Original
Network : Hunan Tv, iQiyi, Mango TV
“Kenapa dengan He Lan?” tanya He Mei, setelah
Li Haichao selesai bertelponan dengan He Lan.
“Ziqiu sudah tahu semua, tentang kau
dipenjara,” jawab Li Haichao.
Saat mendapatkan telpon dari Li Haichao, Jian
Jian langsung menghentikan pekerjaan nya dan berlari pergi dengan buru- buru.
Ling Xiao juga sama. Dia menghentikan
pekerjaannya dan berlari pergi dengan buru- buru untuk pergi menemui Ziqiu.
Ling Xiao dan Jian Jian sampai secara
bersamaan ditempat Ziqiu sedang duduk merenung sendirian. Dan dengan perhatian,
mereka berdua menemani nya. Mereka menjelaskan bahwa mereka takut kalau Ziqiu
akan melompat ke laut.
“Begitu berlebihan,” keluh Ziqiu.
“Adikku memang anak Bibi He Mei, ambil
keputusan sendiri, diam-diam lakukan hal besar,” komentar Ling Xiao dengan
geli.
“Ini diam-diam melakukan hal besar? Ini
diam-diam hal mematikan! Yang melakukan hal sangat mengesalkan orang ternyata
ada dua di dunia ini,” komentar Jian Jian dengan kesal.
“Oh. Aku minta maaf pada kalian,” balas
Ziqiu.
Mereka bertiga kemudian membahas tentang
masalah He Mei. Bagi Jian Jian, dia hanya bisa mengerti sedikit saja pilihan
yang He Mei buat, yaitu karena dulu Ziqiu tinggal dirumah mereka. Sedangkan
Ling Xiao, menurutnya inilah perbedaan manusia. Beberapa orang menaruh harapan
pada anak dan beberapa orang dari jauh melindungi. Dan Ziqiu membalas bahwa dia
sebenarnya tidak terlalu mengerti. Tapi akhirnya dia tahu bahwa dia tidak
ditinggalkan, karena dirinya adalah beban. Dan He Mei tidak menikah lagi serta
mempunyai anak lain. Jadi dia merasa hatinya sedikit tenang dan santai. Tapi
mengetahui bahwa beberapa tahun ini He Mei hidup susah, hatinya merasa sedih.
“Pantas
kak Ling Xiao bilang kalian sama,” komentar
Jian Jian. “Jalan
pikiran kalian sama. Seperti kau kuliah di luar negeri, kau ingin menghemat
uang ayah,
takut Zhao Huaguang mencelakaiku, kau
sendirian memainkan drama yang begitu menyiksa,” jelasnya.
“Bisa jangan
bahas lagi? Aku salah, bisa? Aku sungguh bersalah,” balas Ziqiu, merasa agak
tidak tahan.
“Li Jian
Jian, jangan menyudutkan,”tegas Ling Xiao sambil membuat tanda agar Jian Jian
tutup mulut saja. Dan Jian Jian mendengarkannya.
Ziqiu
kemudian mengalihkan pembicaraan. Dia ingin tahu, apakah Jian Jian sudah
menyukai Ling Xiao sejak kecil. Karena sejak dia mengenal Jian Jian dulu, Jian
Jian suka sekali mengikuti Ling Xiao dari belakang. Jika Jian Jian melakukan
hal buruk, Jian Jian akan mengingatnya, karena takut Ling Xiao tahu dan marah.
Lalu setiap kali Jian Jian melihat Ling Xiao, mata Jian Jian menyala seperti
bola lampu.
Mendengar
itu, Ling Xiao tersenyum senang. Dan Jian Jian menjelaskan dengan agak
canggung. “Saat itu,
bukan perasaan suka itu, hanya suka bersama,” jelasnya, menyangkal.
“Suka bersama? Apa ada bedanya?” goda Ziqiu.
Lalu dia dan Jian Jian menatap Ling Xiao bersama- sama. “Menjijikkan,” keluh
Ziqiu, saat melihat Ling Xiao tersenyum malu- malu.
Kemudian
Ziqiu dan Jian Jian mulai bermain- main bersama. Dan lalu mereka menarik Ling
Xiao untuk ikut bermain bersama mereka juga.
Ziqiu dan Li
Haichao minum- minum bersama sambil mengobrol. Ziqiu mengucapkan terima kasih
banyak karena Li Haichao sangat baik dan menyayangi nya.
Ling Xiao
dan Jian Jian nonton bersama sambil berpelukan dengan mesra. Lalu saat Ling
Heping pulang, mereka langsung menjauh dan duduk dengan canggung.
“Ziqiu, dia baik-baik saja?” tanya Ling
Heping, perhatian.
“Baik, dia sangat baik,” jawab Jian
Jian.
“Oh iya, obat tradisionalmu masih dimakan?” tanya Ling
Heping, memperhatikan Ling Xiao. Dan Ling Xiao menjawab sudah. “Kau teruskan
makan. Itu… jangan
makan makanan yang memicu, seperti makanan laut, dan juga itu… lobak,” jelasnya,
perhatian. Kemudian diapun pergi.
Setelah Ling
Heping pergi, Jian Jian kembali bersandar dibahu Ling Xiao sambil tangannya
mengetuk- ngetuk tangan Ling Xiao.
“Kita menikah saja,” ajak Ling
Xiao, tiba- tiba. Mendengar itu, Jian Jian sangat terkejut. “Bodoh. Aku
cari uang beli rumah,” katanya sambil menarik Jian Jian ke dalam
pelukannya lagi.
“Siapa yang mau rumahmu?” balas Jian
Jian sambil melepaskan diri dari pelukan Ling Xiao dan memakan buah.
Ibu Ming
tiba- tiba datang ke rumah Mingyue. Dan Mingyue yang masih dalam perjalanan
pulang merasa sangat panik sekali. Lalu diapun menghubungi Tang Can yang berada
dirumah.
Ibu Ming
menggeledah kamar Mingyue untuk mencari buku aktanya, tapi Ibu Ming tidak
berhasil menemukannya. Karena buku akta Mingyue sebenarnya ada di kantor. Dan
sialnya untuk Mingyue, Ibu Ming malah menemukan buku ujiannya, dan buku itu
isinya kosong, karena Mingyue sama sekali tidak ada mempelajarinya. Juga Ibu
Ming menemukan kaleng- kaleng bir kosong yang disembunyikan Mingyue dibawah
tempat tidur.
“Qi Mingyue, kamu segera pulang!” perintah
Ibu Ming, menelpon Mingyue dengan marah.
Tang Can
merasa gugup berada berduaan saja dengan Ibu Ming didalam rumah. Jadi diapun
mengirimkan pesan agar Jian Jian segera pulang.
Jian Jian
dan Mingyue sampai bersamaan. Dan melihat Mingyue pulang, Ibu Ming langsung
menanyai, apakah Mingyue selama ini ada belajar atau tidak. Dan Mingyue
menjawab dengan jujur bahwa dia memang tidak ada belajar, karena dia tidak ingin
mengikuti ujian pegawai sipil.
Dengan
marah, Ibu Ming melemparkan buku kepada Mingyue serta ingin memukulnya. Dan
Jian Jian serta Tang Can menghentikannya, juga melindungi Mingyue.
Ibu Ming
mengeluhkan bahwa selama ini dia tidak pernah memukuli Mingyue dan dia
membesarkan Mingyue dengan baik, tapi Mingyue malah menipunya. Dan Mingyue
menjawab bahwa dia tidak ingin menipu Ibu Ming, tapi dia memang tidak ingin
menjadi pegawai sipil, melainkan dia ingin menjadi wartawan dan pergi dua tahun
ke Beijing. Dan Ibu Ming tidak setuju.
“Ibu, saat
aku SMA, ibu yang bilang ingin aku ke Beijing, Ibu bilang banyak kesempatan di
Beijing,” kata Mingyue, menjelaskan.
“Kesempatan
untuk orang yang punya persiapan. Kau bisa apa?” tanya Ibu Ming, meremehkan
Mingyue. “Kerja dua tahun, tak ada hasil. Kesempatan bagus ini akan disisakan
untukmu? Kau tak pikirkan baik-baik. Di Beijing banyak orang hebat, kau lebih
hebat dari mereka?”
“Aku tak
lebih hebat, tetapi aku juga tak lebih buruk!” bentak Mingyue, marah.
“Kau kurang
di psikologis! Biasanya kau masih bagus, begitu di hal penting kau gagal! Saat
ujian akhir hasilmu jelek, 'kan?” sindir Ibu Ming dengan sinis. “Dulu kau mau
masuk universitas hukum.”
“Ibu yang
ingin aku masuk universitas itu!” teriak Mingyue, emosi. “Aku tak pernah ingin
masuk universitas hukum!”
Mingyue
mulai meluapkan semua perasaan yang ditahannya selama ini. Ibu Ming ingin dia
jadi Pengacara, ingin dia menjadi Jaksa, itu semua keinginan Ibu Ming, tapi
bukan keinginan nya. Ibu Ming selalu meremehkan nya. Contohnya dia memilih
pakaian, Ibu Ming meremehkannya, dia memesan makanan, Ibu Ming meremehkannya,
dia bekerja, berpacaran, Ibu Ming juga selalu meremehkan nya. Dan dia merasa
tidak tahan. Hanya saat dia mendapatkan juara satu, barulah Ibu Ming mau memuji
nya.
“Aku demi
kebaikanmu, perhatian padamu!” tegas Ibu Ming, menjelaskan.
“Aku tak
perlu. Perhatian Ibu ini sama sekali bukan yang kumau,” balas Mingyue.
“Qi Mingyue,
apa kau punya hati nurani? Aku susah payah demi kau berkorban begitu banyak,
memberimu makanan dan pakaian yang bagus. Aku berikan lingkungan belajar yang
baik, sekarang kau bilang ini semua bukan yang kau mau? Bukan yang kau mau,
saat aku tanya padamu, kau sedang apa?” balas Ibu Ming, bertanya dengan sedih
dan kecewa.
“Apa Ibu
pernah bertanya padaku? Ibu pernah hargai pendapatku? Di mulut Ibu bicara
demokratis, tetapi yang ditunjukkan adalah autokratis,” balas Mingyue, kesal.
Dengan
tatapan meremehkan, Ibu Ming menatap ke arah Tang Can. Dia mengaku bahwa dia
merasa menyesal, karena dulu mengizinkan Mingyue untuk tinggal disini bersama
mereka. Sebab Mingyue menjadi buruk. Mingyue mulai berbohong, membual, melawan
orang tua, dan bahkan minum bir.
“Marahi aku
saja, kenapa
marahi temanku?” kata Mingyue, membela temannya.
“Kenapa?
Tidak boleh? Apa aku salah? Dulu kau seperti ini? Besok kau pindah ke rumah.
Persiapkan ujian pegawai sipil!” perintah Ibu Ming, tidak mau dibantah.
Jian Jian
berusaha menenangkan Ibu Ming agar jangan marah. Dan Tang Can menenangkan
Mingyue.
“Ibu, dari
dulu tak pernah memahamiku. Aku memang begini. Aku selalu begini,” kata
Mingyue, merasa sangat kecewa kepada Ibu Ming. “Dari kecil, aku paling ahli
dalam berbohong. Ibu selalu ingin anak yang patuh, hal yang tak Ibu izinkan,
aku melakukan semuanya di belakangmu. Ibu tahu kenapa nilaiku di ujian akhir
menurun 50-60 poin dari uji coba? Karena aku sengaja tak menjawab selembar
soal,” jelasnya, mengakui rahasianya.
“Kau
berbohong,” kata Ibu Ming, tidak percaya. Dan Jian Jian serta Tang Can merasa
terkejut, karena mereka tidak tahu itu.
Mingyue
menegaskan bahwa dia melakukan hal bodoh itu, karena dia ingin menjadi wartawan.
Dia ingin pergi ke Beijing. Dia ingin pergi keluar untuk melihat dunia. Karena
dia harus jatuh, dia harus menderita, supaya dia bisa lihat bisa menjadi
seperti apa dirinya. Jadi dia tidak akan patuh kepada Ibu Ming lagi.
Mendengar
itu, Ibu Ming merasa sedih. “Baik. Kamu sungguh hebat,” katanya dengan kecewa.
Lalu diapun langsung pergi.
Jian Jian
segera mengikuti Ibu Ming untuk menenangkan nya.
Setelah
mereka berdua pergi, Mingyue langsung terjatuh dan terduduk dengan lemas di
lantai. Dan dengan perhatian, Tang Can memeluk serta menlapkan air matanya. Dan
Mingyue mulai menangis tersedu- sedu.
Ibu Ming
menuduh, apakah selama ini Jian Jian dan Tang Can sudah tahu, dan mereka berdua
membantu Mingyue untuk membohongi nya. Dan Jian Jian menjawab tidak, ini
pertama kalinya dia tahu tentang rahasia Mingyue. Dan dengan sedih, Ibu Ming
menangis kecewa.
“Kau beri
tahu dia, aku tak belikan dia rumah ini lagi. Nanti aku tarik uang mukanya.
Terserah dia mau ke mana, jangankan Beijing, jika mau ke kutub utara, aku juga
tak peduli! Dia dan ayahnya sungguh membuatku sedih,” kata Ibu Ming sambil
menangis. Lalu dia pergi.
Jian Jian
kembali dan memberitahu Mingyue tentang apa yang Ibu Ming katakan barusan. Lalu
dia menanyai, apakah benar, Mingyue sengaja tidak menjawab satu lembar soal
pada saat ujian akhir sekolah. Dan Mingyue mengiyakan. Kemudian dia mengambil
laptopnya. Dia mengirimkan surat permohonan pemindahan yang selama ini ragu
dikirimkan nya. Melihat itu, Jian Jian serta Tang Can merasa terkejut, namun
mereka tidak mengatakan apapun.
“Kelak aku
tetap bayar sewa, kalian sisakan kamarku saja,” pinta Mingyue kepada mereka
berdua.
“Kau pasti
bisa pergi?” tanya Jian Jian, khawatir.
“Pimpinan
sudah bilang, asalkan aku buat laporan, langsung bawa aku pergi,” jawab
Mingyue.
“Bulan
berapa?” tanya Jian Jian, lagi.
“Oktober.
Setelah aku pastikan, bagian berita utama akan cari orang baru. Aku serah
terima dan mengajari orang baru,” jawab Mingyue.
Malam hari.
Jian Jian dan Tang Can berkumpul dirumah Ziqiu dan Ling Xiao, mereka
membicarakan tentang rahasia Mingyue sambil makan serta nonton bersama
sekaligus. Dan Zhuang Bei juga ada disana, dia datang untuk menonton bola
bersama. Tapi mereka semua tidak percaya, mereka mengira Zhuang Bei datang
untuk mendengarkan tentang Mingyue. Dan Zhuang Bei merasa agak frustasi serta
capek saat harus menjelaskan berkali- kali bahwa dia datang memang cuma untuk
menonton bola saja.
Saat pulang,
Zhuang Bei melihat Tang Can sedang duduk sendirian sambil memandangi sebungkus
kacang dengan sedih. Dan dia mengira kalau Tang Can mabuk.
“Kau tahu
sebungkus kacang goreng iniada berapa kalori?” tanya Tang Can. Dan Zhuang Bei
membantunya melihat berapa kalorinya. “Kau tak bisa melihatnya. Setiap hari
selain makanan biasa, jika kau makan sebungkus ini saja. Dalam setahun kau bisa
gemuk lima kilogram,” jelasnya.
“Begitu
banyak?” tanya Zhuang Bei, tidak menyangka.
“Tetapi aku
sungguh sangat suka makan kacang goreng,” kata Tang Can dengan suara sedih. Dan
Zhuang Bei pun membuka bungkus kacang tersebut.
“Makan
saja,” kata Zhuang Bei, menawarkan. Tapi kemudian Tang Can malah mulai
menangis. Dan dia merasa sangat bingung.
Tang Can
sebenarnya sedang merasa sangat sedih, karena Ibu Ming tidak menyukai dan
meremehkan nya. Dia sering gagal audisi, belum ada pekerjaan tetap, suka
menghamburkan uang, membeli barang yang tidak berguna, termaksud baju, dan juga
dia suka melawan orang tua. Dia sebenarnya juga sering meremehkan dirinya
sendiri sebagai sampah. Kelebihan satu- satunya hanyalah kurus.
“Kurus
termasuk kelebihan apa?” tanya Zhuang Bei, merasa geli. Dan lalu Tang Can mulai
menangis lagi. “Ibu Qi Mingyue tak menyukaimu, kau juga tak suka dia, selesai,
'kan?” katanya, menghibur Tang Can. “Lihat, kau begitu baik, cantik, dan juga
baik hati. Ibuku sangat menyukaimu. Kau adalah artis di matanya.”
“Kaulah yang
artis! Kalian sekeluarga adalah artis! Aku paling benci dibilang artis!” teriak
Tang Can, emosi. “Kau dulu juga merendahkan pekerjaanku?” tuduhnya.
“Kapan aku
rendahkan? Kau memfitnahku,” balas Zhuang Bei.
“Sudahlah.
Tak penting lagi,” kata Tang Can, berhenti menangis. “Aku tak boleh menangis.
Di museum ada pimpinan kecil yang menyukaiku. Jika aku menangis sampai mata
bengkak, besok tak bisa berdandan.”
Tang Can
kemudian mengambil kacang nya dan makan. Lalu setelah itu, dia menangis lagi.
Karena hari ini dia menimbang berat badan nya, dan ternyata berat badan nya
telah bertambah satu kilo. Mendengar itu, Zhuang Bei membantu Tang Can memakan
kacangnya. Lalu dia memainkan satu sulap untuk menghibur Tang Can.
Akhirnya
Tang Can pun berhenti menangis. Tapi dia merasa jijik dengan sulap yang Zhuang
Bei tunjukkan dan berjalan pergi dengan marah.
Ran dan Jian
Jian sedang membahas tentang masalah seni bersama- sama. Lalu Du Juan datang
membawakan paket pesanan Jian Jian yang sudah datang. Isi paket tersebut adalah
bemacam- macam snack yang Jian Jian rencanakan untuk diberikan kepada Chen Ting
yang sebentar lagi akan pulang ke Singapura. Dan didalam paket tersebut, ada
salah satu snack kesukaan Zhou Miao. Tapi Jian Jian tidak mau memberikan itu
kepada Du Juan. Dan Du Juan mengatai Jian Jian pelit.
“Zhou Miao pergi kencan buta. Kau masih mau
berbaikan dengannya?” tanya Jian Jian, heran.
“Wanita itu
yang menyukainya, selalu mengusik dia. Jika salahkan, ini karena Zhou Miao
sangat hebat,” balas Du Juan, membela Zhou Miao. Dan Jian Jian merasa jijik
mendengar itu.
“Menurutku Kak
Juan sangat baik. Berpacaran memang berapi-api, harus buta, harus keluarkan
semua keberanian,” kata Ran, membela Du Juan. “Sebaliknya, aku merasa pacaranmu
ini terlalu biasa, belum pernah terbakar sudah seperti suami-istri, dan beli
jajanan untuk mertua masa depan,” katanya. Dan Du Juan setuju.
Malas
mendengarkan mereka berdua, Jian Jian pergi menjauhi mereka untuk melihat pesan
masuk di ponsel nya.
Karyawan Li
mengirimkan video He Mei dan Li Haichao yang sedang makan bersama direstoran.
Dia mengirimkan itu kepada Jian Jian.
Li Haichao
memberikan semangkuk mie tanpa daun bawang kepada He Mei, karena dia tahu kalau
dulu He Mei tidak menyukai daun bawang. Lalu dia menunjukkan foto- foto Ziqiu
dulu. Dan He Mei mengucapkan terima kasih kepada Li Haichao.
“Anak ini,
dulu pernah bilang padaku, mau menikah dengan Xiao Jian,” kata Li Haichao,
bercerita sambil tertawa. Dan He Mei merasa terkejut mengetahui itu.
“Mereka
berdua?” tanya He Mei.
“Mungkin
anak ini, merasa tidak tenang. Jadi ingin masuk ke akta keluarga kami, baru
bisa tenang,” kata Li Haichao, menjelaskan. “Jangan bicara ini lagi. Makanlah,”
kata nya kemudian, mengalihkan pembicaraan, karena He Mei tampak tidak nyaman.
Disaat itu,
Dongdong yang jarang berbicara mulai berbicara. “Enak,” katanya. Mendengar itu,
He Mei serta Li Haichao sama- sama merasa senang.
Jian Jian
sengaja datang ke café untuk menunjukkan video tersebut kepada Ziqiu. Dan
melihat video itu, Ziqiu tidak merasa ada sesuatu yang ambigu, melainkan dia
menganggap itu hanya hal biasa saja, Li Haichao dan He Mei sedang makan mie.
“Bukan makan
mie, tetapi menjalin hubungan. Kau
rasakan dulu suasananya, aneh tidak?” kata Jian Jian, menjelaskan.
“Apanya yang
aneh? Mereka sudah tua, apakah masih bersama untuk pacaran?” balas Ziqiu, tidak
percaya.
Karena Ziqiu
tidak percaya, maka Jian Jian pun mau makan saja. tapi ketika dia membuka
etalase, dia hanya melihat ada dua jenis kue. Tiramisu dan roti isi.
“Karena tak
ada yang beli kue buatanku,” kata Ziqiu sambil menghela nafas tidak berdaya.
Lalu disaat itu, seorang pelanggan memesan dua roti isi.
Meiyang
menangis ditelpon dan meminta Ling Xiao agar segera pulang. Dan Ling Xiao
merasa heran, ada apa.
“Kau uruslah Ibu, dia tak mau dengarkan aku,” keluh Meiyang.