Original
Network : Hunan Tv, iQiyi, Mango TV
Ayah Ming dan Ibu Ming berdebat hebat. Ayah
Ming protes akan tindakan Ibu Ming yang sembarangan memberikan uang muka tanpa
menunggunya pulang dan berdiskusi dengannya terlebih dahulu. Tapi Ibu Ming
tidak merasa dirinya salah, karena dia sudah menginfokan Ayah Ming sebelumnya.
Ayah Ming juga protes, karena Ibu Ming
menggunakan seluruh uang tabungan mereka untuk dijadikan uang muka. Kepadahal
dia akan segera pensiun. Dan dia khawatir bila nanti mereka tiba- tiba
memerlukan uang mendadak. Tapi Ibu Ming tetap merasa dirinya tidak salah.
Karena dia melakukan ini demi Mingyue, serta dia merasa bila uang pensiun itu
pasti akan cukup untuk mereka gunakan nantinya, juga gajinya tidak rendah.
“Ayah.
Ibu,” kata Mingyue, menengahi perdebatan mereka
berdua. “Ibu, rumah yang kita tinggali sekarang, 140
meter persegi lebih. Sudah cukup. Aku sungguh tak butuh rumah,” komentar nya.
“Setelah kau
menikah, masih bisa tinggal dengan kami?” balas Ibu Ming, bersikap keras
kepala. “Wanita harus punya satu rumah, agar lebih
tenang dalam melakukan apa pun,” jelas nya.
Dengan
tegas, Ayah Ming menyuruh Ibu Ming untuk memindah tangankan uang muka kepada
pihak lain. Tapi Ibu Ming tidak setuju.
“Aku harus
beli rumah ini. Jika kau tak mau beli, kita bercerai saja,” ancam Ibu Ming,
tetap pada pendirian nya.
“Ayah,
jangan marah Ibu asal bicara,” pinta Mingyue, panik.
“Jika kau
ingin beli, maka cerai saja,” ancam Ayah Ming juga. Kemudian diapun langsung
pergi.
“Ibu sudah
keterlaluan. Bagaimana pun, tak boleh langsung bilang cerai,” protes Mingyue.
Tapi Ibu Ming tidak mau mendengarkan protesan nya.
Ayah Tang
membantu Tang Can supaya bisa segera perbaikan dengan Ibu Tang. Dan Ibu Tang
merasa sangat senang atas sikap perhatian Tang Can padanya.
“Seragam
yang kamu pakai lumayan bagus,” puji Ibu Tang.
“Seragam
kerja,” balas Tang Can, senang.
“Pakailah
seragam ini dalam waktu lama. Tahun ini mungkin tak sempat lagi. Tahun depan,
usahakan ujian pegawai sipil,” kata Ibu Tang, menyarankan.
“Aku
pertimbangkan. Dulu nilaiku tidak bagus. Aku tak tahu sekarang masih bisa
menguasainya tidak,” jawab Tang Can, tiba- tiba merasa sedikit tertekan.
“Nilaimu jelek
karena syuting iklan dan film, jadi tertunda. Kau cepat dalam menghafal. Bahan
yang dihafal ini, kau pasti bisa,” hibur Ayah Tang, mengerti.
“Benar. Kita
tak harus jadi aktris. Lagi pula, dulu kau sudah beli dua rumah, dan mobil.
Tabungan masih ada. Aku dan Ayahmu buka minimarket kecil. Cukup untuk hidup
kami. Kau sudah memberi kami kehidupan yang baik,” kata Ibu Tang, bersikap
pengertian. Dan Tang Can merasa agak senang.
Tiba- tiba
guru sekolah yang dulu pernah Tang Can temui, saat Tang Can berpura- pura
menjadi orang tua murid. Dia datang ke restoran yang sama dan memanggil Tang
Can dengan sebutan Ibu Sun Nian.
“Kau salah orang,” kata Tang
Can sambil menundukkan kepalanya.
“Putri kami belum menikah, apanya yang ibu?” kata Ayah
Tang, memarahi si guru.
Lalu setelah
si guru pergi, Tang Can langsung menenangkan Ibu Tang. “Ibu, jangan
marah. Aku sudah tutup toko Taobao.”
“Sudahlah,” kata Ibu Tang, mengerti.
Du Juan dan
Zhou Miao agak bertengkar kecil. Du Juan marah sama Zhou Miao, karena Zhou Miao
pergi bermain- main dengan wanita lain dan membohongi nya. Dan Zhou Miao
membela diri dengan menjelaskan bahwa itu hanya teman saja, lalu dia berusaha
berbaik- baik dengan Du Juan supaya bisa berdamai dengannya. Namun Du Juan
sengaja bersikap dingin.
“Kau pernah kendalikan Zhongkui di King of
Glory?” tanya Jian
Jian. Dan dengan bingung, Du Juan menjawab tidak bisa. “Di dalamnya ada kalimat yang sangat bagus,” jelas Jian
Jian.
“Yang mana?” tanya Du Juan, tidak tahu.
“Sampah memang harus ada di tong sampah,” sindir Jian
Jian sambil menatap ke arah Zhou Miao.
“Keterlaluan,” kata Du Juan, membela Zhou Miao.
“Kenapa keterlaluan? Aku hanya katakan kalimat
di permainan saja. Kenapa? Kau anggap siapa yang jadi sampah?” tanya Jian
Jian, tanpa rasa bersalah sama sekali.
“Tak bicara denganmu,” balas Du
Juan sambil cemberut.
Mendengar
pembicaraan mereka, Zhou Miao merasa tersindir dan juga tidak senang. Tapi dia
tidak bisa berkomentar dan hanya diam saja.
Meiyang
datang ke café Ziqiu untuk
mengambil kue ulang tahun yang dipesan oleh Ling Xiao. Dan Ziqiu pun memberikan
nya.
“Mau minum kopi?” tanya Ziqiu sambil memberikan segelas kepada
Meiyang.
“Berapa?” tanya Meiyang, menerima kopi dari Ziqiu.
“Tak perlu, aku traktir,” balas
Ziqiu.
“Yang kutanya harga kuenya,” kata
Meiyang, menekan kan.
“Kue juga tak perlu,” balas
Ziqiu, bersikap dermawan.
“Ibuku bilang, harus bayar. Karena kau
berbisnis. Berapa?” balas
Meiyang.
“Kau pulang dan beri tahu ibumu, tak perlu
uang untuk kue Ling Xiao,” balas Ziqiu, tetap menolak dengan sikap
ramah.
“Ibuku bilang, jika kau tak mau, maka aku
berikan sesukaku,” balas
Meiyang sambil memberikan beberapa lembar uang kepada Ziqiu. Lalu dia langsung
pergi darisana. Dan dengan kesal, Ziqiu menatap ke pergiaan Meiyang.
Chen Ting
mengundang Ling Heping, Li Haichao, dan Jian Jian untuk makan bersama- sama
direstoran dalam rangka merayakan ulang tahun Ling Xiao. Dan Ling Heping
mengomentari bahwa Chen Ting hanya menghamburkan uang, karena mereka bisa saja
makan di tempat Li Haichao dan masakan Li Haichao juga sangat enak.
“Tetapi di luar juga bagus, lingkungan bagus.
Lihat balon dan lampu ini, bagus,” puji Li Haichao, membela Chen Ting supaya suasana
jangan terlalu canggung.
Jian Jian
kemudian mendapatkan pesan dari Ziqiu bahwa dia tidak bisa datang. Dan Jian
Jian memberitahukan itu kepada semuanya. Lalu Meiyang menjelaskan bahwa barusan
dia sudah menjemput kue ulang tahun Ling Xiao serta membayar Ziqiu. Mengetahui
itu, setiap orang merasa kurang senang, tapi mereka tidak mengatakan apapun dan
hanya diam.
“Aku yang minta. Ziqiu buka kafe. Berbisnis
tidak mudah. Harus bayar,” kata Chen Ting, menjelaskan kepada semuanya.
Chen Ting
kemudian meminta Ling Xiao untuk membantunya berdiri. Setelah itu, dia
mengambil gelas minuman dan mengucapkan terima kasih banyak kepada Li Haichao
karena telah membesarkan Ling Xiao dulu. Dan Li Haichao meminta Chen Ting untuk
tidak perlu sungkan, karena dia sudah menganggap Ling Xiao sebagai anak
sendiri.
“Anggap anak sendiri, tetap bukan anak
sendiri. Jadi aku merasa kau berjasa besar. Aku sungguh harus berterima kasih
padamu,” kata Chen
Ting sambil tersenyum ramah. Lalu dia mengajak Li Haichao untuk bersulang.
Dengan
canggung, Li Haichao pun bersulang dengan Chen Ting. Lalu dia duduk kembali di
tempatnya dengan lemas.
Chen Ting
kemudian mengajak Ling Heping untuk bersulang. Dia berharap agar mereka tidak
saling mengejek lagi, karena Ling Heping adalah Ayah yang tidak peduli banyak
dan dia adalah Ibu yang membebankan, jadi intinya mereka sama. Juga dia
berharap agar kelak Ling Heping bisa
lebih memperhatikan anak mereka, dan dia juga akan berusaha untuk tidak
merepotkan anak mereka.
“Aku suka kata ini, memikirkan anak. Jangan
merepotkan anak,” kata Ling
Heping dengan ketus. Lalu diapun bersulang dengan Chen Ting.
Meiyang lalu
pergi keluar untuk mengambil kue yang disiapkan untu Ling Xiao. Dan dengan
sikap perhatian, Chen Ting mengucapkan selamat ulang tahun kepada Ling Xiao.
Tapi Ling Xiao sama sekali tidak merasa senang sedikit pun. Dan suasana didalam
ruangan pun jadi terasa agak tidak nyaman.
Dikamar
mandi. Meiyang dan Jian Jian bertemu. Meiyang menanyai Jian Jian untuk
memastikan, apakah Jian Jian dan Ling Xiao beneran berpacaran. Dan Jian Jian
membenarkan.
“Percuma saja pacaran, lagi pula ibuku tak
menyukaimu,” komentar
Meiyang dengan sikap acuh. “Aku yang menyadarinya. Karena aku juga tak
ingin kau jadi kakak iparku.”
“Tak ingin, ya sudah. Yang penting kau senang.
Aku juga tak terlalu menyukaimu,” balas Jian Jian, tidak terlalu peduli.
Setelah
selesai makan- makan, Ling Xiao mengantarkan Chen Ting dan Meiyang untuk pulang
ke hotel.
“Apa maksud perkataannya tadi? Seolah anak itu
hanya miliknya seorang. Selama ini kita membesarkan anak untuknya,” keluh Ling
Heping dengan emosi, setelah Chen Ting dan Meiyang pergi.
“Kue buatan Kak Ziqiu, dia bahkan minta Xiao
Chengzi bayar,” keluh Jian
Jian, merasa kurang senang juga.
“Cepat bawa mobil kemari. Kita antar Xiao Jian
pulang,” kata Li
Haichao, menghentikan mereka berdua. Dan Ling Heping mengerti serta pergi untuk
mengambil mobilnya.
Setelah Ling
Heping pergi, Li Haichao bertanya dengan ragu, apakah Chen Ting beneran sudah
berubah. Dan Jian Jian mengiyakan dengan perasaan tidak terlalu yakin juga.
Lalu diapun pamit dan langsung pergi.
“Biar kuantar,” panggil Li Haichao. Tapi Jian Jian tidak
mendengarkan, karena dia sudah berlari agak jauh.
Didalam
mobil. Ling Xiao menyarankan Chen Ting dan Meiyang untuk pulang ke Singapura
dan dia akan memesan kan tiket untuk mereka. Tapi Meiyang menolak dengan alasan
masih ada banyak kerabat dan teman yang mau dikunjunginya, jadi dia akan
tinggal disini lebih lama.
“Aku pesankan tiket minggu depan,” kata Ling
Xiao, memutuskan dengan tegas.
“Baik. Lagi pula kami di sini cukup
merepotkanmu,” balas Chen
Ting dengan suara pelan dan perasaan agak kecewa.
“Kau begitu buru-buru pesan tiket untuk
mengusir kami?” keluh
Meiyang.
“Aku membalas pesan Ziqiu, dia tanya jam
berapa pulang,” balas Ling
Xiao sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kau tak pantas minta Chengzi bayar Ziqiu.”
“Aku merasa dia berbisnis tidak mudah,” kata Chen
Ting, membela diri.
Ketika Ling
Xiao pulang, rumah sangat gelap sekali. Lalu Ziqiu dan Jian Jian muncul serta
memberikan kejutan ulang tahun untuk nya. Dan dengan senang, Ling Xiao
mengucapkan harapan nya sebelum meniup lilin.
“Pertama, semoga Ziqiu sukses. Kedua, semuanya
sehat. Ketiga, semuanya selamat sentosa,” pinta Ling Xiao.
“Lihatlah, permohonannya begitu sederhana,” komentar
Jian Jian.
“Sekarang, bisnisku hampir gagal,” balas
Ziqiu. “Ayo, tiup
lilin,” katanya.
Dan dengan senang, Ling Xiao meniup lilin ulang tahun nya.
Mereka
bertiga kemudian duduk bersama- sama diatas meja makan. Ling Xiao meminta Ziqiu
mengembalikan uang yang barusan diberikan oleh Meiyang. Dan Ziqiu menolak. Dan
Jian Jian tertawa serta mengomentari bahwa Meiyang ternyata cukup kaya juga.
“Coba buatanku. Pasti puas,” kata Ziqiu
dengan bangga. Lalu Ling Xiao pun mulai memotong kue ulang tahun nya.
Jian Jian : “Dalam sekejap, aku merasakan aku masuk ke kondisi orang dewasa seperti
Ayah…
dunia mereka. Kunci untuk masuk ke dunia mereka disebut sabar. Sabar.
Sabar.
Sim Rock berkata, sabar adalah daun yang pahit. Tetapi pada akhirnya,
mengeluarkan buah yang manis dan lembut.
Mingyue
menceritakan masalah keluarganya kepada Tang Can. Dan dia menjelaskan bahwa
kali ini dia akan melawan Ibunya. Dia tidak akan memberikan buku akta nya.
“Kau ini termasuk melawan?” komentar
Tang Can dengan agak ketus. “Dari awal, kau tetap sedang menghindar.”
“Karena semalam tak berani bicara lagi,” gumam
Mingyue dengan pelan. “Lihat dirimu sendiri. Setiap hari melawan,
pada akhirnya kau menyerah juga,” balas nya dengan ketus.
“Hei. Aku bukan menyerah pada orang tua, aku
menyerah pada nasib,” balas Tang Can, membela dirinya.
Jian Jian
yang sedang tidur di sofa, dengan pelan dia mengatakan kepada Mingyue dan Tang
Can bahwa makanan traktiran dari Chen Ting memang tidak mudah dicerna. Dan Mingyue
menyarankan Jian Jian agar pergi ke rumah sakit saja. Tapi Jian Jian menolak,
karena dia masih bisa bertahan.
“Mie pedas asam yang kupesan, kau masih bisa
makan?” tanya Tang
Can, perhatian. Dan Jian Jian menolak. Lalu dia berlari masuk ke dalam kamar
mandi.
Tepat disaat
itu, bel rumah berbunyi. Dan Mingyue serta Tang Can bersuit untuk menentukan
siapa yang membuka pintu.
“Yang menang buka pintu,” kata Tang
Can, saat dia kalah. Lalu dia tertawa dengan senang. Sementara dengan cemberut,
Mingyue pergi membuka kan pintu.
Li Haichao
memasak kan berbagai macam makanan untuk diberikan kepada Dongdong. Dia memasak
bakso ikan, bakpau kelinci, dan telur goreng.
“Mau katakan apa, katakan saja. Pasti bukan
hanya mengantar makanan untuk Dongdong saja, 'kan?” tanya He
Mei dengan ramah.
“Aku memang antar makanan untuk Dongdong,” jawab Li
Haichao dengan agak gugup. “Sebenarnya, dua
hari ini karena kamu aku tak bisa makan dan tidur dengan baik,” katanya,
tanpa sadar.
“Karena aku?”
“Aku, bukan itu maksudku,” sangkal Li
Haichao dengan sangat gugup.
Dengan
sabar, He Mei memberikan waktu untuk Li Haichao berpikir serta berbicara. Dan
dengan gugup, Li Haichao mengungkit hubungan mereka dulu. Dia merasa bahwa dia
tidak bisa terlalu memahami He Mei, walaupun dulunya mereka sempat berpacaran.
Sebab dulu He Mei tampak sangat menyayangi Ziqiu, tapi kenapa He Mei kemudian
meninggalkan Ziqiu, hanya dengan alasan hidup susah. Dan kemudian sekarang, He
Mei malah menjaga anak orang lain, yaitu Dongdong. Dia ingin He Mei untuk jujur
kepadanya.
Mendengar itu, He Mei diam sambil menundukkan kepalanya. Lalu dia menyuruh karyawannya agar membawa Dongdong untuk bermain diluar.
Saat Ziqiu
datang menjenguk di rumah sakit, He Lan memberitahu Ziqiu bahwa dua hari lalu
He Mei ada datang serta bertemu dengan nya. Dan dia ingin tahu, apakah Ziqiu juga
sudah ada bertemu dengan He Mei. Dan Ziqiu menjawab sudah, tapi dia tidak mau
membahas itu, karena sekarang He Mei sudah mempunyai keluarga baru dan anak
juga.
“Dia sudah menikah? Dia tak beri tahu aku,” kata He Lan, terkejut.
“Apa yang perlu diberi tahu? Masing-masing
hidup dengan baik. Bukankah bagus?” balas Ziqiu dengan sikap tidak peduli lagi.
Kemudian He
Lan dengan agak canggung mengungkit kembali perkataan yang pernah dia katakan.
Dulu dia menyuruh Ziqiu untuk berbakti kepada Li Haichao, dan melupakan He Mei.
Itu adalah demi kebaikan Ziqiu. Namun sekarang, dia meminta Ziqiu untuk jangan
membenci He Mei, karena He Mei sungguh menyedihkan dan He Mei beneran
menyayangi Ziqiu.
“Dulu kau yang bilang ingin aku lupakan ibuku,” kata Ziqiu,
mengingatkan.
“Kau ini, bibi minta kau lupa, kau sungguh lupakan?” keluh He
Lan dengan sedih untuk He Mei. “Ibumu
meninggalkanmu, tetapi… dia juga tak ada pilihan lain. Sifatnya
keras, tak pernah menangis di depan orang. Saat dia memutuskan memberikanmu
pada ayahmu. Aku mengunjunginya di penjara, dia menangis sampai bengkak seperti
buah persik. Merindukanmu dan setiap hari menulis surat padamu. Tetapi tak
berani mengirimnya,” katanya, bercerita.
“Bibi, apa maksud… Bibi mengunjunginya di penjara?” tanya
Ziqiu, terkejut.
Flash back
Seorang
pelanggan mengeluh kulitnya rusak, karena melakukan perawatan wajah disalon
tempat He Mei bekerja. Dan dia menarik pekerja yang melakukan perawatan pada
wajahnya.
“Anda hanya alergi. Anda ke rumah sakit dulu,
kami akan ganti biaya pengobatan,” kata He Mei, menenangkan si pelanggan sambil mencoba
menyelamatkan rekannya yang rambut nya dicambak oleh si pelanggan.
Namun disaat
itu, tanpa sengaja si pelanggan terdorong dan terbentur kepala nya. Lalu si
pelanggan pun meninggal. Dan He Mei dihukum penjara selama 4 tahun.
Flash back
end
He Mei menceritakan
semua itu kepada Li Haichao. Dan Li Haichao merasa terkejut serta dia heran
kenapa He Mei tidak memberitahu nya dulu.
“Jika katakan sejujurnya, kamu masih akan
menerima Ziqiu?” tanya He
Mei, ragu.
“Tentu saja,” jawab Li Haichao tanpa ragu.
Mendengar
jawaban itu, He Mei tersenyum senang. “Aku tahu. Karena itu aku melakukan itu demi
Ziqiu. Lahir tanpa Ayah. Lalu Ibu masuk ke penjara karena membunuh orang.
Sudahlah aku sial. Kenapa anak harus dibawa sial juga? Lebih baik putus
hubungan agar kamu bisa besarkan dia dengan tenang. Dia juga bisa hidup tenang
di keluarga kalian,” jelas He Mei.
Dengan
tulus, Li Haichao menasehati He Mei. Menurutnya tindakan He Mei dan He Lan yang
menutup- nutupi semuanya dulu itu sungguh tindakan gegabah. Setiap orang
mengatakan bahwa dirinya membesarkan Ziqiu dengan baik. Namun dia tahu ada yang
kurang didalam hati Ziqiu. Dan bagian itu hanya bisa diberikan oleh He Mei.
Juga sekarang akhirnya dia sadar, darimana sifat Ziqiu diturunkan, ternyata itu
semua dari He Mei. Karena mereka berdua sama- sama suka mengambil keputusan
sendiri dan menanggung semua sendiri. Lalu dia menyarankan He Mei, bila He Mei
memang merasa berhutang kepada Ziqiu, maka He Mei harus menebusnya. Sedikit
juga tidak masalah.
“Kau sungguh
orang baik. Jika orang lain…” kata He Mei, merasa sangat tersentuh dan
berterima kasih.
“Orang lain
itu orang lain. Kami adalah kami,” tegas Li Haichao. “Ziqiu berhak tahu masalah
ini. Sekarang aku telepon dia,” katanya, memutuskan.
Tepat
sebelum Li Haichao sempat menelpon Ziqiu, He Lan menelponnya. Dan Li Haichao
pun mengangkat nya. “Mm… Huh?!”
Ziqiu
berjalan sambil mengingat kenangan masa kecilnya bersama He Mei dulu.
“Saat aku
besar, aku beli makanan enak untuk Ibu. Beli bakpao, beli lobster besar, dan
beli televisi berwarna,” kata Ziqiu, berjanji.
“Semua ini
yang kau mau, 'kan?” balas He Mei sambil tertawa.
“Ibu, jadi
Ibu mau apa?” tanya Ziqiu, ingin tahu. “Apa pun boleh.”
“Kamu jangan
sakit, lebih patuh. Jangan jadi anak yang jahat,” jawab He Mei.
“Baik, aku
akan patuh. Tetapi lobster besar, televisi tetap aku belikan,” balas Ziqiu.
Mendengar
itu, He Mei tersenyum dan mencium dahi Ziqiu. Lalu mereka lanjut berjalan lagi
sambil bergandengan tangan.
Mengingat kenangan tersebut, Ziqiu merasa rindu dan sedih.