Original Network
: Hunan Tv, iQiyi, Mango TV
Tidak tahan berdebat dengan Chen Ting lagi, maka Ling Xiao pun
pamit dan pergi dengan menarik tangan Jian Jian untuk ikut bersama dengan nya.
Saat mereka masuk ke dalam apatermen, Ling Xiao langsung memeluk
Jian Jian dengan erat dan meminta maaf. Mendengar itu, Jian Jian menjelaskan
bahwa dia menangis barusan benar- benar bukan karena Chen Ting. Dan Ling Xiao
membalas bahwa dia hanya tidak suka Jian Jian bertemu dengan Chen Ting, jadi
kelak jika Jian Jian melihat Chen Ting, maka Jian Jian harus segera menjauh.
“Aku merasa dia kelak akan lebih membenciku. Awalnya, aku ingin
membuatnya senang, bagaimana pun aku lebih muda,” kata Jian Jian dengan agak
sedih.
“Ingin dihormati, harus jadi orang tua yang baik dulu,” balas Ling
Xiao.
“Kita tak boleh begini. Dia adalah ibumu,” kata Jian Jian,
menasehati Ling Xiao.
Bibi Chen mencoba menghibur Chen Ting agar jangan sedih. Lalu dia
menasehati sikap Chen Ting yang barusan memang agak terlaluan kepada Jian Jian.
Kemudian dia mengomentari bahwa Jian Jian ini menurutnya memang tidak baik,
karena di depan, Jian Jian bersikap baik kepada Chen Ting, tapi di belakang,
Jian Jian malah mengadu kepada Ling Xiao.
Mendengar itu, Chen Ting tampak lebih membenci Jian Jian lagi.
Karena menurutnya komentar Bibi Chen itu ada benarnya.
Mingyue datang ke kantor Ibu Ming untuk membahas apakah Ibu Ming
dan Ayah Ming beneran akan bercerai. Tapi Ibu Ming sengaja mengabaikannya.
“Jangan marah lagi,” pinta Mingyue, merasa sedikit frustasi.
“Jumat nanti kalian sungguh akan bercerai?” tanyanya, memastikan.
“Aku kabulkan keinginan kalian. Kalian mau ke mana pergi saja, tak
perlu membohongiku terus,” balas Ibu Ming, penuh emosi.
Mingyue merasa sangat frustasi. Dia berteriak meminta maaf kepada
Ibu Ming. Dia mengakui bahwa tindakannya dulu memang sangat kekanak- kanakan.
Dan dia merasa sungguh menyesal, karena terus melawan Ibu Ming, dan sengaja
tidak mau mendapatkan nilai bagus. Mendengar itu, Ibu Ming langsung memarahi
Mingyue. Dan sambil menangis, Mingyue mengakui bahwa dirinya memang bersalah
dan dia merasa seperti ingin kembali ke masa lalu serta menampar dirinya
sendiri.
“Sekarang juga aku beri kau tamparan!” teriak Ibu Ming, lalu dia menampar dirinya sendiri. Melihat itu, Mingyue menangis semakin keras dan memeluknya. “Kenapa kalian begitu membenciku? Kenapa begitu padaku? Sebenarnya, apa salahku? Beri tahu aku. Seumur hidupku ini hidup demi kalian. Kalian dengan mudahnya bilang tak menginginkanku,” kata Ibu Ming sambil menangis sedih.
Setelah Ibu Ming agak tenang, Mingyue dengan sikap tegas
menjelaskan bahwa dia memang ingin pergi ke Beijing. Dia ingin menjadi
wartawan, karena dia menyukai pekerjaan ini. Dia bukan hanya ingin masuk ke
siaran lokal, menerima telpon rakyat, mendamaikan, tapi dia ingin melakukan
berita langsung, berita kehidupan. Dia ingin menjadi wartawan dokumenter.
Inilah impiannya.
Mendengar itu, Ibu Ming memberikan senyum kepada Mingyue. Lalu mereka
kembali berpelukan lagi.
Jian Jian menceritakan masalah nya kepada Ling Xiao. Saat pertama
kali dia membuka studio, Senior Yufei datang untuk melihat- lihat, dan saat itu
buku sketsa nya dia letakkan di meja begitu saja. Senior Yufei mengambil itu
dan melihat. Lalu sekarang, siapa sangka kalau Senior Yufei itu akan menjiplak
karyanya dan menfitnah dirinya.
Gambar dibuku sketsa itu sama seperti foto mereka bertiga dulu.
Yang dipotret menggunakan kamera Mingyue dulu. Saat kuliah, Jian Jian bermain
kapsul waktu dengan teman, dan menguburkan foto tersebut. Dulu tanah tempat
mereka mengubur kapsul waktu masih merupakan tanah kosong. Tapi sekarang tanah
itu sudah jadi pusat gedung- gedung besar. Jadi dia tidak bisa menemukan foto
itu lagi.
“Oh ya. Dia juga mencetaknya untukmu dan Kak Ziqiu, 'kan? Mana
fotomu?” tanya Jian Jian, teringat.
“Aku tak tahu taruh di mana,” jawab Ling Xiao, pelan. “Kita cari
Ziqiu saja, dia menyimpan barang lebih baik,” katanya, menyarankan. “Ayo,”
ajaknya sambil memegang tangan Jian Jian.
Melihat Meiyang bekerja dengan sangat baik, Ling Xiao memujinya.
Dan dengan sikap jaim, Meiyang berpura- pura tidak peduli.
“Jika senang tersenyum, berlagak keren,” komentar Ziqiu sambil
memegang kepala Meiyang. Dan Meiyang tersenyum kecil.
Setelah mendengarkan permasalahan Jian Jian, Ziqiu menceritakan
dengan sedikit menyesal. Saat dia pergi meninggalkan Huaguang, dia sedikit
terburu- buru, jadi banyak barang yang tidak dia ambil. Jadi dia tidak tahu,
jika foto mereka dulu masih ada atau tidak. Lalu dia menyarankan Ling Xiao
untuk mencari foto yang ada pada Ling Xiao. Mendengar itu, Meiyang memotong
pembicaraan mereka bertiga. Dan Ling Xiao berusaha untuk menghentikannya.
“Aku tak tahu barangnya yang lain, tetapi albumnya aku tahu. Sudah
digunting oleh ibuku tiga tahun lalu. Semuanya digunting,” kata Meiyang,
memberitahu Ling Xiao dan Jian Jian.
“Sudah berlalu, jangan bahas lagi,” balas Ling Xiao,
memperingatkan Meiyang. Tapi Meiyang tidak mau diam dan tetap lanjut
menceritakan semuanya.
Flash back
Meiyang :
“Kakakku akan segera tamat kuliah. Saat itu keadaan ibuku cukup baik, Kakakku
ingin kembali.”
Ling Xiao ingin pulang ke China. Tapi Chen Ting merasa keberatan,
dan dia menyarankan Ling Xiao untuk cepat mencari pekerjaan tetap di Singapura.
Saat itu, Meiyang belum terlalu mengerti banyak hal yang ada didalam dunia
orang dewasa, jadi dengan polosnya dia mengatakan bahwa dia tidak mau ke China,
karena dia sudah tinggal hampir 20 tahun di Singapura, jadi dia sudah terbiasa
dan semua temannya juga ada di Singapura.
“Ibu, sekarang Ibu sudah bisa mandiri, fasilitas Singapura juga
bagus, Xiao Chengzi sudah besar, tak perlu dikhawatirkan. Jadi aku pikir ingin
pulang dan bekerja di sana,” kata Ling Xiao, tetap ingin pulang ke China.
“Ling Heping meneleponmu?” tanya Chen Ting, tidak senang.
“Tidak,” jawab Ling Xiao dengan jujur.
Chen Ting berpura- pura masih lemah. Dia menjelaskan bahwa dia
masih butuh kursi roda. Jika dia jatuh, Meiyang tidak akan mampu menopang nya.
Jika Meiyang sakit, dia tidak akan bisa membawa Meiyang ke rumah sakit. Dan dia
mempertanyakan Ling Xiao, pada saat itu dia harus bagaimana. Tanpa sadar
perkataan itu, menjadi beban tambahan bagi Ling Xiao.
“Aku sudah tanya dokter, jangan khawatir,” kata Ling Xiao,
menyakinkan Chen Ting.
“Dia dokter bisa mengurus semuanya? Dia tidak cacat, dia tahu aku
yang cacat ini sesulit apa? Dia berbicara tanpa memahaminya. Ling Heping dia
mau apa? Dia belum tua, juga masih bisa berjalan, kenapa rebutan denganku?”
balas Chen Ting, memekik dengan emosional.
“Ibu, jangan emosi. Aku berdiskusi denganmu,” pinta Ling Xiao.
“Tak perlu diskusi. Jika kau tanya aku, aku tak akan setuju,”
bentak Chen Ting, bersikap sangat keras kepala.
Saat Chen Ting pergi ke kamar. Meiyang meminta Ling Xiao untuk
jangan pulang ke China dan meninggalkan nya sendirian disini bersama dengan Chen
Ting, karena emosi Chen Ting kadang- kadang agak buruk. Mendengar itu, Ling
Xiao merasa sangat terbebani dan diam.
“Tolonglah, Kak. Bisakah kamu jangan pergi?” pinta Meiyang,
merengek. Dan Ling Xiao merasa sangat stress sekali.
Malam hari. Didalam kamar. Ling Xiao melihat- lihat album foto nya
untuk menghilangkan rasa stress. Kemudian tiba- tiba saja, Chen Ting masuk ke
dalam kamarnya. Dan diapun langsung menyembunyikan album foto nya.
“Foto apa? Biar aku lihat juga,” kata Chen Ting, ingin tahu.
“Aku mau tidur. Ketuklah sebelum masuk,” balas Ling Xiao, menolak.
Setelah Chen Ting keluar dari kamar, Ling Xiao langsung mengunci
pintu kamar nya. Dan Chen Ting merasa kecewa.
Keesokan harinya, pada saat Ling Xiao pulang sekolah, dia melihat
sepatu hadiah dari Jian Jian untuknya yang berada dirak sepatu telah
menghilang. Dan ternyata, Chen Ting yang telah membuang sepatu tersebut. Juga
Chen Ting menggunting semua foto di dalam album fotonya. Melihat itu, Ling Xiao
merasa sangat marah.
“Kau sudah mau pulang, 'kan? Setiap hari bisa melihat mereka.
Untuk apa simpan foto ini lagi?” kata Chen Ting dengan suara datar.
“Bisa jangan begini?” pinta Ling Xiao sambil menahan emosinya.
“Kau mau aku bagaimana? Mereka pasti mengejekku di belakang.
Setiap hari memarahiku, untuk apa aku simpan foto mereka, dipajang?” ejek Chen
Ting. “Maaf, aku tak sanggup. Pergi saja. Tak usah pedulikan aku. Aku juga tak
ingin merepotkan kalian. Aku tak ingin jadi beban kalian. Seharusnya aku mati
bersama Ayah Chengzi,” teriaknya, emosi.
“Jangan begini, Ibu,” pinta Meiyang, takut.
“Jangan pedulikan aku. Jika aku mati semuanya selesai, 'kan? Tidak
akan merepotkan kalian lagi. Pergilah,” usir Chen Ting. Kemudian dia mulai
menangis. Dan Meiyang pun ikut menangis juga.
Melihat sikap mereka berdua, Ling Xiao makin merasa stress dan
terbebani. Tanpa mengatakan apapun, dia meninggalkan gunting yang barusan Chen
Ting pegang di atas meja. Lalu diapun pergi untuk mencari sepatu nya.
Meiyang mengambil gunting tersebut dan mengikuti Ling Xiao. “Kak,
jangan pergi lagi,” pintanya, memohon.
“Itu hadiah pemberian orang. Aku harus ambil kembali,” balas Ling
Xiao.
“Aku tahu, sepatu itu sudah kuambil kembali diam-diam. Ada di
tasku,” kata Meiyang, memberitahu.
Mendengar itu, Ling Xiao merasa lega. Lalu dia pergi ke tangga
darurat untuk bersembunyi dan menangis. Dan Meiyang merasa sangat khawatir
padanya.
Flash back end
Meiyang duduk sendirian, bersembunyi didapur. Dan lalu Ziqiu
datang serta mendekatinya. Kemudian Meiyang mulai mengakui rasa bersalah nya.
Saat Ling Xiao baru tamat dan ingin pulang ke China, dia yang memohon kepada
Ling Xiao supaya jangan pergi, karena dia takut sendirian bersama dengan Chen
Ting. Sejak saat itu, Ling Xiao tidak pernah tertawa lagi, juga tidak
berbicara, tidak bersemangat, dan tidak tahu memikirkan apa.
“Sebenarnya wajar kalau kau takut. Karena kau masih anak kecil,”
komentar Ziqiu sambil duduk disebelah Meiyang.
“Saat itu aku berusia 14 tahun. Setiap hari berpikir, aku tak
boleh seperti ibuku. Tetapi yang kulakukan apa bedanya dengannya?” balas
Meiyang, merasa sangat bersalah.
“Bedanya adalah, 14 tahun masih umur bergantung pada orang lain.
Tetapi usia 50 tahun bukan,” balas Ziqiu, menjelaskan. “Coba pikirkan, saat 14
tahun, belum bisa menghidupi diri. Itu bergantung pada orang, 'kan? Jadi, kau
yang 14 tahun, kemanjaan yang seperti itu, sangat bisa dimengerti. Tetapi kau
juga bilang, kakakmu tak pulang sebagian besar alasannya karena kamu. Kenapa
bilang kakakmu tak menyayangimu?” tanyanya.
“Tetapi Li Jian Jian begitu membenciku. Begitu kakakku
pulang, ayahnya dan keluarga kalian terus menjelekkan kami,” balas
Meiyang, mengeluh.
“Tunggu. Kau
dengar dari siapa? Ibumu?” tanya Ziqiu, heran.
“Saat kecil, aku… Intinya
Li Jian Jian sangat membenciku,” balas Meiyang sambil cemberut.
Mendengar itu, Ziqiu tertawa. Dia tahu alasan Meiyang berpikir
seperti itu. Itu pasti karena dulu Meiyang pernah berbohong dengan mengatakan
bahwa Jian Jian yang mendorong nya jatuh dari tangga. Jadi Meiyang merasa
bersalah dan mengganggap Jian Jian membeci dirinya. Mendengar itu, Meiyang
hanya diam saja.
“Kau harus langsung minta maaf,” kata Ziqiu, menyarankan.
“Aku tak mau. Dia pasti menertawakanku,” balas Meiyang, berpikiran
negatif.
“Lihat, kau bilang tak ingin seperti ibumu. Tetapi sebenarnya cara
berpikir kalian sama. Kau selalu berpikir buruk tentang orang lain,” balas
Ziqiu. Dan Meiyang langsung menutup mulut nya. “Kuberikan 10 menit, persiapkan
dirimu, kembali bekerja,” jelasnya sambil mengetuk pelan kepala Meiyang.
“Cepatlah sampai ke dunia orang dewasa,” gumamnya.
Ziqiu merasa sangat ragu untuk menelpon Huaguang. Tapi pada
akhirnya, dia tetap menelpon Huaguang.
“Saat aku tinggal di rumahmu, ada barang yang tak kubawa, sudah
kau buang?” tanya Ziqiu langsung, tanpa berbasa- basi.
“Barang apa?” tanya Huaguang, agak bingung. “Harusnya di ruang
bawah tanah,” jelasnya.
“Ada beberapa foto, harusnya ada di dalam buku. Tak perlu repot,
foto dan kirimkan ke aku saja. Dan juga kirimkan nomor rekeningmu, aku
kembalikan uangmu,” kata Ziqiu dengan cepat.
“Kau pakai saja,” balas Huaguang dengan lembut. “Kakekmu sakit,
datanglah dan kunjungi dia,” pintanya. “Kanker paru-paru. Sudah merokok seumur
hidup, tinggal beberapa bulan lagi. Kau datang kunjungi dia. Dia ingin menemui
cucunya.”
Ziqiu menolak untuk menjenguk kakek nya. Tapi Huaguang memohon
supaya Ziqiu mau datang berkunjung, sebagai gantinya dia akan mencarikan foto
Ziqiu.
Zhuang Bei datang menjemput Tang Can dan mengajaknya untuk makan
bersama sambil menonton bersama juga sekaligus.
Melihat Zhuang Bei membawakan tiket film "Secret Love In Peach Blossom Land", dengan bangku di barisan pertama, Tang Can merasa tertarik dan setuju untuk makan dan nonton bersamanya.
Selama makan, Tang Can banyak membicarakan masalah akting. Dia
sangat menyukai akting. Walaupun sekarang dia tidak mungkin menjadi artis, tapi
dia sudah puas untuk menjadi penonton saja.
“Jadi kenapa kau tak coba drama panggung?” tanya Zhuang Bei,
menawarkan.
“Aku tidak bisa,” jawab Tang Can. “Aktris drama lebih hebat dari
aktris drama TV. Bagaimana aku bisa?” jelasnya dengan pesimis.
“Lihatlah. Pemikiranmu ini salah. Kau ingin jadi aktris, harus
berjuang di garis awal,” balas Zhuang Bei, menyemangati.
“Sudahlah. Pemikiranku memang tak bagus, tidak percaya diri lagi. Aku baru putuskan
untuk mundur, masih penuh luka. Kau ingin aku maju lagi. Jika aku berharap
lagi, ibuku akan memukulku sampai mati,” balas Tang Can.
“Baik. Tak bahas, makanlah,”kata Zhuang Bei, mengerti.
Jian Jian merasa stress dan kesal, saat membaca komentar- komentar
negatif untuk dirinya di Internet. Lalu disaat itu, Ran menelpon.
“Jangan putus asa. Jangan lihat pembahasan mereka,” kata Ran,
perhatian. Dia percaya bahwa Jian Jian past tidak ada menceplak karya orang
lain.
“Sedang lihat,” balas Jian Jian, tanpa semangat.
“Jangan lihat. Abaikan orang bodoh itu. Kau cepat cari foto, aku cari
informasi lain. Kita balas dia,” balas Ran, memberikan dukungan nya.
Setelah Ran selesai menelpon, Du Juan menelpon. Dia menyuruh Jian
Jian untuk cepat mencari foto Jian Jian itu, karena hari ini dia sudah menerima
banyak We Chat dari teman- teman yang mempercayai Senior Yufei.
“Besok kita bicarakan,” pinta Jian Jian, capek sekali. “Tutup dulu, sampai jumpa,” katanya dengan tenang. Lalu setelah itu, dia merengek stress.
Setelah selesai menonton film kesukaan nya, Tang Can merasa sangat
puas sekali. Lalu dia menuduh, apakah Zhuang Bei memberikan tiket ini untuknya,
karena ingin dia membantu hubungan antara Zhuang Bei dan Mingyue. Dan Zhuang
Bei menyangkal itu.
“Kelak, kita adalah sahabat,” kata Tang Can dengan bersemangat.
“Siapa mau jadi sahabatmu. Cukup ada Ziqiu,” balas Zhuang Bei,
tidak puas.
“Sahabat Ziqiu itu Ling Xiao,” balas Tang Can dengan tegas.
“Ling Xiao itu keluarga, itu berbeda,” balas Zhuang Bei,
menjelaskan.
“Jadi kau ini jangan menganggap tinggi dirimu. Coba pikir, kau dan
Ling Xiao sama-sama jatuh ke air. He Ziqiu akan menolong siapa?” tanya Tang
Can, memberikan perumpamaan.
“Mati tenggelam saja,” balas Zhuang Bei, kesal.
“Tenang, aku akan menolongmu,” kata Tang Can dengan serius. Dan
Zhuang Bei tersenyum senang.
Zhuang Bei tiba- tiba mendapatkan telpon dari temannya. Dan dia
mengajak Tang Can untuk ikut bersama- sama dengan nya ke ruang latihan drama
untuk bertemu dengan temannya.
Dengan serius, Tang Can memperhatikan akting para aktor dan aktris
yang sedang melakukan latihan di atas panggung.
Setelah latihan selesai, Zhuang Bei memperkenalkan Tang Can
kepadanya. Teman Zhuang Bei ini adalah sutradara dalam drama barusan. Dia
menawarkan Tang Can untuk berakting di dalam drama nya, karena menurutnya Tang
Can cocok dengan peran di dalam drama nya.
“Bukan aku membual. Dari kecil sudah berakting. Usia delapan tahun, menangis dalam satu
detik,” kata Zhuang Bei, membanggakan Tang Can kepada temannya. “Kami hanya tak
ada pengalaman drama panggung. Tetapi cepat dalam menghafal skrip. Di museum,
bahan setebal ini, setebal ini. Hafal dalam satu minggu, sudah jadi narator,” jelas
nya.
“Kau bisa diam dulu? Biarkan kami bicara,” balas si Sutradara
sambil tertawa. Lalu dia memberikan skrip drama nya kepada Tang Can.
Melihat skrip tersebut, Tang Can merasa tertarik, tapi dengan
menyesal dia menjelaskan bahwa dia sudah berhenti berakting dan bekerja di
museum. Juga dia tidak pernah berakting diatas panggung, jadi takutnya akting
nya akan jelek.
“Tak masalah. Lihat dulu skripnya, pertimbangkan. Besok sebelum
siang kabari aku, bisa, 'kan?” kata si Sutradara, menawarkan.
Mendengar itu, Tang Can menatap ke arah Zhuang Bei. “Kau cobalah,
tak menunda hal lain,” kata Zhuang Bei, menyemangati. Dan akhirnya Tang Can pun
menggangguk kan kepalanya.
Setelah hanya tinggal berdua saja, Tang Can menanyai pendapat
Zhuang Bei, apakah dirinya beneran bisa berakting dengan baik nantinya. Dan
Zhuang Bei mengiyakan dengan yakin.
“Bagaimana aku bilang pada ibuku?” tanya Tang Can, bingung.
“Aku tak memikirkannya. Aku hanya merasa sejak kau tak jadi aktris
lagi, tidak begitu senang,” balas Zhuang Bei dengan tulus.
“Terima kasih telah membantuku,” kata Tang Can, bersyukur.
“Dalam buku "Sang Alkemis" ada satu kalimat. Saat kau
memutuskan melakukan sesuatu, seluruh dunia akan membantumu,” kata Zhuang Bei, menyemangati.
“Setelah 18 tahun aku hanya tahu, saat aku ingin ke suatu tempat,
seluruh dunia menghalangiku, sungguh tak terima,” kata Tang Can, pesimis. Lalu
dia menatap skrip dihadapannya dan berpikir keras. Kemudian dia menetapkan
keputusannya dan mengambil skrip tersebut serta membaca nya.
Melihat iu, Zhuang Bei tersenyum kecil.