan kakakmu bertengkar, kau
harus memihak pada kakakmu. Ketiga, jika pacarmu jahat padamu, kakak pasti
memukulnya,” jelas nya
dengan sikap seperti seorang kakak.
Mendengar
itu, Ling Xiao ingin protes. Tapi Jian Jian menghentikannya supaya jangan
protes dan mengalah saja. Melihat itu, Ziqiu merasa puas.
Karyawan Li
kemudian datang dan memberitahu Jian Jian bahwa tampaknya Li Haichao tidak
menyukai Hongying.
Tepat disaat
itu, Li Haichao pulang bersama dengan Hongying. Dan Ling Xiao, Ziqiu, dan Jian
Jian, langsung menatap mereka berdua dengan penuh arti. Dan Li Haichao merasa
agak canggung. Lalu sebelum Li Haichao saling memperkenalkan mereka berempat,
Hongying sudah memperkenalkan dirinya sendiri duluan, lalu dia menanyai yang
mana Ziqiu dan Ling Xiao. Kemudian dia memuji Jian Jian.
“Guru Zhang, begini, kau ke dapur dulu
persiapkan bahannya. Yang tadi aku katakan di jalan. Aku mau bicara dengan
anak-anak,” kata Li
Haichao, mengusir Hongying dengan halus.
“Baiklah. Kalian bicaralah,” kata
Hongying dengan ramah.
Dengan
senang, Jian Jian menggoda Li Haichao karena pulang bersama dengan Hongying.
Dan Li Haichao menjelaskan bahwa mereka berdua bukan pulang bersama, tapi tadi
mereka hanya tidak sengaja bertemu di pasar.
“Kebetulan bertemu,” kata Jian
Jian dengan serius. “Mungkin kelak setiap hari akan kebetulan
bertemu,” godanya
sambil tertawa.
Ziqiu tidak
setuju bila Li Haichao menikah lagi, karena Hongying sudah punya dua anak. Jika
mereka berdua menikah, maka Jian Jian akan memiliki kakak baru. Tapi Jian Jian
sangat setuju bila Li Haichao menikah lagi. Dan Li Haichao merasa agak malu-
malu, sebab dia sudah tua, jadi dia tidak terlalu memikirkan lagi tentang cinta.
Lagian dia dan Heping masih bisa saling membantu dan melewati hari dengan baik,
dan itu sudah cukup baginya.
“Ayahku tak peduli banyak, hanya beri uang.
Ayah dibantu apa?” tanya Ling
Xiao.
“Ada uang pria sejati, tak ada uang pria breng…” jawab Li
Haichao, lalu dia berhenti dan tertawa malu- malu. “Tak ada uang
jadi susah. Anak muda jangan meremehkan uang, uang tetap sangat penting,” jelas nya,
menasehati.
“Ayah Li. Aku dan Ayahku berbeda. Jika karir
dan keluarga tak merata, aku jaga keluarga dulu,” kata Ling Xiao dengan serius.
Mendengar
itu, Ziqiu tersedak. Dan Jian Jian langsung menendang kakinya di bawah meja.
Tapi karena sama sekali tidak tahu, Li Haichao tidak menyadari itu.
“Sungguh bagus. Anak ini sungguh baik. Yang
menikah denganmu pasti sangat bahagia,” puji Li Haichao.
Dengan
senang, Ling Xiao memegang tangan Jian Jian dan membuat pengakuan. “Jadi Ayah
Li, serahkan Jian Jian padaku dengan tenang,” pintanya.
“Aku tenang. Aku tentu saja…” kata Li
Haichao, lalu tiba- tiba dia merasa ada alarm yang berbunyi dengan keras di
kepalanya. Dan kemudian dian menatap ke arah Ziqiu yang sedang sibuk makan mie.
“Ayah, tenang saja. Jika mereka tak baik-baik,
aku gantikan dia,” kata Ziqiu,
menenangkan Li Haichao.
“Gantikan apa? Mengisi tempat,” koreksi
Jian Jian.
“Ini…” kata Li Haichao, masih syok dan bingung.
“Ayah, jangan khawatir, kami urus masalah kami
sendiri,” kata Jian
Jian, menenangkan Li Haichao.
Tepat disaat
itu, Hongying memanggil. Dan Li Haichao ingin menjawab ‘tunggu
sebentar’. Tapi Jian
Jian langsung menjawab ‘iya’.
Lalu Jian
Jian menarik Li Haichao dan mendorong nya untuk pergi ke dapur saja. “Ayah, cepat.
Cepat bantu Bibi,” katanya.
Setelah itu,
Jian Jian kembali memakan mie nya dengan tenang.
Tang Can
berdandan seperti bule dan memakai seragam pramugari. Dia menemani seorang
kakek tua yang menderita Alzheimer untuk menonton film bersama dibioskop. Kakek
tua itu menganggap Tang Can sebagai Istrinya yang telah tiada.
Setelah
selesai, cucu dari si kakek mengucapkan terima kasih kepada Tang Can. “Beruntung
ada kamu, jika tidak, kakekku nanti pasti ingin datang nonton lagi,” katanya.
“Tidak apa- apa,
aku dibayar,” balas Tang
Can dengan ramah.
“Terima kasih, Tang Can. Sampai jumpa lagi,” kata si
cucu. Lalu diapun membawa kakek nya pergi.
Tepat disaat
itu, Ibu Zhuang menelpon. Dan dengan ragu, Tang Can mengangkat telpon darinya. “Halo, Bibi.
Zhuang Bei tidak bilang? Akhir-akhir ini aku sibuk hal lain, tak ada waktu
terima pesanan. Bibi minta pengembalian dana saja… Tak perlu,
aku tak kekurangan uang, Bibi. Anda jangan pilih pembayaran… Bibi. Halo.”
Dengan
lelah, Tang Can menghela nafas berat. Lalu dia menelpon Zhuang Bei, dan
mengeluh padanya.
Dicafe.
Zhuang Bei memohon supaya Tang Can bisa bertahan sebentar lagi saja. Karena
Neneknya akan segera berulang tahun ke- 70 tahun. Dan Ibunya sudah memamerkan
foto Tang Can ke teman- temannya. Jadi hanya Tang Can yang bisa melakukan
pekerjaan ini sekarang.
“Ibumu bukan ingin bawa aku, dia ingin bawa
pacar anaknya ke sana. Yang sangat berbakti itu. Cepatlah cari satu,” kata Tang
Can, menolak.
“Jika begini ibuku akan merasa malu, kan?” pinta
Zhuang Bei, memohon.
“Ibumu malu apa hubungannya denganku? Itu
bukan ibuku,” balas Tang
Can, tidak peduli.
Tepat disaat
itu, ketika ponsel Zhuang Bei tidak sengaja jatuh dan menyala. Tang Can melihat
foto Mingyue di wallpaper ponsel nya. Dan dia merasa terluka.
“Yang kau foto kami berdua, 'kan? Mana
bagianku?” tanya Tang
Can, terluka. Dan Zhuang Bei, tidak bisa menjawab. “Aku
mengerti. Aku bagian yang dibuang itu,” katanya. Lalu
diapun pergi.
Tang Can
menangis dengan keras didalam kamarnya.
Jian Jian
merasa stress memikirkan masalah Ziqiu, karena bunga dari kartu kredit itu
cukup besar. Dan Ling Xiao menyarankan Jian Jian untuk membayarkan saja
langsung ke bank nya. Tapi Jian Jian tidak tahu nomor kartu kredit Ziqiu, jadi
dia tidak bisa.
“Aku tahu,” kata Ling Xiao.
“Kau tahu?” tanya Jian Jian, bersemangat.
“Ingin tahu?” tanya Ling Xiao. Dan Jian Jian, mengiyakan. “Coba
bermanja,” perintahnya
sambil tersenyum.
Dengan
waspada, Jian Jian memeriksa ke sekeliling nya. Setelah yakin tidak ada orang
lain dirumah, diapun langsung menciumin wajah Ling Xiao dengan manja. Lalu
ketika bibir mereka hampir mau bersentuhan, Li Haichao pulang. Dan dengan
panik, Jian Jian pun langsung duduk menjauh dari Ling Xiao.
Melihat
sikap mereka berdua, Li Haichao merasa agak curiga. “Ling Xiao,
bantu aku beli koyo, merek yang sering kupakai,” perintahnya.
“Baik, aku pergi sekarang,” kata Ling
Xiao, mengerti.
Setelah Ling
Xiao pergi, Li Haichao langsung menanyai Jian Jian, apa hubungan antara Jian Jian dan Ling Xiao sekarang. Dan
Jian Jian mengakui dengan jujur bahwa sekarang mereka berpacaran. Dan
mengetahui itu, Li Haichao merasa agak kurang nyaman, karena hubungan Chen Ting
dan keluarga mereka agak kurang baik, Chen Ting membenci keluarga mereka.
“Seharusnya tak masalah, sepertinya dia sudah
berubah baik,” komentar
Jian Jian, menjelaskan. “Kemarin saat dia telepon dengan kakak, aku
ada di sana. Dia berbincang denganku, terasa sangat akur.”
“Benarkah?” tanya Li Haichao, tidak yakin.
“Benar. Dan mungkin setelah dia bertambah
umur,
tiba-tiba berubah jadi baik. Dan meski dia
tidak suka, terus kenapa?” balas Jian Jian dengan sikap santai. “Tidak masalah,” tegasnya,
menenangkan Li Haichao.
Didalam
kamar. Mingyue selesai mengetik surat permohonan pemindahan ke Beijing. Tapi
saat akan mengirim itu, dia merasa agak ragu untuk menekan tombol ‘enter’.
Kemudian
disaat itu, Ibu Ming menelpon. Dan dengan buru- buru, Mingyue mengambil buku
yang Ibunya berikan kepadanya dan pura- pura sedang belajar. Melihat itu, Ibu
Ming merasa sangat puas serta memuji nya.
Lalu setelah
telpon dimatikan, dengan penuh emosi, Mingyue membuang dan menghancurkan buku-
buku yang Ibu Ming berikan kepadanya.
Kemudian
ketika Mingyue akan berdiri, dia tidak sengaja menabrak pintu laci yang terbuka
dan melukai paha nya. Setelah itu, ketika dia mau meminum sekaleng bir, dia
tidak sengaja melukai tangan nya. Kesialan- kesialan yang terjadi, membuat nya
merasa sangat frustasi dan sedih. Dia merasa seolah- olah segala yang
dilakukannya tidak ada yang bisa berjalan dengan baik, dan segala yang dia
inginkan, bahkan untuk hal sederhana saja, tidak bisa dia dapatkan.
Dengan
sedih, Mingyue menangis keras sambil berjongkok dan memeluk lutut nya.
“Aku membuat pelacak di ponselmu, aku selalu
bisa menemukanmu,” kata Ling
Xiao, menjelaskan kenapa mereka berdua bisa tahu dimana Ziqiu bekerja.
“Kapan kau ambil ponselku?” tanya
Ziqiu, terkejut.
“Saat kau mandi,” jawab Ling Xiao, singkat dan tanpa rasa
bersalah.
“Kakak juga diam-diam membayar tagihan kartu
kreditmu. Dan menghapus pesan pembayaran tagihan,” kata Jian Jian, memberitahu dengan bangga. “Mengharukan
sekali. Inilah cinta yang dalam.”
“Aku bisa apa lagi? Pacarku mengkhawatirkanmu,” kata Ling
Xiao, pamer kemesraan. Dan Ziqiu merasa agak jijik. “Bunga dari
kartu kredit tinggi. Lebih baik biarkan aku yang untung,” jelasnya.
“Baik, nanti akan kubayar kau dengan bunga,” balas
Ziqiu, merasa berterima kasih dalam hatinya.
He Mei
membawa Dongdong ke restoran Li Haichao, ketika restoran sudah akan tutup. Dan
Li Haichao menyambut mereka dengan ramah serta dia bersikap perhatian kepada
Dongdong.
“Zhao Huaguang punya anak lagi, sudah 5 tahun.
Tahun lalu bawa pulang ke kampung,” kata He Mei, bercerita kepada Li Haichao.
“Pantas saja… Pantas dia bisa biarkan Ziqiu pulang,” gumam Li
Haichao.
He Mei
kemudian memberitahu Li Haichao bahwa semalam dia bertemu dengan Ziqiu
direstoran. Dia bertanya kepada manajer disana dan mengetahui kalau Ziqiu
bekerja disana mulai dari jam empat sore sampai pukul sepuluh malam. Karena
itu, sekarang dia ingin tahu apakah Li Haichao mempunyai nomor Huaguang, karena
dia ingin menghubungi Huaguang secara langsung.
Mengetahui
tentang Ziqiu yang ternyata sedang kesulitan, Li Haichao merasa tertegun. “Aku ada. Tetapi
lama tak kuhubungi, tidak tahu sudah ganti nomor atau belum,” katanya
dengan kurang yakin.
“Beritahu aku,” pinta He Mei.
“Untuk apa meneleponnya?” tanya Li
Haichao, khawatir.
“Aku ingin tanya, kenapa Ziqiu bisa kekurangan
uang?” jawab He
Mei, merasa sangat emosi. Dan Li Haichao pun langsung memberikan padanya.
Untungnya,
nomor Huaguang masih aktif. Ketika telponnya tersambung, He Mei langsung
berbicara ke intinya. Dia menanyai, kenapa Ziqiu bisa kekurangan uang. Dan
Huaguang menjawab tidak tahu.
“Kau mau harga diri? Maka aku ke kampungmu,
bantu kau sebarkandengan pengeras suara, bagaimana kau mengandalkan wanita dan
pelan-pelan menjadi kaya,” ancam He Mei, marah. “Kau tahu
aku. Aku berani atau tidak, kau masih tak jelas? Katakan sekarang juga!” bentaknya.
Setelah itu,
He Mei sengaja menyalakan loudspeaker ditelponnya, sehingga Li Haichao bisa
ikut mendengarkan juga.
“Dia di sampingku, tetapi hatinya di keluarga
Li. Tak pernah memanggilku Ayah. Aku pikir,
berhenti membiayainya. Lihat dia patuh atau tidak. Tetapi bocah ini, bekerja
untuk biaya kuliah dan hidupnya. Dia malah bisa bertahan hidup,” kata
Huaguang, bercerita tanpa rasa bersalah sama sekali.
“Kapan hal itu terjadi?” tanya He
Mei, ingin tahu.
“Enam atau tujuh tahun lalu. Aku bukan tak
pedulikan dia, hanya ingin dia dengan patuh memanggilku Ayah, jangan
menghubungi keluarga Li,” kata Huaguang, membela diri. “Dia kira dia
anakku satu-satunya jadi berani melawanku. Aku sudah punya anak, tak
mengharapkannya.”
Selagi Li
Haichao dan He Mei sedang sibuk, Dongdong mendekati Anjing Ziqiu dan memberikan
makanan nya kepada si annjing.
He Mei
merasa sangat emosi dan memarahi Huaguang. Lalu setelah itu, dia langsung
mematikan telponnya. Dan Li Haichao menuangkan teh untuk He Mei supaya He Mei
bisa menenangkan diri.
Li Haichao
dan He Mei kemudian melihat Dongdong sedang makan bersama si anjing disatu
piring yang sama. Dan dengan panik, mereka langsung menghentikan Dongdong serta
menasehati nya.
“Aku bawa dia cuci tangan,” kata He
Mei.
“Biar aku saja, aku bawa dia cuci tangan,” kata Li
Haichao, menawarkan diri. “Dongdong, jika kau suka Paman buatkan lagi
ya?” katanya
dengan perhatian. Lalu dia mebawa Dongdong ke belakang untuk mencuci tangan
nya.
Saat kondisi
sudah tenang kembali, He Mei menceritakan kepada Li Haichao bahwa Dondong bukan
autis dari lahir, tapi karena alasan lain. Dan dia selalu membawa Dongdong ke
dokter.
“Ada yang bilang, jadi manusia jangan berpikir
terlalu keras. Lewati saja. Sekejap mata, waktu akan berlalu,” kata He
Mei, merasa agak lelah.
“Benar, memang begitu,” balas Li
Haichao, setuju. “Selama ini
aku juga lewati begitu saja. Tak bisa melihatnya, tak bisa mendengarnya. Ziqiu,
seorang diri di luar negeri. Seperti apa keadaannya, aku sama sekali tak tahu,
juga tak bisa membantu. Aku hanya Ayah miskin yang buka toko mie, juga tak ada
hebatnya, tak berguna,” katanya, merasa sedih.
“Satu orang urus tiga anak. Siapa yang bisa
melebihimu?” balas He
Mei. Dia merasa Li Haichao sangat hebat.
“Itu tak termasuk hebat. Aku hanya bisa
memasak,” kata Li Haichao,
merendah. Dan He Mei merasa kagum pada sikapnya.
Sebelum
Ziqiu akan tidur, dia tiba- tiba mendapatkan transferan uang dari Huaguang. Dan
kemudian Huaguang menelpon nya.
“Kau gila?” tanya Ziqiu, kesal. “Kirimkan
nomor rekeningmu, aku kembalikan uangmu. Aku sudah pernah bilang, aku tak
menginginkan uangmu,” tegasnya.
“Ziqiu, apa uang menusuk tanganmu?” tanya
Huaguang, ketus. “Hari-hari
selain kuliah, kau bekerja di restoran juga sudah berlalu lama. Juga sudah tahu
seberapa penting uang itu, 'kan? Ayah terus menunggumu kembali, kau
mengalahlah,” bujuk nya.
“Aku tahu uang itu penting. Cari uang sendiri
barulah bisa mengontrol hidup sendiri. Inilah yang kupelajari selama ini, kau
mengerti?” balas
Ziqiu.
“Kau bahkan memaafkan He Mei, kenapa tak bisa maafkan
aku?” tanya
Huaguang.
“Kenapa selalu mengungkitnya? Aku tidak kenal,” bentak
Ziqiu.
“Kenapa dia tahu kau tak punya uang? Menelepon
memarahiku,” tuduh
Huaguang. “Ziqiu,
anggap Ayah mohon padamu. Minta maaf padamu, ya?” bujuknya, lagi.
Mengetahui
bahwa He Mei ada menghubungi Huaguang, Ziqiu merasa sangat pusing sekali. Dia
merasa seperti tidak bisa berpikir dengan jelas lagi.
Tepat disaat
itu, Jian Jian datang dan mengajak Ziqiu untuk makan semangka bersama. Tapi
Ziqiu tidak menjawab. “Kenapa?” tanyanya, perhatian.
Huaguang
menelpon lagi. Dan dengan kesal, Ziqiu membanting ponselnya dengan keras dan
lalu dia pergi.
Jian Jian,
Ling Xiao, Tang Can, dan Mingyue. Mereka berempat pergi bersama- sama untuk
mencari Ziqiu. Tapi Ziqiu tidak ketemu.
Akhirnya, Ling
Xiao menyarankan Tang Can dan Mingyue untuk pulang duluan saja. Dan mereka
berdua setuju.
“Kalian panik sampai menangis?” tanya Jian
Jian, heran. Ketika dia menyadari bahwa mata Tang Can dan Mingyue tampak
bengkak. “Tak apa, aku
dan Kakakku cari dulu. Pulang dulu, hubungi kami dari telepon,” katanya,
menenangkan mereka berdua.
“Hati-hati ya,” balas Mingyue, tidak mau menjelaskan alasan
mata bengkak nya.
Setelah
berjalan menjauh dari Jian Jian dan Ling Xiao, Tang Can menanyai, apakah
Mingyue masih menyukai Ziqiu. Dan Mingyue langsung menjawab tidak.
“Kenapa kau menangis?” tanya
Mingyue, ingin tahu juga.
“Nasibku buruk,” jawab Tang Can dengan muram.
Ketika Li
Haichao mendapatkan telpon dari Jian Jian, dia merasa terkejut dan panik. “Ziqiu lari
keluar?... Kau jangan panik .. . Apa maksudmu?”
He Mei yang
masih ada disana, tidak sengaja mendengar pembicaraan tersebut.
Ziqiu datang
ke tempat kerja He Mei. Dia mengedor- ngedor pintu dengan keras sambil
berteriak memanggil nama He Mei dengan marah. Kemudian setelah itu, dia duduk
dengan lemas.
Flash back
Huaguang
datang ke restoran tempat Ziqiu bekerja. Disana dia meremehkan dan merendahkan
Ziqiu. Lalu dia membujuk Ziqiu untuk kembali padanya. Dan Ziqiu menolak serta
mengabaikannya.
“Ziqiu, dua tahun sudah cukup, 'kan? Sulit
mencari uang sendiri, 'kan? Kau sungguh ingin menjadi kaya dengan melayani
orang?” tanya
Huaguang. “Baik. Ayah,
tak paksa kau ubah marga. Sikapmu begitu keras, memang harus bermarga He. Kau
anak kandungku, kau menderita di luar, kau kira hatiku ini tidak sakit sama
sekali? Hanya perlu kau tak hubungi keluarga Li…” jelasnya, bernegosiasi.
Mendengar itu, Ziqiu sama sekali tidak peduli dan tetap mengabaikan Huaguang.
“Kau kira, kau satu-satunya anakku, aku pasti
mengandalkanmu? Itu yang kau kira. Itu dulu. Dengar, istriku melahirkan seorang
putra. Asalkan kau patuh padaku, jangan menghubungi keluarga Li. Warisan… kelak kau
dan adikmu masing-masing setengah,” kata Huaguang terus membujuk Ziqiu. “Jika kau
masih tak sadar diri, maka mulai hari ini, kau… dan aku… tak
ada hubungan lagi,” jelasnya,
penuh penekanan.
“Seharusnya kau katakan empat tahun yang lalu.
Kenapa tak lebih awal?” balas Ziqiu, kesal.
Flash back
Ling Xiao
dan Jian Jian akhirnya berhasil menemukan Ziqiu. Dengan perhatian, mereka menanyai,
apa yang terjadi. Dan tanpa menjelaskan apapun, Ziqiu langsung memeluk Jian
Jian dengan erat untuk mencari kedamaian.
“Aku tercekik. Aku tercekik,” kata Jian
Jian, sambil memukul Ziqiu dengan pelan.
“Ziqiu, kau mencekiknya,” kata Ling
Xiao, mengingatkan sambil menarik Ziqiu untuk melepaskan Jian Jian.
Tanpa ekspresi, Ziqiu melepaskan Jian Jian dan menatapnya. Melihat itu, dengan perhatian Jian Jian memegang tangan Ziqiu.