Original Network
: Hunan Tv, iQiyi, Mango TV
Pagi hari. Tang Can sama sekali tidak fokus, dia bahkan tidak ingat
bahwa Mingyue sudah pergi kemarin untuk pulang ke rumah orang tuanya. Lalu
akhirnya, diapun meminta pendapat Jian Jian untuk masalah nya.
“Jika bagus, kau perankan. Jika tidak bisa, kau lanjutkan
bekerja,” kata Jian Jian, mendukung impian Tang Can.
“Kau mendukungku?” tanya Tang Can, senang. “Jika aktingku tak
baik, kau tak menertawakanku?” canda nya.
“Tentu aku mendukungmu. Ini adalah impianmu,” balas Jian Jian
dengan sungguh- sungguh.
Kemudian dengan bersemangat, Tang Can pun pergi ke kamar nya untuk
menyiapkan diri nya.
Saat Tang Can pergi, Jian Jian memanggil Meiyang untuk sarapan
bersama. Dan dengan agak ragu- ragu, Meiyang memanggil Jian Jian untuk masuk
sebentar ke dalam kamar dan mengobrol dengannya.
Ketika Jian Jian masuk ke dalam kamar, dia melihat ke sekeliling
kamar nya dan melihat- lihat apakah ada perubahan. Dan dia tersenyum senang, ketika
melihat semuanya baik- baik saja.
“Aku melihat headphone di meja kerjamu, kabelnya sudah rusak.
Sering pakai headphone merusak pendengaran. Kemarin sepulang kerja, aku belikan
speaker untukmu. Terima kasih kau izinkan aku tinggal di kamarmu,” kata Meiyang
dengan tulus dan agak deg- degan. Lalu dia memberikan hadiah nya.
“Sebenarnya aku tak suka warna merah jambu,” komentar Jian Jian,
sedikit bercanda. Dan ketika dia mendengar Meiyang mengeluh, dia tersenyum geli
serta mengucapkan terima kasih.
Jian Jian kemudian menasehati Meiyang untuk jangan banyak melawan
Ibu sendiri. Dan bila kelak ada masalah, Meiyang bisa memberitahu Ling Xiao atau dirinya. Walaupun
dia tidak bisa membantu Meiyang melawan Chen Ting, namun dia bisa membantu Chen
Ting mengatur Meiyang. Mendengar itu, Meiyang tersenyum geli.
“Saat kecil aku jahat padamu, maafkan aku,” kata Meiyang, mengakui
kesalahan nya dulu.
“Kapan kau jahat?” tanya Jian Jian, tidak ingat. Lalu setelah
berpikir sesaat, dia pun akhirnya ingat. “Ya ampun. Itu sudah lama, masih
diingat? Baru bangun dari mimpi? Aku akan perhitungan dengan anak kecil
sepertimu?” katanya sambil tertawa. “Ayo makan,” ajaknya.
Melihat Jian Jian dan Meiyang sudah berbaikan, Tang Can merasa
senang untuk mereka.
Distudio. Ketika Zhou Miao datang, dia langsung mengatai Jian Jian
dengan sikap agak buruk. “Bos Li, sudah temukan fotomu?” tanyanya.
“Belum,” jawab Jian Jian, singkat sambil sibuk mengerjakan
pekerjaan nya.
“Kau masih bisa bekerja di sini? Aku salut dengan tekadmu,” sindir
Zhou Miao dengan sinis. “Dari pabrik sudah kirim e-mail, menanyakan masalah plagiat. Bertanya kau melanggarnya tidak?
Produk yang pertama sudah selesai dibuat. Jika kau melanggar, berarti plagiat.
Jika plagiat harus bayar denda,” ejeknya, mengingatkan.
Mendengar itu, Du Juan merasa tidak enak kepada Jian Jian. Dia
memukul Zhou Miao dengan pelan dan menyuruh nya untuk lanjut bekerja saja. Lalu
dia menghibur Jian Jian. Tapi Jian Jian sama sekali tidak merasa masalah.
“Dulu aku begitu menyukai Yufei,” kata Du Juan, mengaku.
“Kau bahkan suka Zhou Miao, kau suka Yufei juga tak aneh,” balas
Jian Jian, berkomentar tanpa sadar. Lalu suasana pun menjadi sangat canggung.
Dicafe. Meiyang meminta izin kepada Ziqiu untuk pulang lebih cepat
nanti, karena hari ini dia dan Ibunya akan pindahan, jadi mereka harus beres-
beres rumah. Dan Ziqiu mengizinkan.
Ziqiu menelpon Huaguang. Dia memberitahu bahwa dia setuju dengan
syarat dari Huaguang. Jadi nanti dia akan ke rumah sakit.
“Dua hari lagi. Sekarang aku di Hengshan,” kata Huaguang.
“Kenapa kau di sana? Sekarang aku perlu foto,” balas Ziqiu,
mengeluh. “Kau tidak rawat ayahmu?” tanyanya, heran.
“Kata mereka biara lima gunung sangat hebat. Aku harus sembahyang
ke sana, aku baru dari biara Zhurong. Sekarang aku ke Taishan, Shandong, berdoa
untuk kakekmu,” balas Huaguang, menjelaskan.
Tang Can datang ke studio drama dan bersiap mencoba.
Setelah Tang Can selesai, Zhuang Bei yang sudah menunggu sedari
tadi langsung mendekatinya dengan gugup. Dan tiba- tiba saja, Tang Can
berjongkok. Dan diapun merasa panik serta khawatir.
“Kamu tidak lolos?” tanya Zhuang Bei, dengan hati- hati. “Tidak
lolos, ya sudah. Kamu anggap aku terlalu ikut campur. Kamu jangan bersedih,”
hiburnya.
Dengan tiba- tiba Tang Can berdiri dan memeluk Zhuang Bei dengan
erat sambil tersenyum senang. “Aku lolos,” katanya.
Zhuang Bei ingin balas memeluk Tang Can. Tapi sebelum dia sempat
melakukan itu, Tang Can melepaskan pelukannya. Dan dia merasa sedikit kecewa.
“Mereka bilang aku sangat bagus, dan bertepuk tangan untukku. Aku
dapat perannya,” kata Tang Can dengan sangat senang.
“Sungguh? Sungguh?” tanya Zhuang Bei, ikut merasa senang. Dan Tang
Can menggangguk kan kepalanya sambil tersenyum.
Ibu Ming tidak berani untuk masuk ke dalam restoran dan bertemu
dengan Ayah Ming sendirian. Jadi dia menunggu sampai Mingyue tiba. Dan ketika
Mingyue tiba serta melihat itu, dia mengerti.
“Ibu, jika Ayah ingin tetap bercerai, Ibu harus persiapkan diri,”
kata Mingyue, menenangkan Ibu Ming sambil tersenyum menyemangati nya. “Tenang
saja. Ada aku,” tegasnya.
Lalu Mingyue memegang tangan Ibu Ming dan berjalan bersama- sama
dengan nya untuk masuk ke dalam restoran.
Didalam restoran. Biasanya Ibu Ming yang memesankan makanan untuk
semuanya, tapi kali ini Mingyue yang melakukannya. Sedangkan Ibu Ming dan Ayah
Ming sama- sama saling diam.
Setelah cukup lama saling berdiam, akhirnya Ibu Ming memulai
pembicaraan duluan. Dia menuduh Ayah Ming memiliki simpanan di luar. Dan Ayah
Ming menjawab bahwa dia tidak serendah itu, dia ingin bercerai karena dia
memang tidak tahan lagi dengan sikap Ibu Ming yang terlalu menekan nya. Dan dia
yakin bahwa Mingyue juga merasakan hal yang sama seperti dirinya.
“Aku itu demi…” kata Ibu Ming, ingin protes. Tapi Mingyue
menghentikannya, karena Ayah Ming masih belum selesai berbicara.
“Jin Yuxiang, dengarkan dulu. Di rumah aku tak punya hak bicara,
sampai saat mau bercerai kau biarkan aku selesaikan,” tegas Ayah Ming penuh
emosi yang sudah lama terpendam. “Dulu anak di rumah masih lumayan, aku merasa
lebih baik. Sekarang seperti di penjara. Seorang sipir mengawasi satu tahanan,
kesempatan bersantai pun tak ada. Lantai yang sudah
dipel jangan dipijak, makan tak boleh ribut, belum mandi tak boleh berbaring di
ranjang. Asalkan kau anggap sehat, aku harus makan, bahkan harus makan dengan
bahagia. Aku sudah berusia 50 tahun, menikah puluhan tahun. Kita bertengkar,
kau lapor pada ibuku dan ibumu juga. Kemudian dua orang tua bergiliran
menasehatiku, agar tidak membuatmu marah,” keluhnya.
“Aku… Semua itu supaya kau punya kebiasaan yang sehat dan makan
yang baik. Apa salahnya?” balas Ibu Ming, membela dirinya.
“Benar, kau benar,” kata Ayah Ming, tidak mau berdebat lagi.
“Pokoknya aku mau bercerai. Kau mau deposito atau rumah?” tanyanya dengan
tegas.
Ibu Ming merasa sedih dan tidak percaya bahwa Ayah Ming benar- benar akan menceraikannya, kepadahal
mereka sudah menikah selama 20 tahun. Dan selama ini dia hidup hanya demi
Mingyue serta Ayah Ming saja. Namun Ayah Ming tetap ingin bercerai. Dia
menjelaskan bahwa selama ini dia selalu mencoba bersabar dan bertahan, menuruti
semua perkataan Ibu Ming, tapi kejadian rumah kemarin membuatnya sadar bahwa
Ibu Ming tidak akan pernah melakukan intropeksi diri.
“Itu... Sudah sepakat tak beli, 'kan? Dan juga depositnya sudah
kutarik. Dan juga, aku beli rumah bukan berjudi. Ini... aku demi kebaikan kita
sekeluarga,” kata Ibu Ming, membela dirinya.
“Kelak terserah kau mau apa,” balas Ayah Ming, sudah benar- benar
menyerah dengan pernikahan mereka. “Sekarang Yueliang sudah bekerja, kita
bercerai tak akan pengaruhi dia. Kelak, aku akan tetap seperti dulu perhatian
padamu. Kau ingin menjadi wartawan, mau ke Beijing, aku mendukungmu. Ayah
selalu dipihakmu,” jelasnya kepada Mingyue.
Mendengar itu, Ibu Ming menatap Mingyue untuk mengetahui
keputusannya. Dan dengan sedih, Mingyue memalingkan wajahnya. Akhirnya Ibu Ming
pun bersedia untuk bercerai. Lalu dia pamit untuk pergi duluan, karena dia
tidak ada nafsu untuk makan lagi. Tapi Mingyue memegang tangannya dan
menghentikannya.
“Ayah…” kata Mingyue, setelah memberanikan dirinya sendiri. “Ayah
mau bercerai, aku hormati keputusan Ayah. Tetapi menurutku, setelah bercerai
dengan Ibu, Ayah pasti menyesal. Ayah hidup bersama Ibu sudah 20 tahun lebih.
Ayah tak pernah memasak di dapur, Ayah tak pernah melakukan pekerjaan rumah.
Setiap kali pulang, sudah ada masakan yang hangat, dan rumah yang nyaman
ditinggali, dan pakaian yang bersih. Orang tua kalian juga Ibu yang merawatnya,
begitu banyak sepupu dan hubungan lain, semua Ibu yang urus. Semua orang memuji
Ibu, bilang Ibuku sangat menjaga keluarga dan hebat,” jelas nya, berpihak pada
Ibu Ming.
“Semua ini aku setuju. Lagi pula aku juga tak begitu hebat, aku
sibuk bekerja,” balas Ayah Ming, membela dirinya.
“Ibuku juga harus kerja,” balas Mingyue, mengingatkan. “Aku pergi pulang
sekolah dan juga les, semua Ibu yang antar jemput. Aku ingat saat SMP kelas
satu, saat itu hujan deras. Ibu dinas ke luar kota, minta Ayah untuk
menjemputku. Ayah bawa mobil pergi ke sekolah SD. Saat aku kecil, aku sangat
menyukai Ayah, karena Ayah tak mengurusiku. Menurut Ayah, semua yang kulakukan
benar, semuanya baik. Ibuku sangat tegas padaku. Apa pun yang kulakukan, tak
bisa membuatnya puas. Tetapi setelah aku dewasa, aku mengerti. Ayah tak
mengurusiku, karena tak mau repot. Ayah tak ribut dengan Ibu, bukan karena dia
benar, karena Ayah takut repot bertengkar. Ibu setiap kali memarahiku, Ayah
membela Ibu, bilang yang dikatakan Ibu benar. Setelah itu Ayah beri aku 200
Yuan, dan minta maaf padaku,” jelasnya, mengungkapkan pendapatnya.
“Jadi kau mau aku bagaimana? Setiap hari bertengkar dengan Ibumu?”
balas Ayah Ming dengan ketus.
“Ayah, keluarga kita tidak harmonis, kita menghindari masalah.
Ayah juga, aku juga,” balas Mingyue. Lalu dia memberitahukan rahasianya tentang
dia sengaja tidak menjawab satu lembar soal.
Mengetahui itu, Ayah Ming mengatai Mingyue bodoh karena melakukan
hal itu. Dan Mingyue menjelaskan bahwa sebenarnya dia ingin meminta bantuan
Ayah Ming pada saat itu, tapi dia tahu Ayah Ming pasti akan lebih mendengarkan
Ibu Ming. Jadi dia merasa putus asa. Dan menurutnya, Ibu Ming menjadi seperti
ini, karena Ayah Ming terlalu memanjakan Ibu Ming sebelumnya, Ayah Ming selalu
berusaha menghindari pertengkaran dan tidak ingin repot.
Mingyue kemudian memegang tangan Ibu Ming yang menangis tersedu-
sedu. “Ibu, tidak masalah. Setelah bercerai, hidupmu akan baik-baik saja. Lagi
pula Ibu masih ada aku,” katanya, menyemangati.
Mendengar itu, Ibu Ming merasa sangat terharu dan tersentuh.
Sedangkan Ayah Ming tidak mengatakan apapun lagi.
Akhirnya, Ibu Ming dan Ayah Ming pun saling setuju untuk bercerai.
Dan mereka berdua berpisah jalan.
Meiyang pulang ke rumah dan membantu Chen Ting untuk bersih-
bersih rumah. Dan sambil bekerja, Meiyang dan Chen Ting saling mengobrol.
Disaat itu, Chen Ting tiba- tiba teringat akan putrinya, Yuyun, yang telah
meninggal dulu.
“Apa yang kau lakukan selama ini?” kata Chen Ting, mengalihkan
pikirannya sendiri agar jangan memikirkan Yuyun lagi.
“Aku bekerja di kafe Kak Ziqiu,” jawab Meiyang dengan jujur.
“Kenapa kau ke sana? Jangan pergi
lagi,” perintah Chen Ting. “Kau tak lihat dia sangat membenci kita? Saat
kakakmu ulang tahun, He Ziqiu tak datang. Sekarang minta kau bekerja, apa yang
dia pikirkan?” keluh nya.
Mendengar itu, Meiyang protes dan membela Ziqiu. Dia meminta Chen
Ting agar jangan selalu menganggap bahwa orang lain itu jahat. Karena setiap
orang memiliki kesibukkan tersendiri setiap harinya, jadi mereka pasti tidak
ada waktu untuk membenci Chen Ting.
“Kau sudah dibodohi orang lain?” tanya Chen Ting sambil mencubit tangan
Meiyang. “Kau khianati ibumu.”
“Aku bukan berkhianat, yang kubilang kenyataan,” balas Meiyang.
“Pikiranmu sudah dicuci, kakakmu juga sama. Aku ini ibu kalian,
apa aku bisa mencelakai kalian? Kenapa tak dengar saranku? Atau kalian sebal
padaku?” keluh Chen Ting, kesal. Dan Meiyang mengiyakan dengan malas.
Ziqiu datang membawakan kopi untuk semuanya yang berada di studio
Jian Jian. Tapi Zhou Miao menolak untuk minum. Dan Du Juan pun merasa agak
tidak enak. Namun Ziqiu serta Jian Jian tidak terlalu memikirkan nya.
Tidak lama setelah itu, Ziqiu dan Jian Jian pun pamit dan pergi
bersama- sama.
Setelah mereka berdua pergi, Du Juan menanyai, kenapa Zhou Miao
bersikap seperti itu tadi. Dan Zhou Miao mengomentari bahwa Du Juan memang
orang yang jujur dan terlalu polos. Dia yakin kalau Jian Jian pasti melakukan
plagiat, jika tidak, Jian Jian pasti ada buktinya, tapi selembar foto pun tidak
bisa Jian Jian temukan. Dan dia percaya dengan Yufei, karena Yufei adalah orang
yang berbakat dan hebat.
“Apa maksudmu sebenarnya?” tanya Du Juan, tidak paham.
“Aku menyadari hanya kau yang merasa Bos Li berbakat. Menurutku,
karyanya biasa saja,” kata Zhou Miao dengan sikap merendahkan. “Dia kontrak
dengan pabrik mebel, tertulis dengan jelas. Melanggar hukum harus bayar denda. Begitu
banyak uang, kau mau bayar bersamanya?” tanyanya.
Mendengar itu, Du Juan menatap Zhou Miao dengan tajam. Dan Zhou
Miao mengatai Du Juan bodoh. Serta dia menyarankan Du Juan untuk meninggalkan
Jian Jian.
“Pacarku yang polos. Maksudku, kontrak dia yang tanda tangani,
memakai namanya. Kau pecah kongsi dengannya, tak perlu bayar denda lagi. Kenapa
kau harus ikut bayar?” kata Zhou Miao, menjelaskan maksud nya dengan sejelas-
jelas nya. “Kita kerja sama, tahun depan aku lulus,” ajaknya.
Du Juan tidak mau melakukan itu, dia tidak mau mengkhianati Jian
Jian. Dan menyadari hal tersebut, dengan sikap lembut Zhou Miao memegang tangan
Du Juan dan berusaha untuk membujuknya agar pikirkan sarannya ini.
“Sudah, jangan katakan lagi,” kata Du Juan, merasa pusing dan capek.
Lalu diapun pamit pulang duluan.
Karyawan Li menggosipkan tentang hubungan asmara Li Haichao kepada
Ziqiu serta Jian Jian. Dia menceritakan tentang perdebatan antara Hongying dan
Li Haichao, lalu tentang kedatangan He Mei yang meminta di ajarkan memasak.
Juga hari ini dia mendengar bahwa Li Haichao mengajak He Mei untuk ke toko buku
bersama- sama besok.
“Mulai berkencan? Kenapa tak beri tahu aku?” keluh Jian Jian,
bersemangat.
“Mungkin malu,” balas karyawan Li sambil tertawa. Lalu ketika Li
Haichao keluar dari dapur, dia langsung berhenti bergosip.
Ketika Li Haichao sedang sibuk, dengan bersemangat Jian Jian
memegang tangan Ziqiu. “Jika Ayahku dengan Bibi He Mei menikah, kita sekeluarga akan di satu akta keluarga,” katanya. Tapi Ziqiu
sama sekali tidak merasa bersemangat. “Kau tak setuju?” tanya Jian Jian, ragu.
“Bukan tidak setuju. Ibuku pernah meninggalkan Ayah, itu sudah 20
tahun lalu. Bagaimana jika dia lakukan lagi?” balas Ziqiu, khawatir.
Mengingat kejadian dulu, Jian Jian merasa agak kecewa. Lalu dia
mendapatkan ide bagus, dia mengajak Ziqiu untuk mengintai kencan Li Haichao dan
He Mei besok. Tapi Ziqiu menolak.
Tepat disaat itu, Li Haichao berdiri di belakang mereka berdua.
“Kalau tak pergi, cuci piring di belakang,” perintahnya sambil tersenyum.
“Ayah, sampai jumpa,” balas Ziqiu sambil mendorong Jian Jian untuk
cepat jalan dan pergi menjauh.
Malam hari. Ling Heping, Li Haichao, Ziqiu, Ling Xiao, dan Jian
Jian, makan malam bersama. Sambil makan mereka saling mengobrol dan menggoda.
“Xiao Jian, belakangan ini ada berita yang mau kau laporkan?”
tanya Li Haichao. Dan Jian Jian menjawab tidak. Lalu saat Ziqiu mau berbicara,
Jian Jian memasukkan udang ke dalam mulutnya agar diam.
“Ziqiu, kamu? Bisnismu lancar?” tanya Li Haichao, perhatian. Dan
Ziqiu menjawab bahwa bisnis nya cukup baik.
“Ayah? Besok ke mana?” tanya Jian Jian, penuh arti.
“Aku? Aku masih bisa ke mana? Aku hanya ke toko, kemudian, ke
pasar membeli sayur,” jawab Li Haichao dengan gugup.
Mendengar itu, Jian Jian tersenyum pernuh arti kepada Ziqiu dan
memberikan kode kepada Lling Xiao yang belum tahu apa- apa.
“Memberi kode apa?’ tanya Ling Heping, penasaran. Dan mereka
bertiga tidak mau memberitahu. “Jika kalian bersama, tak mungkin lakukan hal
bagus,” katanya dengan yakin.
Ketika Zhuang Bei dan Tang Can pulang bersama, mereka berpapasan
dengan Mingyue serta Ibu Ming yang baru pulang juga. Dan dengan canggung,
Zhuang Bei pamit dan menjauhi Mingyue.
“Tang Can, bawa Ibuku pulang, aku bicara dengan senior,” pinta
Mingyue. Lalu dia pergi mengejar Zhuang Bei.
Mingyue memanggil Zhuang Bei dan meminta maaf kepadanya. Karena
dulu saat Zhuang Bei menyatakan cinta padanya, dia bersikap sangat keras dan
kasar.
“Itu sudah berlalu. Kau hanya tak suka padaku, dan juga.. kau
punya hak menolakku,” kata Zhuang Bei, sudah memaafkan dan move on.
“Benar, aku punya hak menolakmu. Tetapi aku tak boleh menolakmu
seperti itu. Kau menyukaiku, aku seharusnya berterima kasih, dan kau sungguh
tidak bersalah. Aku membuatmu terpukul, dan melukaimu. Dulu aku terus berpikir,
kenapa... aku begitu menolak, begitu takut kau
nyatakan perasaanmu. Aku tak mengerti dan terus berpikir. Tetapi sekarang aku
mengerti. Aku tak membencimu, aku benci diriku sendiri,” jelasnya, melakukan
intropeksi diri.
“Kenapa?” tanya Zhuang Bei, tidak mengerti.
“Kau mungkin tak memahamiku. Dari dulu aku orang yang sangat tak
percaya diri. Aku tak bisa temukan apa kelebihan diriku yang pantas disukai
orang. Dulu kau bilang padaku, kau jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku
sungguh takut, karena saat kau memahami diriku yang sebenarnya, pasti akan
kecewa. Karena aku sangat suka menghindari, aku takut repot. Aku selalu ragu
dalam setiap hal. Aku merasa diriku sungguh tak berguna. Aku sangat… sangat
takut orang lain kecewa. Sebenarnya aku
sangat benci diriku seperti ini.. Dulu aku pernah berpikir, jika aku adalah
laki-laki, aku pasti tak akan menyukai perempuan seperti ini,” kata Mingyue,
menjelaskan perasaannya dengan sejelas- jelasnya.
“Dulu aku juga pernah melukai orang yang menyukaiku. Sekarang aku
sangat menyesal. Orang pasti bisa berbuat salah,” balas Zhuang Bei sambil
tertawa sedikit.
Mendengar itu, Mingyue mengucapkan terima kasih banyak kepada
Zhuang Bei, karena dulu dia sudah sangat jahat, tapi Zhuang Bei masih
menghiburnya. Dan Zhuang Bei menjawab bahwa dia bukan mau menghibur Mingyue,
tapi dia hanya bicara sejujurnya. Lalu dia memuji bahwa Mingyue adalah orang
yang baik. Jadi kelak mereka bertemu, jangan menghindarinya lagi seperti
melihat monster. Dan Mingyue tertawa.
“Aku boleh menambah wechatmu lagi?” tanya Mingyue.
“Mungkin... tak bisa lagi,” balas Zhuang Bei dengan sikap serius.
Lalu dia tertawa. “Aku bercanda,” jelas nya.