Malam hari di pemandian air panas. Pertandingan tenis meja
diadakan. Mizuki berpasangan dengan Luciano, melawan Hikaruko yang berpasangan
dengan Okamoto. Selama bermain Luciano jarang sekali memukul, dan hanya
membiarkan Mizuki yang memukul.
“Kamu terlihat manis memakai Yukata, sehingga aku tidak fokus pada
bolanya,” kata Luciano beralasan dan memuji.
“Diam! Tutup mulutmu,” balas Mizuki, acuh
Hana yang bertugas menjadi wasit. Dia tersenyum melihat kedekatan
antara Luciano dengan temannya tersebut.
Sementara Takane sendiri, dia tidak
ikut bermain dan tidak ikut berkumpul. Takane tiduran di sofa.
“Kamu tidak mau bergabung dengan kami?” tanya Hana, mendekati Takane.
Dan dengan malas, Takane menjawab,”Aku tidak tertarik bermain
bersama dengan kalian. Sebagai anak- anak kalian bermainlah saja. Dan anggap
aku sebagai guru pengawas,” katanya, lalu dia melanjutkan tidurnya lagi.
Hana menyindir Takane sebagai seorang guru yang memandang rendah
kepada murid. Dan Takane tidak peduli. Hana kemudian duduk di dekat Takane, dan
dia mengatai Takane membosankan, datang ke sini karena terpaksa, tapi
menurutnya itu tidak apa- apa, karena Takane adalah dinasourus tua yang tidak bisa
bermain dengan mereka. Setelah mengatakan semua itu, Hana pun berdiri dan mau
kembali bergabung dengan teman- temannya yang sedang bermain Tenis Meja.
Takane tidak terima perkataan Hana yang menyebutnya ‘dinasourus
tua’. Jadi dia pun bangun dan menahan tangan Hana yang mau pergi. “Apa kamu
segitu inginnya melihat ku bermain?” tanya Takane.
Hana menghela nafas capek. Lalu dia mendekatkan wajahnya kepada
Takane, dan memberikan senyum manis. “Aku ingin melihatnya” Aku sangat ingin
melihatnya!” kata Hana dengan bersemangat.
Dan mendengar itu, Takane merasa sangat senang. Dia langsung
berdiri, dan membusungkan dadanya ke depan. “Jika begitu, aku akan
menunjukannya padamu. Ayo!”kata Takane dengan penuh percaya diri. Dan Hana
mengikutinya.
Pertandingan Tenis Meja berakhir dengan skors 0 : 11 .
Hana serta Takane berubah menjadi boneka kecil yang tidak perdaya
sama sekali, karena mereka kalah dalam pertandingan. Sementara Okamoto serta
Hikaruko bersorak kegirangan, karena mereka berhasil memenangkan pertandingan.
Hana serta Takane bangkit berdiri sambil saling menyalah kan satu
sama lain. Dan Luciano yang sedari tadi menjadi penonton, dia mengatai Takane
lemah. Mendengar itu, Takane tidak terima dan membalas bahwa jika dia bermain
game ‘single’, maka dia akan bisa menunjukan kekuatan aslinya.
“Aku bisa menjadi lawan mu. Tolong tunjukan padaku bahwa kamu bisa
membuktikan perkataanmu barusan. Aku akan bermain dengan serius,” kata Okamoto,
tiba- tiba menantang Takane dengan percaya diri.
“Baiklah. Aku akan menunjukan pada mu kesenjangan antara kita,”
balas Takane, menerima tantangan Okamoto.
*Dalam tenis meja. Single, maksudnya pertandingan satu
lawan satu. Double, maksudnya pertandingan berpasangan, dua lawan dua
sekaligus.
Takane vs Okamoto. Pertandingan antara mereka berdua berlangsung
sengit, Takane berhasil membuat Okamoto kesulitan dan mendapatkan skors paling
banyak. 10 : 8.
“Takane-san benar- benar
bagus dalam bermain,” komentar Hikaruko, melihat pertandingan mereka berdua.
“Dia mungkin bahkan lebih
baik dalam olahraga daripada Okamoto,” kata Mizuki, setuju.
“Ini adalah pertandingan merebutkan Hana- chan,” kata Luciano,
ikut mengobrol. Dan mendengar itu, Mizuki serta Hikaruko langsung memandang ke
arah Hana.
“Cobalah untuk menghentikan servis ini,” kata Takane dengan
serius. Lalu dia memukul bola tenis ke Okamoto. Dan Okamoto pun berusaha untuk
memukulnya, tapi dia tanpa sengaja malah terjatuh.
Bola tenis yang berhasil dipukul balik oleh Okamoto mengenai dahi
Takane, sehingga Takane pun merasa kesakitan dan menggosok-gosok dahinya. Namun
tidak seorang pun yang menyadari hal itu, karena mereka semua sibuk
mengkhawatirkan Okamoto yang terjatuh dan terkilir kakinya.
Apalagi Hana, dia sangat cemas, karena Okamoto adalah pemain sepak
bola, jadi kaki adalah aset untuk Okamoto. Maka dari itu jika kaki Okamoto
terluka, takutnya Okamoto tidak akan bisa ikut bermain di pertandingan besar.
Takane menghampiri Okamoto, dan mengendongnya seperti ‘Seorang
Pangeran yang mengendong seorang Putri’. Dan tentu saja, Okamoto merasa sangat
malu di perlakukan seperti itu. Tapi dengan tegas Takane menyuruhnya diam.
“Aku tidak melakukannya demi kebaikanmu,” kata Takane pada
Okamoto. Lalu dia mendekati Hana, “Aku juga tidak melakukannya demi mu! Wajahku
terpukul bola tenis barusan, dan membengkak. Jadi kami kebetulan searah,”
jelasnya. Lalu dia berjalan melewati Hana.
Mendengar itu, Hana sempat merasa bingung. Tapi kemudian dia
tersenyum, dan bergumam, “Tidak mungkin wajahnya bisa membengkak karena bola
tenis,” katanya. Sementara kedua temannya, mereka sibuk mengikuti sambil
memotret Takane yang menggendong Okamoto.
Tengah malam. Hana berjalan- jalan sendirian di dalam penginapan,
dan ketika dia melihat Okamoto yang sedang duduk sendirian. Maka dia pun
menghampirinya, dan menanyakan apakah Okamoto masih merasa sakit.
“Aku terlalu malu sekarang. Tapi aku tidak merasa sakit lagi,” aku
Okamoto sambil tersenyum malu.
Hana duduk di sebelah Okamoto. Dia menjelaskan bahwa dia
bersyukur, karena itu bukanlah luka yang serius. Dan kemudian dia membicarakan
sikap Takane yang tidak bertingkah seperti orang dewasa.
Okamoto membalas bahwa dialah yang telah menantang Takane untuk
bertanding, dan Takane hanyalah pria tua yang meladenin permainannya. Namun
memang benar, Takane tidak tampak seperti pria dewasa ketika melawannya dalam
pertandingan.
Ketika Okamoto hanya berduaan dengan Takane didalam kamar.
“Jika teman sejak kecil nya ini (aku) menjadi lawanmu. Bukankah
kamu merasa khawatir?”tanya Okamoto sambil menatap tajam Takane.
“Tidak masalah jika kamu mau melawan ku, tapi dia (Hana) sangat
menantikan perjalanan ini. Jadi jangan rusak mood nya (Hana),” jawab Takane
dengan serius dan tenang. Mendengar itu, Okamoto pun terdiam.
Flash back end
“Menurutku kamu lebih dewasa,” jawab Hana.
“Aku mungkin lebih kekanak- kanakan daripada yang kamu pikirkan,”
kata Okamoto sambil tersenyum. “Aku tidak mau kalah darinya (Takane),” lanjut
Okamoto. Lalu dia berdiri, dan berjalan pergi sambil menyeret kakinya yang terluka.
Hana merasa sedikit bingung dengan maksud perkataan Okamoto. Tapi
dia tidak bertanya lebih lanjut. Dan dia membantu Okamoto yang kesulitan untuk
berjalan.
Didalam pemandian air panas. Hikaruko menanyakan, apakah Hana sudah ada membuat kemajuan dengan Takane. Dan Hana pun menjawab bahwa dia sebenarnya tidak berpacaran dengan Takane.
Hana lalu menjelaskan kalau hubungannya dengan Takane hanyalah
sekedar karena Takane ingin dirinya mengakui kekalahan, sebab dirinya telah
mempermalukan Takane. Sementara dirinya sendiri, itu karena menurutnya
menyenangkan mengganggu Takane.
“Tapi apa dia tidak membuat hati mu berdebar- debar? Dia kan tampan banget,” kata Hikaruko. Dan dengan terbata- bata Hana menyangkalnya.
“Ti… tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin!” kata Hana.
Didalam pemandian air panas yang berbeda. Takane berendam seperti orang yang sudah tua. “Ah, leganya,” katanya dengan keras.
“Kamu seperti Pria yang sudah tua,” komentar Luciano yang berendam
disebelahnya.
“Kamu juga Pria tua, kan?” balas Takane, acuh.
“Bukankah tidak buruk bersenang- senang dengan semuanya? Kamu senang kan, karena Hana- chan menjebak mu untuk datang ke sini?” tanya Luciano. Karena jarang ada orang yang bisa membuat Takane mau ikut.
Dan Takane menjawab bahwa dia tahu, lalu dia mengingat saat Hana
mengajaknya, saat Hana membuat dirinya dan Luciano berbaikan. Serta saat Hana
tersenyum manis kepadanya.
Hari terakhir. Didalam kamar. Hana membereskan barang- barangnya, karena hari ini mereka akan pulang. Dan selagi berberes, dia memperhatikan gantungan kecil yang dibelinya saat di toko oleh- oleh.
Kemudian disaat itu, tiba- tiba saja Luciano datang ke kamarnya dan mengatakan bahwa Takane ingin menemuinya.
Ketika Hana keluar dari dalam penginapan, Takane mengatainya
telat. Dan Hana pun menjelaskan bahwa dia baru saja di beritahu.
“Untuk kamu membuatku menunggu selama ini setelah memanggil mu,
kamu benar- benar berani, huh?” kata Takane. Lalu sebelum Hana sempat menjawab,
Takane langsung menyela dan berjalan duluan. “Dinginnya! Ayo!”
“Kamu yang bilang kan? Bahwa kamu ingin pergi ke kuil untuk
memperbaiki kesuksesan mu. Luciano bilang bahwa ada kuil di dekat sini,” jelas
Takane.
“Aku tidak ada mengatakan itu…”
“Kamu tidak bagus dalam belajar, jadi kamu harus berdoa meminta pertolongan kepada Tuhan. Supaya kamu menjadi sama seperti ku. Dalam ujian atau tantangan hidup apapun, aku bisa menghadapinya dengan tenang,” jelas Takane dengan bangga, lalu dia berjalan duluan.
Tapi karena masih bingung kenapa Takane tiba- tiba saja menjadi
begitu perhatian kepadanya, maka Hana hanya berdiri diam saja di tempatnya.
Merasakan bahwa Hana tidak ada mengikutinya, maka Takane pun berhenti berjalan dan berbalik menghadap ke arah Hana, “Aku melakukan ini untuk kebaikanmu! Jadi cepat dan ikutlah!” katanya dengan tegas. Dan Hana pun segera mengikutinya.
Sepanjang perjalanan. Takane terus menceramahi Hana. Dia
mengatakan bahwa ketika berdoa, Hana jangan hanya meminta di berikan ke
suksesan, tapi Hana juga harus bekerja keras di kehidupan nyata agar Hana tidak
berakhir menjadi orang yang malas.
“Apa kamu berencana menceramahi ku selamanya?” keluh Hana.
“Jika kamu mengatatakan malas selama kamu masih seorang murid.
Maka ketika besar, kamu akan menjadi orang dewasa dengan sifat pemalas,” balas
Takane.
Hana berhenti berjalan, dan memperhatikan gantungan kunci yang telah dibungkusnya. Kemudian tiba- tiba saja, Takane berteriak dengan keras, sehingga Hana pun merasa terkejut, dan dia menanyakan ada apa.
“Ah, tidak ada. Aku baru teringat ada sesuatu yang penting,” kata
Takane dengan sikap tampak panik. Lalu dia mengajak Hana untuk mengikutinya
kembali.
“Bagaimana dengan kuilnya?” tanya Hana, heran. Sambil berusaha
melihat, apa yang sebenarnya Takane sembunyikan tentang kuilnya.
“Biarkan saja! Ayo kembali!” balas Takane. Sambil menghalangin
Hana yang mau melihat kuil di belakang nya.
Hana merasa sangat penasaran, apa yang Takane sembunyikan darinya. Jadi dia pun mendorong Takane ke samping, lalu berlari menuju ke arah kuil. Dan ketika dia melihatnya, ternyata itu adalah kuil Dewa cinta. Bukannya kuil Dewa pendidikan.
“Bajingan itu… dia menipuku!” gerutu Takane. Lalu dia menarik
tangan Hana untuk mengikuti nya kembali. Dan disaat itu, tanpa sengaja hadiah
yang Hana pegang terjatuh dari pegangannya.
“Perjalanan luar biasa ini adalah pengalaman yang sulit dilupakan
untukku. Tapi ini pasti biasa saja untuk Takane- san. Jadi aku berpikir, jika
aku tidak memberikan mu sesuatu untuk mengingat perjalanan ini, maka kamu akan
melupakannya,” jelas Hana.
Takane memperhatikan gantungan boneka merah kecil yang tampak
kekar tersebut. Gantungan pemberian dari Hana.
Hana menjelaskan bahwa dia memilih gantungan itu, karena dia
memikirkan tentang Takane. Dan Takane diam, tidak merespon. Lalu karena Takane
hanya diam saja, maka Hana pun merasa malu dan ingin merebut kembali gantungan
itu.
“Hey, hentikan! Kamu sudah menyerahkannya padaku! Jadi ini
milikku!” kata Takane sambil mengangkat tangannya tinggi- tinggi, supaya Hana
tidak bisa merebut gantungannya.
“Apa yang kamu katakan? Kamu melihatnya dengan raut wajah
menghina!” balas Hana sambil masih berusaha merebut gantungannya kembali.
“Tidak!” teriak Takane.
Karena sibuk berebutan, tanpa sengaja, Hana jatuh menimpa Takane.
Dan selama sesaat mereka saling diam sambil bertatapan. Kemudian setelah itu,
dengan canggung Hana menyingkir dari atas tubuh Takane. Dan disaat itu, dia
menemukan sesuatu keluar dari dalam saku jaket Takane, jadi dia langsung
mengambilnya.
“Mengapa?” tanya Hana, terkejut, ketika dia melihat kalau barang yang keluar dari dalam saku Takane adalah gantungan yang sama dengan yang diberikannya.
“Aku memperhatikanmu ketika kita berada di toko oleh- oleh. Aku
pikir kamu menginginkannya,” jelas Takane dengan kaku.
Hana mengomentari bahwa ini pertama kalinya Takane memberikan
sesuatu yang diinginkannya. Dan mendengar itu, Takane merasa malu, jadi dia
ingin merebut kembali gantungan miliknya, tapi Hana langsung mengelak.
“E- eh… Kamu sudah menyerahkannya padaku! Jadi ini milikku
sekarang!” kata Hana sambil melindungin gantungannya. “Terimakasih,” ucapnya.
“Kalau begitu, aku akan menerima nya kali ini,” balas Takane
dengan sikap jaim seperti biasa. Sambil memperhatikan gantungannya.
Hana kemudian melihat ke arah kuil, dan mengajak Takane untuk
berdoa bersama- sama, karena mereka sudah terlanjur berada di dekat sana. Dan
Takane pun mengiyakan.
“Semoga kami semua bisa berada di kelas yang sama pada tahun
kedua,” kata Hana, mengucapkan permohonannya. Dan mendengar itu, Takane
mengetawainya. Tapi Hana mengabaikannya.
Hana membuka matanya, dan memperhatikan Takane sambil tersenyum.
Lalu dia menutup matanya kembali dan berdoa.
Dalam perjalanan pulang dari kuil. Takane dan Hana pergi berjalan- jalan bersama, dan berfoto berdua. Lalu ketika Hana meniup- niup tangannya karena kedingingan, Takane memberikan syal nya untuk membungkus tangan Hana supaya hangat.
Mereka berdua kemudian pulang bersama- sama menuju ke penginapan. Takane berjalan sambil menarik syal yang di bungkus kan di tangan Hana. Dan Hana berjalan mengikuti Takane dengan patuh.
“Kita masih bisa pergi ke pemandian air panas lagi kan?” tanya
Hana dengan pelan.
“Kamu sangat hebat menjebak ku untuk datang ke sini. Kurasa aku
akan mengingat untuk datang ke sini di musim dingin,” jawab Takane. Dan Hana
tersenyum senang.
Takane kemudian tiba- tiba saja mengatakan bahwa masalah utamanya
sekarang adalah kemana jalan kembali ke penginapan.
“Ternyata benar, kamu sama sekali tidak tahu jalan!” kata Hana,
terkejut.
“Tidak apa,” balas Takane, singkat.
Tags:
Takane To Hana