Original Network : tvN
Setelah masuk jauh ke dalam hutan, Ji A menyadari kalau ponselnya hilang. Dan lalu dia bertemu dengan si Dukun wanita yang tinggal di tengah hutan. Dan dengan ramah dia memperkenalkan dirinya, lalu dia menanyai jalan untuk bisa kembali ke desa. Dan si Dukun pun menunjukkan jalan nya.
“Omong-omong,
berapa lama Anda tinggal di sini?” tanya Ji A, ingin tahu.
“Sudah lama
sekali. Aku sudah tinggal di sini lebih lama daripada yang kamu bayangkan,”
jawab si Dukun.
“Kalau
begitu, pernahkah Anda melihat orang-orang ini?” tanya Ji A sambil menunjukkan
foto kedua orang tuanya. “Foto ini diambil di sini bertahun-tahun yang lalu,”
jelasnya dengan penuh harap.
“Tunggu.
Bukankah wanita ini hamil?” tanya si Dukun seperti mengetahui sesuatu.
“Ya. Anda
ingat?” tanya Ji A, bersemangat.
Ji A duduk
dirumah si Dukun dan meminum teh yang diberikan padanya. Melihat Ji A meminum
tehnya, si Dukun tampak lega serta puas. Kemudian dia membahas mengenai kedua
orang tua Ji A.
“Bayi di
rahimnya sungsang atau tali pusar melilit lehernya. Intinya, mereka berdoa
kepada Raja Naga di gua untuk persalinan yang mudah,” kata si Dukun, bercerita.
“Dia sungguh menjawab doa. Bahkan saat Badai Sarah menerpa, hanya pulau kami
yang aman. Dahulu kami mengadakan ritual besar untuknya,” jelasnya dengan
bangga.
“Seperti
ritual untuk tangkapan besar sebelum para nelayan melaut?” tanya Ji A. Dan si
Dukun membenarkan. “Kapan ritualnya?”
“Selama
Festival Hantu.”
Mengetahui
itu, Ji A teringat tentang empat kasus pembunuhan berantai yang terjadi setiap
tanggal 15 Juli pada kalender bulan, dan tanggal itu merupakan hari festival
hantu. Lalu dia menatap ke arah bendera yang terpasang di tiang kayu dihalaman
rumah. Bendera itu ada lima warna yang melambangkan, kehidupan, kematian,
penyakit, kekayaan, dan leluhur. Itu berarti pemiliknya adalah seorang dukun.
“Ini
pekerjaanku,” kata si Dukun, mengakui dengan jujur.
“Dan Bu.
Wanita hamil di foto ini adalah seorang dokter. Dia pasti pergi ke rumah sakit,
bukan gua, jika ada masalah dengan bayinya,” kata Ji A, menunjukkan kalau si
Dukun telah bercerita berbohong. Lalu diapun berniat untuk pergi.
Si Dukun
menyuruh Ji A untuk duduk kembali dan dia akan memberitahukan semuanya. Dan Ji
A menolak. Lalu dia menjelaskan bahwa barusan dia tidak ada meminum teh si
Dukun. Karena dia tidak biasa memakan atau minum pemberian orang asing. Setelah
mengatakan itu, Ji A pun berjalan pergi.
Tapi
anehnya, ketika Ji A baru berjalan beberapa langkah, dia tidak bisa bergerak
sama sekali. Dan kemudian dia merasa lemas serta jatuh terbaring ke lantai.
“Bukan
tehnya, tapi dupanya,” kata si Dukun menjelaskan dengan bangga sambil mendekati
Ji A.
Dari
bayangan di cermin, wujud si Dukun berubah menjadi seorang Nenek tua berambut
putih. Dan Ji A terkejut melihat itu, tapi dia sama sekali tidak bisa bergerak
untuk kabur.
Lee Rang
mengaku kalah. Lalu dia memberitahu Lee Yeon bahwa sebentar lagi, Ji A akan
menjadi tumbal, dan waktu Lee Yeon tidak banyak. Juga ponsel Ji A ada padanya,
jadi Lee Yeon tidak akan bisa menghubungi Ji A.
Mengetahui
itu, Lee Yeon langsung berkonsentrasi untuk mencari bau Ji A. Tapi anehnya bau
Ji A menghilang, dan dia merasa sangat bingung sekali.
Si Dukun
menaburkan bubuk berwarna emas di tanah.
Lee Yeon
memperhatikan langit dan melihat kalau matahari akan segera terbenam. Dengan
cemas, dia berharap supaya Ji A bisa bertahan sebentar saja lagi.
Ji A berada
dalam keadaan tidak sadarkan diri dan tubuh terikat.
“Sama
sepertimu, ibumu datang secara sukarela ke pulau ini. Sejak dia hamil, dia
memimpikan hal yang sama setiap malam. Kamu memperdaya ibumu saat berada di
kandungannya,” kata si Dukun, bercerita dengan sinis.
Ternyata Ji
A tidak pingsan. Dan dia mendengar jelas perkataan si Dukun.
Langit sudah
berubah menjadi gelap. “Aku roh gunung yang asli, penguasa gunung dan sungai.
Angkat kegelapan ini dan pandu aku ke arahnya!” perintah Lee Yeon sambil
merentangkan ke dua tangannya ke alam.
Sayangnya
cara itu sama sekali tidak berhasil, dan Lee Yeon merasa stress serta frustasi.
Namun tiba- tiba saja pepohonan didalam hutan mulai bergerak dan ada cahaya
kunang- kunang yang muncul di langit. Para kunang- kunang itu menuntunkan jalan
untuk nya.
“Ayo,” kata
Lee Yeon dengan bersemangat.
Si Dukun
menyeret Ji A ke arah sumur. Lalu dia menyalakan lilin. “Tidak ada gunanya,”
komentar si Dukun kepada Ji A yang berusaha untuk melepaskan diri dan kabur.
“Ternyata
Anda,” kata Ji A dengan jijik.
“Mayat para
wanita yang ditemukan di pulau ini. Semuanya tumbal yang berharga.”
“Yang benar
saja,” umpat Ji A. “Hei, Bu. Itu pembunuhan.”
“Jadilah
tumbal,” kata si Dukun wanita, tidak peduli. “Kamu anak yang sangat istimewa.”
Si Dukun
menatap ke dalam sumur. “Kamu tidak tahu sudah berapa lama penantianku,”
katanya dengan bersemangat. Lalu dia menarik Ji A dan berusaha untuk membunuh
nya menggunakan pisau serta mendorong nya masuk ke dalam sumur. Dan dengan
bersusah payah, Ji A memberontak.
Lee Yeon
berlari dengan cepat mengikuti para kunang- kunang yang menuntun kan jalan
untuknya. Kemudian ketika dia telah sampai, dia tidak bisa masuk ke dalam
halaman si Dukun, karena ada garis penghalang yang menghalanginya.
“Matilah.
Kamu harus mati. Kamu harus mati,” kata si Dukun sambil menahan Ji A dan
mengangkat pisau di tangannya.
“Berhenti!”
perintah Lee Yeon. “Jangan sentuh dia. Aku akan mencabik lengan dan kakimu,”
ancamnya, mengingatkan.
“Ini tidak
berkaitan dengan penguasa gunung yang lama,” balas si Dukun, tidak takut sama
sekali kepada Lee Yeon. “Bagaimana jika kamu pergi saja?”
“Kata mayat
hidup,” ejek Lee Yeon. “Siapa yang memberimu umur panjang yang tidak pantas
kamu terima?” tanyanya dengan tegas. “Katakan siapa yang kamu layani.”
“Lagi pula,
kamu tidak bisa menghentikanku. Bunga evening primrose akan menghalangimu,”
balas si Dukun sambil tertawa dengan sangat bangga.
Lee Yeon
mengulurkan kakinya dan berusaha untuk melewati garis yang membatasinya. Tapi
sayangnya dia sama sekali memang tidak bisa lewat. Dan melihat itu, si Dukun
semakin tertawa dengan keras. Lalu dia mencoba untuk menusuk Ji A. Dan Ji A
menggunakan tangannya untuk menahan pisau tersebut. Sehingga tangannya pun
berdarah.
Melihat itu,
Lee Yeon teringat akan kematian A Eum.
Ji A memegang
ujung sumur dan berusaha untuk bertahan agar tidak jatuh sepenuhnya ke dalam
sumur. Dan si Dukun tidak mungkin membiarkannya, dia ingin menjatuhkan Ji A.
Lee Yeon
menggunakan kekuatannya. Sembilan ekornya muncul dengan sangat indah. Membuat
alam bergejolak. Melihat itu, si Dukun merasa panik.
Menggunakan
kekuatannya, Lee Yeon menurunkan hujan dan lalu dia melewati garis pembantas.
“Kembali ke Bumi,” perintahnya. Lalu petir menyambar si Dukun dengan kuat.
Sebelum Ji A
sempat terjatuh sepenuhnya ke dalam sumur, Lee Yeon sampai didekatnya dan
menariknya untuk naik ke atas permukaan.
Taluipa
terkejut, ketika merasakan Lee Yeon merenggut nyawa manusia.
Lee Rang
tersenyum menatap hujan.
Lee Yeon
membalut luka ditangan Ji A. Lalu dia bantu menopang Ji A supaya bisa berjalan.
Tapi karena Ji A sedang sangat lemas untuk berjalan, maka Lee Yeon pun langsung
mengendong nya saja.
“Siapa
wanita itu?” tanya Ji A, ingin tahu.
“Manusia.
Manusia yang ingin hidup lebih lama,” jawab Lee Yeon.
“Aku ingin
sekali memukul mulutnya,” keluh Ji A.
“Yang benar
saja. Kamu hampir mati tadi,” balas Lee Yeon.
“Tapi aku
tidak mati.”
Ketika Lee
Yeon dan Ji A telah berjalan menjauh. Sesuatu muncul dari kedalaman sumur.
Saat Shin
Joo mengetahui apa yang terjadi, dia mengomeli Lee Yeon. Dan dengan santai, Lee
Yeon membalas bahwa dia hanya perlu menerima hukuman saja.
“Ini
sebabnya kamu tidak boleh terlibat dengan wanita manusia,” omel Shin Joo.
Sebelum
membalas, Lee Yeon memastikan tidak ada siapapun didekatnya. “Wanita ini tahu
soal kehidupan lampau A Eum. Entah siapa dia, tapi aku akan mengawasinya.”
“Kisah
cintamu sangat terkenal di antara kami. Mungkin adikmu yang mempermainkanmu,”
balas Shin Joo. Lalu tiba- tiba dia mendengar pengumuman harga barang diskon.
Dan dia merasa tertarik.
“Kamu
mengambil kartu kreditku lagi?” tanya Lee Yeon dengan tegas.
“Halo? Pak
Lee? Suaramu putus-putus. Pak Lee!” balas Shin Joo berpura- pura kalau sinyal
sedang tidak bagus. Lalu dia langsung mematikan telpon dari Lee Yeon.
Ketika Lee
Yeon masuk ke dalam kamar, Ji A sedang meminum alkohol untuk menenangkan
dirinya dari kejadian yang baru saja terjadi, dan dia mengajak Lee Yeon untuk
ikut minum bersamanya.
“Aku tidak
pernah mengatakan apa pun karena bisa membuatku tampak kuno, tapi kamu terlalu
santai denganku padahal tidak tahu berapa usiaku,” komentar Lee Yeon.
“Mereka yang
berusia lebih dari 60 tahun dianggap sebagai kakek,” balas Ji A dengan acuh.
Setelah
meminum segelas bir, dengan serius Ji A menanyai, kenapa Lee Yeon terus
menyelamatkannya. Dan Lee Yeon tidak menjawab. Ji A lalu menebak, apakah dia
memiliki sesuatu yang Lee Yeon cari.
Mendengar
itu, Lee Yeon menatap Ji A dan teringat akan A Eum.
“Ada banyak
pertanyaan di benakku, tapi akan kubiarkan untuk saat ini. Tapi aku akan
mengatakan ini,” kata Ji A, berhenti bertanya. “Terima kasih, Yeon,” katanya
dengan tulus. “Aku yang berusia 9 tahun dan yang berusia 30 tahun hidup berkat
dirimu. Begini, tapi aku akan membalasnya suatu hari nanti,” janjinya.
Mendengar
itu, Lee Yeon teringat lagi akan A Eum.
A Eum : “Kamu bisa mengandalkanku untuk
melindungimu.”
Mengingat
akan A Eum, Lee Yeon tiba- tiba saja merasa canggung menatap Ji A. Lalu diapun
mulai minum- minum bersama dengan Ji A.
Para warga
desa berjalan mendekati sumur.
Ditepi laut.
Lee Rang memberikan sesuatu yang dibungkus dengan kain dan kertas mantra kepada
seorang pria berpakain jas hitam dan kemeja putih.
Pagi hari.
Lee Yeon memperhatikan kaki Pyung Hee tampak pincang sebelah. “Kamu cukup
beruntung bisa hidup untuk menceritakan kisah itu. Jangan pernah mengutuk orang
lagi. Karma bisa menyeramkan,” komentarnya, menasehati.
Mendengar
itu, Pyung Hee merasa heran, kenapa Lee Yeon bisa tahu. Dan dia juga merasa
malu.
Ji A berlari
mendekati Lee Yeon dengan panik. “Kosong. Semua orang hilang. Seolah-olah
seluruh desa menghilang. Bayangan manusia pun tidak terlihat.”
Mengetahui
itu, Pyung Hee tampak bingung. Dan Lee Yeon merasa terkejut.
Seperti
perkataan Ji A. Semua orang di desa menghilang ntah kemana.