Sinopsis Lakorn : Trabab See Chompo (Pink Sin) Episode 12 – 1


Sinopsis Lakorn : Trabab See Chompo (Pink Sin) Episode 12 – 1
Images : Channel 3
Peat pergi ke lapangan basket kampus. Dia teringat saat mengajari Kiew bermain basket 4 tahun yang lalu. Tidak lama setelah Peat pergi, Kiew juga ke sana. Dan tentu saja dia tidak menemukan Peat.

Peat kemudian pergi ke bar dan minum-minum. Kiew mencoba menelpon Peat lag, dan kali ini masuk. Peat sempat ragu untuk menjawab telepon itu atau tidak, tapi akhirnya dia memutuskan untuk mematikan ponselnya. Kiew terus mencoba menelpon Peat tapi nomornya sudah tidak aktif lagi, jadi Kiew mengirim pesan meminta agar Peat menghubunginya.
Peat terus menerus minum. Setelah minum cukup banyak, Peat memutuskan untuk menyalakan ponselnya kembali. Dan masuk telepon dari Chaya. Peat mengabaikan telepon itu. Dan tidak lama, masuk lagi telepon dari Kiew. Kiew terus menerus menelponnya dengan pantang menyerah.
“Berhenti menelepon. Itu menyebalkan!” akhirnya Peat memilih menjawab telepon Kiew.
--
Chaya kesal karena Peat tidak menjawab teleponnya. Chaya sedang berada di restoran Kris. Dan seperti biasa, Kris berkomentar kalau Peat tidak membutuhkan Chaya. Chaya jelas kesal mendengar komentar Kris itu.
--

“Kenapa kau kabur dari rumah sakit?” tanya Kiew. “Kau masih belum sembuh.”
Dengan ketus Peat berkata kalau itu bukanlah urusan Kiew. Dan Kiew kemudian meminta Peat untuk tidak kabur dan kembali ke rumah. Peat terus berkeras tidak mau kembali.
“Jika kau mau bicara denganku, temui aku!”
“Baiklah,” setuju Kiew.
“Aku hanya akan memberimu waktu 15 menit. Jika kau masih belum datang, maka tidak perlu bertemu lagi,” tegas Peat dan langsung mematikan ponselnya.
Kiew langsung berlari mencari taksi. Dia meminta di antarkan ke bar tempat Peat dan meminta si supir untuk sampai di sana dalam waktu 15 menit. Dia akan membayar ongkosnya berapapun.
--
Kris menyadari kalau Chaya marah karena ucapannya. Tetapi, dia mengatakan hal itu agar Chaya sadar dan berhenti mencari Peat.
“Jika Peat ingin kau menemukannya, dia akan menghubungimu.”
“Seseorang menghilang, dan kau ingin aku tetap tenang sepertimu? Aku tidak bisa melakukannya!” marah Chaya. “Dan duduk seperti ini, apa kau tidak khawatir pada Peat?”
“Tentu saja aku khawatir. Itulah kenapa aku menunggunya di restoranku. Mana tau nanti dia datang kemari. Chaya, kau… bertingkah seperti kau tidak tahu… teman!”
“Karena aku tahu, makanya aku mencarinya. Ketika Peat marah, Peat ingin ada orang yang menemaninya.”
“Tapi orang itu bukan kau! Jangan marah dulu. Coba pikirkan baik-baik, Peat masih belum mematikan ponselnya, itu artinya dia ingin seseorang menghubunginya. Tapi, dia tidak menjawab teleponmu. Itu artinya dia menunggu orang lain. Siapa itu? orang yang ingin Peat temui?”
“Itu mungkin Katha?” ujar Chaya mencoba positif. “Ayah. Atau mungkin P’Tee.”
“Jika memang 3 orang itu, sekarang mereka sudah seharusnya bisa menghubungi dan memberitahu kalau sudah menemukan Peat. Tapi, tidak ada kabar sama sekali.”
Chaya tidak suka mendengarnya dan ingin pergi saja untuk mencari Peat. Tapi, Kris menahannya dan menyuruh Chaya untuk sadar. Sekarang mungkin Peat sudah bertemu dengan ‘orang’ itu. jadi, Chaya hanya harus menuggu. Chaya benar-benar kesal dan menegaskan tidak akan diam hingga menemukan Peat.
--
Pa dan Katha bersama-sama mencari Peat ke café-café. Mereka sampai kelelahan karena sudah mencari ke banyak tempat. Dan karena itu, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di taman. Pa juga mengeluh kalau dia lapar. Katha tersenyum melihat tingkah Pa.
--

Peat sudah mabuk. Dia terus melirik ke ponselnya. Sudah lewat 15 menit, dan karena itu Peat mematikan ponselnya.
--
Kiew masih dalam perjalanan ke tempat Peat. Dia meminta supir untuk mengebut, tapi taksinya malah kehabisan bensin.
--

Peat memutuskan untuk pergi dari bar. Tapi, karena dia mabuk, jalannya jadi sempoyongan dan menabrak 2 orang pria yang sedang duduk di dekatnya. Bukannya meminta maaf, Peat malah terus lanjut jalan begitu saja setelah memelototi kedua pria itu.
Kedua pria itu tidak terima, dan mengejar Peat keluar bar. Setelah itu, mereka memukul Peat berulang kali karena tidak meminta maaf setelah menabrak mereka. Tapi, Peat malah terus tertawa dan memancing kedua prai itu untuk terus memukulinya. Emosi kedua pria itu tersulut, tapi satpam sudah tiba di sana. Jadi, kedua pria itu langsung kabur.
Aksi pemukulan itu di rekam oleh beberapa orang yang kebetulan lewat.  Kiew juga tiba di sana dengan ojek dan terkejut melihat Peat yang terbaring di tanah dengan tubuh memar. Satpam menjelaskan yang terjadi dan menyarankan untuk membawa Peat ke rumah sakit. Tapi, dengan kasar Peat menolak. Peat bangkit berdiri dan pergi dari sana dengan sempoyongan. Kiew meminta maaf pada satpam atas sikap kasar Peat, setelah itu, dia segera berlari mengejar Peat.
Peat terus mengusir Kiew, tapi Kiew tetap bersikeras tidak mau pergi.
“Aku tidak punya ayah. Aku tidak mau kembali. Aku anak dari pezina. Bukankah kau merasa ini lucu? Kau menjadi anak ayah, dan untukku, aku menjadi anak tanpa ayah. Kau pasti sudah menuggu untuk mengatakan kalau aku pantas mendapatkannya!”
“Aku tidak pernah berpikir kalau kau pantas mendapatkannya! Aku…”
“Simpati? Kasihan?”
“Bukan. Ayo pulang ke rumah. Aku mengerti perasaanmu.”
Peat terus menolak dan berkata kalau Kiew tidak mengerti perasannya. Di bandingkan rasa sedih, dia merasa malu! Merasa bersalah! Dia tidak berani melihat wajah Khun Nai! Sebelumnya, tidak peduli seberapa nakalnya dia, Khun Nai masih akan menyanyanginya karena dia adalah anaknya, tapi sekarang bukan!
Kiew masih berusaha untuk menenangkan Peat. Semua tidak ada yang berubah, masih seperti sebelumnya. Tapi, Peat tidak percaya.
“Terutama kau dan aku, kita tidak bisa kembali seperti sebelumnya,” ujar Peat dengan sedih.
Kiew bingung dan menuntut penjelasan Peat walau Peat terus menolak untuk menjelaskan.
“Kalau begitu dengarkan! Ketika aku tahu kalau kau adikku, aku sangat marah! Aku berharap untuk sedetik kalau itu bukan kebenaran. Aku tidak bisa menerimanya. Kau tahu alasannya? Itu karena aku mencintaimu!” akui Peat.
Kiew tercengang mendengar pengakuan Peat.
“Akhirnya, permohonanku terkabul. Tapi sebagai gantinya, aku kehilangan ayah. Jika aku tahu kalau aku bangun dan harus menghadapi kenyataan ini, aku lebih baik mati daripada hidup di neraka seperti ini! Jangan mengganggu ku lagi. Harus pulang dan melihat wajah ayah dan wajahmu, itu membuatku semakin membenci diriku. Aku mohon padamu, biarkan aku pergi!” ujar Peat dan menepiskan tangan Kiew yang menggenggamnya.

Kiew langsung memeluk Peat dari belakang. Peat terdiam sesaat dan melepaskan pelukan Kiew dari pinggangnya. Dia berbalik dan menatap Kiew, wajahnya mendekat hendak mencium Kiew. Tapi, belum sempat, dia sudah jatuh pingsan. Kiew jelas panik.


Akhirnya, Kiew membaringkan Peat di pangkuannya. Dia mengelus rambut Peat sambil terus tersenyum mengingat saat Peat mengatakan mencintainya.
“Kau mungkin berkata seperti itu karena kau mabuk. Dan ketika kau sadar, kau mungkin sudah lupa. Tapi, aku akan ingat apa yang kau katakan. Aku tidak akan membiarkanmu pergi kemanapun lagi!” ujar Kiew dan mencium kening Peat.
Ponsel Kiew berdering. Telepon dari Pa. Jadi, Kiew bangkit berdiri, dan menjauh dari Peat yang tertidur. Dia bertanya ada apa? Pa bertanya posisi Kiew, kenapa tidak ada kabar?
“Nai Peat…” ujar Kiew dengan ragu.
Peat terbangun dan begitu mendengar Kiew menyebut namanya di telepon, Peat segera merebut ponsel Kiew dan mematikannya. Pa mengira kalau telepon putus karena masalah sambungan.
Dengan kesal, Pa menghela nafas dan memakan makanan yang sedang di pegang oleh Katha. Katha diam saja sambil terus menatap Pa yang memakan makanannya. Pa kemudian lanjut menelpon Kiew lagi.
 Peat memperingati Kiew untuk tidak memberitahu orang-orang telah menemukannya, atau dia akan kabur lagi dari Kiew. Dia tidak main-main dengan ucapannya, karena dia sudah pernah kabur selama 4 tahun dari ayahnya.
“Tapi aku berhasil menemukanmu! Saat ini juga begitu.”
“Langit sepertinya suka bercanda denganku. Mengirim orang yang paling tidak ingin ku temui padaku!”
“Kau yakin tidak ingin melihatku?” tanya Kiew menggoda.
“Ya.”
“Tapi, aku ingin melihatmu. Aku berharap, aku dapat bertemu denganmu walau kemanapun kau pergi. Tolong, jangan kabur lagi.”
Pas sekali, telepon Kiew berbunyi. Peat menyuruh Kiew tidak memberitahu temannya itu telah menemukannya. Kiew bersedia asal Peat tidak kabur darinya lagi.
Kiew langsung mengangkat telepon Pa dan berbohong kalau ponselnya mati mendadak tadi. Dia juga belum menemukan Peat. Setelah itu, Kiew langsung mematikan telepon. Pa sampai heran karena Kiew tampak terburu-buru mematikan telepon.
Kiew langsung mengajak Peat untuk melihat dokter. Tapi, Peat menolak, terluka seperti ini, tidak akan membuatku mati. Kiew hendak memaksa, tapi melihat wajah Peat yang tegas, Kiew langsung terserah Peat saja. Dia kemudian bertanya sekarang Peat akan kemana?


1 Comments

Previous Post Next Post